Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – “Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu”

Photo of author

By AdminTekno

Pada 25 November lalu, lebih dari 50 orang terjebak di tengah hutan selama dua hari dua malam saat banjir dan longsor melanda sebagian wilayah Sumatra. Salah satu dari mereka membuat rekaman video dan viral di media sosial.

“Pak bupati, tolong kami di sini. Kami sudah di tengah hutan. Kiri-kanan sudah longsor,” teriak pria yang merekam situasi memilukan itu

Belakangan diketahui mereka yang terjebak di tengah hutan adalah warga Lorong 4 Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah. Video itu dikirim sesaat sebelum jaringan internet terputus.

BBC News Indonesia menemui pria yang merekam video tersebut sekaligus mendengarkan kisah perjuangan rombongan mereka mencari jalan keluar di tengah kepungan banjir bandang dan longsor.

Tanda-tanda alam yang tak biasa

Alam menunjukkan tanda-tanda tak biasa sejak pertengahan November lalu.

Hujan yang tumpah berhari-hari dengan jeda sesaat terus mendera sebuah kampung di Lorong 4 Hutanabolon dan sekitarnya. Kampung ini berada di daerah perbukitan. Lanskapnya didominasi bangunan rumah beratap seng.

Belum habis kopi di gelas, Yania Tilase menerima panggilan, Sabtu pagi (22/11). Saat menempelkan telepon genggam ke telinga, wajahnya sedikit mengeras.

Perempuan berperawakan ramping ini mendapat peringatan dari kakaknya yang tinggal di atas bukit.

“Hati-hatilah kalian sudah longsor ini dari atas. Tanah longsoran sudah tertahan kayu-kayu,” kata orang di ujung telepon, seperti ditirukan Yania.

Setelah memutus panggilan telepon, perempuan 54 tahun ini segera memanggil dua anak lelakinya. Ia meminta mereka menjemput kakaknya yang baru saja menelpon. Pergilah mereka.

Setelah kembali, kedua anak laki-lakinya bercerita menggebu-gebu. Mereka telah melihat “longsor besar sekali”. Tapi tanah dan bebatuannya masih tertahan kayu-kayu.

“Kalau hanyut itu dengan sekaligus, hancur kita di sini. Tidak ada hidup kita ini,” kata Arman Jaya Zebua, salah satu anak laki-laki Yania.

Baca juga:

  • Ribuan orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatra Utara, akibat perusakan hutan atau cuaca ekstrem?
  • Pemerintah janji telusuri korporasi yang turut memicu bencana Sumatra
  • Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut

Kabar tentang adanya longsor yang tertahan di atas bukit beredar dari mulut ke mulut.

Sambil merenung, dan melihat debit air yang mulai naik di sekitaran rumah, hari itu Yania dan keluarganya memutuskan mengungsi ke tempat yang lebih tinggi: bangunan Gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP)—Rumah Orang Kristen Protestan Nias.

Bukan hanya Yania, ada 14 keluarga lain turut serta mengungsi di gereja. Dari Sabtu sampai Senin, lebih dari 50 orang bermalam di sana.

Di tempat ibadah ini, para pengungsi menggelar kasur, menumpuk pakaian ganti, sampai menyimpan dokumen-dokumen penting dalam tas masing-masing.

“Kayak rumah kami lah gereja itu,” cerita Yania.

Meskipun puluhan orang ini tidur di gereja, tapi tiap pagi dan siang mereka tetap kembali ke rumah masing-masing. Keperluannya untuk memasak dan MCK.

Kondisi cuaca makin tak menentu. Mulai Senin (24/11), curah hujan semakin deras. Angin bertiup kencang membuat banyak pepohonan membungkuk. Situasi ini semakin buruk sampai keesokan harinya.

“Biar ku masak air di rumah,” kata Yania kepada keluarganya di dalam gereja, Selasa pagi (25/11).

Ibu dari tujuh anak ini juga sekalian mau memberi pakan ayam dan seekor babinya.

Belum tuntas menuang air ke dalam panci dan menyiapkan api kompor, seorang kerabat tiba-tiba datang dan menegur keras.

“Jangan dulu di situ. Jangan dimasak air,” teriak kerabatnya seperti diceritakan Yania.

“Sudah ditelepon dari atas. Hanyut semua kayu itu yang sudah tertahan. Pecah, karena hujan yang deras itu”.

Yania tidak langsung berhenti melakukan aktivitas rutinnya itu, karena keluarganya butuh air minum.

“Bagaimana mau minum,” kata Yania bertanya-tanya.

“Jangan dulu, ayo masuk kita ke gereja,” kerabatnya memaksa.

Yania mengalah. Ia mengurungkan niat memasak air dan membiarkan ayam serta babinya kelaparan sementara waktu.

Sambil memperhatikan langkah kaki pada air yang mulai tinggi di pinggiran rumah, ia kembali ke gereja.

Di gereja, Yania langsung teringat dengan tasnya yang berisi uang, ATM, KTP dan dokumen penting lainnya. Uang di dalam tas itu sebagian adalah milik jemaat gereja BNKP.

“Akulah bendahara di gereja itu. Tapi bukan yang digendong tas itu. Tas yang dipegang saja,” katanya.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara keras dari belakang gereja. Satu ruangan di gereja panik.

Para pemuda yang berada di situ berjalan ke belakang untuk memastikan apa yang terjadi.

Tanah di belakang gereja sudah merosot, menumbangkan pohon durian. Untungnya, material masih tertahan sebuah rumah tua yang masih berdiri persis di belakang gereja.

“Longsor dari belakang, di depanlah kamu, Mak,” teriak Arman saat itu.

Yania menggendong cucu yang masih bayi dan bergegas menuju pintu depan gereja bersama pengungsi lainnya.

“Kubawalah tasku itu. Ada yang sudah didempetlah kursi itu. Kutaruhlah di situ tasku itu,” katanya.

Dari halaman gereja, ia dan pengungsi lainnya menyaksikan lautan air cokelat sudah menggenangi rumah-rumah. Tinggi air setengah tembok rumah.

Tapi hujan yang tak kenal ampun terus mengguyur, membuat rumah-rumah semakin tenggelam.

“Sudah enggak ada rumah kita lagi, Mak. Yang penting pokoknya selamat kita,” kata Arman kepada Yania.

“Allah, Tuhan, bagaimana kita ini,” batin Yania.

Belum selesai memikirkan rumahnya yang tenggelam, seorang pria dengan wajah panik datang.

“Lari kita semua. Jangan di sini lagi. Jangan [bawa] diambil apa-apa. Pokoknya hidup kita yang diselamatkan,” kata pria itu, sambil menambahkan kayu-kayu besar kemungkinan akan menghantam semua bangunan yang ada di kampung ini.

Rombongan pengungsi buru-buru mengemas barang-barang yang penting, meninggalkan gereja.

Bayi dari gendongan Yania berpindah ke pelukan ibunya, Noverlinda Waruwu.

Pelarian dari gereja menuju dataran yang lebih tinggi menjadi perjalanan paling diingat Noverlinda.

Saat itu, ia hanya membawa pakaian yang melekat di badan dan satu kain gendongan bersama bayinya.

“Di situlah sangat sulit, di mana jalan kami untuk bisa selamat. Soalnya, di depan sudah air. Belakang longsor. Kayu pun di situ berpatahan,” katanya.

Untuk mencapai tempat yang lebih tinggi, Noverlinda bersama puluhan pengungsi lainnya berlari sekuat tenaga. Bayi dalam pelukannya ikut terguncang-guncang dan basah kuyup.

“Sampai dia [bayi saya] pun muntah-muntah di jalan itu. Karena sakit, karena basah,” kata Noverlinda. “Kalau ini jalan Tuhan mengambil nyawa kami. Ya sudah, seperti menyerahlah di situ”.

Tapi bersama suaminya, Noverlinda saling menguatkan.

“Makanya aku bilang sama suamiku. Kalau begitu, jangan berpisah kita. Sini kita sama-sama,” katanya.

Pelarian di dataran pertama – ‘Mengikuti logika’

Dari ketinggian di dataran bukit pertama yang dicapai rombongan warga Lorong 4 Hutanabolon, mereka menyaksikan kampung halaman sudah rata dengan lumpur dan material.

Gereja yang mereka tempati sebelumnya hanya tersisa bagian atapnya.

Doa-doa dilantunkan. Nama Tuhan disebutkan seakan pintu kematian sudah dekat.

Di tengah situasi ini, wajah Yania tampak gusar. Air matanya sudah bercampur dengan air hujan. Ia baru ingat, kalau tas berisi uang dan dokumen-dokumen penting, tertinggal di gereja.

“Karena bukan uang aku semua, ada uang gereja. Itu makanya takut kali aku,” katanya.

Ia membagikan kerisauan ini kepada beberapa teman yang ada di pengungsian sambil tak berhenti menangis. Orang-orang yang mendengarkan keluhan, membuatnya berpikir lebih tenang.

“Dibilang, ‘jangan pikirkan itu dulu. Pokoknya hidup kita. Karena bukan kau makan uang itu. Bukan uang yang kau hancurkan’,” kata Yania meniru ucapan temannya saat itu.

Kerisauan ini dibawanya sampai di pengungsian terakhir. Ia tak habis pikir kenapa diberi tanggung jawab sebagai bendahara gereja meskipun dirinya tak punya kerjaan.

“Tapi sudah percaya warga itu, gereja itu, sama aku,” katanya.

Baca juga:

  • Satu pekan yang mencekam di Aceh Tamiang, gelap gulita, penjarahan, dan bau bangkai menyengat – ‘Seperti kota zombie’
  • Kisah hidup dan mati dari desa di Pidie Jaya, Aceh, yang terkubur lumpur
  • Korban banjir Sumatra krisis air bersih, apakah air hujan dan sungai bisa dikonsumsi?

Di dataran bukit pertama ini, terjadi perdebatan di antara pengungsi untuk menentukan pilihan: Apakah mereka harus melanjutkan perjalanan mencari tempat aman yang lebih tinggi atau tetap berdiam diri.

“Jadi aku kayak [mengikuti] logikaku sendiri. Memang tempat ini enggak aman,” kata Arman yang melihat tempat berpijak mulai terkikis air, dan longsor terjadi di bagian atas.

Tanpa pikir panjang, Arman segera menghampiri Yania. Ia membujuk agar ibunya itu terus melanjutkan perjalanan.

Tapi saat itu, Yania menolak untuk berjalan lebih jauh. Ia memilih berdiam di tempat berpijak ini sebagaimana sebagian besar pengungsi.

“Di sini Mak, enggak tempat aman. Kita harus naik lagi ke atas,” Arman berteriak lebih keras kepada ibunya.

Alasan yang membuat sebagian besar pengungsi enggan untuk beranjak, karena mereka harus menyeberangi tanah longsor.

Melihat sikap anaknya yang keras, Yania melunak.

“Ya sudah, terserahmu lah kayak mana kita bisa selamat”.

Arman kemudian mengajak kakak, adik, ponakan dan kakak iparnya untuk melanjutkan perjalanan ke tempat yang lebih tinggi.

Ia berjalan paling depan, untuk memeriksa semua tanah yang dipijak aman dan bisa dilalui bersama.

Setelah Arman dan keluarganya berjalan, rombongan pengungsi yang lain ikutan membuntuti. Mereka berhasil mencapai dataran kedua.

“Paling lama itu 10 menit, tempat yang kami tadi, titik yang kami pertama kali itu, sudah longsor lagi,” kata Arman yang meyakini sedari awal keputusannya tepat.

Pelarian di dataran kedua – ‘Tenggelam di lumpur seleher’

Di dataran kedua, rombongan pengungsi sempat menyaksikan tanah melorot di sisi mereka. Kebanyakan pengungsi yang tua-tua histeris ketakutan.

Wajah-wajah mereka diwarnai perjuangan dan harapan, “ada yang takut, ada yang berani, ada yang segala macam”.

Bagaimanapun, sebagian besar pengungsi mulai menggantungkan petujuk dari Arman. Musababnya, mereka sudah menganggap keputusan Arman untuk meninggalkan dataran pertama sudah benar.

“Di situ [dataran kedua] yang paling susah, paling ragu aku ya dalam hatiku sendiri. Takut-takut terbenam karena yang longsor itu,” kata Arman.

Pria 25 tahun ini membuat langkah-langkah pertama melewati tanah longsoran.

“Kalau bisa kau lewati, berarti kami bisa lewati,” teriak salah satu rombongan dari belakang punggungnya.

Kakinya sempat terbenam lumpur karena salah berpijak. Tapi itu rintangan yang bisa dilalui, sampai akhirnya jalur yang ia buat dilalui pria dewasa dan anak remaja.

Yang belum menyeberang adalah perempuan-perempuan lansia, ibu menyusui, orang sakit, termasuk anak-anak.

Arman kembali lagi menyeberangi tanah longsor untuk menjemput anggota keluarganya.

“Aku bawa keponakanku di dadaku, Mamak [gandeng] sebelah kiri, adikku yang terakhir [gandeng] sebelah kanan,” katanya.

Di tengah perjalanan melewati tanah longsor yang masih lembek dan berlumpur, tiba-tiba Yania terperosok tenggelam menyisakan kepala saja.

Arman panik, tak bisa banyak berbuat banyak karena ia harus menggenggam tangan adiknya, dan terus memeluk ponakan di gendongan depan.

Di detik-detik itu, Yania sempat berkata kepadanya, “Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu.”

Perkataan itu menyayat hati. Kalimat “paling sakit” yang pernah didengar Arman.

Ia lalu berteriak sekecang-kencangnya memanggil kakaknya yang sudah berada di seberang tanah longsor.

“Bang, minta tolong dulu, angkat dulu Mamak ini. Itu lah kami bertiga sama istrinya. Kami angkat Mamak. Itu pun setengah mati kami angkat,” katanya.

Di seberang tanah longsor bukan tempat yang aman, karena merupakan datarannya miring. Semua pengungsi berhasil melalui tantangan ini. Tak ada korban jiwa.

Semua jalur jalan dan tempat berpijak sebelumnya sudah disapu tanah dan material.

“Datanglah abang, bilang sama aku, ‘mungkin yang di atas itu titik yang aman’,” kata Arman.

Rombongan kemudian melanjutkan pendakian ke tempat yang lebih tinggi, sampai akhirnya mencapai dataran seluas 50 meter persegi.

Pelarian di dataran ketiga – ‘Mengunyah kayu dan makan nangka panggang’

Ini adalah titik terakhir di mana rombongan pengungsi tak bisa lagi bergerak lebih jauh. Dataran yang mereka pijak dikelilingi tanah longsor berlumpur yang tidak diketahui kedalamannya.

“Kayak laut. Enggak nampak pohon lagi di sekeliling kami,” kata Yania.

Beberapa orang menemukan lembaran seng dari longsoran dan merakitnya menjadi tempat berteduh. Naungan ini hanya boleh ditempati anak-anak, lansia dan ibu menyusui.

Di sisi lain, orang-orang dewasa harus mengalah tertimpa langsung air hujan. Selain seng, beberapa pengungsi juga menemukan plastik, dan tempat makan kecil—nantinya wadah ini digunakan menampung air hujan untuk diminum bersama-sama.

Di titik ini, Arman membuat rekaman video setelah berkomunikasi dengan seseorang yang disebut sebagai “anak keponakannya bupati”.

https://www.instagram.com/p/DRhCKALie6B/

Ia juga berkomunikasi dengan Rose Caroline Zebua, kakaknya yang berada di Jakarta. Arman membagikan video keberadaannya di terjebak tengah hutan. Rose mengunggah video ini lewat media sosialnya, lalu viral.

Tapi, orang-orang yang melihat video itu kemudian tak tahu lagi nasib mereka, karena tak lama berselang, jaringan komunikasi menghilang.

Semua pengungsi menggigil kedinginan. Bibir mereka mulai berwarna putih kebiruan, dan gigi gemeretak. Ujung-ujung jari keriput dan ancaman longsor susulan masih membayangi.

Beberapa pengungsi membuat api dari batang pohon yang dikumpulkan untuk menghangatkan tubuh mereka.

Yania ikut mendekati api itu, karena sudah tak tahan dengan dingin yang menyelimuti tubuh. “Kayak ku bakar [badan] ini. Enggak tahan aku lagi dingin itu,” katanya.

Hari menjelang malam, rombongan pengungsi mulai lapar.

Sebuah nangka muda yang ditemukan selama perjalanan menjadi menu makan malam bagi 53 orang. Sebelum dimakan, nangka muda itu dipanggang.

Selembar demi selembar, daging nangka yang bijinya lebih kecil dari kelereng diberikan secara merata. Tapi ini tidak cukup.

Banyak pengungsi mulai mengunyah kayu yang dipatahkan. Mereka yakin, cara ini dapat mengalihkan rasa lapar dan membuat tenggorokan tidak kering.

“Jadi itulah kami gigit-gigit kayu-kayu itu,” kata Arman. Saat haus, ia tinggal membuka mulutnya ke angkasa untuk menangkap air hujan.

Tapi sebagian pengungsi lainnya mengumpulkan air hujan di wadah tempat makan satu-satunya, untuk minum.

Malam tiba.

Masing-masing keluarga saling berpegangan tangan untuk memastikan mereka masih bersama di tengah kegelapan hutan. Di jarak satu meter, mereka sulit mengenali wajah satu sama lain.

Saat tengah malam, Yania yang tak bisa tidur berbisik pada Arman: “Aku lapar”.

Arman terkejut, hatinya kembali tertusuk mendengar keluhan ibunya. Tak lama berselang, adiknya juga berkata hal yang sama.

  • Jalan aspal berubah jadi sungai, Sumatra Utara masih porak poranda dua pekan usai banjir dan longsor – ‘Pemda kehabisan alat berat’
  • Pascabanjir dan longsor di Sumatra, warga mencuci di parit – Ancaman penyakit menular mengintai
  • Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’

Gelap membutakan pandangan. Dataran dikelilingi tanah berlumpur. Ia tak bisa berbuat apa-apa, lalu air mata yang hangat mulai membasahi pipinya.

Saat itu tubuh Arman membeku, tapi hatinya punya tekad kuat: “Aku besok harus keluar”.

Mencari jalan keluar – ‘Menghanyutkan diri di sungai deras’

Pagi hari, hujan belum juga reda, tapi cahaya matahari sudah cukup membuka pandangan.

Arman tahu keputusannya untuk keluar dari lokasi akan ditentang banyak orang. Tapi ia sudah bertekad.

“Kita sudah lewati [banyak] rintangan, tapi kita di sini [bisa] mati kelaparan, karena kebutuhan enggak ada sama sekali,” katanya, yang saat itu gigih mencari jalan keluar dan pertolongan.

Diam-diam, ia berjalan berputar ke arah belakang. Lalu, menyelinap di antara batang pohon, dan melompat ke arah tanah longsor yang telah bercampur kayu, batu dan material lainnya.

Di tengah jalan, Arman terperosok masuk ke dalam lumpur yang dalam hingga seluruh tubuhnya “terbenam”. Tanah lumpur sudah masuk ke dalam mulutnya.

Di tengah kepanikan, tangannya berusaha mencari benda-benda yang mungkin bisa diraih. Tiba-tiba, jari-jarinya dapat menggenggam bongkahan kayu atau akar-akaran.

Sekuat tenaga, ia menarik seluruh tubuhnya keluar dari lumpur. “Jadi keluar lah kepalaku,” katanya.

Ia butuh sekitar 30 menit untuk mengatur napas dan memulihkan tubuhnya yang sudah lemah. Perjalanan berlanjut.

Saat turun bukit, tubuhnya sempat terguling. Pinggangnya terkena bebatuan, dadanya menghantam kayu, “tapi enggak kurasakan lagi”.

Dengan langkah gontai dan penampilan yang hampir tidak dikenali karena berbalur lumpur, Arman akhirnya tiba di pinggir kampung halamannya.

Dari ketinggian, kampung halamannya sudah rata dengan lumpur, hanya tersisa atap gereja. Gerakannya dikenali oleh beberapa orang dari seberang sungai. Ia diteriaki.

“Ternyata itu kawan-kawan yang orang tuanya ikut sama kami di hutan,” katanya.

Rintangan terbaru ada di depan mata. Arman harus melewati sungai deras untuk mencapai “kawan-kawannya” itu.

Arman memaksakan untuk berenang melewati sungai. Tubuhnya yang sudah lunglai sempat beberapa meter terbawa arus. “Jadi aku paksakan hanyut,” katanya.

Air sungai sudah banyak tertelan, tapi ia terus berusaha meraih sisi seberang sungai. Ia terguling-guling terbawa arus sungai, membentur batu berkali-kali. Dan hilang tenggelam sejenak.

Kawan-kawan yang ada di seberang sungai begitu cemas. “Dikira-kira itu sudah hilang aku,” kata Arman.

Tapi ia akhirnya berhasil melewati sungai itu. Saat berdiri, hidungnya sempat mengeluarkan darah.

“Kayak mana kau?” seorang kawannya bertanya.

“Tunggu sebentar, sudah lapar aku… Nanti kita usahakan orang tua kita,” katanya.

Makanan yang saat itu tersedia hanya buah rambutan yang pohonnya sudah tumbang. Sambil memakan rambutan, ia beristirahat beberapa jam dan menceritakan kondisi orang-orang yang terjebak di tengah hutan.

Kawan-kawannya mengira warga yang semula mengungsi di Gereja BNPK “sudah tidak ada”. Arman menjelaskan semua baik-baik saja, tapi mereka semua terjebak dan kelaparan.

Mencari pertolongan

Arman bersama kawan-kawannya mencari perkampungan lain yang mungkin masih memiliki stok makanan.

Mereka jumpa dengan seorang kepala lingkungan (Kepling) dari kampung tetangga. Awalnya, si Kepling enggan memberi bantuan karena warganya saat itu juga membutuhkan bahan pokok.

Tapi Arman terus memohon. “Tolong orang tua saya belum makan di hutan sana. Sudah dua hari, nggak makan,” katanya.

Pak Kepling kemudian luruh hatinya. Ia memberi beberapa karung beras, dan menerima uang Rp200 ribu dari seorang kawan Arman.

“Sebenarnya, awal ditukar uang pun ia tak mau,” kata Arman.

Hari itu, Arman bersama empat kawannya mencari tempat untuk memasak nasi sekaligus beristirahat. Secara kebetulan, mereka menemukan rumah yang pintunya tidak terbuka, tanpa satupun orang di dalamnya.

“Kami mau permisi, tapi sama siapa kami permisi? Cuma rumah yang ditinggal penghuninya,” kata Arman.

Di dapur rumah tersebut, peralatan masak masih kumplit: ada kompor dan gas. Di dapur ini mereka memutuskan untuk memasak nasi.

Saat itu, Arman berpikir, apa yang ia lakukan ini keliru masuk ke dalam rumah orang lain tanpa izin. Tapi, ia tak punya pilihan, demi menyelamatkan keluarga dan puluhan warga di kampungnya yang masih terjebak di tengah hutan.

Keluar dari dataran yang terisolir

Keesokan paginya, Arman kembali ke bukit. Lagi-lagi, ia menyeberangi sungai, mendaki bukit dan melewati tanah longsor yang mungkin bisa menelannya ke dalam bumi.

“Sebetulnya, dalam hatiku sudah takut. Tapi, karena mikirkan orang tua, jadi aku usahakan lagi,” kata Arman.

Keempat rekannya menunggu di kampung yang sudah rata dengan tanah dan kerikil. Mereka pun mencari bambu yang nantinya dirakit menjadi jembatan sementara menyeberangi sungai.

Akhirnya, perjalanan menuju tempat pengungsian dilalui tanpa hambatan berarti.

Saat itu, Arman berupaya meyakinkan pengungsi agar mau turun dari lokasi. Setelah terjadi perdebatan, bujukannya membuahkan hasil.

Ia kemudian bersama pria dewasa lainnya di pengungsian membuka jalur dengan melempar patahan-patahan kayu untuk dipijak “biar enggak terbenam kaki”.

Perjalanan turun bukit sekitar lima jam ditempuh dengan susah payah di tengah hujan yang terus mengucur dari langit.

Akhirnya, mereka tiba, tak jauh dari tepi sungai yang punya arus kuat.

Arman menyeberang sungai terlebih dahulu dengan “menghanyutkan diri” untuk menyiapkan jembatan darurat dari bambu bersama empat kawannya.

Tapi, tiba-tiba air sungai kembali naik, dan arusnya semakin kuat.

“Di situlah kita lagi, satu malam lagi kami di situ. Di situ parah sekali. Enggak ada tenda seng karena sudah kami tinggalkan [di atas],” kata Yania.

“Itu makanya aku bilang sama si Arman, satu malam lagi kita di sini, enggak tahan aku. Enggak kuat aku”.

Untuk mengganjal perut para pengungsi, Arman dibantu kawan-kawannya melemparkan tali ke seberang sungai. Tali diikat, dan ditarik sampai tegang.

Nasi yang sudah dimasak kemudian diluncurkan dari seberang sungai.

Saat puluhan pengungsi menyantap nasi untuk pertama kali sejak terjebak dua malam di hutan “ikut aku menangis,” kata Arman. Tapi nasi yang dimasak itu tidak benar-benar cukup. Lebih banyak diberikan kepada lansia dan anak-anak.

Keesokan paginya, air sungai mulai surut. Jembatan rakit bambu selesai dikerjakan dan segera dijejakkan ke tepi seberang sungai.

Satu persatu, kaki para pengungsi melangkah di dua bilah bambu rakitan. Mereka menyeberangi sungai dan tiba di kampung halamannya yang sudah rata dengan tanah, batu besar dan kerikil.

“Puji Tuhan, tidak ada korban,” kata Arman.

Kondisi keluarga Arman dan ratusan pengungsi hari ini

Amran, bersama ibunya Yania Tilase, dua ponakan yang masih kecil, kakak iparnya Noverlinda Waruwu, abangnya Ama Iren, dan adiknya Christani Angel kami temui di Lorong 1 Hutanabolon, Senin (08/12).

Mereka masih berpindah-pindah tempat. Dari satu kediaman kerabat jauh ke rumah lainnya.

Selain Amran dan keluarganya, ratusan orang lainnya yang kehilangan rumah akibat bahala di Hutanabolon juga masih belum bisa berpikir apa-apa. Tapi saat ini, mereka menggantungkan hidup dari bantuan yang datang.

“Tempat pengusian pun ada sebagian. Tapi ada juga yang muat di dalam, ada juga yang nggak muat [orang],” kata Arman.

Pria yang biasa bekerja sebagai nelayan juga belum bisa bekerja, karena harus memantau kondisi ibunya dan saudara lainnya. Lagi pula, ombak laut lagi tinggi di penghujung tahun.

Baru-baru ini, dapur umum hanya menyediakan makan sehari sekali untuk pengungsi, sebelumnya dua sampai tiga kali. “Diirit-irit sekarang,” katanya.

“Entah bagaimana nanti,” kata Yania sambil menitikkan air mata. Ia belum bisa meramal nasib keluarganya ke depan. “Tuhan itu yang bisa menolong kami.”

Mereka juga mengutarakan harapan kepada pemerintah agar menyediakan tempat tinggal sementara yang layak.

“Harapannya ke depan semoga ada perhatian dari pemerintah. Membantu kami, seperti rumah, di mana saja,” kata Noverlinda.

  • Pemerintah janji telusuri korporasi yang turut memicu bencana Sumatra – Bagaimana nasib perusahaan yang terafiliasi dengan Prabowo di Aceh?
  • Prabowo setuju alokasikan bantuan Rp60 juta per rumah rusak berat akibat banjir Sumatra, apa syaratnya?
  • Pemerintah tolak bantuan asing, pemulihan wilayah terdampak banjir-longsor di Sumatra diprediksi butuh 30 tahun
  • Kisah warga tolong warga di tengah pemerintah yang disebut ‘lamban’ dan ‘duduk-duduk saja’ atasi bencana di Sumatra
  • Kisah perawat yang bertahan di RSUD Aceh Tamiang demi seorang bayi
  • Jalan aspal berubah jadi sungai, Sumatra Utara masih porak poranda dua pekan usai banjir dan longsor – ‘Pemda kehabisan alat berat’

Leave a Comment