
Sekelompok figur publik, komunitas, hingga yayasan berinisiatif melakukan pengumpulan dana dan menyalurkan bantuan ke korban bencana Sumatra.
Namun, polemik timbul ketika Menteri Sosial, Saifullah Yusuf atau akrab disapa Gus Ipul, menyatakan penggalangan dana untuk korban bencana di Sumatra harus memperoleh izin dari pemerintah.
Meski kemudian Gus Ipul memberikan klarifikasi bahwa pemerintah tidak melarang penggalangan dana yang dilakukan masyarakat, dia mengingatkan bahwa ada undang-undang yang memang mengatur bahwa penggalangan dana perlu memperoleh izin.
Pernyataan tersebut menuai banyak reaksi masyarakat.
Sebagian mengamini bahwa ada regulasi yang mengatur donasi.
Namun, menurut pakar kebencanaan Avianto Amri, semestinya pemerintah memfasilitasi inisiatif warga, yang berperan sebagai pelengkap dalam mengisi keterbatasan pemerintah.
Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi, menegaskan upaya warga tolong warga itu adalah “respons atas kelambanan dan ketidaksanggupan negara menolong rakyatnya yang dihantam bencana.”
Terlebih lagi, ujarnya, masyarakat Indonesia dikenal memiliki solidaritas dan kepedulian yang tinggi.
Terbukti dari riset publik Charities Aid Foundation yang menujukkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia tujuh tahun berturut-turut.
Bagaimana cerita para relawan mengumpulkan donasi hingga menyalurkan bantuan ke para korban?
Langkah apa yang perlu dilakukan agar donasi itu efektif, tepat sasaran dan akuntabel?
Gustika Hatta: ‘Pemerintah lamban’
Gustika Jusuf Hatta bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengunjungi beberapa titik bencana di Sumatra Barat untuk menyalurkan bantuan.
Cucu Proklamator Mohammad Hatta itu bilang, penyaluran bantuan masih cukup sulit dan menantang meski bencana telah berlangsung akhir November lalu.
“Kami mengantarkan bantuan ke Lambung Bukit [Puah, Padang] dan melewati jembatan darurat untuk bisa ke lokasi warga,” katanya saat diwawancarai wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC Indonesia, Kamis (11/12) di Padang.
Tetapi, pada hari berikutnya, lokasi yang sama tidak bisa lagi diakses karena jembatan darurat hancur dihantam hujan deras yang kembali melanda Kota Padang.
Gustika juga menyaksikan rumah-rumah warga yang rusak berat dihantam banjir bandang di Kecamatan Pauh.
“Saya melihat rumah-rumah yang pintu dan jendelanya sudah tidak ada, tapi di tembok-temboknya masih ada foto wisuda, foto keluarga yang terdampak bencana,” katanya.
Melihat itu, Gustika mengaku bingung dengan pernyataan yang menyebut pemerintah sudah hadir dengan anggaran triliunan rupiah untuk para korban, padahal nyatanya bantuan belum merata di lapangan.
Dia berkata aksi warga bantu warga sangat bermanfaat bagi para korban. Pasalnya, Gustika menilai pemerintah lamban dalam melakukan penyaluran bantuan, serta ketidakinginan pemerintah menetapkan bencana nasional.
Gustika juga berkata aturan tentang pengumpulan uang dan barang (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang) untuk kegiatan sosial telah usang.
“Menurut saya ini adalah hukum yang sangat usang. Harusnya legislator itu berpikir kembali apakah hukum ini masih relevan, daripada membuat produk hukum yang tidak penting dan hanya menguntungkan segelintir orang” katanya.
LBH Padang adalah salah satu pihak yang menggalang donasi. Mereka mengumpulkan uang sekitar Rp540 juta, pakaian, hingga bahan makanan.
Donasi itu, kata Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi, disalurkan ke beberapa titik bencana.
Kendala terbesar dalam menyalurkan bantuan adalah akses transportasi yang buruk dan cuaca tak menentu.
Di Sungai Batang, tim LBH Padang menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengantar bantuan karena hujan, banjir dan longsor. Di Bayang Utara, tim berjalan kaki untuk mengantar bantuan. Bahkan di Maninjau, tim menggunakan rakit untuk mengirim bantuan.
Berdasarkan pengalaman itu, Diki bilang, aksi warga bantu warga sangat penting dalam mengisi kekurangan pemerintah memenuhi kebutuhan para korban.
Mungkin Anda tertarik:
- Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – ‘Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu’
- Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’
- Jalan aspal berubah jadi sungai, Sumatra Utara masih porak poranda dua pekan usai banjir dan longsor – ‘Pemda kehabisan alat berat’
“Pasti ada kelalaian dari kelambanan pemerintah melindungi pengungsian. Ini kita masuk ke itu. Ini juga adalah sikap bahwa warga bisa membantu warga, karena negara hari ini kemana?” kata Diki.
Diki pun tidak sepakat jika proses penggalangan dana bencana Sumatra perlu izin dulu ke pemerintah.
“Belum tentu [izin] keluar 1-2 hari karena banyak persyaratannya. Sedangkan masyarakat membutuhkan bantuan. Di tengah negara yang tidak sanggup, pemerintah meribetkan soal aturan yang membatasi warga bantu warga,” katanya.
Seharusnya, katanya, pemerintah fokus mengebut pembangunan infrastruktur yang rusak hingga menyediakan data lokasi yang masih membutuhkan bantuan.
Komunitas di Sumut: ‘Aksi tanggap pemerintah lama’
Di Sumatra Utara, selama dua pekan terakhir, Ardina Rasti Dewi menghabiskan waktunya di kampus. Ia mendata dan menyusun satu per satu kardus bantuan yang datang dari warga.
Rasti merupakan seorang mahasiswi yang bergabung dengan organisasi mahasiswa pecinta alam (Mapala) universitas swasta di Kota Medan. Ia dan rekan-rekannya menggalang donasi untuk korban bencana Sumatra.
“Alasannya karena kemanusiaan. Karena pemerintah kalau kita tunggu malah mereka lama, sehingga kita membuka donasi dari rakyat untuk rakyat,” ujar Rasti kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (11/12).
Donasi langsung digalang Rasti bersama kawan-kawannya pada Kamis (27/11), atau dua hari sejak banjir dan longsor menghancurkan sejumlah daerah di tiga provinsi Sumatra.
Selain Mapala, aksi sosial ini turut melibatkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Mereka menamakan diri Solidaritas Generasi Ekologis.
Komunitas tersebut membangun posko bersama di area kampus guna memudahkan pemberi donasi.
Dalam hitungan hari, berbagai bantuan berhasil dikumpul, mulai dari ratusan kotak air mineral, puluhan kotak mi instan dan pakaian layak pakai, 95 paket sembako, satu dus obat-obatan, 150 paket makanan siap saji hingga uang tunai senilai Rp10,5 juta.
Tim lalu menyalurkan bantuan yang didapat melalui jalur darat ke daerah-daerah yang sulit terjangkau uluran tangan pemerintah.
“Karena tanggap [pemerintah] yang lama, warga-warga itu berpotensi banyak meninggal bukan karena bencana, tapi karena kekurangan logistik, obat-obatan, dan lainnya,” ujar Rasti.
‘Apa tunggu mati dulu rakyat kita?’
Di tengah kondisi itu, Rasti heran ketika pemerintah mewacanakan perizinan dalam aksi penggalangan donasi.
“Kalau kita izin ke pemerintah akan menambah waktu. Itu pasti bakal menambah lagi korban-korban berikutnya. Kalau misalnya pemerintah cepat menanggapi [bencana], itu tidak apa. Tapi ini kan pemerintah lamban,” ujarnya.
Pendapat serupa juga disampaikan Yurnalis (58 tahun), pegiat lingkungan yang turut tergabung dalam Solidaritas Generasi Ekologis.
“Kita mau membantu warga saja harus izin ke pemerintah. Sementara pemerintah juga tidak bertindak apa-apa, apa tunggu mati dulu rakyat kita?” ujar Yurnalis.
“Rakyat bantu rakyat tidak perlu minta izin lah. Itu terlalu lebai pemerintah kita. Seharusnya mereka yang cepat tanggap,” tambahnya.
Lambatnya penanggulangan bencana juga menjadi alasan Rifki Hariadi (20 tahun), warga Kota Medan, lebih percaya menitipkan donasinya ke kelompok sipil ketimbang melalui institusi pemerintah.
“Karena warga sipil itu bergeraknya lebih cepat dari pemerintah. Kalau pemerintah ini kebanyakan wacana, harus proposal dan segala macam,” ujarnya.
Mengapa penggalangan dana penting?
Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Avianto Amri, menyebut dalam kejadian bencana ada hal yang bisa dilakukan pemerintah dengan bagus dan cepat. Namun, di sisi lain, pemerintah juga memiliki kelemahan.
“Peran masyarakat mengisi kekosongan itu. Warga itu bisa lebih cepat, bisa lebih gesit, bisa lebih besar sumber dayanya dan itu bisa sangat membantu proses pemulihan,” kata Avianto.
Apalagi, dia melihat, banjir dan longsor di Sumatra adalah salah satu bencana yang paling besar yang pernah dihadapi di Indonesia, dengan lebih dari 50 kabupaten/kota terdampak di tiga provinsi secara serentak.
Untuk itu, kata Avianto, pemerintah seharusnya hadir memfasilitasi inisiatif warga membantu warga lain yang kesulitan. “Ini sesuatu yang harus dirangkul, bukan dimusuhi. Bukan berarti para pelaku nonpemerintah berusaha untuk mengambil alih tugasnya pemerintah,” katanya.
Caranya, kata Avianto, pemerintah memfasilitasi kepedulian masyarakat itu, adalah dengan mengeluarkan aturan yang mudah, memberikan fasilitas pendistribusian, hingga menyediakan data wilayah-wilayah yang masih kekurangan bantuan.
“Dan, di saat orang-orang ingin membantu, baik itu di nasional ataupun internasional, kenapa harus distop? Seharusnya akses itu dibuka semudah mungkin karena fokusnya adalah menyelamatkan korban,” kata Avianto.
Selain itu, Avianto berkata, masyarakat Indonesia memiliki jiwa solidaritas dan kepedulian yang tinggi.
Dia merujuk pada riset publik Charities Aid Foundation (CAF) dalam tajuk World Giving Index, yang menujukkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia.
Dalam riset CAF, Indonesia meraih posisi pertama selama tujuh tahun berturut-turut, dari 2018-2024.
Terdapat tiga indikator yang menjadi tolak ukur, yaitu donasi uang, membantu orang tidak dikenal, dan terlibat dalan kegiatan sukarelawan.
Pada 2024, Indonesia juara di dua indikator, yaitu donasi uang yang mencapai 90%, dan kegiatan sukarelawan (60%).
Mengapa perlu diatur dan mendapatkan izin?
Avianto setuju jika penggalangan dana publik dilakukan secara bertanggung jawab, efektif, tepat sasaran dan akuntabel.
Apalagi katanya, pernah ada preseden buruk penyelewengan donasi yang dilakukan sebelumnya.
Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) diduga melakukan penyelewengan dana bantuan mencapai Rp68 miliar pada 2022 lalu, yang mengalir ke Koperasi Syariah 212, pengadaan barang, dan lainnya.
“Namun regulasinya harus sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang ada. Regulasi saat ini sudah sangat tempo dulu yang tidak sesuai dengan kondisi saat ini,” katanya.
Aturan terkait pengumpulan uang dan barang untuk kegiatan sosial berinduk pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
Regulasi turunannya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, dan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang.
Menurutnya, regulasi itu perlu diperbaharui agar proses perizinan jadi mudah, efektif dan cepat, serta proses pelaporan melalui kanal-kanal yang praktis, tidak konvensional.
“Jangan sampai justru kami dibebankan pelaporan sehingga energinya habis lebih berat mencari perizinan dan memberikan pelaporan, dibandingkan aktual program di lapangan,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengingatkan soal kepatuhan terhadap aturan izin penggalangan dana untuk membantu korban bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra.
Hal ini diucapkan Gus Ipul menanggapi maraknya aksi solidaritas berbagai pihak, mulai dari artis hingga pemengaruh yang membuka donasi hingga miliaran untuk disalurkan ke tiga provinsi tersebut.
“Tetapi sebaiknya kalau menurut ketentuan itu izin dulu. Ya izinnya bisa dari kabupaten, kota, atau juga dari Kementerian Sosial,” ujar Gus Ipul di Kantor Kemensos, Jakarta Pusat, Selasa (09/12).
Namun, keesokan harinya, Gus Ipul menegaskan donasi publik untuk bencana Sumatara tidak memerlukan izin dari Kemensos atau dinas sosial terkait.
Dia mengatakan dalam situasi bencana, pengumpulan donasi bisa dilakukan tanpa izin dulu.
“Memang dalam ketentuannya itu, jika mengumpulkan dana dari masyarakat, itu bisa dilakukan, bisa dimulai dengan mengajukan izin lewat online dan tidak rumit ya. Setelah itu, nanti setelah dikumpulkan, dilaporkan,” kata Gus Ipul di Jakarta Timur, Rabu (10/12).
“Lalu bagaimana dengan bencana? Dipersilakan, tidak perlu izin, langsung saja lakukan,” sambungnya.
Gus Ipul menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pengumpulan donasi bencana Sumatra, seperti yayasan, komunitas, ataupun perorangan.
Meski begitu, Gus Ipul mengimbau agar lembaga atau perorangan yang mengumpulkan donasi tetap mengurus perizinan setelah penyaluran donasi selesai.
“Tanggung jawabnya juga sangat mudah ya. Di bawah Rp 500 juta cukup audit intern. Kalau di atas Rp 500 juta dengan audit dari akuntan publik,” ujar dia.
Apakah perlu dibentuk badan yang mengatur donasi?
Avianto dan beberapa kawannya terus mendorong agar Undang- Undang Pengumpulan Uang atau Barang untuk direvisi.
Revisi itu salah satunya bertujuan untuk membentuk sebuah badan atau komisi yang mengatur tentang donasi atau amal. Dia mencontohkan Inggris, Australia, dan Amerika yang telah memiliki komisi amal ini.
“Lembaga ini fungsinya adalah memastikan proses pengumpulan uang dan barang itu berjalan dengan lancar, digunakan oleh lembaga yang kompeten dan disalurkan sesuai dengan peruntukannya,” kata Avianto.
Selain itu, revisi itu juga diperlukan untuk memberikan payung hukum dalam penggunaan donasi, dari yang sifatnya jangka pendek hingga panjang.
“Para korban ini tidak hanya butuh bantuan pokok [jangka pendek] tapi juga pembangunan infrastruktur [jangka panjang] di lokasi bencana,” katanya.
Dana donasi, menurutnya, dapat digunakan untuk membangun rumah, sekolah, fasilitas kesehatan, hingga fasilitas umum lainnya.
“Dan untuk itu harus ada koridor, regulasi, dan proses agar bantuan itu bisa digunakan tepat guna.”
—
Wartawan Halbert Caniago di Sumatra Barat dan Nanda Batubara di Sumatra Utara berkontribusi dalam artikel ini.
- Pemerintah janji telusuri korporasi yang turut memicu bencana Sumatra – Bagaimana nasib perusahaan yang terafiliasi dengan Prabowo di Aceh?
- Prabowo setuju alokasikan bantuan Rp60 juta per rumah rusak berat akibat banjir Sumatra, apa syaratnya?
- Pascabanjir dan longsor di Sumatra, warga mencuci di parit – Ancaman penyakit menular mengintai
- Kisah perawat yang bertahan di RSUD Aceh Tamiang demi seorang bayi
- Kisah warga di Aceh Tamiang yang selamat usai desanya ‘hilang’ disapu banjir
- Kisah warga tolong warga di tengah pemerintah yang disebut ‘lamban’ dan ‘duduk-duduk saja’ atasi bencana di Sumatra
- Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut