‘Napas berat, tenggorokan gatal, dan batuk’ – Cerita WNI terpapar ‘kabut beracun’ berbahaya yang menyelimuti ibu kota India

Photo of author

By AdminTekno

Sekolah-sekolah di Delhi dan sekitarnya telah memindahkan kelas ke daring dan pembangunan konstruksi telah dilarang karena ibu kota India itu diselimuti kabut beracun yang berbahaya. Dua orang WNI menceritakan dampak yang mereka alami akibat kualitas udara yang buruk di kota itu.

Pada Senin (15/12) pagi, kabut beracun menyelimuti Ibu kota India, Delhi, yang memengaruhi jarak pandang dan mengakibatkan jadwa; penerbangan dan kereta api tertunda.

Indeks kualitas udara (AQI) di Delhi—yang mengukur PM2.5, partikel halus yang dapat menyumbat paru-paru, dan polutan lainnya—lebih dari 30 kali batas yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Paparan polusi tingkat ini dapat menyebabkan masalah kesehatan serius, terutama pada anak-anak dan orang lanjut usia.

Udara beracun adalah masalah yang berulang di Delhi dan pinggiran kotanya, terutama selama musim dingin.

Masalah ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti emisi industri, knalpot kendaraan, penurunan suhu, kecepatan angin yang rendah, dan pembakaran jerami tanaman musiman di negara bagian tetangga.

Dan pada Rabu (17/12), indeks kualitas udara di Delhi masuk dalam kategori parah.

Dita, warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Delhi mengaku mulai mengeluhkan gangguan pernafasan.

“Dibanding kualitas udara di Jakarta, ini di Delhi lebih parah. Terasa perih di mata kalau kita keluar dan terpapar udara di luar,” kata Dita kepada wartawan Riana Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (16/12).

“Napas tidak enak dan berat, tenggorokan cepat gatal seperti mau batuk terus. Saya jadi gampang bersin alergi juga,” tambah Dita yang baru pindah ke Delhi pada Juni 2025.

‘Polusi udara merupakan pandemi kesehatan’

Pada Senin (15/12) lalu, rata-rata Indeks Kualitas Udara (AQI) di Delhi mencapai 471, menurut aplikasi Safar milik pemerintah.

Badan pengawas polusi India mengklasifikasikan tingkat AQI 101–200 sebagai moderat, 201–300 sebagai buruk, 301–400 sebagai sangat buruk, dan di atas 400 sebagai parah.

Aplikasi yang didukung pemerintah membatasi pembacaan hingga 500, meskipun pemantau swasta dan internasional sering mencatat tingkat yang jauh lebih tinggi.

Pada Desember tahun lalu, situasi serupa juga terjadi.

Kepala eksekutif global perusahaan teknologi udara IQAir, Frank Hammes memperingatkan tingkat polusi udara yang mengkhawatirkan merupakan pandemi kesehatan masyarakat.

Kepada BBC, ia menjelaskan bagaimana udara beracun memengaruhi segala hal mulai dari angka kematian hingga tingkat IQ.

“Ini akan berdampak jauh lebih besar pada kesehatan masyarakat daripada Covid-19.”

Akibat situasi ini, Pemerintah India mengalihkan sekolah-sekolah di Delhi dan daerah sekitarnya ke pembelajaran daring.

Kegiatan konstruksi juga dilarang sementara. Kabut beracun yang menyelimuti kota ini juga mengganggu visibilitas dan menunda penerbangan serta kereta api.

Mahkamah Agung India juga mengeluarkan surat edaran pada Minggu, mengimbau pengacara dan pihak yang berperkara untuk hadir secara virtual dalam sidang.

‘Bawa alat nebulizer ke sekolah’

Dita, warga negara Indonesia yang tinggal di Delhi, mengatakan, aturan sekolah secara daring yang dikeluarkan pemerintah “tidak berlaku untuk semua”.

“Sekolah baru ditetapkan online hanya untuk nursery sampai grade 5, di atas grade 5 boleh dengan hybrid,” ujar Dita.

“Itu juga baru diterapkan di akhir November saat AQI nggak turun dari 300+. Dan enggak semua sekolah menerapkan hybrid, termasuk sekolah anakku. Dia sekarang grade 11 dan sedang ada exam. Sampai bawa alat nebu ke sekolah dong,” ungkapnya

Ia juga mengaku asmanya kambuh karena terpapar udara ketika harus tetap keluar rumah menjemput anaknya.

“Kalau keluar pakai masker N95 dan di mobil juga taruh portable air purifier,” ujarnya.

Ketika baru datang pada Juni 2025, cuaca masih panas tapi masuk ke perubahan menuju musim gugur.

“Di India ditandai dengan hujan tiap hari di bulan Juni-Juli yang disebut Monsoon season. Jadi belum terlihat asap polusi karena masih banyak hujan,” tutur Dita.

Menurut dia, asap dan kabut polusi tipis-tipis mulai muncul sejak akhir Oktober 2025.

Sebelumnya, ada perayaan Diwali dan festivalnya yang dimulai 20 Oktober sampai seminggu lebih.

“Asap pun makin tebal karena hampir seisi kota bakar petasan dan kembang api selama semingguan itu.”

⁠Sejak polusi tinggi dan AQI naik drastis, ia merasakan penanganan pemerintah sangat lambat.

“Mereka malah menganggap asap akan reda karena musim dingin biasanya waktu buat petani bakar sisa tanaman di lahan, untuk lahan tanam baru (dari padi ke gandum),” kata Dita.

“Tapi ternyata sampai ada demo dan protes, baru ada aturan khusus dan itu pun sekolah dan kantor masih offline di angka AQI tembus 500+. Tidak ada advice juga dari pemerintah soal penggunaan masker,” ujar Dita.

Belakangan, pemerintah kota menerapkan kegiatan penyemprotan air smoke gun patroli keliling dari pagi sampai sore dengan menggunakan truk tangki air.

Namun menurut Dita, tindak lanjut tersebut juga belum merata di berbagai wilayah.

Dita membandingkan dengan kondisi di Jakarta yang juga penuh polusi.

“Jakarta cenderung stabil tapi lembap dan bikin pengap. Polusi udara Delhi jauh lebih parah dan berdampak langsung, contohnya penderita sakit pernapasan makin banyak bahkan sekitar saya pada batuk dan bahkan asma.”

Dita juga berkata Delhi merupakan kota dengan iklim subtropis dan Jakarta beriklim tropis.

Dengan kondisi tersebut, kondisi Delhi lebih ekstrem dan kontras, bahkan sangat tidak ramah buat tubuh manusia.

“Kalau gambaran di jalanan, langit keruh cenderung abu-abu kayak mau hujan tapi enggak ada hujan. Berasap dan kabut terutama pagi dan malam selama musim dingin ini.”

Warga Negara Indonesia lainnya yang juga tinggal di Delhi, Leni, lebih dulu sampai pada Oktober 2024.

Ia turut menjadi saksi kabut serupa pernah menyelimuti Delhi hingga banyak orang jatuh sakit.

“AQInya pernah sampai 1000, bahkan di beberapa tempat ada yang lebih tinggi. Kabut polusi dengan jarak pandang cuma sampai ujung mobil kita sendiri. Kalau tahun ini, suhu lebih dingin dari pada tahun lalu. AQInya masih di kisaran paling tinggi sampai 700an,” kata Leni.

Leni berpendapat kondisi udara memburuk hanya pada musim dingin.

Hal ini juga disebabkan lokasi geografis dari Delhi yang berada seperti dalam cekungan.

“Saat musim dingin dan tidak ada angin, maka polusi tidak bisa naik ke atas. Jadi mengendap. Ditambah pembakaran dari pabrik, sampah yang dibakar, dan polusi dari kendaraan nambah parah.”

Selain penyemprotan air dari pemerintan, penanganan yang dilakukan Leni dan keluarga adalah memakai masker dan menggunakan air purifier di rumah.

Untuk sekolah, pembelajaran hybrid diberlakukan di tempat anaknya belajar.

Namun, tetap disarankan untuk masuk dengan alasan sudah terpasang 2 smoke air gun di sekolah dan air purifier di setiap kelas.

“Tetap disarankan anak-anak menggunakan masker juga. Tapi berdasarkan imbauan pemerintahnya kelas anak saya diharuskan online mode dan ada kelas lainnya offline mode.”

Sementara itu, baik Dita maupun Leni belum menerima tindak lanjut juga dari pemerintah Indonesia untuk warga negara yang terdampak.

BBC telah mencoba menghubungi pihak Kementerian Luar Negeri, tapi belum memperoleh jawaban.

‘Penurunan kualitas udara’

Penurunan tiba-tiba tingkat kualitas udara terjadi sejak Sabtu (13/12) setelah ibu kota India itu menunjukkan perbaikan selama seminggu terakhir, yakni ketika tingkat polusi berfluktuasi antara “buruk” dan “sangat buruk”.

Pada Minggu (14/12), Komisi Pengelolaan Kualitas Udara India (CAQM) mengaktifkan tingkat tertinggi dari rencana tanggapan berjenjang (GRAP) untuk menangani polusi, meningkatkan dari “tingkat III” menjadi “tingkat IV” dalam rencana tersebut.

Akibatnya, truk diesel tua dilarang masuk ke Delhi, aktivitas konstruksi dihentikan, dan sekolah-sekolah diinstruksikan untuk beralih ke kelas hybrid, dengan anak-anak usia lebih muda diwajibkan belajar secara daring.

CAQM menyatakan bahwa penurunan kualitas udara terbaru disebabkan oleh tingkat kelembapan yang tinggi dan perubahan arah angin, yang mengurangi penyebaran polutan dan mendorong pembentukan kabut asap.

Pihak berwenang telah memperingatkan warga, terutama anak-anak dan orang dengan kondisi jantung atau pernapasan, untuk tinggal di dalam ruangan dan diimbau mengenakan masker jika harus keluar.

Paparan jangka panjang terhadap AQI yang parah dapat menyebabkan masalah pernapasan bahkan pada orang sehat.

Lebih dari 200.000 kasus penyakit pernapasan akut tercatat di enam rumah sakit milik negara di Delhi pada periode 2022-2024.

Saat itu, Delhi berjuang melawan peningkatan tingkat polusi, seperti yang dilaporkan pemerintah federal kepada parlemen awal bulan ini.

  • Polusi udara di India dalam kategori “berbahaya”
  • Udara di ibu kota India jadi beracun setelah pesta kembang api Diwali
  • Berbagai upaya warga menangkal polusi udara, apakah efektif?

Leave a Comment