
“Di sinilah tanda bagi raganya beristirahat bersanding dengan isterinya terkasih yang sendiri berjuang bersama anak-anaknya berhasil mengarungi badai kehidupan….berakhir sudah penantianku. Kuakhiri pula pencarianku di sini, di tempat ini.”
Dinaungi pohon bintaro untuk menghalau terik di area pekuburan yang hening, Eddy dan Adeste duduk menghadap makam salah satu anggota keluarganya seraya merenungi penggalan epitaf di atas.
“Pantas ditulisnya ‘tanda’ ya bukan cuma raganya beristirahat,” ujar Eddy Sulistiyanto kepada keponakannya, Adeste Adipriyanti, Senin (24/11) siang.
Adeste termangu. Ia juga baru menyadarinya. Matanya kian teliti menelusuri nisan kakeknya. Ia menemukan tidak ada tanggal wafat yang tercantum di nisan, seperti yang ada pada nisan neneknya.
“Selama ini aku, adikku, atau sepupu-sepupuku yang lain enggak pernah ngeh juga. Dan kalau pun sadar, kami enggak terpikir untuk bertanya juga. Saking tertutupnya keluarga kami tentang apa yang terjadi dengan kakekku,” tutur Adeste.
Djie Kiem Khoen atau dikenal para cucunya dengan panggilan ‘Kong Alex’ tak pernah berjumpa dengan Adeste atau para cucu yang lain.
Awal November 1965, Alex ‘diciduk’ oleh sekelompok pemuda bersama tentara dan polisi melalui gang belakang rumahnya.
Sebelum akhirnya hilang, Alex masih bisa dijumpai di penjara dan kamp yang berada di Klaten, Jawa Tengah.
“Setelah hilang tak berjejak, banyak orang yang mengabarkan ‘Alex di sana lho’. Dari info di Nusa Kambangan, Ambarawa, paling jauh ke Pulau Buru. Tanpa hasil. Sampai akhirnya, ibu saya bilang sudah. Karena pencarian ini semua keluar ongkos yang tidak sedikit,” kenang Eddy.
Meski tak pernah ditemukan, keluarga sepakat memberikan penghormatan terakhir dengan membuatkan makam untuk Alex di samping makam istrinya. Hanya ada peti kecil berisi pakaian Alex yang dikuburkan di dalam makam sebagai simbol.
Semula para cucu yang rutin berziarah tak pernah curiga. Sampai dokumenter 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy (2009) yang memuat keluarga besarnya tayang dan ditonton bersama keluarga, Adeste dan para sepupunya baru diberitahu makam kakeknya selama ini kosong, tanpa jasad.
Kakeknya tak pernah kembali setelah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia pada 1965.

Selain Adeste, cucu korban pelanggaran HAM 1965 lainnya baru mengetahui kakek mereka menjadi salah satu yang dihilangkan.
Baja Suseno baru paham bahwa kakeknya, Siswowitono, turut menjadi korban pelanggaran HAM 1965 dan tidak pernah kembali ke keluarga.
Meski kini, ada makam yang diyakini sebagai tempat bersemayam sang kakek dan setahun sekali diziarahi keluarga.
“Jadi saat pembunuhan itu dilakukan secara terbuka. Banyak warga yang melihat dan ada teman Pakde saya yang jadi saksi mata. Mereka ditembak dan langsung dikubur di tempat itu, di lubang yang sudah disiapkan. Dalam satu lubang itu, katanya ada tiga orang, termasuk kakek. Kami meyakini saja memang ada di situ,” ujar Seno.
Makam yang berada di dalam areal pemakaman umum Sonolayu, Boyolali, Jawa Tengah itu pun dibiarkan tak bernisan dan tanpa nama hingga saat ini.
Ada pula Santoso yang meyakini sebuah makam menjadi tempat terakhir kakeknya beristirahat setelah dieksekusi di Pandan Simping, Klaten, Jawa Tengah.
“Ada saksi hidup di Pandan Simping itu. Ada dua makam yang isinya 14 orang, salah satunya kakek saya, katanya. Sampai sekarang kalau nyekar ke situ.”
Sementara itu, Katri, penyintas tragedi pelanggaran HAM 1965 memilih terbuka pada anak dan cucunya tentang apa yang dilaluinya. Tak hanya cucunya, khalayak juga dapat mengetahui kisah lewat buku tentang dirinya.
Kini, para generasi ketiga yang telah mengetahui berupaya memaknai dengan caranya masing-masing sebagai jalan memupus trauma dan menyebarluaskan sejarah dari sudut pandang berbeda.
‘Ketakutan keluarga yang diwariskan’
Adeste memutar ingatannya. Sedari kecil, ia hanya menjumpai neneknya yang akrab disapa ‘Mak Hok’.
“Selama ini, memang tokoh sentral dalam keluarga besarku adalah nenekku. Nenekku sangat berperan besar dalam kehidupanku, kehidupan sepupu-sepupuku, kehidupan keluarga besarnya,” paparnya.
Sementara sosok kakek yang tak pernah dilihatnya urung dibicarakan. Adeste pun hanya pernah memperoleh cerita bahwa kakeknya pergi dan tidak pernah kembali sehingga anjing kesayangan kakeknya selalu menantikan kepulangannya.
“Anjingnya, Rola namanya, nunggu terus sampai akhirnya mati. Bayangan waktu kecil, karena dibilangnya pergi ya berarti naik mobil atau berkendara, terus kecelakaan dan meninggal. Tapi setelah film dokumenter itu seperti dikagetin. Ternyata keluarga besarku menyimpan cerita besar yang ditutupi,” ungkap Adeste.
Adeste pun seperti menyusun kepingan puzzle. Perlahan, cerita tentang kakeknya mulai hadir dalam obrolan sehari-hari keluarga, terutama ketika berkumpul di meja makan.
Selain kisah tentang kakeknya, ia kemudian memahami alasan neneknya yang mengharuskan anak dan cucunya berkumpul di Klaten selama sebulan. Biasanya dilakukan ketika libur sekolah sambil merayakan ulang tahun sang nenek.
Adeste dan para sepupu pun bergantian menari atau main ketoprak di rumah neneknya ketika perayaan tiba. Kenangan bahagia itu membekas, tapi rasanya punya makna mendalam bagi nenek Adeste.
“Di masa mudanya, keluarganya nyaris tercerai berai. Pasti ada trauma dulu pernah kehilangan banyak. Enggak cuma kakekku, bisa jadi anak-anaknya ikut kena. Tanpa perlu berkata-kata, ada trauma yang melingkupi keluarga. Tapi keluarga juga jadi kekuatan tersendiri.”
Sebelum cerita tentang kakeknya terungkap, tidak pernah terlintas dalam pikiran Adeste bahwa kakeknya korban pelanggaran HAM pada 1965. Ia tidak menyangka keluarga besarnya menutup rahasia secara rapat selama ini dengan segala traumanya.
Adeste yang besar dengan kewajibannya menonton film Pengkhianatan G30S/PKI dari sekolah mulai menabung banyak tanya.
“Pantas mamaku kalau lihat berita dan melihat sosok Soeharto kayak ada rasa sebal. Nenekku juga dulu selalu berpesan untuk berani, apalagi jika tidak melakukan kesalahan apapun. Terus, enggak boleh ada keluarga yang masuk politik atau jadi pegawai negeri,” tutur Adeste.
“Bahkan saat jadi jurnalis dan menulis buku tentang Katri, penyintas 65, keluarga seperti ‘aduh jangan ke situ lagi’. Aku juga sering merasa lebih berhati-hati tiap bertindak dan merasakan ketakutan keluarga itu sangat bisa diwariskan,” lanjutnya.

Paman Adeste, Eddy Sulistiyanto, bercerita tentang masa-masa kelam saat itu.
Sebagai anak keempat dari delapan bersaudara, Eddy yang kala itu berusia 12 tahun tentu ikut terdampak. Ketika momen ayahnya ‘diciduk’, Eddy dan tiga kakaknya diungsikan ke rumah neneknya.
“Kami semua dibekali karung gandum dengan beberapa pakaian di dalamnya. Kalau ada apa-apa, kami harus bawa itu untuk pergi. Kakek nenek sempat tidak mengizinkan kembali, apalagi setelah Papi ditahan. Tapi kami akhirnya tahu dan kembali,” ujar Eddy.
Selepas ayahnya ditahan hingga hilang, Eddy menjadi saksi bengkel sepeda ayahnya dirusak dan ibunya perlahan melanjutkan kembali. Eddy dan kakak-kakaknya ikut membantu.
Mereka tetap bersekolah sambil bekerja mengingat ibunya mulai sering jatuh sakit setelah ayahnya tak lagi di rumah. Kadang mereka juga menjenguk ayahnya di penjara sampai ayahnya hilang setelah dipindahkan ke Korps Polisi Militer.
Baca juga:
- Tentara merampas tanah rakyat secara sistematis saat Tragedi 1965 – Dicap komunis, lahannya dipakai berbisnis
- Foto-foto yang disembunyikan jadi saksi peristiwa kekerasan 1965 – Dari pawai meriah PKI hingga dua jenazah tanpa nama
- Apa bukti Soeharto terlibat pembantaian massal 1965?
Selain menghidupi anak-anaknya, ibunya saat itu kerap wara-wiri ke tempat penahanan semula untuk mengantar makanan. Belakangan, ibunya berupaya mencari informasi keberadaan ayahnya.
“Adik bungsu saya masih bayi itu akhirnya dijaga mamanya Adeste yang waktu itu masih enam tahun umurnya dan kakak bungsu ya. Benar-benar yang mengurus adiknya. Sampai sekarang, hubungan mereka jadi dekat sekali karena itu.”
Eddy juga kerap mengalami perundungan disebut anak PKI atau diolok-olok karena etnis Tionghoa.
Seiring berjalannya waktu, Eddy memahami ayahnya menjadi korban saat itu karena ikut bergabung dengan organisasi sosial politik bernama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang bertujuan mengadvokasi kepentingan keturunan China peranakan.
Namun setelah meletus G30S, Baperki ikut terseret karena tudingan terafiliasi PKI.

Tanpa dipahami Eddy, trauma menjalari dirinya dan juga saudaranya yang lain. Eddy memilih tidak membicarakannya, bahkan pada anak-anaknya. Hingga ia menyadari tiap bercerita terkait ayahnya, perjuangan ibunya, dan pengalamannya, ia akan menangis sesenggukan dan sulit berhenti.
Saudara lainnya, ada yang trauma melihat teralis jendela atau pintu karena mengingatkan ayahnya ketika di penjara. Ada yang memilih tidak lagi membicarakannya atau masih kerap was-was. Namun, ada juga yang menjadi lebih terbuka seolah tidak ada ketakutan.
“Tapi ada masanya, kami semuanya diam. Diam pun takut kok saat itu. Ditanya ‘mana papamu?’ itu sangat menakutkan bagi kami,” ujar Eddy.
Tidak jauh dari lokasinya tinggal, ada sejumlah titik yang menjadi tempat penahanan dan penyiksaan mereka yang diambil. Seperti Gedung Tong Hoo, markas Polisi MIliter, kamp Cendrawasih, hingga Uncok. Eddy mengingat tiap sore ada dua truk yang mengangkut penuh orang lalu tidak kembali lagi.
“Lapisan trauma kami tiap kakak beradik ini berbeda-beda. Jadi, setelah film itu kami baru sadar bahwa kami berdelapan ini tidak pernah sharing tentang kepahitan yang kami alami. Itu betul-betul tidak kami sadari,” ungkap Eddy.
“Bahwa kami tidak terbuka, sharing bersama, melepas itu, enggak. Kami menyimpan itu rapat-rapat di dalam, dalam diri kita masing-masing. Bahkan ke anak-anak.”
Namun usai film dokumenter dan terapi penyembuhan trauma, Eddy mulai bercerita sesuai apa yang ingin diketahui anak-anaknya. Ia juga tidak lagi tersedu-sedu ketika mengulang cerita tentang masa itu. Bahkan ia dan sebagian adiknya juga mulai terbuka bercerita pada publik.
Hal ini pula mengantarkan pada informasi terbaru mengenai ayahnya. Dari pengurus pesantren setempat, Eddy diberitahu ayahnya telah dieksekusi di Pandan Simping dan dikuburkan di sana.
Namun mengingat kejadiannya sudah 40 tahun silam saat informasi itu sampai pada Eddy, tidak ada keinginan keluarga untuk menggali atau memakamkan kembali.
“Salah satu adik saya punya ide, sudah ini kita anggap sebagai simbolis saja.
Pencarian kita berakhir di sini. Ini hanya untuk tanda bahwa ini adalah tujuan terakhir pencarian papi kita, ya di sini ini,” ujar Eddy bercerita tentang makam kosong ayahnya.
Adeste mengakui hal ini. Meski telah terungkap kakeknya hilang karena tragedi genosida 1965, keluarga besar tetap tidak serta merta bercerita. Justru ketika ia memulai penulisan buku berjudul Katri yang merupakan penyintas 65, Adeste seperti melongok kembali sejarah keluarganya lewat sosok Katri.
“Dulu aku pikir menulis Katri supaya kisah tentang Katri itu bisa diketahui banyak orang. Bahwa ada sosok yang selama ini dilupakan oleh sejarah, yang bahkan tidak diakui oleh sejarah,” ujar Adeste.
Ternyata lewat cerita dari Katri yang mengenal baik keluarga Adeste, ia menemukan dirinya lagi dan berkenalan dengan kakek yang tak pernah dijumpainya.
“Aku menemukan diri sendiri, berkenalan lagi dengan kakekku, dan mengetahui sejarah keluarga secara utuh,” kata Adeste.
Lewat Katri, Adeste mengetahui kakeknya merupakan sosok yang baik dan murah hati. Misal, kakeknya disebut Katri pernah membawakan buah pir untuknya. Hingga cerita keluarga yang lain, seperti tantenya ikut paduan suara seperti Katri dan kisah nostalgia lainnya yang tak pernah didengarnya langsung dari keluarga.
Bahkan ketika mendengar cerita Katri yang disiksa, ada rasa sedih mendalam yang menyelusup.
“Kakekku sempat dipindah ke beberapa tempat juga. Terakhir di CPM yang diceritakan di situ disiksa sampai enggak bisa bangun,”
“Aku mikir apakah kakekku mengalami hal yang sama, apa yang kakekku pikir saat di penjara. Itu terus menghantui. Makanya kadang pulang ngobrol dengan Bu Katri, kalau enggak mimpi buruk, ya nangis. Energiku habis,”
“Aku juga jadi paham trauma keluarga dan sebegitu dahsyatnya ketakutan yang diciptakan lalu diwariskan ke generasi selanjutnya,” ujar Adeste.
Baca juga:
- Tragedi 1965 dan ‘mantra ampuh’ di balik citra surgawi pariwisata Bali
- ‘Rumah kami dirampas paksa’ – Korban Peristiwa 1965 menuntut pemulihan aset keluarga
Dari Katri juga, ia berubah yang semula apatis pada sejarah menjadi peduli dan berusaha terus mencari tahu.
“Awalnya cukup membingungkan. Sebenarnya yang benar yang mana karena di sekolah kan ceritanya begitu ya. Ada momen apakah keluarga kami itu adalah keluarga penjahat,” ujar Adeste.
“Ada proses-proses yang harus dijalani dan diterima. Tapi, aku semakin bisa memahami gitu lebih utuh dan sadar ternyata sejarah itu tidak hanya dibangun oleh sejarah tunggal, tapi juga ada banyak cerita-cerita lain yang mengikutinya gitu.”
Hal ini yang kini dilakukan melalui buku yang ditulisnya. Ia menjangkau generasi muda untuk mengenal lagi peristiwa 65.
‘Berpegang pada keyakinan saja’
Baja Suseno (40) juga sempat tertinggal terkait sejarah keluarganya. Ia mengetahui ayahnya merupakan bekas tahanan politik 1965, tapi tidak dengan kakek dari keluarga ibunya. Hingga suatu hari, ia bertanya pada ibunya mengenai kakeknya yang selama ini tak pernah dibicarakan.
“Saat saya tanya tentang Mbah Kakung, ibu tidak menjawab tapi malah menangis tersedu-sedu, sedih sekali. Dari situ, saya curiga pasti ini ada apa-apa. Lama-kelamaan, ibu baru mengaku bahwa kakek meninggal dibunuh,” ujar Seno.
Seno merangkai penggalan-penggalan informasinya yang diterimanya. Dari ayahnya yang tapol hingga kakeknya yang dibunuh, ia pun memahami film Pengkhianatan G30S/PKI tabu di rumahnya padahal saat itu ia wajib menonton atas arahan sekolah.
Seno kemudian memperoleh cerita lengkap bahwa kakeknya diambil pada pekan ketiga Oktober sekitar pukul 19.00 WIB karena dugaan keterkaitan dengan PKI.
“Empat orang tentara RPKAD merangsek masuk ke rumah dengan memobilisasi massa di luar rumah dan menangkap kakek saya. Nenek, adiknya ibu, dan dua orang kakaknya ibu yang sedang belajar menjadi saksi mata ditangkapnya kakek.”

Sebulan pertama, keluarga masih memperoleh informasi keberadaan kakek walau tidak bisa bertemu. Keluarga pun hanya menitipkan baju, makanan, dan uang. Hingga tiba kabar dari orang kepercayaan keluarga, kakeknya sudah disiksa sampai meninggal.
Akibat rasa takut yang cukup besar, keluarga memilih diam dan tak mencari. Sampai akhirnya ada yang menunjukkan lokasi eksekusi. Ibu Seno, Endang Kustantinah, menjelaskan ada saksi mata yang melihat ayahnya berakhir di situ bersama tahanan lain.
Tanpa ada penggalian, keluarga meyakini saja berdasarkan keterangan saksi mata yang konon melihat eksekusi tersebut.
Namun karena ketakutan itu tidak hilang sampai saat ini, makam yang telah dilapis keramik itu tak pernah diberi nisan atau penanda nama.
Baca juga:
- Peristiwa Madiun 1948: Kisah cucu Musso dan kerabat kiai ‘korban PKI’ — ‘Sebagai Muslim, kami tidak boleh memelihara dendam’
- G30S: Tionghoa Indonesia dalam pusaran peristiwa 65 – Pengalaman, kenangan dan optimisme generasi muda
- G30S: Perempuan dan propaganda terhadap Gerwani, ‘Stigma belum hilang sekalipun mereka sudah tidak memberi label lagi’
Ketika BBC News Indonesia mendatangi, penjaga makam bernama Puput sempat kebingungan saat mencari makam atas nama Siswowitono. Akan tetapi, BBC News Indonesia bersama Puput menemukan berbekal foto yang diberikan.
“Ini keluarga dengan yang di depan sini. Keluarga masih ada ke sini, setahun sekali.” ujar Puput sambil menunjukkan sederet makam yang salah satunya ternyata merupakan paman dari Seno atau kakak tertua Endang.
Puput pun bercerita mengenai Taman Pemakaman Umum Sonolayu, Boyolali, Jawa Tengah yang kabarnya memang pernah menjadi lokasi eksekusi orang-orang yang dituduh PKI.
Ia menunjukkan ada makam Bupati Boyolali, Suali, yang juga dieksekusi di situ. Makam tersebut berdekatan dengan kuburan kakek Seno.

Secara terpisah, Endang menceritakan banyak orang di lokasi rumahnya yang ditangkap dan disiksa secara terbuka. Salah satunya di dekat kantor kelurahan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ada juga di kampung yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, beberapa kali sering terdengar suara tembakan disertai jeritan orang-orang.
Endang mengaku khawatir ketika isu anti-PKI muncul mengingat ayahnya merupakan bagian dari partai tersebut. Hingga kemudian ayahnya cukup lama tidak terlihat di rumah, Endang yang masih duduk di bangku SD makin cemas. “Saya mulai menangis bapak di mana. Saya takut bapak tertangkap,” ujar Endang.
Kabar Endang yang menangis terus sampai ke ayahnya yang tengah bersembunyi sehingga kemudian memutuskan datang ke rumah dan menenangkan Endang. Hanya sekitar 30 menit berada di rumah, tiga orang tentara berseragam hijau menemui ayahnya dan kemudian dibawa lalu tidak pernah pulang lagi.
“Ini semua gara-gara saya. Kalau bapak enggak pulang, bisa jadi masih aman. Saya masih sering merasa bersalah kalau ingat itu,” ucap Endang sembari menyeka air matanya.
Menurut Endang, tentara tidak hanya datang sekali ke rumahnya. Ada sekitar tiga kali kedatangan tentara untuk mengambil dokumen-dokumen dan buku-buku milik ayahnya. Lain waktu, kedatangannya bahkan mengambil telur ayam yang diternak ibunya.
Pasca peristiwa tersebut, Endang membenarkan trauma itu tumbuh di keluarganya. Sebagian besar keluarga yang saat ini masih hidup memilih tidak mengungkit lagi ayahnya yang menjadi korban pelanggaran HAM. Endang semula juga tidak berani bercerita pada publik, tapi perlahan ia merasa perlu berbagi kisah.
“Takut melihat tentara masih ada. Tapi dendam enggak juga cuma berharap peristiwa yang sangat memilukan orang yang enggak bersalah ini tidak terulang lagi.”
Sementara itu, Seno yang telah memahami sejarah keluarganya kini aktif mengadvokasi korban dan keluarga korban 65 melalui YPKP 65, yayasan yang didirikan ayahnya, Bedjo Untung. Diakui Seno, intimidasi hingga pembubaran terhadap kegiatan maupun upaya advokasi masih terjadi sampai saat ini.
Katri, yang tak menyimpan dendam lagi
Berbeda dengan Adeste dan Seno, Isaac Pamenang dan Moses Pamenang yang saat ini masih duduk di bangku SMP dan SD memahami sejarah 1965 tanpa campur tangan propaganda Orde Baru.
Mereka mendengar langsung kisah dari neneknya, Katri, penyintas tragedi 65.
Katri yang menjalani penahanan selama 11 tahun dengan berpindah-pindah lokasi dan mengalami rentetan penyiksaan yang sukar dinalar selama penahanannya terbuka bercerita pada anak-anaknya dan para cucunya.

Seperti Selasa (25/11) pagi itu, Isaac yang tengah libur sekolah menemani Katri.
Sehari-hari, Katri tinggal seorang diri di rumah masa kecilnya. Namun tiga anak dari empat anaknya bermukim tidak jauh dari kawasan tempat tinggalnya sehingga cucunya pun kerap bermain seperti hari itu.
Seusai merapikan warung yang dikelolanya, Katri berziarah ke makam suami dan orang tuanya yang hanya sekitar lima menit ditempuh dengan jalan kaki. Isaac menemaninya dengan membawa sapu untuk membersihkan makam. Keduanya berdoa dan menabur bunga.
Selain makam suami dan orang tuanya, Katri menunjukkan makam kakaknya yang juga ada di situ. Satu-satunya kakak yang tidak diambil oleh tentara ketika tragedi 1965. Sementara itu, tiga kakak Katri lainnya beserta Katri ditangkap.
Isaac di sampingnya mengaku telah mengetahui kisah itu karena keluarganya terbuka mengenai hal itu. Bahkan ketika buku tentang Katri yang dibuat Adeste baru berbentuk draf, Isaac langsung membacanya.
Baca juga:
- Sejarah Gerwani sebagai organisasi perempuan progresif pasca peristiwa G30S
- Cerita penyintas 1965 yang ‘diasingkan’ di kamp khusus tapol perempuan Plantungan, ironi ‘hidup di alam bebas tapi terkungkung kawat berduri’
Sekembali dari makam, Katri biasanya melanjutkan kesehariannya dengan menyelesaikan pesanan jahitan yang masuk. Jasa menjahit ini dimulainya sejak 1977 pasca bebas dari tahanan.
“Enggak mudah awalnya. Tapi enggak apa saya bikin aja buat saya sendiri. Saya memang suka berpakaian rapi. Ada yang lihat dan suka, terus minta dibikinkan. Pertama itu, dapat Rp 600 apa ya, lupa juga. Tapi saya nangis saat itu, ternyata saya bisa cari duit,” tutur Katri.
Pelanggan jahitannya masih banyak sampai sekarang. Warungnya juga jadi tempat favorit anak-anak sekitar membeli jajan. “Eyang, tumbas (beli)!” kerap terdengar dari para pembeli kecil. Jika ada Isaac, ia pun turut membantu eyang putrinya melayani pembeli.

Jauh sebelum kini, kehidupan Katri sempat luluh lantak. Masa remajanya hilang karena ‘diciduk’ tentara dan berpisah dari orang tua dan empat kakaknya. Padahal yang dicari kala itu adalah suami Katri yang telah melarikan diri.
Hari itu, tujuh tentara berpakaian dinas mencari suaminya ke rumah orang tuanya yang kini ditinggali oleh Katri. Sebelum para tentara itu pergi karena tidak menemukan yang dicari, Katri menyadari uang dari suaminya yang disimpan di bawah bantal untuk persiapan kelahiran raib. Sekadar menanyakan, Katri malah dituduh memfitnah tentara dan ditembak.
Katri sempat berpikir hidupnya berakhir hari itu. Pipinya ditembak dari jarak dekat oleh tentara dalam kondisi tengah hamil tujuh bulan. Peluru yang ditembakkan pada pipi sebelah kiri menembus hingga rahang kanan.
Dalam kondisi pipi berlubang dan darah mengucur, Katri hampir ditembak lagi dari jarak dekat tapi gagal. Ia pun lari dan dibawa ke rumah sakit.
Ternyata, ia bertahan dan melahirkan anaknya dalam kondisi prematur. Selepas keluar rumah sakit, ia ditahan ke kamp Cendrawasih bersama bayinya dan juga ayahnya
Baca juga:
- Jejak kekerasan 1965 di Aceh Tengah dan ikhtiar penyembuhan – ‘Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon’
- Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
- G30S: Anak petinggi PKI menanti jawaban di mana ayahnya dikuburkan – ‘Pikiran saya tak bisa beranjak dari petaka 1965’
Sempat dibebaskan, Katri ‘dijemput’ lagi dan ditempatkan ke Uncok. Selanjutnya, penahanannya berpindah-pindah, yakni dibawa ke CPM, berlanjut ke Solo, hingga terakhir di Lembaga Pemasyarakatan Bulu. Sebelum tiba di LP Bulu, Katri mengalami penyiksaan yang tidak masuk akal.
Penahanan pertama, Katri berulang kali ditanya mengenai kentong gropyok.
Menurut buku Prahara di Garis Merah: Aksi Kekerasan dan Penghancuran PKI di Klaten-Boyolali [1965-1979] yang ditulis Kuncoro Hadi, suara kentong ini didengar banyak masyarakat di area Klaten, terutama di area Prambanan dan Jogonalan.
Klaten saat itu bisa dibilang memiliki basis pemilih PKI yang sangat besar. Pemilu 1955, PKI menang telak di sana baru disusul PNI. Suara kentong gropyok yang terdengar pada 22 Oktober dan 23 Oktober 1965 itu memicu ketakutan banyak pihak, baik yang PKI maupun bukan PKI.
Katri sendiri mengaku tidak mendengar adanya suara kentongan bertalu-talu yang dikenal sebagai tanda bahaya itu. Ia bahkan mengaku tidak tahu ada kejadian apa di Jakarta dan hubungannya dengan PKI.
“Saya ditahan dua tahun, keluar. Terus diambil lagi saat 1968. Penahanan yang kedua ini lebih seram. Perempuan kebanyakan ya digundul rambut asal-asalan. Diperiksa dalam keadaan telanjang. Dipukuli, ditendang, disetrum,” ujar Katri.

“Ada yang saking tidak tahannya disiksa saat ditanya tentang saya, jawabannya Katri orang penting. Saya makin disiksa lagi. Ada sesama tahanan yang pernah diminta menembak saya juga bersedia karena mungkin cari selamat juga,” kata Katri.
Semua itu dialaminya bertahun-tahun. Ketika pindah ke LP Bulu yang isinya semua perempuan, Katri tak lagi menerima siksaan. Ia justru memperoleh keterampilan menjahit dan merias hingga akhirnya bebas.
Menurut Katri, sebagian yang ditahan di LP Bulu tetap ada yang ditahan di kamp Plantungan. Kriteria yang dibebaskan atau pindah ke Plantungan, kata Katri, tak pernah ada yang tahu.
”Jadi mendadak. Truk udah disiapin, dipanggil-panggil yang dipindah. Kami yang tidak dipindah mengantarkan,”
“Tiap perpisahan, ada yang dipindah itu, kami akan melepas mereka dengan bernyanyi sambil melambaikan sapu tangan. Kami bernyanyi mengucap selamat tinggal, mereka yang di dalam truk nanti membalas nyanyian kami. Jadi, sahut-sahutan,” kenang Katri.
Hingga dikeluarkan dari tahanan setelah 11 tahun, Katri tak pernah mendapat kejelasan apa kesalahannya. Bahkan di berkas pembebasannya disebut tak terindikasi dengan kejadian 1965.
“Saya benar-benar enggak tahu. Saya sekolah pun tidak dan hamil pula. Sebelum itu, saya memang aktif paduan suara karena senang nyanyi. Enggak tahu kalau itu Lekra,” jelas Katri.
Selepas penahanan, Katri melanjutkan hidup dengan berbekal kemampuan menjahit. Ia pun menikah lagi. Katri memiliki empat anak.
Kehidupannya membaik. Bahkan ia merasa lega karena punya kesempatan merawat ayah ibunya yang selama dirinya ditahan terus memberi dukungan. “Ke mana saja saya ditahan, ayah ibu saya selalu datang menjenguk dan membawakan makanan. Mereka juga mengurus anak saya,” ujar Katri.
Sayang, Katri tidak pernah pernah berjumpa lagi dengan tiga kakaknya yang pada masa itu juga ditangkap. Katri pernah berusaha mencari tapi tidak ada jejaknya hingga kini.
Ia juga masih berhubungan baik dengan sesama bekas tahanan politik yang masih hidup. Bagi Katri, hubungannya erat seperti keluarga dengan sebagian bekas tahanan politik tersebut karena sama-sama merasakan ketidakadilan.

Rangkaian kisah ini diceritakan secara terbuka pada anak-anaknya. Hal itu terus berlanjut sampai ke cucunya. “Waktu kecilnya Isaac itu kan senang pada main di sini, lari-lari, tembak-tembakan. Terus anak saya ini, Timur, bilang ‘eh jangan nembak eyang, eyang udah pernah’,” ujar Katri.
“Saya merasa lega bisa menceritakan secara utuh dan kemungkinan banyak orang yang dulu tidak tahu menjadi tahu. Dengan harapan, tidak terjadi peristiwa itu lagi. Apalagi generasi sekarang, gen-z harus rajin membaca supaya wawasannya utuh dan adil, tidak ada unsur keberpihakan.
“Masa lalu itu menjadi peringatan bahwa hal-hal yang melanggar kemanusiaan itu agar benar-benar tidak terjadi lagi,” ujar Katri.
Katri tak lagi menyimpan dendam. Serupa dengan keluarga lain yang meski masih dihantui trauma berusaha melepas dan bercerita pada para generasi ketiganya.
“Saya bersyukur diberi kemampuan sama Tuhan untuk bisa melepaskan rasa dendam itu. Menurut saya, dendam itu beban, butuh energi. Sampai sekarang saya di masyarakat juga tidak ada yang saya benci.”
Laporan ini dibuat Riana A Ibrahim dan Dicky Kurniawan dari Klaten, Boyolali, dan Tangerang
- Suara-suara keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Jika bapak saya PKI, tetap saja dia tidak boleh dibunuh’
- Hantu-hantu ‘Toko Wong’ dan pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Ratusan orang ditembak senapan mesin’
- Pengakuan anak-anak ‘algojo’ pembantaian 1965-1966 di Bali – ‘Bapak membunuh pentolan komunis, tapi adiknya dibantai karena dukung PKI’
- Kisah anak algojo PKI di Blitar selatan yang mendampingi penyintas kasus 1965: ‘Saya minta maaf’
- Cucu ‘Pahlawan Revolusi’ 1965 dan ‘elite PKI’: ‘Kami tak mau warisi konflik untuk membenci’
- Suara-suara keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Jika bapak saya PKI, tetap saja dia tidak boleh dibunuh’