Kita Tekno JAKARTA — Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan sebagai dasar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan buruh. Namun, di sisi lain ada kekhawatiran bahwa langkah ini membuat badai pemutusan hubungan kerja atau PHK membesar.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mewanti-wanti risiko lonjakan biaya tenaga kerja seiring diberlakukannya. Kadin menilai formula UMP 2026 yang menggunakan rentang alfa 0,5–0,9 berpotensi menekan industri padat karya jika tidak diterapkan secara adil dan berbasis data.
Wakil Ketua Umum Koordinator Kadin Indonesia Erwin Aksa menyampaikan Kadin menghormati keputusan pemerintah dan Presiden Prabowo Subianto yang telah menandatangani PP Pengupahan.
: Buruh KSPI Tolak UMP 2026 Hanya Naik 4-6%, Ini Alasannya
Namun, dia menuturkan, rentang alfa yang ditetapkan akan mendorong kenaikan upah lebih tinggi dibanding formula sebelumnya. “Sehingga beban penyesuaian biaya tenaga kerja bagi dunia usaha, terutama industri padat karya, menjadi lebih berat,” kata Erwin kepada Bisnis, Rabu (17/12/2025).
Erwin menegaskan, kunci utama bukan hanya besaran kenaikan upah, melainkan bagaimana kebijakan ini diterapkan di tingkat provinsi. Kadin, sambung dia, mendorong agar implementasi dilakukan berkeadilan dan operasional, dengan mempertimbangkan kondisi daerah, produktivitas, dan kapasitas masing-masing sektor usaha.
: : Soal Dewan Kesejahteraan Buruh, KSPI: Feeling Saya Presiden Umumkan Pekan Ini
“Karena struktur biaya dan margin tiap sektor sangat berbeda, tidak bisa disamaratakan,” ujarnya.
Di sisi lain, Erwin menuturkan keberlangsungan usaha sangat bergantung pada angka final UMP yang ditetapkan di masing-masing provinsi melalui Dewan Pengupahan dan keputusan gubernur.
: : KSPI Sebut Formula UMP 2026 Sudah Disetujui, Tapi Buruh Tak Dilibatkan
Menurutnya, perlu menjaga keseimbangan antara peningkatan daya beli pekerja dan daya saing perusahaan. Dia menilai, kenaikan upah yang terlalu tinggi tanpa disertai produktivitas dapat mendorong perusahaan menunda ekspansi, membatasi rekrutmen, atau bahkan mengurangi jam kerja.

Kendati demikian, Kadin menegaskan pemutusan hubungan kerja (PHK) bukan tujuan siapapun, namun kenaikan upah yang terlalu tinggi di sektor padat karya bisa memicu pengurangan lembur, pembatasan rekrutmen, atau relokasi produksi.
“Kenaikan upah yang terlalu agresif bisa meningkatkan risiko efisiensi tenaga kerja, pengurangan lembur, pembatasan rekrutmen baru, hingga relokasi produksi ke daerah dengan biaya lebih rendah,” lanjutnya.
Untuk itu, Kadin mengusulkan adanya bantalan transisi nyata, seperti insentif fiskal bagi industri padat karya, dukungan pelatihan produktivitas, dan skema penyesuaian bertahap untuk usaha kecil. Dengan demikian, Erwin berharap perlindungan pekerja tetap terjaga tanpa mengorbankan lapangan kerja.
Sementara itu, Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani menuturkan, selama proses dialog sosial tripartit, Apindo secara konsisten menyampaikan pandangan berbasis data kepada pemerintah, termasuk pentingnya menjaga nilai alfa tetap proporsional dan mencerminkan kondisi ketenagakerjaan di daerah.
Dalam forum tripartit Dewan Pengupahan Nasional, Apindo juga mengusulkan agar nilai alfa berada pada kisaran wajar, yakni 0,1–0,5, dengan mempertimbangkan kondisi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di masing-masing daerah. Usulan tersebut, lanjut Shinta, disusun berdasarkan data lapangan serta kondisi riil dunia usaha.
Namun, pemerintah akhirnya menetapkan rentang alfa pada kisaran 0,5–0,9. Kendati demikian, Apindo memahami keputusan tersebut merupakan kewenangan pemerintah dan mau tidak mau harus dilaksanakan oleh pelaku usaha.
“Dengan ditetapkannya rentang alfa sebesar 0,5–0,9 dunia usaha memahami bahwa kebijakan tersebut merupakan keputusan pemerintah yang mau tidak mau harus dilaksanakan,” kata Shinta kepada Bisnis.
Shinta melanjutkan, Apindo memberikan catatan penting agar implementasi kebijakan pengupahan di tingkat daerah dilakukan secara bijak dan moderat.
Dia menekankan perlunya keseimbangan antara pertumbuhan produktivitas tenaga kerja, kondisi perekonomian daerah, disparitas antarwilayah, serta dinamika ketenagakerjaan setempat.
“Pendekatan yang proporsional ini penting agar kebijakan upah tidak mempersempit ruang kerja formal dan tidak mendorong peningkatan informalitas tenaga kerja,” jelasnya.
Keberpihakan ke Buruh
Presiden KSPN Ristadi menyatakan bahwa perluasan indeks tertentu atau alfa dalam formula UMP menjadi 0,5–0,9 menandakan keberpihakan terhadap pekerja.
“Keputusan ini secara gampang bisa diartikan cenderung lebih mengakomodasi aspirasi pekerja,” kata Ristadi dalam keterangan resmi, Rabu (17/12/2025).
Selain itu, kenaikan yang tidak berlaku satu angka seperti UMP 2025 lalu dinilai dapat mengembalikan fungsi dan peran Dewan Pengupahan daerah seperti semula.
Kendati demikian, dia mengaku belum mendapatkan kepastian jaminan bahwa kenaikan upah untuk daerah dengan UMP rendah akan lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Apabila terjadi sebaliknya, maka Ristadi mengkhawatirkan bahwa disparitas upah antardaerah akan semakin tinggi.
Di samping itu, dia menilai bahwa perumusan UMP 2026 masih berdasarkan pendekatan kedaerahan, sehingga belum berdasarkan sektor dan skala usaha secara nasional.
“Kami belum mendapatkan gambaran bahwa ke depan, upah minimum akan berdasarkan sektor dan skala usaha secara nasional yang lebih ‘fair’ untuk pekerja dan sehat untuk persaingan dunia usaha,” ujarnya.

Terlepas dari itu, KSPN mengusulkan kluster penggunaan alfa agar kenaikan UMP menjadi proporsional. Perinciannya, penerapan alfa 0,9 disarankan untuk upah minimum kurang dari Rp2,5 juta, alfa 0,8 untuk upah Rp2,5 juta–Rp3 juta, alfa 0,7 untuk upah Rp3 juta–Rp3,5 juta, alfa 0,6 untuk upah Rp3,5 juta–Rp4 juta, dan alfa 0,5 untuk upah minimum di atas Rp4 juta.
Presiden KSPI Said Iqbal berujar bahwa PP Pengupahan baru mencantumkan rentang indeks tertentu atau alfa 0,5–0,9 dalam formula UMP 2026.
Apabila batas tertinggi alfa 0,9 itu dihitung dengan pertumbuhan ekonomi nasional 5,04% (kuartal III/2025, YoY) dan inflasi nasional 2,86% (Oktober 2025, YoY), dia menyebut rerata kenaikan upah minimum tahun depan dapat mencapai 7,3%.
“Mungkin secara nasional rata-rata itu naik 7,2% atau 7,3% kalau pakai pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi nasional, ya,” kata Said dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (17/12/2025).
Kendati demikian, dia menekankan bahwa persentase kenaikan UMP akan bervariasi di setiap daerah bergantung pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi masing-masing. Selain itu, kenaikan UMP bisa lebih rendah apabila gubernur menetapkan alfa di bawah 0,9, atau bahkan menggunakan rentang terbawah 0,5.
Dia lantas memberikan simulasi di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan perhitungan Said, apabila alfa 0,5 dihitung dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5% dan inflasi sekitar 2%, maka kenaikan UMP DKI Jakarta tahun depan hanya sekitar 4,3%.
Oleh karena itu, Said menyebut bahwa KSPI akan memperjuangkan lewat Dewan Pengupahan tingkat provinsi agar gubernur menggunakan alfa 0,9. Tak hanya di Jakarta, tuntutan itu akan disampaikan di berbagai daerah.
“Kalau pakai alfa 0,5 kita tolak total. Jadi, kesimpulan perjuangan kaum buruh indeks tertentunya harus 0,9,” tegasnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan bahwa komponen alfa atau indeks tertentu dalam formula UMP 2026 mengalami perluasan dari aturan sebelumnya, tetapi komponen lainnya yakni inflasi dan pertumbuhan ekonomi tetap berlaku.
Beleid tersebut memaknai alfa sebagai kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, sekaligus instrumen bagi daerah untuk melakukan penyesuaian dengan disparitas upah saat ini.
Dia menegaskan bahwa penetapan rentang alfa 0,5 hingga 0,9 pada formula UMP 2026 ini demi memberikan fleksibilitas daerah dalam penetapan upah minimum.
“Alfa inilah yang diputuskan oleh Pak Presiden, nilainya 0,5 sampai 0,9,” kata Yassierli dalam konferensi pers di Kantor Kemnaker, Jakarta Selatan, Rabu (17/12/2025).