
Presiden Prabowo Subianto berencana menambah perkebunan sawit di Papua, sebagai upaya yang disebutnya mewujudkan swasembada energi di setiap daerah.
Dukungan terhadap ekspansi sawit yang diutarakan pada Selasa (16/12) itu adalah pernyataan terbaru Prabowo.
Pada Desember 2024, dia sempat melabeli pernyataan “lahan sawit penyebab deforestasi” sebagai tuduhan keliru.
Pegiat lingkungan menilai keberpihakan Prabowo terhadap ekspansi sawit, di tengah penanganan bencana Sumatra, sebagai sikap yang “tidak punya simpati.”
“Seharusnya ia belajar dari situasi yang terjadi di tiga provinsi [Sumatra],” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian.
Uli berkata, perubahan hutan menjadi kawasan ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit atau tambang telah memperparah dampak bencana di Sumatra.
Akademisi di Universitas Gadjah Mada yang mendalami keterkaitan antara industri sawit dan masyarakat Papua menilai penambahan lahan hanya akan “membentuk sistem kemiskinan struktural” baru.
Prabowo belum memerinci wilayah di Papua yang bakal ditanami tambahan sawit.
Namun, berdasarkan catatan Sawit Watch, luas perkebunan sawit yang ada di Papua sudah hampir mendekati kapasitas ekosistem ideal pulau paling timur Indonesia itu.
Saat ini, sejumlah perkebunan sawit telah membentang, antara lain, di Kabupaten Jayapura, Boven Digul, dan Merauke.
Ketua Asosiasi Gubernur se-Tanah Papua, Meki Fritz Nawipa, mengatakan siap mendukung program Prabowo.
“Seluruh program bapak presiden kami fokus untuk mendukung di daerah,” kata Meki, yang juga Gubernur Papua Tengah.
Lantas, siapa yang dirugikan dalam rencana ekspansi sawit tersebut?
Siapa yang paling dirugikan?
Sejumlah peneliti dan pegiat lingkungan bersepakat bahwa masyarakat asli Papua akan menjadi pihak paling terdampak akibat penambahan perkebunan sawit di wilayahnya.
Berdasarkan catatan Sawit Watch, perkebunan kelapa sawit di Papua hingga 2022 sudah menyentuh ambang batas daya tampung lingkungan.
Perhitungan ambang batas lingkungan sawit di Papua adalah 290.837 hektare, sementara hingga tahun 2022, perkebunan sawit di pulau paling timur Indonesia itu sudah mencapai 290.659 hektare.
“Luas perkebunan yang ada sudah sangat krusial dan hampir mendekati kapasitas ekosistem yang ideal,” ujar Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo.
Merujuk hitung-hitungan itu, Achmad menilai akan terjadi pencemaran serta degradasi lingkungan yang mengancam keberlanjutan ekosistem, termasuk kehidupan manusia di sekitarnya, andaikata jumlah perkebunan sawit terus ditambah.
Menurut Achmad, sebanyak 75.308 hektare perkebunan sawit yang sudah ada di Papua bahkan sudah berada di wilayah hutan primer, kawasan konservasi, dan habitat burung cederawasih.
“Pembukaan lahan baru sama dengan menghancurkan ekosistem penting ini secara permanen,” kata Achmad.

Catatan Sawit Watch soal besaran perkebunan sawit di Papua ini berbeda dengan dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada 2022, BPS mencatat luas perkebunan sawit di Papua mencapai 218.900 hektare, lalu bertambah menjadi 236.060 hektare pada 2024.
Sampai saat ini, pemerintah belum memastikan lokasi penanaman sawit tambahan di Papua.
Apakah akan dibuka di wilayah Merauke, Papua Selatan, yang sebagian lahannya telah dirambah untuk perkebunan tebu?
Prabowo dan Kementerian Pertanian belum memerincinya.
Ketua Konsorsium Biologi Indonesia, Budi Setiadi Daryono, meminta Presiden untuk menahan ambisinya menambah perkebunan sawit di Papua.
Menurutnya, Presiden Prabowo semestinya dapat belajar dari masifnya dampak bencana di Sumatra yang dipicu pembangunan berbasis ekonomi, tapi tidak memperhatikan lingkungan.
Perspektif itu kemudian menyebabkan deforestasi dan pengurangan fungsi-fungsi dasar hutan.
“Fungsi hutan sebagai penyangga air mulai berkurang, fungsi mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menyediakan oksigen bagi kita juga berkurang,” kata Budi.
“Jadi, kami meminta presiden untuk menahan, tidak melakukan ini [penambahan sawit] di Papua. Itu biodiversitas yang tersisa di Indonesia.”
Tak cuma kerugian ekologis, keberadaan perkebunan sawit juga dinilai mengubah kebiasaan masyarakat, bahkan menjadi siklus kemiskinan baru.
Hal ini disampaikan dosen Fakultas Hukum UGM, Almonika Cindy Fatika Sari, yang bersama koleganya meneliti soal dampak perkebunan sawit terhadap masyarakat Papua.
Almonika dkk meneliti dampak perkebunan sawit seluas 14.000 hektare atau seperempat luas wilayah DKI Jakarta terhadap masyarakat di Boven Digoel.
Penelitian itu kemudian dibukukan dengan judul Masyarakat Adat dalam Jerat Kerja Paksa: Dampak Perkebunan Sawit di Merauke dan Boven Digoel.

Almonika mencontohkan hilangnya dusun sagu masyarakat karena telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit.
Warga asli Papua di sekitar perkebunan sawit di Merauke dan Boven Digoel, merujuk riset Almonika, memang masih dapat memakan sagu. Namun kini mereka harus mendapatkannya dengan cara membeli atau “mengandalkan pemberian saudara.”
Dampak industri sawit itu berdampak pula pada kebiasaan berburu babi hutan yang kini harus dilakoni masyarakat sampai jauh ke dalam hutan.
Almonika berkata, lahan masyarakat yang dia teliti beralih menjadi perkebunan sawit sejak tahun 1998.
Saat peralihan itu, perusahaan menjanjikan bahwa masyarakat setempat dapat bekerja di perusahaan.
Almonika menyebut janji ini memang dipenuhi perusahaan, bahwa warga berusia 20-30 tahun tercatat bekerja di perusahaan sawit—beberapa pekerja bahkan ada yang berusia sekitar 50 tahun.
Namun, pekerjaan itu sebatas pegawai di perkebunan yang tidak memiliki kontrak serta jaminan kerja dan keselamatan yang jelas.
Mereka dijanjikan gaji sekitar Rp4 juta, tapi nominal itu dikatakan Almonika “punya syarat dan ketentuan tertentu.”
Salah satu ketentuan itu adalah apakah orang asli Papua yang bekerja di kebun sawit itu bisa memenuhi target yang dipatok perusahaan.
Saat musim panen, mereka ditargetkan membawa atau mengangkut 100-120 kilogram, sementara hari biasa sebanyak 60-80 kilogram.
“Kalau target terpenuhi, dapat beberapa ratus ribu yang nanti nominal bisa mencapai Rp4 juta itu,” kata Almonika.
Sebaliknya jika tidak sesuai target, libur karena sakit, atau utang bahan makanan. Mereka tidak akan menerima uang sesuai janji gaji Rp4 juta.
“Itu membentuk sistem kemiskinan struktural: menyebabkan lilitan utang karena gaji yang mereka terima ada syarat dan ketentuannya,” kata Almonika.

Ada pula potensi konflik antarwarga karena perusahaan menggunakan beberapa orang sebagai “perpanjangan tangan perusahaan.”
Almonika mengistilahkan posisi mereka sebagai “juru bicara”, tapi sejatinya bertugas untuk melobi dan menyebarluaskan program perusahaan, seperti memperluas usaha atau lahan perusahaan
Posisi ini, terang Almonika, biasanya ditawarkan kepada ketua adat atau “orang setempat yang punya kekuasaan.”
Dengan rangkaian masalah itu, Almonika menyebut keberadaan sawit di Papua hanya akan menambah derita.
Almonika menyebut warga asli Papua akan kehilangan tanah, bekerja dan menumpang di hunian yang sejatinya adalah tanah mereka sendiri. Mereka juga akhirnya harus bekerja tanpa jaminan jelas.
“Boleh dibilang, orang setempat semakin rentan. Fisik menurun, psikis juga,” kata Almonika.
BBC News Indonesia menghubungi sejumlah pejabat Kementerian Pertanian dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi guna mengonfirmasi beragam hal ini, tapi tak beroleh balasan.
Gubernur Papua Mathias Fakhiri, mengatakan siap berkomitmen untuk mengikuti “seluruh program strategis nasional.”
“Saya menegaskan komitmen seluruh kepala daerah di Tanah Papua untuk mengawal Dana Otonomi Khusus dan seluruh program strategis nasional 2025-2029 agar benar-benar dirasakan rakyat,” kata Mathius.
Sementara Gubernur Papua Tengah Meki Fritz Nawipa mengatakan “seluruh program bapak presiden kami fokus untuk mendukung di daerah.”
Kenapa Prabowo ingin menambah sawit di Papua?
Rencana menambah perkebunan sawit di Papua disampaikan Presiden Prabowo Subianto dalam rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara, Jakarta.
Penambahan luas lahan sawit, dinilai Prabowo merupakan salah satu cara mencapai swasembada energi dalam lima tahun ke depan.
“Kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM,” kata Prabowo.
“Saya kira Papua punya sumber energi yang sangat baik dan Menteri ESDM juga sudah merancang bahwa daerah-daerah Papua harus menikmati hasil daripada energi yang diproduksi di Papua.”
Selain menanam sawit, Prabowo juga berhasrat menanam beragam tanaman lain yang dapat diekstraksi untuk bahan bakar nabati terbarukan.
Beberapa di antaranya adalah singkong dan tebu yang disebut mampu menghasilkan etanol.

Andaikata beragam bahan itu dapat dimanfaatkan maksimal, Prabowo mengklaim pemerintah akan mencapai swasembada energi dan tidak perlu lagi mengimpor BBM dari luar negeri.
Sejauh ini, terang Prabowo, impor BBM mencapai Rp520 triliun.
“Kalau kita bisa tanam kelapa sawit, tanam singkong, tanam serbuk pakai tenaga surya dan tenaga air, bayangkan berapa ratus triliun kita bisa hemat setiap tahun,” ujarnya.
Gagasan menjadikan Papua sebagai pulau penyedia bahan bakar nabati terbarukan sebenarnya telah dirancang sejak era Presiden Joko Widodo.
Pada Maret 2024, pemerintah membeberkan rencana menjadikan Papua sebagai “pulau energi terbarukan”.
Kementerian Pertanian kala itu menyatakan akan membangun perkebunan kelapa sawit dan tebu seluas masing-masing satu juta hektare untuk mencapai swasembada pangan dan energi di Tanah Air.
Bagaimana sikap Prabowo terhadap sawit selama ini?
Rencana ekspansi sawit beberapa kali telah disuarakan Prabowo—selain dalam rapat percepatan pembangunan Papua kemarin.
Sekitar dua bulan sejak dilantik sebagai presiden, Prabowo telah menyebut Indonesia perlu menambah kelapa sawit, tanpa takut dianggap membahayakan dan menyebabkan deforestasi.
“Enggak usah takut apa itu, katanya, membahayakan, deforestation. Namanya kelapa sawit, ya, pohon, kan?” tutur Prabowo pada 30 Desember 2024.
“Benar enggak? Kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida, dari mana kok kita dituduh yang mboten-mboten saja itu orang-orang itu.”
Pernyataan itu dilontarkan Prabowo di sela-sela pengarahannya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Gedung Bappenas di Jakarta.
Prabowo pun mengklaim banyak negara berharap dari Indonesia soal sawit, dan takut tidak kebagian jatah dari Indonesia.
Oleh karena itu, ia pun berpesan kepada para kepala daerah dan aparat TNI/Polri untuk menjaga kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Mereka sangat membutuhkan kelapa sawit kita. Ternyata kelapa sawit jadi bahan strategis, banyak negara itu takut tidak dapat kelapa sawit,” lanjut Prabowo.

Pentingnya kelapa sawit kembali disinggung Prabowo dalam pidatonya di HUT ke-61 Partai Golkar di Jakarta pada 5 Desember 2025.
Prabowo menyitir pentingnya kelapa sawit untuk BBM, di tengah perang yang terjadi di Eropa serta konflik di Yaman yang bisa berdampak pada impor energi Indonesia.
Oleh karena itu, Prabowo mengatakan Indonesia harus swasembada energi, salah satunya lewat bioenergi dari kelapa sawit.
“Kita diberi karunia oleh Yang Maha Kuasa, kita punya kelapa sawit, kelapa sawit bisa jadi BBM, bisa Jadi solar, bisa jadi bensin juga. Kita punya teknologinya,” ujar Prabowo.
“Sekarang, dengan bencana di Sumatra saja bagaimana repotnya kita mengantar BBM ke daerah-daerah bencana. Jembatan putus, BBM harus kita naikin pesawat, sebagian lewat kapal.”
Rangkaian pernyataan itu sejala dengan sikapnya sebelum menjabat presiden.
Pada November 2023, saat masa kampanye presiden, Prabowo mengkritik larangan impor sawit oleh Uni Eropa, menyebutnya “tidak adil” lantaran negara-negara Eropa semasa kolonialisme juga merusak hutan.
Apa yang disarankan pengamat?
Alih-alih menambah luas perkebunan, para pengamat menyarankan pemerintah untuk mengoptimalkan lahan sawit yang sudah ada.
“Intensifikasi menjadi kunci, bukan ekstensifikasi,” kata Ketua Konsorsium Biologi Indonesia, Budi Setiadi Daryono.
Budi menjelaskan, jika sebatas memenuhi kebutuhan dalam negeri, luasan perkebunan 5-6 juta hektare sejatinya sudah cukup memadai.
Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian, produksi minyak kepala sawit di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2024, produksi diperkirakan 48,6 juta ton, naik dari tahun sebelumnya yang 46,9 juta ton.

Berdasarkan catatan Sawit Watch, luas lahan tertanam sawit nasional saat ini sudah semakin sempit.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengatakan luas lahan tertanam saat ini mencapai 17,3 juta hektare, sementara total daya dukung lingkungan sawit tercatat sekita 18,15 juta hektare.
Oleh karena itu, alih-alih menambah sawit untuk bahan baku nabati, Achmad meminta pemerintah mengalihkan investasi ke sumber energi terbarukan lain yang ramah lingkungan seperti mikrohidro, tenaga surya.
“Bencana ekologis di Sumatra adalah peringatan keras. Kami meminta presiden mendengarkan sains dan masyarakat,” pungkasnya.
“Mengambil kebijakan yang benar-benar menjamin keselamatan rakyat dan keberlanjutan ekonomi jangka panjang.”
Paling banyak dibaca:
- Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’
- Operasi CIA di Indonesia: Film porno, daftar perburuan komunis, hingga Metode Jakarta
- ‘Tuhan akan mengatur dengan segala kesederhanaan’ – Bagaimana banjir dan longsor akan mengubah perayaan Natal sebuah kampung kecil di Sumatra?
- PM Australia menjenguk ‘pahlawan sejati Australia’ Ahmed el Ahmed yang berhasil merebut senjata pelaku penembakan di Pantai Bondi – Apa yang diketahui sejauh ini?