MotoGP Mandalika diklaim datangkan manfaat, bagaimana kehidupan warga yang dulu digusur?

Photo of author

By AdminTekno

Enam tahun lalu, sekitar 150 keluarga di Dusun Ebunut dan Dusun Ujung, Lombok Tengah, “mau tidak mau” harus meninggalkan tanah kelahiran dan rumah mereka demi pembangunan sirkuit Mandalika yang disebut “kepentingan umum”. Bagaimana kehidupan mereka kini?

Tak sulit mencari tempat relokasi warga korban penggusuran untuk pembangunan sirkuit Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), beberapa tahun lalu.

Di depan Sirkuit Pertamina Mandalika Internasional ada sebuah jalan baru yang mengarah ke utara. Seorang warga bilang, “Ikuti jalan ini sampai ujungnya, di situ sudah”.

Menurut warga, jalan itu dibuat sekitar dua tahun lalu, setelah perumahan untuk relokasi warga terdampak pembangunan sirkuit dibangun.

Jalan beton sepanjang tiga kilometer itu berakhir di bukit Silaq, Dusun Ngolang.

Puluhan bangunan beratap seng berwarna terakota terlihat sangat kontras dengan pohon dan rumput di sekitarnya.

Rumah-rumah itu dibangun di atas lahan seluas dua hektare. Total, 120 unit rumah untuk 120 kepala keluarga.

Satu bangunan terdiri dari dua unit rumah. Masing-masing kepala keluarga mendapat jatah seluas 60 meter persegi.

Meski buat sebagian warga rumah yang dibangun oleh Kementerian Perumahan dan Pekerjaan Umum (PUPR) itu lebih bagus dibandingkan rumah mereka sebelumnya, warga tetap lebih suka tinggal di kampung mereka di Dusun Ebunut, yang kini sudah berubah menjadi lintasan balap bertaraf internasional.

“Enak di sana [Dusun Ebunut]. Di sana kan ada tempat kita menyabit rumput, bisa beternak. Kalau di sini enggak ada tempatnya,” kata Ayati Miati sambil tertawa malu.

Ayati Miati, beserta suami dan anaknya, terpaksa meninggalkan tanah milik orang tua mereka sekitar 2021 lalu.

Rumah-rumah di kampung relokasi—tempat dia tinggal sekarang—tidak memiliki pekarangan. Jarak setiap rumah pun cukup berdekatan.

Padahal dulu, di Dusun Ebunut, setiap warga memiliki pekarangan yang luas.

Kondisi ini membuat puluhan warga yang dulunya bertani atau bercocok tanam, dan juga beternak, sulit untuk beradaptasi.

Akhirnya, warga yang masih punya ternak terpaksa mencari lahan yang jauh untuk ternak-ternaknya.

Malah ada juga warga lainnya yang kembali ke Dusun Ebunut karena lebih dekat dengan sumber mata pencarian mereka, yaitu laut.

Sebagian besar warga—terutama para laki-laki dewasa—harus pergi ke luar kampung untuk bekerja.

Mungkin itu sebabnya, suasana di perumahan relokasi ini sepi. Hanya ada beberapa perempuan yang duduk di teras rumah.

Selain soal kehilangan pekarangan yang juga menjadi sumber penghidupan, Ayati Miati juga mengeluhkan soal air.

Tidak, dia dan warga lainnya tidak kesulitan air. Katanya, “air sama-sama banyak”.

Bedanya, di tempat relokasi ini mereka harus membayar.

“Per kubik Rp11.000. Sebulan, saya bayarannya kadang Rp113.000, kadang lebih,” ujarnya.

‘Tidak ada perubahan’

Tidak banyak warga gusuran yang mau menceritakan kehidupan barunya di Dusun Ngolang.

Beberapa orang menghindar untuk diwawancarai.

“Sering sekali orang nanya-nanya, tapi tidak ada perubahan,” kata salah satu warga yang terlihat jengah dengan pertanyaan yang itu-itu saja.

Baca juga:

  • Dilema pembangunan di Mandalika – Haruskah pariwisata Lombok meniru Bali?
  • World Superbike hendak dihapus dari Sirkuit Mandalika karena rugi miliaran, warga ‘kecewa berat’
  • MotoGP di Sirkuit Mandalika dan tuduhan pelanggaran HAM PBB yang disebut ‘upaya menjatuhkan Indonesia’

Namanya Junaidi. Usianya 40 tahun. Sehari-hari, dia bekerja sebagai buruh bangunan di sekitaran Kuta.

Junaidi belum merasakan perbaikan hidup setelah pindah ke Silaq bersama istri, anak, dan ibunya.

Dia bilang, “Karena saya enggak punya ijazah, hidup saya tetap biasa-biasa saja. Tetap kerja proyek.”

Meski begitu, tahun ini Junaidi mendapat pekerjaan dari ajang balap internasional MotoGP yang berlangsung di Sirkuit Mandalika.

Ayah dua anak itu kebagian pekerjaan menjaga area penampungan anjing liar.

Sebelum rangkaian balapan berlangsung, anjing-anjing liar di KEK Mandalika dikumpulkan dan ditampung di tempat khusus agar tidak mengganggu pengunjung.

Pada malam hari, dia mendapat pekerjaan menjaga stand di area perhelatan MotoGP.

‘Lebih mandiri’

Berbeda dengan Junaidi, Rahmat Panye merasakan hidupnya kian membaik.

Dia sudah punya usaha sendiri, UMKM (Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro), bersama 20 orang warga lainnya.

Rahmat mengaku mereka mendapat pembinaan dari pemerintah daerah, Universitas Mataram, InJourney Tourism Development Corporation (ITDC)—perusahaan yang mengerjakan proyek Mandalika, mulai dari pengosongan lahan hingga pembangunan—dan juga pemerintah setempat.

Menurut dia, keberadaan KEK Mandalika membuat warga menjadi lebih mandiri dalam mengelola hidup, ketimbang ketika masih berada di dalam kawasan.

Pada penyelenggaraan MotoGP bulan lalu, UMKM Rahmat dan warga lainnya mendapat kesempatan berjualan di stand binaan ITDC.

“Memang dulu kita punya lahan luas, bisa bertani atau berternak. Tapi di sana kan tidak menentu,” kata Rahmat, yang dulunya merupakan kepala dusun Ebunut.

Selain kelompok UMKM, kata Rahmat, ada juga kelompok tani, tenun, dan kelompok ternak, “yang sekecil apapun, bisa menghidupi warga”.

‘Butuh waktu sebelum bisa move on’

Setelah digusur empat tahun lalu, Damar mengaku hidupnya banyak mengalami perubahan—selain kehilangan tempat tinggal dan usaha penginapan.

Uang hasil ganti rugi dari ITDC dia pakai untuk membeli rumah di daerah Sengkol. Damar tidak membuka usaha penginapan lagi karena uang ganti ruginya hanya cukup buat beli rumah.

Akhirnya, dia membuka warung di Pantai Tanjung Aan, yang beberapa bulan lalu juga digusur ITDC.

Kini, Damar berjualan kopi menggunakan mobil van, sambil membuka jasa penyewaan alat selancar di lokasi yang sama.

Awal Oktober lalu, warung kopinya ramai pengunjung—ada yang lokal, ada juga yang mancanegara.

Damar menghampiri tamu-tamunya, membuat suasana lebih hangat dengan membangun percakapan.

Meski dia terlihat luwes menjalani bisnis barunya, Damar mengaku butuh waktu untuk menyesuaikan diri.

“Banyak perubahan. Kami harus pindah ke tempat baru, bikin komunitas baru, bergaul sama orang baru,” ujarnya.

“Usaha juga begitu. Bikin relasi baru sama orang-orang yang baru kami kenal. Jadi butuh waktu yang lumayan panjang juga sebelum kami bisa move on.”

Damar tidak menampik bahwa kehadiran KEK Mandalika membawa manfaat buat sebagian orang.

Ketika balapan digelar, ada orang-orang yang direkrut sebagai marshal, petugas kebersihan, atau pekerjaan musiman lainnya—seperti yang terjadi pada Junaidi.

Di sisi lain, sebagian lagi tidak merasakannya.

Baca juga:

  • MotoGP Mandalika selesai, bagaimana warga lokal tetap mendapat nafkah dari pariwisata yang disebut mulai bangkit dan ‘tidak tergilas investor besar’?
  • Pembangunan proyek termasuk sirkuit dituding melanggar HAM, ‘Hak belum dipenuhi tapi pembangunan jalan terus, ini pemaksaan’

“Kalau menurut saya, untuk beberapa orang yang memang punya akses, yang memang tahu jalannya ke sana mungkin mereka punya untung, mereka bisa mencari penghidupan lewat sana. Tapi 90% dari itu tidak ada, tidak ada yang berdampak sama sekali,” dia mengklaim.

Damar berharap pihak pengembang kawasan mau merangkul masyarakat, terutama mereka yang kehilangan kampung halamannya.

Dia mengakui, masyarakat juga masih membutuhkan banyak ilmu dan keterampilan untuk itu, “tapi paling tidak, mereka harus diprioritaskan”.

“Biar bagaimanapun, mereka sudah berkorban banyak untuk pengembangan KEK Mandalika ini,” tegasnya.

Yang masih bertahan

Sebagian warga di kawasan KEK Mandalika memang sudah merelakan tanahnya. Namun, sekitar 47 keluarga dilaporkan masih bertahan di Dusun Ebunut, persis di sebelah sirkuit.

Salah satunya adalah keluarga Sibawaih.

Dia mengklaim, total luas lahan yang dia punya di kawasan itu mencapai enam hektare.

Hampir dua hektare sudah jadi lintasan sirkuit—tepatnya di sekitar tikungan sembilan dan tikungan sepuluh—sementara sisanya merupakan tanah yang dia tempati sekarang.

Jarak rumah Sibawaih dan lintasan cukup dekat. Cuma butuh berjalan kaki beberapa puluh meter saja sudah sampai di pinggir pagar sirkuit.

Di musim MotoGP, rumah Sibawaih selalu ramai pengunjung.

Pada 5 Oktober lalu, sekitar 50 orang memenuhi pekarangan rumah Sibawaih, penasaran ingin menonton balap motor kelas dunia itu secara gratis.

Kebanyakan dari mereka berasal dari desa tetangga—Desa Sengkol.

Sibawaih bukannya tidak mau pindah. Dia tidak menentang pembangunan.

Laki-laki 56 tahun itu hanya ingin tanah orang tuanya itu diakui statusnya, baru selanjutnya dilakukan transaksi jual beli sebagaimana mestinya.

Masalahnya, Sibawaih mengklaim, data kepemilikan tanah yang dimiliki ITDC berbeda dengan yang dia miliki.

Keputusan soal konflik tanah yang sudah inkrah di pengadilan, lokasinya berbeda dengan tanah yang dia miliki.

“Semoga Bapak Gubernur bisa melihat permasalahan yang sebenarnya. Sesulit apa sih sampai tidak bisa selesai dari masa LTDC, Rajawali, BTDC, dan sekarang ITDC? Angka apa yang tidak bisa dihitung? Hukum apa yang tidak bisa diterapkan dalam masalah itu?” ungkap Sibawaih ketika ditanya soal harapan.

Meski masih bertahan di tanah kelahirannya, kehidupan Sibawaih dan warga lainnya tidak sama lagi seperti dulu.

Sejak sirkuit dibangun, dia merasa kehidupannya “terisolasi”.

“Hubungan kemanusiaannya terbatas, fasilitas agama sudah jauh, fasilitas pendidikan sudah jauh, hubungan antarsosial sama masyarakatnya sudah terbatas. Itu yang menjadi pikiran kami sebenarnya,” ujarnya.

Untuk bertahan hidup Sibawaih bekerja sebagai tukang kayu. Dia menerima pesanan pembuatan rumah dan berugaq—sejenis gazebo bertiang empat atau enam.

Dia juga sesekali keluar dari kampungnya mengerjakan pesanan pembuatan rumah atau bangunan berbahan kayu.

Di lahan miliknya, Sibawaih juga bercocok tanam. Dia biasanya menanam ubi atau kacang.

Mandalika diklaim datangkan manfaat

Sementara warga yang mengorbankan tanah mereka masih beradaptasi dengan hidup barunya, Sirkuit Mandalika sudah empat kali menggelar agenda balapan internasional—yang diklaim sudah mendatangkan manfaat bagi NTB.

Pemerintah provinsi mengumumkan perputaran ekonomi pada pekan pertama Oktober—saat ajang balap MotoGP digelar—diproyeksi mencapai Rp4,8 triliun.

Dinas Koperasi dan UMKM mengungkap total transaksi di area Lombok Sumbawa Festival selama gelaran MotoGP 2025 mencapai Rp1 miliar.

Seluruh hotel di kawasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika diklaim terisi penuh. Sementara, rata-rata okupansi hotel di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) diklaim mencapai 93%.

Bahkan, rumah warga, homestay, dan guest house di Lombok Tengah hingga Mataram juga disewa pengunjung yang tidak kebagian akomodasi di kawasan utama—begitu bunyi pernyataan resmi dari Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus.

Di sektor tenaga kerja, kompetisi balap tahunan ini disebut melibatkan 2.073 tenaga kerja lokal asal NTB, baik di bidang hospitality, keamanan, transportasi, maupun logistik.

Untuk mengetahui seberapa jauh manfaat ajang balap dunia itu bagi kehidupan warga sekitar—terutama mereka yang digusur—BBC News Indonesia mengajukan beberapa pertanyaan kepada ITDC sejak 14 November lalu.

Hingga liputan ini dipublikasikan, ITDC tidak memberikan jawaban.

Namun, dalam wawancara pada Agustus lalu, pihak ITDC mengatakan di sirkuit sendiri, “hampir 90 persen tenaga kerja berasal dari NTB”.

Salah satu yang selalu dibanggakan adalah marshal atau pekerja sukarela yang bertanggung jawab atas keselamatan para pebalap.

Direktur operasional ITDC, Troy Warokka, mengatakan waktu pertama kali MotoGP digelar di Mandalika empat tahun lalu, mereka masih menggunakan jasa marshal dari luar negeri, tepatnya dari Sepang, Malaysia.

Seiring berjalannya waktu, para putra daerah sudah mengambil peran.

“Itu murni adalah masyarakat sekitar Mandalika. Mereka bekerja mengikuti jadwal balapan yang sudah ditentukan. Di luar itu, pekerjaan sehari-hari mereka beragam. Ada yang guru, ada yang pedagang, ada yang bertani,” kata Troy.

Bahkan saat ini, marshal asli Mandalika, disebut-sebut sudah ada yang “diekspor ke luar negeri”.

Selain marshal, ada juga yang bekerja di bidang hospitality, seperti hotel.

Troy bilang, hotel yang dikelola ITDC—bersama The Mandalika—memberikan bimbingan bahasa Inggris supaya putra-putri daerah bisa memenuhi kualifikasi untuk bekerja di sana.

ITDC sendiri juga mempekerjakan putra-putri asli NTB.

“Jadi bukan berarti kita tidak melakukan hal apapun terkait peningkatan kualitas SDM yang ada di wilayah sekeliling kami berada,” ujar dia.

“Bahkan sampai UMKM pun kami bina. Jadi bagaimana SDM-SDM ini, bahkan sampai pelaku UMKM ini, bisa eksis, bisa maju, dan bisa memberikan value untuk masyarakat juga dan keluarga.”

Seberapa besar dampak Mandalika untuk ekonomi NTB?

Dampak Mandalika buat NTB saat ajang MotoGP telah diklaim membawa banyak keuntungan. Namun, sebagai kawasan ekonomi khusus, dampak Mandalika belum bisa ditakar.

Gubernur NTB, Lalu Muhamad Iqbal, mengatakan pihaknya belum bisa membuat penilaian yang utuh terkait dampak proyek di wilayahnya itu karena pembangunan Mandalika belum selesai.

Dari total lahan seluas 1.200 hektare, “jumlah yang baru bisa dimanfaatkan masih sangat kecil”.

“Jadi kita belum bisa membuat penilaian yang utuh mengenai apa dampaknya. Tetapi yang jelas, dalam upaya kita bersama dengan teman-teman di ITDC khususnya, kita berusaha untuk memastikan bahwa proyek ini memberikan dampak yang baik kepada masyarakat di sekitarnya,” ujar Iqbal kepada wartawan Abdul Latief, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Tidak hanya berdampak untuk masyarakat yang berada di lingkar Mandalika, katanya, tetapi juga di Kecamatan Pujut—lingkup yang lebih luas.

Untuk saat ini, Iqbal tidak memungkiri, kemiskinan masih membayangi warga yang berada di sekitar kawasan. “Secara sosial ekonomi, mereka belum berdaya”.

Tetapi, dia juga menekankan, tugas untuk membangun masyarakat itu tidak bisa hanya dibebankan kepada pihak pengembang. Pemerintah provinsi dan kabupaten juga punya kewajiban.

“Karena kitalah yang lebih berkepentingan untuk menyiapkan masyarakat di lingkar Mandalika ini, untuk bisa mengambil bagian di dalam Mandalika,” ujarnya.

Sembari memikirkan soal dampak kawasan buat masyarakat secara lebih luas, Iqbal mengatakan pihaknya mau menyelesaikan masalah lain yang masih ada.

Dulu, menurut Iqbal, tidak semua isu soal lahan dibahas oleh para pemangku kepentingan karena “dulu kepentingannya adalah untuk mempercepat pembangunan Mandalika”.

Dia mengungkap sudah berbicara dengan pihak pemgembang Mandalika dan sudah mengajak mereka duduk bersama untuk mencari penyelesaian secara tuntas soal isu status lahan yang “masih terus berpolemik” dan muncul setiap tahun.

“Ada perspektif yang memang tidak bertemu. Cara pandang kita terhadap satu isu yang sama berbeda antara masyarakat di sekitar dengan pengelola, dalam hal ini ITDC. Saya kira ini yang perlu dipertemukan dulu,” kata Iqbal.

Kemudian, pihaknya juga akan mengevaluasi pemukiman kembali warga yang tergusur. Dia memahami warga kehilangan lahan untuk bercocok tanam, bertani, dan jauh dari tempat mereka mencari penghasilan.

“Pemukiman kembali itu tidak boleh mencabut dia dari akar sosiologisnya. Kalau dia nelayan maka dia dimukimkan di area di mana mereka bisa hidup sebagai nelayan. Tidak mungkin menempatkan nelayan di gunung,” katanya.

Pemprov NTB bakal berupaya memenuhi “harga sosial” itu.

Mendesak konsultasi bermakna

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) Wilayah Nusa Tenggara Barat juga mencatat permasalahan yang sama.

Koordinatornya, Harry Sandy Ame, mengatakan sudah berkali-kali mengajukan audiensi ke pihak ITDC. Namun, dalam beberapa kali audiensi, dia bilang ITDC tetap teguh bahwa lahan yang mereka kelola sudah “clean and clear” dan sudah mengantongi sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada September lalu soal penggusuran di Pantai Tanjung Aan, ITDC mengatakan mereka mulai mengelola lahan karena mereka sudah diberikan kewenangan lewat sertifikat HPL yang diterbitkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN).

“Kemudian untuk pemukiman kembali, warga ini tidak menolak sebenarnya secara prinsip. Tapi di [bukit] Silaq, warga tidak punya kehidupan apapun, sumber penghidupannya tidak ada sama sekali. Sehingga warga merasa tidak bisa hidup di sana,” kata Harry.

Atas nama koalisi, dia mengaku sudah berkali-kali mengajukan audit dan sanding data, tapi tidak pernah berhasil.

Sekarang, koalisinya tetap menuntut pemerintah pusat dan para pemangku kepentingan melakukan “konsultasi bermakna” untuk mendengarkan aspirasi warga, walaupun dia menilai itu sudah sangat terlambat.

“Ini yang paling mendesak”, Harry menekankan.

Apakah konsep Mandalika cocok untuk warganya?

Pembangunan KEK Mandalika memang belum rampung. Berbagai masalah juga masih menghantui.

Namun, dilihat dari konsep dan karakter masyarakatnya, lembaga independen Lombok Research Center (LRC) menilai keuntungan ekonomi hanya akan dirasakan “pemodal-pemodal besar” jika tidak ada pemetaan ulang terkait pelibatan masyarakat.

Pendiri LRC, Maharani, mengatakan hasil risetnya sebelum gempa Lombok pada (2018) dan pandemi Covid (2020) mengungkap, uang yang berputar di bisnis pariwisata NTB mencapai Rp20 triliun. Sebanyak Rp5 triliun—hampir setara APBD NTB—berasal dari makanan.

Jika masyarakat dilibatkan untuk pemenuhan makanan saja, menurut Maharani itu bakal “meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Sayangnya, sampai sekarang, pemerintah tidak pernah melibatkan masyarakat.

“Contoh kecil misalnya, khusus untuk kebutuhan dapur, bisa libatkan masyarakat [desa] Tanah Awu. Untuk kebutuhan buah, misalnya masyarakat Ketara. Untuk kebutuhan lain, masyarakat Sengkol. Kita petakan seperti itu sehingga kebutuhan dasar yang ada di sana itu masyarakat bisa terlibat,” Maharani menjelaskan.

Hasil penelitian lainnya dari LRC tahun 2003 lalu menemukan, untuk kebutuhan dapur di sektor pariwisata, 99% sayur dan buah didatangkan dari luar Lombok Tengah.

Sayur—seperti cabai dan tomat—biasanya didatangkan dari Lombok Timur, kata Maharani. Sementara buah, dia bilang 100% dari luar daerag.

“Contoh kecil saja misalnya sekelas semangka saja, petani Tanah Awu, petani Ketara, petani Manggung, tidak bisa mensuplai. Hanya sekedar semangka. Kita belum bicara jeruk, belum bicara apel, belum bicara lain itu, itu nol besar itu dari sisi keuntungan ekonomi,” ujarnya.

Yang tidak kalah pentingnya, Maharani juga menyinggung soal budaya.

Pemerintah dan para pemangku kepentingan disarankan membuka ruang-ruang khusus agar budaya lokal bisa dipertahankan dan tidak tergerus budaya dari luar.

LRC mendorong pihak-pihak terkait membuat kurikulum khusus untuk anak-anak sekolah. Bisa juga dengan menggelar acara-acara khusus budaya lokal.

“Tetapi jangan jadikan itu untuk komodifikasi yang cari keuntungan. Biarkan ini alami, tetapi ditata dibukakan ruang,” Maharani menegaskan.

Baca juga:

  • MotoGP di Sirkuit Mandalika dan tuduhan pelanggaran HAM PBB
  • Belanda telah mengembalikan ratusan benda bersejarah Indonesia, termasuk ‘harta karun asal Lombok’, yang dijarah pada masa penjajahan
  • Gempa Lombok: Nasib wisata Lombok, hoaks tsunami, dan eksodus ribuan turis
  • Dilema pembangunan di Mandalika – Haruskah pariwisata Lombok meniru Bali?
  • MotoGP di Sirkuit Mandalika dan tuduhan pelanggaran HAM PBB
  • Pembangunan proyek wisata Mandalika dituding melanggar HAM, ‘Hak belum dipenuhi tapi pembangunan jalan terus, ini pemaksaan’

Leave a Comment