Banjir Sumatra, tsunami Aceh, dan likuifaksi Palu – apa perbedaan penanganannya?

Photo of author

By AdminTekno

Penetapan status bencana nasional terhadap banjir bandang dan longsor di sebagian Sumatra masih menuai pro dan kontra. Tapi seberapa pengaruh status ini di lapangan, dibandingkan dengan Tsunami Aceh 2004 dan Likuifaksi Palu?

Pemerintah mengatakan “sejak hari pertama penanganan bencana Sumatra sudah berskala nasional”.

Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya menegaskan penanganan bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak awal telah dilakukan dengan skala nasional.

Hal tersebut disampaikan Seskab menanggapi berbagai pandangan yang masih mempersoalkan status bencana nasional.

“Sejak hari pertama, tanggal 26 [Oktober], pemerintah pusat sudah melakukan penanganan skala nasional di tiga provinsi ini, langsung mobilisasi nasional,” ujar Seskab Teddy dikutip dari laman Kementerian Sekretariat Negara, Jumat (19/12).

Seskab Teddy mengatakan, lebih dari 50 ribu personel gabungan TNI, Polri, Basarnas, dan relawan telah dikerahkan di wilayah terdampak. Ia juga menepis anggapan bahwa tanpa status bencana nasional, dukungan anggaran pusat tidak dapat disalurkan.

“Bapak Presiden sudah jawab dari awal, semuanya ini akan menggunakan dana pusat, disampaikan Rp60 triliun, sudah dikeluarkan secara berangsur untuk membangun kembali rumah sementara, rumah hunian tetap, fasilitas semuanya,” ungkap Seskab.

Di sisi lain, seorang relawan menilai tanpa status bencana nasional penanganan “masih menghadapi kendala koordinasi dan belum gerak cepat”.

Berdasarkan pengalamannya sebagai relawan banjir Sumatra 2025 dan tsunami Aceh 2004, garis koordinasi kali ini jauh berbeda karena tidak ada status bencana nasional.

“Kalau bencana nasional itu sudah jelas komandonya ada pada RI1. Semua akan mengikuti apa instruksi RI1. Kalau sekarang karena tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, jadi cuma perintah bukan komando,” ucap relawan Ira Hadiati saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (18/12).

“Bedanya kalau perintah bukan komando itu, nanti masing-masing ada koordinasi dulu dengan menteri ini atau kebijakannya bagaimana tapi eksekusinya seperti apa. Jadi, tidak ‘gercep’ istilahnya, meskipun misal jumlah bantuan sudah banyak masuk,” ujar Ira.

Bukan hanya bantuan, perbaikan fasilitas krusial seperti jalan dan jembatan juga terkendala. Padahal jalan dan jembatan ini penting untuk menembus area yang semula terisolir.

Ira memberi gambaran, Jembatan Awe Geutah yang menjadi alternatif penghubung Bireuen-Lhokseumawe atau Banda Aceh-Medan dengan ruas tak selebar jembatan utama butuh waktu hingga hari ini baru bisa dilalui. Jembatan utamanya yakni Jembatan Kuta Blang masih putus.

Ia pun mengingat ketika tsunami dengan status bencana nasional, pembangunan jalur krusial ini lekas beres karena satu komando dan penanggungjawabnya ada di satu instansi dengan sokongan yang lain.

Masuknya bantuan dan tenaga internasional juga mempercepat langkah. Kebutuhan dasar hingga obat-obatan terpenuhi pada pekan pertama bencana. Pembersihan juga berangsur dilakukan saat itu.

“Misalnya pemerintah enggak mau menetapkan itu sebagai bencana nasional. Tapi buat Satgas yang levelnya nasional. Sudah jangan di provinsi lagi levelnya. Jadi, supaya koordinasi antar-antar departemen tahu siapa di ujungnya,” kata Ira.

“Karena ini harus dikerjakan sama-sama. Kami relawan ingin bisa membantu semua, tapi kapasitas kami juga tidak bisa menyentuh semuanya,” ujar Ira.

Sebab, kali ini lokasi terdampak di Aceh mencapai 18 kabupaten, kata Ira. Ketika tsunami 2004, lokasi yang terkena tidak sebanyak saat ini.

Pendapat serupa dikemukakan Videl Jemali, warga yang pernah menjadi korban Gempa dan Likuifaksi Palu pada 2018 yang saat itu bukan merupakan bencana nasional.

Bantuan internasional membantu mempercepat langkah penanganan darurat, katanya.

Keberadaan Satgas gabungan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah berdampak pada pembersihan puing-puing di lokasi.

“Tiga minggu pasca bencana terbantu oleh kelompok relawan yang distribusi bantuan langsung ke tenda-tenda. Mereka jelajah semua area. Saat itu, bantuan dari luar (internasional) juga sudah masuk,” ujar Videl.

“Sebelumnya, distribusi dari pusat itu di Korem. Setiap tenda bawa nama-nama penghuni tenda untuk dapat bantuan. Itu juga enggak banyak yang dapat, keduluan habis.”

Secara terpisah, Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Avianto Amri berkata penanganan pasca bencana ini harus dikerjakan secara masif bersama-sama agar penanganan terhadap penyintas segera dijangkau.

“Mungkin pemerintah bilang, kami sanggup untuk mengerjakan ini sendiri. Tapi ada banyak komponen-komponen di luar pemerintah ini yang sekarang juga sedang bekerja keras, membantu, mendampingi masyarakat, dan berkolaborasi dengan pemerintah sebenarnya,” ujar Avianto.

“Mereka juga butuh bantuan. Tapi kalau misalnya pemerintah menutup diri dari bantuan internasional, lembaga-lembaga non-pemerintah ini akan dilemahkan dan penuh tantangan.”

Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya dalam jumpa pers yang digelar Jumat (19/12) pagi berkata penanganan bencana harus kompak dan dilakukan bersama.

Ia kemudian menggarisbawahi TNI, Polri, Basarnas, hingga BNPB daerah, telah bergerak melakukan penanganan sejak hari pertama kejadian.

Pemerintah pusat juga memberikan dukungan langsung kepada kepala daerah terdampak.

“Dan juga langsung seluruh bupati, wali kota 52 itu, diberikan uang cash untuk di hari itu, bila ada kebutuhan lain, tinggal sampaikan, pasti dikasih juga,” lanjut Seskab.

Terkait sarana dan prasarana, Seskab menegaskan pemerintah pusat telah mengerahkan dukungan secara besar-besaran.

Ia menyampaikan lebih dari 100 kapal, pesawat, dan helikopter telah dikerahkan ke wilayah terdampak, termasuk alat berat dari berbagai daerah di Indonesia.

“Ada alat berat dari PU mungkin, totalnya sekitar seribu mungkin, diangkut dari manapun di Indonesia ini, diangkut ke sana,” ucap Seskab.

Seskab Teddy juga mengakui bahwa penanganan di lapangan belum sepenuhnya sempurna.

Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pihak untuk saling mendukung dan menyampaikan langsung kepada petugas apabila masih terdapat wilayah yang membutuhkan bantuan.

“Apakah semuanya sudah dapat logistik? Apakah yang dilakukan sudah sempurna? Tentu belum. Makanya ayo kita sama-sama bahu membahu, saling dukung,” ujar Seskab.

Menutup keterangannya, Seskab menegaskan seluruh unsur bangsa telah bekerja keras sejak hari pertama untuk mempercepat pemulihan wilayah terdampak.

Ia pun mengajak semua pihak untuk menjaga kekompakan dan menyebarkan energi positif.

“Kalau niat bantu, ayo, sama-sama. Hibur warga, timbulkan optimisme, bikin ketawa, timbulkan senyum, timbulkan keyakinan. Sekali lagi, ayo kita saling bantu, saling jaga, saling dukung, sebarkan energi positif,” pungkas Seskab.

‘Warga bantu warga’

Relawan dari Mer-C, Ira Hadiati bercerita kondisi yang belum kondusif di Aceh, meski di sebagian daerah pasokan makanan dan obat-obatan mulai masuk, seperti di Bireuen.

“Saya berpindah-pindah, tapi ini sedang di Bireuen. Ini sudah berangsur bisa terdistribusi,” ujar Ira.

Menurut dia, daerah yang terhitung masih terisolir karena akses terputus adalah Bener Meriah dan Aceh Tamiang. Akibatnya, distribusi masih sulit.

Saat ini, harga kebutuhan pokok pun sudah naik signifikan.

“Misalnya di Bener Meriah itu dia harus ngambil barang dari Lhokseumawe. Biasanya bisa naik kendaraan. Sekarang mereka harus jalan kaki. Ada yang sampai dua hari. Jalannya becek dan kadang hujan-hujanan,” kata Ira.

Ira juga menyampaikan memasuki pekan ketiga pasca bencana ini, banyak warga yang mulai terjangkit penyakit.

Tenaga kesehatan di sebagian wilayah sudah mulai aktif lagi. Hanya saja obat-obatan banyak yang tidak tersedia dan lingkungannya sebagian besar belum dibersihkan.

“Lumpur masih tetap di tempat. Lumpur masih di pinggir-pinggir jalan. Kan jadi ISPA juga. Sanitasi dan air bersih juga saat ini mendesak,” kata Ira.

Banyak rumah warga yang masih dipenuhi lumpur hingga ketinggian satu meter.

“Itu bagaimana membersihkan kalau tanpa bantuan alat. Ada yang sampai rumah hanyut, terus mereka mau ke mana? Sementara barak-barak saja sampai sekarang belum dibuat, sifatnya masih tenda-tenda posko,” ujar Ira.

Kendati demikian, Ira melihat warga tetap berupaya bertahan dan bersyukur bantuan apapun yang diterima. “Walau yang mereka terima hanya sepotong biskuit yang kami bawa mereka tetap bersyukur istilahnya,” kata Ira.

Pada satu titik, kekuatan para korban ini adalah solidaritas sesama warga. Ira menyebutnya ‘warga bantu warga’ karena melihat yang lain susah tetap berusaha menolong meski sesama korban juga.

“Anak-anak juga masih ceria, walau pasti ada trauma. Tapi ya kita sebagai orang luar harusnya cepat tanggap. Jangan ini karena lihat orang-orang kok sepertinya oke, sudah santai-santai, terus dianggap baik-baik saja. Itu kan cara mereka bertahan,” ujar Ira.

Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno melaporkan pemulihan akses dalam jumpa pers.

Di Aceh, sejumlah ruas strategis sudah dapat dilalui seperti Lhokseumawe-Langsa, Langsa-Kuala Simpang, Kuala Simpang-Batas Sumatera Utara, dan jalan KKA.

Akses lain di Aceh yang disebut sudah bisa dipulihkan adalah jembatan di Awe Geutah dan Teupin Reudeup, jalan Aceh Tenggara-Gayo Lues, dan jalur Banda Aceh-Aceh Tengah melalui Beutong Ateuh. Ada juga jembatan Bailey yang juga sudah bisa diakses.

Di Sumatra Utara, wilayah Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Mandailing Natal mulai terhubung lagi karena sebagian besar akses telah pulih, meskipun masih terdapat beberapa titik longsor, jalan amblas, dan pemakaian jembatan-jembatan darurat.

Di Sumatra Barat, jalan nasional Padang-Bukitingggi melalui Lembah Anai masih dalam tahap percepatan perbaikan dengan progres mencapai sekitar 90%.

Sementara itu, jalan provinsi Padang Pariaman-Agam via Malalak saat ini sebagian besar sudah dapat diakses, meskipun masih ada titik yang masih memerlukan penanganan lanjutan.

Apa perbedaan penanganan banjir Sumatra dan tsunami?

Ira Hadiati yang pernah turun ketika tsunami Aceh 2004 dan kini membantu di banjir Sumatra, khususnya di Aceh menuturkan upaya timnya kali ini menembus berbagai lokasi bencana yang sulit.

“Jadi, kami koordinasi misalnya dengan Lanud dan TNI. Misalnya, tim pertama yang turun ke lapangan kan kami arahkan ke Aceh Tamiang. Nah, saya koordinasi dengan Badan SAR. Akhirnya, kami bisa berangkat sama-sama naik perahu dengan tim dari Kemenkes juga. Kami berangkat enam orang,” kata Ira.

Tim relawan ini berangkat dari Batam bersama tim SAR. Waktu tempuh lewat laut yang semula 13 jam menjadi 16 jam.

Kerja sama dengan pihak Lapangan Udara juga berbuah tim medis bisa berangkat ke Bener Meriah dan Kutacane.

“Tim medis bisa disisipkan di antara barang-barang distribusi yang akan dikirim. Memang harus berkoordinasi untuk menolong itu. Kalau kita mau kerja sendiri-sendiri, enggak bakal kepegang,” kata Ira.

Hanya saja, semua ini dirasa beda dengan pengalamannya ketika tsunami 2004. Ia menyadari tak bisa serta merta membandingkan karena perbedaan status kebencanaan.

Tsunami Aceh 2004 ditetapkan sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 112 Tahun 2004 yang dikeluarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember 2004—sehari setelah gelombang tinggi menghantam wilayah Aceh. Sedangkan, banjir Sumatra tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.

“Suasananya lain. Saya merasakan banget. Waktu tsunami, semua armada diturunkan…. Semua instruksi dari residen. Itu day by day. Pak JK (Jusuf Kalla) juga monitor badan-badan satgas yang bertugas,” kata Ira.

Pembagian tugasnya pun jelas. Bagian pembersihan lokasi, evakuasi korban, distribusi logistik, kesehatan, hingga kerja sama dengan lembaga internasional yang langsung masuk sejak pekan pertama pasca kejadian.

Menurut Ira, semua bergerak satu komando sehingga jalur yang sempat putus pun segera terhubung.

Aksi cepat dilakukan dari darat, udara, dan laut dengan koordinasi yang taktis sehingga tidak ada waktu yang terbuang.

Ira menyebutkan, tingkat stres dialami juga oleh relawan dan mereka yang turun ke lapangan, bukan hanya pengungsi.

Karena itu, kerja yang efisien dan tepat sasaran seperti ketika tsunami cukup membantu mereka bisa mengelola stres. Meski tetap ada konseling bagi mereka yang mulai merasa terdampak.

Saat ini, situasinya berbeda.

“Contoh yang paling gampang nih. saya dapat informasi, ‘Bu sana ini, Bu sana itu, sana juga gini.’ Ada satu titik, saya bingung juga mau nolong yang mana dulu, saya diam jadinya.”

“Dengan diamnya kita itu kan membuat wasting time sebetulnya. Tapi kalau garis komandonya jelas seperti waktu tsunami itu, udah aman menurut saya ini,” kata Ira.

Mengacu pada Tanggap Darurat Tsunami Aceh 2004: Respons Cepat Pemerintah Sejak Hari Pertama yang dimiliki Arsip Nasional Republik Indonesia, prioritas utama saat itu adalah pemulihan komunikasi, distribusi logistik, relokasi pengungsi, serta pencarian korban.

Pendirian barak pengungsi dan evakuasi korban yang selamat dilakukan sepanjang pekan pertama. Meski masih ada yang hilang, pencarian tetap dilakukan selama masa tanggap darurat dicanangkan.

Namun sepekan pertama pada akhir Desember 2004, sebagian besar korban selamat bisa dievakuasi.

Sementara untuk korban meninggal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar pencarian dan pemakaman dilakukan dalam sepekan pada minggu pertama.

Namun karena banyak jenazah yang sudah proses terurai karena gerusan air, target ini tidak tercapai.

Pembersihan lokasi awal pun dikebut pada pekan pertama dan kedua. Meski prosesnya terus berlanjut sejalan dengan program rekonstruksi dan rehabilitasi yang berjalan sejak awal 2005 hingga 2009.

Untuk bantuan logistik, tenaga kesehatan, dan obat-obatan, warga yang terdampak langsung bisa mengakses pada minggu pertama. Sebab, distribusi bantuan langsung berjalan sejak hari kedua pasca bencana seiring perbaikan darurat pada jalan dan jembatan putus yang selesai dalam hitungan hari.

Pemulihan sanitasi dan air bersih, serta listrik memakan waktu lama, tapi pasokan darurat disediakan sejak bulan pertama.

Presiden Yudhoyono mencanangkan 12 tata cara penanggulangan bencana dalam tiga hari setelah bencana terjadi. Berikut 12 hal tersebut:

  1. Laksanakan evakuasi secara intensif
  2. Laksanakan pengelolaan pengungsi
  3. Terus lakukan pencarian orang hilang dan pengumpulan jenazah
  4. Buka jalur logistik serta lakukan resupply dan pendistribusian logistik yang diperlukan
  5. Buka dan pulihkan jaringan komunikasi antardaerah atau kota
  6. Lakukan pembersihan kota yang hancur penuh puing dan lumpur
  7. Lakukan pengelolaan bantuan baik dari dalam maupun luar negeri dengan sebaik-baiknya
  8. Gunakan dana pemerintah untuk penanggulangan bencana dan gunakan pula dengan tepat sumbangan dana, baik dari dari dalam maupun luar negeri
  9. Meskipun kegiatan di Aceh berkonsentrasi pada kegiatan penanggulangan bencana alam, jangan tinggalkan upaya untuk memelihara keamanan demi ketertiban masyarakat
  10. Mengingat besarnya jumlah korban, TNI dan Polri melakukan penambahan kekuatan untuk mengembang tugas operasi bakti dan operasi pemeliharaan keamanan
  11. Sambut dengan baik dan libatkan unsur civil society, termasuk TNI, ICRC, dan LSM-LSM dalam kegiatan penanggulangan bencana
  12. Lakukan pengendalian operasi penanggulangan bencana dengan baik dan proporsional, baik di tingkat Jakarta, Medan, Banda Aceh, maupun Meulaboh.

Akhir Desember 2024, Menteri Koordinator Kesehatan Rakyat ditugaskan berkantor langsung di Aceh. Bantuan internasional pun dipersilahkan masuk secara besar-besaran.

Apa yang beda penanganan likuifaksi Palu dan banjir Sumatra?

Videl Jemali yang pernah menjadi korban bencana gempa dan likuifaksi Palu 2018 menyisir ingatannya lagi. Kala itu, bencana yang menimpa masyarakat Palu, Sigi, dan Donggala tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.

Mengutip data dari Satuan Tugas Penanggulangan Bencana di Provinsi Sulawesi Tengah, jumlah korban meninggal saat itu mencapai 4.845 orang, 172.999 pengungsi, dan 110.214 rumah yang rusak.

Lalu, bagaimana dengan penanganan saat itu?

“Seingat saya, rata-rata bantuan itu baru bisa dibagi ke posko dan warga ketika sudah empat atau lima hari setelah kejadian. Itu makanya tiga hari pertama terjadi chaos sampai adanya penjarahan. Karena penyintas enggak ada sembako. Pasar jaga masih tutup,” ujar Videl.

Hingga tiga pekan pasca bencana, Videl bercerita baru masuk distribusi bantuan secara merata.

“Baru mulai terasa bantuan-bantuan ke tenda pengungsian. Masa-masa itu memang distribusi mulai merata karena ada banyak bantuan dari luar juga yang masuk,” ucap Videl.

Bahkan tenda pengungsian atau barak, kata Videl, kebanyakan dari pihak ketiga, termasuk bantuan luar negeri. Distribusi obat-obatan juga baru lancar setelah akses dari luar masuk.

Sementara itu, pembersihan lokasi yang disebutnya memakan waktu lama. Warga lebih dulu berupaya mandiri semampunya. “Pembersihan lokasi itu setelah evakuasi. Waktu itu masa evakuasi 14 hari tambah tujuh hari,” kata Videl.

Selain itu, pasca empat pekan bencana, pemerintah baru membentuk Satuan Tugas dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah

“Pemulihan bencana Palu, Sigi, dan Donggala mungkin salah satu terlama. Pembangunan huntara (hunian sementara), misalnya, seret sampe akhir 2019. Padahal waktu itu janjinya kalau enggak salah tiga bulan pasca bencana,” kata Videl.

Menurut dia, banyak kendala yang terjadi, seperti masalah data yang silang sengkarut hingga pemerintah yang tak gerakkan aparat RT/RW. Akibatnya, hunian sementara baru tersedia satu tahun pasca bencana.

Begitu pula dengan pembangunan hunian tetap.

Selain soal data, ada masalah sengketa lahan yang diklaim warga padahal itu lahan Hak Guna Bangunan yang bisa diambil negara lagi karena situasi darurat.

“Huntap ini lebih parah sampai tiga tahun. Yang cepat pembangunannya malah huntap dari swasta, dari Buddha Tzu Chi,” kata Videl.

Bagaimana efek jika bantuan internasional diterima?

Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Avianto Amri berkata bantuan internasional merupakan suatu keniscayaan ketika bencana besar menimpa suatu daerah bahkan negara. Sebab, hal itu merupakan bentuk solidaritas kemanusiaan.

Ia pun memberikan contoh, seperti Topan Haiyan di Filipina 2013, Gempa di Nepal, Gempa di Turki, Banjir di Pakistan, hingga Siklon di Pasifik memperoleh perhatian dari global. Indonesia pun turut memberikan bantuan.

“Itu salah satu bagian dari upaya membantu tetangga-tetangga kita yang sedang kesusahan. Lalu, kenapa di saat kita kesusahan, kita justru malah menutup pintu itu? Kenapa dianggap bantuan internasional itu mencederai harga diri bangsa,” ucap Avianto.

Menurut Avianto, bantuan dari internasional ini menunjukkan Indonesia masih dipandang sehingga solidaritas terbangun. Ini juga bisa memperkuat hubungan dengan negara-negara lain dan komunitas internasional untuk makin bersatu padu.

Avianto kemudian mengingat ketika Gempa dan Likuifaksi Palu, Sigi, dan Donggala di Sulawesi Tengah. Semula, bantuan internasional belum masuk pada pekan awal.

Namun, Presiden Joko Widodo meski tak menetapkan sebagai bencana nasional melakukan inventarisasi barang dan sumber daya yang dibutuhkan untuk penanganan bencana.

“Saat itu, kita enggak butuh terpal, tikar, selimut, sabun, sampo, dan lain-lain karena memang sudah tersedia dari nasional. Tapi ada hal-hal seperti alat berat, kendaraan logistik, atau tenaga-tenaga ahli, juga pendanaan itu dibutuhkan untuk upaya penanganan bencana sampai pemulihan,” ujar Avianto.

Atas dasar itu, bantuan internasional mulai masuk. Dampaknya dirasakan masyarakat penanganan bencana mengalami perubahan positif yang siginifikan.

Avianto menuturkan mekanisme bantuan internasional ini bisa masuk melalui lembaga yang sudah bekerjasama dengan Indonesia, seperti Palang Merah, misalnya.

“Bantuan itu bisa diserahkan melalui channel-channel tersebut, sehingga mereka masih bisa menerima dana walaupun dari luar negeri karena sudah ada kerja sama sebelumnya.”

Akan tetapi, pernyataan pemerintah yang menyatakan mampu menangani sendiri dan menolak bantuan asing, pihak yang bersedia membantu sebagian juga menahan diri.

“Di satu sisi, kita sudah ada banyak berita tentang betapa besarnya bencana ini dan tantangannya seperti apa. Tapi di sisi lain pemerintah sendiri yang menjadi acuan, itu mengatakan bahwa tidak butuh bantuan luar,” ujar Avianto.

“Kami sangat menyayangkan statement tersebut. Karena justru kita seharusnya bisa membuka pintu dan melihat bagaimana solidaritas itu bisa ditunjukkan, seperti apa yang Indonesia lakukan di negara lain, di saat mereka mengalami musibah.”

Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat jumpa pers, Jumat (19/12) pagi berkata bantuan dari luar negeri yang belum ada mekanismenya adalah dalam bentuk government to government. Sementara itu, jika masuk melalui lembaga internasional diperbolehkan.

Ini disampaikannya saat menanggapi pengembalian bantuan 30 ton beras dari Wali Kota Medan, Rico Waas.

Pimpinan daerah Kota Medan mengembalikan bantuan dari Uni Emirat Arab tersebut dengan kekhawatiran belum ada kejelasan mengenai bantuan internasional untuk bencana ini.

“Kami langsung berhubungan dengan Duta Besar United Arab Emirates yang menyampaikan kepada kami tadi malam, bahwa yang diberikan itu bantuan 30 ton berasal bukan dari pemerintahan United Arab Emirates, tapi dari Red Crescent,” ujar Tito.

“Jadi, bulan sabit merah ya, semacam PMI itu. Bulan sabit merah di United Arab Emirates. Jadi, non-government organization. Ada kesalahpahaman,” ujar Tito.

  • Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’
  • Bendera putih di Aceh, ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’ – Apa respons pemerintah pusat?
  • Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – ‘Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu’
  • Tiga hal yang kita pelajari dalam 20 tahun sejak tsunami Aceh 2004
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Kisah ‘bocah ajaib’ Martunis Ronaldo bertahan hidup selama 21 hari – ‘Saya dikelilingi mayat dan dikira hantu’
  • Satu pekan yang mencekam di Aceh Tamiang, gelap gulita, penjarahan, dan bau bangkai menyengat – ‘Seperti kota zombie’
  • Kisah hidup dan mati dari desa di Pidie Jaya, Aceh, yang terkubur lumpur
  • Penampakan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir di Sumatra

Leave a Comment