
Kurang dari satu bulan menanti kelahiran anak pertama, dua calon ibu di Aceh Tengah harus menata ulang kehidupan dari “nol besar”. Semua hal yang sudah disiapkan—dari rumah sampai kebutuhan bayi—lenyap tersapu banjir bandang dan tanah longsor.
Desa Mendale, Kecamatan Kebayakan, merupakan salah satu wilayah terparah terdampak banjir dan longsor di Kabupaten Aceh Tengah. Sekitar 25 unit rumah hancur rata dengan tanah, memaksa 960 jiwa mengungsi.
Desa yang dulu berdiri kokoh dan ramai, kini berteman sepi. Tersisa hamparan bebatuan dan kayu-kayu.
Banyak pemilik rumah yang datang mengais apapun yang bisa diselamatkan dari bekas reruntuhan, termasuk pakaian yang sudah rombeng.
Salah satunya Kinanti Renatha, 21 tahun. Dari luar dasternya, terlihat perutnya membesar berisi jabang bayi yang sudah berusia delapan bulan. Dari hasil ultrasonografi (USG) bayi pertamanya berjenis kelamin laki-laki, katanya.
“Sebelum kejadian [banjir] semua persiapan sudah siap dan lengkap, tapi sekarang semuanya sudah tiada,” kata Kinanti, kepada wartawan di Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Sabtu (20/12).
Ketika kejadian, Kinanti hanya membawa satu stel baju dan dompet. Sementara perlengkapan bayi yang sudah dibeli sebelumnya tidak ada lagi. Bahkan rencana untuk tempat untuk melahirkan pun kini sirna. Fasilitas kesehatan terdekat tak dijumpainya lagi.
“Enggak ada sisanya, rasanya masih seperti mimpi. Akan kami usahakan agar anak kami tidak merasakan seperti kami lagi. Akan kami usahakan seperti selimut, kalau sudah ada rezeki nanti akan kami lengkapi satu-satu, karena harus memulai dari nol besar,” jelas Armenta Syaputra, suami Kinanti.
Banjir besar disertai longsor dan gelondongan kayu yang terjadi selepas Armenta berangkat kerja pada pukul 04.00 WIB meluluhlantakkan mimpi pasangan ini menyambut kehidupan baru dalam keluarga kecil mereka.

Kondisi menanti kelahiran pertama di tengah bencana ini juga dihadapi Maharasimah Bengi, 20 tahun. Persalinannya diperkirakan akan berlangsung Januari 2026. Tapi ia masih belum tahu tempatnya.
“Sedih kalau mau lahiran di sini [pengungsian] maunya ada rumah sendiri, enak seperti orang-orang ada rumah sendiri. Kalau Mahara enggak ada rumah lagi,” katanya.
Saat ditemui di pengungsian, perempuan yang disapa Mahara beraktivitas seorang diri. Tidak seperti penyintas yang lain, bersama anggota keluarganya.
“Suami dan anggota keluarganya yang lain kerja ke kebun untuk memetik kopi, buat ngumpulin biaya untuk lahiran,” jelasnya.

Dari Desa Celala, Kecamatan Celala, Aceh Tengah, Erni Puspita Sari (57), harus menahan sakit dan nyeri karena obat rutin yang harus dikonsumsinya sebagian habis.
Namun, obat penghilang nyeri untuk keluhan pada sarafnya akhirnya diperoleh dari bantuan relawan yang diantarkan ke rumah. Hanya saja sebagian obat lain yang habis, masih belum diperolehnya.
Erni mengalami sejumlah penyakit yaitu Hernia Nukleus Pulposus (HNP)—atau yang kerap disebut saraf terjepit—diabetes dan hipertensi.
“Untuk obat gula, peradangan empedu, dan darah tinggi itu belum ada lagi. Beberapa malam lalu, Ibu sempat drop. Ibu menggigil dan darah Ibu naik dan sempat terjatuh juga,” ujar Erni.
“Sudah pakai empat lapis selimut, enggak mempan. Di situ, drop benar enggak bisa bangun badan. Sekarang ini, sudah empat hari, jadi pakai kursi roda. Pakai obat yang ada, itu hanya untuk menahan nyeri.”
Selain obat, jadwal rutin untuk kontrol ke rumah sakit juga tidak bisa terlaksana seperti semula.
- Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – ‘Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu’
- Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
- Jalan aspal berubah jadi sungai, Sumatra Utara masih porak poranda dua pekan usai banjir dan longsor – ‘Pemda kehabisan alat berat’
Biasanya, Erni wajib kontrol ke rumah sakit seminggu sekali untuk permasalahan sarafnya. Sedangkan untuk penyakit dalam, seperti diabetes dan hipertensi, Erni rutin sebulan sekali berobat.
Kemudian tiap tiga atau empat bulan sekali, Erni harus rawat inap sejenak untuk cek darah rutin lengkap, injeksi, dan pemberian obat melalui infus.
“Aksesnya dari rumah Ibu ke rumah sakit itu agak jauh. Apalagi sekarang mau dari Kuyun (nama desa) atau Angkup (nama desa), jalannya terputus. Kalau pun ditempuh, harus menyeberang naik rakit terus naik gunung, turun gunung. Itu ibu harus ditandu. Enggak mungkin saya ditandu, ibu ini ada obesitas juga,” tutur Erni.
Sebelum banjir besar memutus akses wilayahnya, Erni biasa diantarkan suami atau anaknya naik kendaraan.
Itu pun jarak rumah dengan Rumah Sakit Umum Daerah yang berada di Takengon, Aceh Tengah, memakan waktu hampir satu jam dengan jarak lebih dari 20 kilometer.
Kini, sekitaran rumah Erni jalurnya penuh lumpur dan beberapa sisinya masih rentan longsor.
Yuke, relawan dari Takengon yang mengantarkan obat ke tempat Erni menyampaikan kendaraan yang bisa menembus hanya motor dua tak atau motor trail untuk melewati medan berlumpurnya saja.

Selain dari Aceh Tengah, Yayasan Scleroderma Indonesia yang berada di Jakarta memperoleh kabar dari Aceh Utara mengenai orang dengan scleroderma yang membutuhkan obat.
Yancy Buhory, selaku pengurus yayasan, segera turun tangan untuk menyediakan obat tersebut agar bisa segera dikirimkan ke Aceh.
“Jadi dari Krueng Mane itu laporan kesusahan dapat akses obat bulanan. Mau pesan enggak bisa dikirim. Mau ke RSUD tempat biasa kontrol, jembatan putus dan belum berani naik perahu untuk nyebrang sungai,” ujar Yancy.
Baca juga:
- Banjir Sumatra, Tsunami Aceh, dan Likuifaksi Palu – Apa perbedaan penanganannya?
- Bayang-bayang referendum dan konflik bersenjata di balik penanganan banjir di Aceh
- Trauma korban banjir-longsor Aceh ‘lebih berat’ dari tsunami 2004, kata psikolog
Menurut Yancy, orang dengan scleroderma harus memperoleh obat rutin.
“Obat tidak boleh berhenti seketika tanpa pantauan dokter. Penyakitnya akan makin progresif. Walau untuk yang bersangkutan ini, selama ini masih dosis rendah imunosupresannya yang artinya penyakitnya masih terkontrol dan tidak ada perburukan.”
Namun, tetap saja pasokan obat rutin ini harus dijaga. Saat ini, Yancy masih menunggu pesanan obat imunosupresan untuk bisa segera dikirimkan ke relawan yang ada di Banda Aceh. Nanti relawan di sana yang akan berkontak dengan yang bersangkutan untuk kelanjutannya pengantaran obatnya.
Yancy menyediakan obat untuk tiga bulan ke depan sebagai antisipasi.
Scleroderma merupakan salah satu penyakit autoimun reumatik yang masih terbilang langka di Indonesia. Salah satu gejalanya penebalan kulit di bagian tubuh akibat produksi kolagen berlebihan dalam tubuh.
Yancy pun mengingatkan, pantauan juga harus dilakukan terhadap penyintas autoimun lain.
“Selain scleroderma ini, ada Lupus yang kemungkinan banyak di Sumbar dan Aceh,” ujar Yancy yang sudah mencoba berkontak juga dengan pengurus komunitas Lupus.
Bagaimana upaya relawan menembus daerah terisolir?
Yuke Octavia, relawan dari Takengon, terus berjejaring dengan relawan lain di seantero Aceh pasca bencana terjadi.
Namun fokus pergerakannya selalu ada di wilayah Aceh Tengah.
Salah satunya di Kecamatan Celala yang sempat disambanginya untuk mengantar obat-obatan karena sebagian stok obatnya sudah kosong di Poliklinik Desa setempat.
Selain Celala, Yuke berkata ada area lain yang juga membutuhkan bantuan fasilitas kesehatan, termasuk obat-obatan. Antara lain, Kecamatan Rusip Antara dan Kecamatan Bintang.
Di Rusip Antara, ada desa Pamar yang meminta bantuan obat-obatan pada Yuke dan rekan-rekannya. Meski terisolir, wilayah itu masih bisa dijangkau dari darat.
“Di Bintang ini, kalau untuk darat belum bisa diakses tapi kita bisa sisir menggunakan jalur air. Hari Minggu kemarin, Puskesmas Bintang kami support untuk obat ventolin karena di sana masih terbatas untuk ventolin (obat asma, gangguan pernafasan, bronkitis, dan penyakit pari obstruktif kronis),” ujar Yuke.
Sementara itu, stok obat di Takengon yang merupakan ibu kota Aceh Tengah juga sudah mulai menipis.
Yuke yang pada Selasa (23/12) ini bersama 14 rekannya hendak masuk ke Desa Rawe, Kecamatan Lut Tawar telah berbelanja stok obat sehari sebelumnya. Ia pun harus berkeliling ke tiap apotek yang ada di Takengon.
“Harus disisir satu-satu. Misalnya di apotek ini, cuma ada obat apa. Di apotek lain, nanti adanya cuma yang ini aja. Memang sudah minim untuk yang urgent seperti obat diare, obat batuk, obat sakit kepala. Obat diare saja, saya cuma dapat satu boks kemarin. Sedangkan, obat diare ini sangat diperlukan sekali,
“Kami juga berupaya menghubungi teman di Banda Aceh karena kabarnya sudah ada sebagian obat yang masuk lewat jalur udara,” kata Yuke.
Baca juga:
- Pengungsi Aceh Tamiang kesulitan air bersih, buang air besar di tanah – ‘Saya pakai genangan banjir’
- Bendera putih di Aceh, ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’ – Apa respons pemerintah pusat?
- Balita dan anak-anak di Aceh Tamiang makan mi instan belasan hari, apa dampaknya bagi kesehatan?
Yuke juga berinisiasi untuk bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat dengan meminta bantuan obat untuk disalurkan ke tempat-tempat yang terisolir. menggunakan jalur sepeda motor.
“Supaya tetap masyarakat yang di daerah terisolir bisa mendapatkan perawatan sementara selagi akses ke kabupaten menuju rumah sakit masih tidak ada. Karena tidak mungkin kita biarkan mereka sakit berhari-hari,” kata Yuke.
Memang di sejumlah tempat, puskesmas bahkan rumah sakit sudah berjalan. Namun ada wilayah yang terputus sehingga warga tetap sukar untuk mengakses fasilitas kesehatan tersebut.
“Seperti Ibu Erni itu, tetap harus sambung naik rakit setelah naik motor ketika antar obat. Ada juga di lokasi lain, jembatan putus, ibu hamil sembilan bulan harus naik sling untuk nyeberang,” ungkap Yuke.
Sementara itu, ketersediaan sanitasi dan air bersih menambah berat persoalan kesehatan ini.
Penyakit diare dan gangguan pernafasan tidak dapat dihindari sehingga stok obat memang mendesak.
Sebab, jumlah tenaga kesehatan bersama relawan sejauh ini bisa berjalan tapi kendala penanganannya kerap terbentur pada stok obat.
Di sisi lain, listrik dan jaringan komunikasi di lokasi Aceh Tengah juga belum stabil sehingga berdampak pada koordinasi penanganan kesehatan.
“Di Desa Rawe ini yang jaraknya hanya 10 kilometer dari Takengon saja itu listriknya masih padam dan sinyal enggak ada.
Di Toweren, bahkan dua hari sebelum kejadian sampai sekarang itu listrik masih padam,” kata Yuke.
Bagaimana upaya dari para tenaga kesehatan di lapangan?
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memperoleh laporan tiga penyakit yang banyak muncul kini pada korban bencana banjir Sumatra adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), diare, dan penyakit kulit. Ini ditemukan hampir di tiap pengungsian.
“Itu memang permasalahan yang terjadi di lapangan. Tidak sampai outbreak memang, tapi jumlahnya bisa dibilang meningkat, apalagi anak-anak. Itu tidak bisa dihindari ketika seorang anak kemudian dia tinggal dalam suatu lingkungan dengan berkumpul dengan banyak orang dan kendala air bersih,” ujar Ketua Satuan Tugas Penanganan Bencana dari IDAI, Kurniawan taufiq Khadafi.
Menurut dokter spesialis anak ini, sebanyak 60 tangki air bersih sempat dikirim ke Aceh Tamiang. Namun rupanya hal itu tetap tidak bisa menutup kebutuhan yang banyak dan terus ada.
Untuk itu, pengadaan air bersih pada pekan ketiga dan memasuki pekan keempat ini perlu ada di banyak titik.

Berdasarkan pengalamannya turun ke lapangan, para tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit yang mulai beroperasi bekerja sama dengan para relawan yang ada di posko dan mengatur bersama alur rujukan.
Salah satunya, seperti yang terjadi di Aceh Tamiang yang saat itu rumah sakitnya baru berfungsi 10% saja.
“Jadi, kami yang ada di rumah sakit lapangan pada waktu itu yang menerima pasien menggunakan ruangan yang 10% itu. Per hari menerima 20-30 pasien. Begitu relawan masuk minggu ketiga, pasien mulai banyak berdatangan. Kami atur lagi agar cukup efektif dan efisien sehingga tidak menumpuk,” kata Khadafi.
“Karena kami berpikir sepertinya ini tidak akan selesai dalam 1-2 bulan. Bahkan sepertinya bisa sampai dengan enam bulan. Jadi, akhirnya kami rutin setiap minggu rapat dengan IDAI cabang juga agar efektif dan tidak membuat korban malah makin terbebani,” ujar Khadafi.
Konsep ‘korban menolong korban’ itu juga berlaku, kata Khadafi.
Para dokter yang walau menjadi korban, tetap juga berupaya membantu warga yang terdampak.
Namun ada kalanya situasi tidak memungkinkan sehingga tugas diambilalih oleh rekan sejawat lain dan relawan.
“Di Aceh Tamiang, misalnya, relawan datang karena dokter-dokternya juga menjadi korban. Jadi, kita juga paham dengan situasi itu,” ujar Khadafi.
“Ketika tidak ada di rumah sakit, kemungkinan besar amat-sangat terdampak, maka ya diistirahatkan, diambil alih oleh teman-teman yang datang.”
Namun, konsep ini tetap hidup di lapangan.
“Mereka yang sedikit terdampak tapi setelah sekian hari mereka cukup untuk memulihkan, akhirnya ikut terjun ke daerah-daerah yang terisolir.“
Seperti di Aceh Tengah, Khadafi mengungkapkan para dokter, termasuk spesialis anak, bahu-membahu berupaya menembus lokasi dan melakukan pelayanan. Kendala utama, ada pada transportasi dan bahan bakar.
“Bahkan kalau enggak salah itu ada mereka didrop dengan menggunakan heli,” kata Khadafi.
Para dokter juga memberlakukan pergantian tenaga dan pengaturan waktu bertugas.
Apalagi ketika mereka sudah sangat masif untuk memberikan layanan, terutama anak. Adapun pasien anak di Aceh Tengah, berdasarkan laporan, tercatat 100 pasien.
Baca juga:
- Pascabanjir dan longsor di Sumatra, warga mencuci di parit – Ancaman penyakit menular mengintai
- Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
- Kisah perawat yang bertahan di RSUD Aceh Tamiang demi seorang bayi
Saat ini, ada 200 dokter dari IDAI yang turun ke lapangan. Selain berada di posko, mereka juga mulai memanfaatkan puskesmas dan rumah sakit yang sudah bisa berfungsi.
Tidak hanya menunggu atau mengunjungi pasien di fasilitas kesehatan, para dokter juga “jemput bola” dengan mendatangi lokasi-lokasi, termasuk yang terisolir dengan bahu membahu bersama relawan.
Bahkan ia mengingat ada puskesmas yang para tenaga kesehatan setempat membersihkan sendiri lokasinya agar bisa segera bisa difungsikan untuk menolong korban. Namun, kendalanya ada pada peralatan dan obat-obatan.
Terkait obat-obatan, Khadafi juga menjelaskan situasi lapangan yang sukar dijangkau ini kerap menjadi persoalan pasokan obat belum sampai.
Sejauh pengalamannya saat bertugas di Kecamatan Sitahuis, Tapanuli Tengah, obat-obatan bergantian dibawa oleh para tenaga kesehatan dan relawan yang masuk ke sana.
“Misal, kami saat ke sana itu masih ada obat yang tersisa tapi kami putuskan tinggal di sana untuk bisa digunakan oleh yang selanjutnya. Karena, akses sangat sulit kalau harus bolak-balik. Jadi, memang saat di lapangan itu sudah tanggalkan bendera masing-masing, semua saling bantu,” ujar Khadafi.
“Seperti resources obat ini disupport juga dari IDI Cabang Aceh, mereka akan ngedrop lagi obat dengan berbagai macam cara,” kata Khadafi.
Selain melakukan penanganan terhadap mereka yang terdampak sakit karena bencana, Khadafi juga menuturkan sempat merujuk pasien dengan Diabetes tipe I di Aceh ke rumah sakit di Sumatera Utara.
Upaya merujuk ini juga tetap dengan pertimbangan mobilitas mengingat banyaknya akses yang putus.
Khadafi menyadari pasien, termasuk anak, yang harus ditangani juga mereka yang selama ini menjalani perawatan rutin dan butuh dukungan obat berkala.
Hal ini juga menjadi menjadi perhatian utama karena itu IDAI cabang diberdayakan agar dapat menjangkau juga mengingat bisa jadi pasien tidak bisa ke posko atau fasilitas kesehatan karena jalur terputus.

Secara terpisah, Wakil Ketua IDAI Aceh, Aslinar mengatakan, bagi ibu hamil yang hendak melahirkan, tata laksana dalam kondisi darurat perlu diperhatikan mengingat adanya bahaya cuaca dingin sehingga meningkatkan risiko terkena hipotermia (penurunan suhu tubuh).
“Risikonya hipotermia. Tapi jika ditolong oleh nakes dengan alur pertolongan persalinan bayi yang tepat, hipotermia bisa teratasi,” katanya.
Aslinar melanjutkan, prosedur lain untuk mencegah hipotermia ialah dengan disegerakan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). “Dengan cara bayi diletakkan di dada ibu untuk segera menyusui. Cara ini sekaligus menghangatkan bayi karena adanya kontak kulit antara ibu dan bayi.”
Sementara itu, kebutuhan PICU dan NICU saat ini terkendali karena hampir sebagian besar rumah sakit sudah bisa beroperasi kembali. Meski ada kendala terkait pasokan listrik dan air bersih yang harus segera ditanggulangi.
Secara terpisah IDAI cabang Sumatra Utara bekerja sama dengan berbagai pihak telah menangani 4.575 anak sejak terjadinya bencana. Bahkan sempat ada kasus remaja yang harus menjalani operasi darurat usus buntu karena kondisinya di posko harus segera ditangani sebelum pecah.
“Tim dari RSCM dengan menggunakan ambulans dari RS Adam Malik berangkat ke Langkat sekitar satu jam. Kondisinya membaik dan sudah bisa beraktivitas sekarang remaja itu,” kata Wakil Ketua IDAI Sumatra Utara, Eka Airlangga.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, sebanyak 41 rumah sakit terdampak di tiga provinsi sudah beroperasi. Adapun 414 puskesmas juga sudah berjalan lagi. Sedangkan 50 puskesmas di beberapa daerah dinyatakan hanyut. Revitalisasi puskesmas juga direncanakan segera dilakukan.
Untuk tenaga kesehatan, sebanyak 450 relawan dokter dari universitas dan organisasi masyarakat mulai diturunkan pekan lalu. Rencana ada 600 relawan dokter yang akan diperbantukan di wilayah bencana.
- Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
- Banjir Sumatra, Tsunami Aceh, dan Likuifaksi Palu – Apa perbedaan penanganannya?
- Bayang-bayang referendum dan konflik bersenjata di balik penanganan banjir di Aceh