
Sebagian rakyat Myanmar mulai mengantre di berbagai tempat pemungutan suara, pada Minggu (28/12), dalam pemilihan umum yang kontroversial dan dianggap sebagai pemilu sandiwara.
Pada pemilu ini, partai-partai politik utama dibubarkan, banyak pemimpin parpol tersebut dipenjara, dan banyak orang kemungkinan besar tidak akan bisa memilih karena perang saudara masih berlangsung.
Pemerintahan junta militer menggelar pemilu bertahap ini setelah hampir lima tahun merebut kekuasaan dalam kudeta yang berujung pada perang saudara.
Mengapa pemilu digelar?
Para pengamat mengatakan junta militer—dengan dukungan China—berupaya melegitimasi dan memperkuat kekuasaannya.
Dalam rangka itu pula lebih dari 200 orang dipidana karena dituduh mengganggu atau menentang pemilu berdasarkan undang-undang baru yang ancaman hukumannya mencakup hukuman mati.
Sutradara film Mike Tee, aktor Kyaw Win Htut, dan komedian Ohn Daing termasuk di antara tokoh-tokoh terkemuka yang dihukum berdasarkan undang-undang yang diberlakukan pada Juli lalu.
Mereka dijatuhi hukuman penjara tujuh tahun setelah mengkritik sebuah film yang mempromosikan pemilihan umum, sebut media pemerintah.

“Tidak ada kondisi untuk menjalankan hak kebebasan berekspresi, berorganisasi, atau berkumpul secara damai,” kata Komisioner Hak Asasi Manusia PBB, Volker Türk.
Warga sipil “dipaksa dari semua sisi,” kata Türk dalam sebuah pernyataan pada Selasa (23/12).
Pada satu sisi, warga disuruh mengikuti pemilu oleh junta militer. Namun, di sisi lain, menurut Türk, kelompok pemberontak bersenjata mengeluarkan ancaman terhadap warga untuk memboikot pemilu.

Militer Myanmar telah bertempur di beberapa lini, termasuk melawan kelompok oposisi bersenjata yang menentang kudeta serta kelompok etnis yang memiliki milisi sendiri.
Perlawanan kelompok oposisi terbilang sengit. Militer Myanmar sempat kehilangan kendali atas sebagian besar wilayah. Namun, militer merebut kembali wilayah-wilayah tersebut setelah serangan udara tanpa henti yang disokong China dan Rusia.
Mengapa banyak orang tidak bisa memilih?
Perang saudara Myanmar telah menewaskan ribuan orang, menyebabkan jutaan lainnya mengungsi, menghancurkan perekonomian, dan meninggalkan begitu banyak masalah kemanusiaan.
Gempa bumi dahsyat pada Maret lalu serta pemotongan pendanaan internasional telah memperburuk situasi.
Baca juga:
- Junta militer Myanmar mengklaim membasmi kompleks sindikat penipuan, benarkah demikian?
- Militer Myanmar menjanjikan gencatan senjata setelah gempa, tapi mereka ingkar lagi dan lagi
- Ketika kaum muda di Myanmar memberontak terhadap junta militer dan berhasil mengubah arah perang
Semua faktor ini ditambah fakta bahwa sebagian besar wilayah masih berada di bawah kendali oposisi menghadirkan tantangan logistik yang sangat besar untuk menyelenggarakan pemilu.
Bahkan di kabupaten yang melakukan pemungutan suara, tidak semua daerah pemilihan akan ikut serta sehingga sulit memperkirakan jumlah pemilih yang mungkin hadir.
Bagaimana pemilu digelar?
Pemungutan suara dijadwalkan akan berlangsung dalam tiga fase dari akhir Desember 2025 hingga Januari 2026 di 274 kabupaten. Hasil pemilu diperkirakan muncul sekitar akhir Januari.
Sebanyak 56 kabupaten lainnya tidak mengadakan pemilu karena situasinya tidak stabil.
Sebanyak enam partai, termasuk Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang disokong militer, mengajukan kandidat di seluruh negeri. Adapun 51 partai dan kandidat independen lainnya hanya akan bersaing di tingkat negara bagian atau regional.
Sekitar 40 partai, termasuk Liga Demokrasi Nasional pimpinan Aung San Suu Kyi, yang meraih kemenangan telak pada 2015 dan 2020, telah dilarang.
Suu Kyi dan banyak pemimpin kunci partai tersebut telah dipenjara dengan tuduhan yang dinilai bermotivasi politik. Beberapa petinggi partai itu berada di pengasingan.

“Dengan membagi pemungutan suara menjadi beberapa fase, pihak berwenang dapat menyesuaikan taktik jika hasil pada fase pertama tidak sesuai keinginan mereka,” kata Htin Kyaw Aye, juru bicara kelompok pemantau pemilu Spring Sprouts kepada kantor berita Myanmar Now.
Ral Uk Thang, seorang penduduk di Negara Bagian Chin meyakini warga sipil “tidak menginginkan pemilu”.
“Militer tidak tahu bagaimana memerintah negara kita. Mereka hanya bekerja untuk kepentingan para pemimpin berpangkat tinggi mereka.
“Ketika partai Daw Aung San Suu Kyi berkuasa, kita mengalami sedikit demokrasi. Tapi sekarang yang kita lakukan hanyalah menangis dan meneteskan air mata,” kata pria berusia 80 tahun itu kepada BBC.
Apa respons negara-negara lain?
Negara-negara Barat, termasuk UK dan Parlemen Eropa, menyebut pemilu di Myanmar sebagai sebuah sandiwara.
Adapun ASEAN menyerukan dialog politik sebelum pemilu digelar.
Junta Myanmar menolak kritik terhadap pemilu yang mereka adakan. Junta menegaskan bahwa tujuan pemilu adalah untuk “mengembalikan [negara] ke sistem demokrasi multipartai”.
“Pemilu ini diadakan untuk Myanmar. Pemilu ini diadakan untuk rakyat Myanmar. Pemilu ini tidak diadakan untuk komunitas internasional,” kata juru bicara junta, Zaw Min Tun, dalam konferensi pers pekan lalu.
Pemimpin junta, Min Aung Hlaing, memperingatkan awal pekan ini bahwa mereka yang menolak untuk memilih berarti menolak “kemajuan menuju demokrasi”.
- Mengapa bantuan kemanusiaan dijadikan alat perang oleh junta militer Myanmar?
- Siapa Min Aung Hlaing, jenderal di balik kudeta militer Myanmar?
- Mengapa pemrotes anti-kudeta militer di Myanmar kini memilih kekerasan?