Rekor Anggaran Pendidikan: Separuhnya untuk MBG, Guru Terabaikan?

Photo of author

By AdminTekno

Pemerintah mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk anggaran pendidikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Jumlah ini disebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah, namun Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mempertanyakan dampaknya terhadap kesejahteraan guru.

Dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa anggaran pendidikan tahun 2026 mencapai 20% dari total RAPBN, atau sekitar Rp757,8 triliun. Angka ini meningkat dari Rp724,3 triliun pada APBN 2025. Namun, sekitar setengahnya, tepatnya Rp335 triliun, dialokasikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Presiden Prabowo menekankan pentingnya pendidikan berkualitas sebagai kunci mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) unggul dan kompetitif di kancah global. Pengumuman anggaran besar ini berbarengan dengan “Kado HUT RI dari Presiden untuk Guru,” berupa insentif bagi guru non-ASN, Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk guru non-formal (PAUD), dan insentif bagi 12.500 guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, menyebut program-program tersebut sebagai terobosan pemerintah.

Mila, seorang guru honorer PAUD di Jakarta Timur, menyambut rencana anggaran tersebut dengan harapan akan meningkatkan kesejahteraannya. Selama lima tahun mengajar, gajinya sangat fluktuatif, bahkan sempat turun menjadi Rp125.000 per bulan selama pandemi COVID-19. Saat ini, dengan tambahan dana hibah dari Pemprov DKI Jakarta, penghasilannya sekitar Rp800.000 per bulan. Namun, ia tetap perlu bekerja sampingan sebagai tukang masak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya.

Mengetahui hampir setengah anggaran pendidikan dialokasikan untuk MBG, Mila merasa hal tersebut kurang adil. Ia berpendapat program MBG seharusnya lebih fokus pada anak-anak dari keluarga kurang mampu, bukan untuk semua siswa. Kekecewaan Mila semakin bertambah ketika mendengar kabar mengenai tambahan tunjangan rumah bagi anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan. “Awalnya mereka kan guru juga,” ujarnya getir.

Pendapat senada disampaikan Alfian Bahri, guru swasta non-ASN di Surabaya. Ia menilai pengalihan anggaran besar ke MBG merupakan misorientasi. Menurutnya, dana tersebut seharusnya diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan guru, baik ASN maupun non-ASN. Alfian menghitung, dengan Rp335 triliun, setiap guru bisa mendapatkan sekitar Rp7 juta per bulan. Ia menambahkan bahwa MBG bukan amanat konstitusi dan seharusnya tidak termasuk dalam anggaran pendidikan.

Laporan RAPBN 2026 mencatat jumlah guru ASN di daerah mencapai 1,6 juta, sementara guru non-ASN sekitar 754.747. P2G memperkirakan jumlah guru non-ASN dan honorer sebenarnya lebih dari 1,5 juta. Namun, rencana pemerintah untuk fokus pada program MBG tampaknya akan mengesampingkan kebutuhan mendesak para guru.

Presiden Prabowo membela program MBG, mengklaim program tersebut meningkatkan angka kehadiran dan prestasi siswa serta menciptakan lapangan kerja baru. Program MBG ditargetkan menjangkau 82,9 juta penerima.

Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, menilai anggaran pendidikan sebesar Rp757 triliun tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan guru non-ASN karena sebagian besar dialokasikan ke MBG. P2G pun menjabarkan sejumlah persoalan krusial di sektor pendidikan yang belum terselesaikan, antara lain: belum adanya standar upah minimum guru non-ASN, rendahnya skor literasi dan numerasi siswa Indonesia, peningkatan kompetensi guru, 1,4 juta guru belum menerima tunjangan profesi, dan belum terealisasinya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pendidikan dasar gratis di sekolah dan madrasah swasta.

P2G dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi alokasi anggaran pendidikan 2026 dan menganggap alokasi anggaran saat ini sebagai sesuatu yang “ngawur”.

“Kado HUT RI dari Presiden untuk Guru” berupa insentif guru non-ASN (Rp2,1 juta untuk tujuh bulan bagi 341.248 guru), BSU untuk 253.470 guru PAUD non-formal (Rp600.000 untuk dua bulan), dan insentif pendidikan bagi 12.500 guru. Namun, insentif guru non-ASN tahun ini lebih rendah dari tahun sebelumnya (Rp3,6 juta untuk satu tahun), meskipun jumlah penerima meningkat. Menteri Abdul Mu’ti belum memberikan penjelasan lebih lanjut terkait hal ini.

Selain insentif, pemerintah juga meningkatkan revitalisasi dan renovasi bangunan sekolah hingga 32,4%. Kemendikbudristek juga mengklaim telah melakukan digitalisasi pendidikan dan peningkatan pelatihan guru.

Mila mengaku senang menerima BSU, namun setelah dipotong pajak, jumlah yang diterima menjadi lebih kecil dari yang diharapkan. Alfian Bahri menilai bantuan insentif tersebut lebih bersifat politis dan tidak menyelesaikan masalah utama, yaitu pemenuhan hak dasar guru.

Baca juga:

Daftar Isi

Ringkasan

RAPBN 2026 mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk pendidikan, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Namun, sekitar setengahnya (Rp335 triliun) dialokasikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG), menimbulkan kekhawatiran akan kesejahteraan guru, terutama guru non-ASN yang jumlahnya mencapai lebih dari 1,5 juta. Meskipun ada insentif untuk guru, seperti BSU dan tambahan insentif, jumlahnya dinilai masih kurang dan tidak sebanding dengan alokasi dana untuk MBG.

P2G dan JPPI mengkritik alokasi anggaran yang dianggap tidak berimbang dan mendesak evaluasi. Mereka menyoroti berbagai permasalahan krusial di sektor pendidikan yang belum terselesaikan, seperti belum adanya standar upah minimum guru non-ASN, rendahnya literasi dan numerasi siswa, serta belum terealisasinya keputusan MK tentang pendidikan dasar gratis di sekolah swasta. Guru honorer merasa program MBG kurang tepat sasaran dan seharusnya diprioritaskan untuk keluarga kurang mampu.

Leave a Comment