Royalti Musik: Pakar Hukum Desak Sistem Transparan & Berkeadilan

Photo of author

By AdminTekno

Dosen Fakultas Hukum dan Pakar Hukum Hak Kekayaan Intelektual Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Aravah Windiani, secara lugas menggarisbawahi urgensi sistem royalti musik. Menurutnya, isu ini merupakan pilar utama perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) yang vital bagi keberlangsungan dan kemajuan industri kreatif nasional.

Royalti musik didefinisikan sebagai bentuk imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi dari suatu ciptaan atau produk terkait. Pembayaran ini menjadi kewajiban mutlak setiap kali sebuah karya musik digunakan untuk tujuan komersial, baik di ruang publik fisik seperti restoran, hotel, konser, dan radio, maupun di ranah digital melalui berbagai platform digital.

Apa Itu Royalti Musik dan Bagaimana Mekanisme Pembagiannya di Indonesia?

Aravah Windiani menjelaskan lebih lanjut, royalti musik merupakan bentuk apresiasi dan kompensasi finansial yang diterima oleh pencipta lagu atau pemilik hak terkait atas penggunaan komersial karya mereka. Kewajiban pembayaran ini berlaku luas, mencakup pemakaian di berbagai tempat dan media, mulai dari restoran, hotel, konser, radio, hingga platform digital.

Di Indonesia, mekanisme pembagian royalti musik melibatkan peran sentral Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN bertanggung jawab menghimpun royalti yang kemudian disalurkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Dari LMK, dana tersebut didistribusikan secara berjenjang kepada berbagai pihak yang berkontribusi dalam penciptaan karya, meliputi pencipta lagu, penyanyi/artis, produser rekaman, komposer, penulis lirik, musisi pendukung, hingga penerbit musik.

Meskipun demikian, Aravah tidak menampik bahwa transparansi mekanisme pembagian serta kecepatan distribusi dana royalti masih menjadi isu krusial yang terus-menerus disorot oleh para musisi di Tanah Air.

Aravah memaparkan, berdasarkan ketentuan yang berlaku, “Dari total royalti yang dihimpun, sekitar 20 persen dialokasikan untuk biaya operasional LMKN dan LMK, 7 persen disimpan untuk pemilik hak yang belum tergabung, sedangkan 73 persen sisanya dibagi ke para pihak. Sebanyak 50 persen untuk pencipta lagu, 25 persen untuk penyanyi/artis, dan 25 persen untuk perusahaan rekaman.”

Bagaimana Peran Strategis LMKN dalam Pengelolaan Royalti?

Sebagai entitas non-APBN yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, LMKN memegang peran strategis. Lembaga ini bertugas menghimpun royalti, mendata lisensi penggunaan karya musik, menyusun tarif royalti yang adil, serta menyalurkan dana tersebut kepada para pemilik hak.

Selain itu, LMKN juga berfungsi sebagai fasilitator mediasi dalam sengketa royalti dan rutin melaksanakan audit keuangan. Kendati demikian, menurut pakar hukum UMJ, tantangan terbesar yang membayangi kinerja LMKN adalah rendahnya transparansi dalam pelaporan, minimnya kesadaran hukum di kalangan pelaku usaha, serta keterlambatan distribusi yang disebabkan oleh sistem yang belum sepenuhnya terdigitalisasi.

Aravah menegaskan bahwa landasan hukum yang ada saat ini sudah cukup kokoh. “Regulasi yang ada saat ini sebenarnya cukup kuat dengan adanya UU No. 28 Tahun 2014, PP No. 56 Tahun 2021, dan Permenkumham No. 27 Tahun 2025,” ujarnya. Namun, ia menambahkan, “implementasinya masih perlu diperkuat. Banyak pencipta lagu menerima royalti dalam jumlah kecil karena laporan penggunaan musik belum optimal.”

Polemik mengenai royalti musik ini semakin mencuat ketika sejumlah pengusaha menyuarakan keberatan atas kewajiban pembayaran yang dinilai membebani operasional bisnis mereka. Sebagian pelaku usaha berpandangan bahwa tarif royalti seyogianya disesuaikan dengan skala bisnis agar tercipta keadilan bagi seluruh pihak. Menanggapi hal ini, Aravah menyarankan agar LMKN mengedepankan keterbukaan dalam menetapkan tarif dan menjelaskan logika di balik distribusi royalti. Langkah ini penting untuk menghindari timbulnya persepsi negatif di kalangan pengguna musik.

Dampak Teknologi Digital dan Platform Streaming

Evolusi pesat teknologi digital dan maraknya platform streaming telah membawa dampak signifikan terhadap sistem royalti musik. Adopsi otomatisasi pelaporan melalui platform digital seperti Velodiva dan Velostage, misalnya, dinilai mampu mempercepat proses distribusi royalti secara waktu nyata (real-time).

Namun, di balik kemajuan ini, muncul pula tantangan baru. Dominasi platform digital asing seperti Spotify dan YouTube yang kerap belum transparan dalam pelaporan, serta maraknya kasus pembajakan digital, menjadi rintangan serius yang perlu diatasi.

Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, pakar hukum UMJ merekomendasikan sejumlah langkah perbaikan. Ini mencakup pelaksanaan audit independen terhadap LMKN dan LMK, percepatan digitalisasi sistem pelaporan, serta revisi regulasi agar lebih adaptif terhadap isu-isu kontemporer seperti karya musik berbasis kecerdasan buatan (AI) dan teknologi blockchain. Di samping itu, edukasi publik juga diyakini menjadi kunci utama.

Aravah menekankan urgensi pendidikan publik. “Masyarakat dan pelaku usaha perlu dididik untuk menghargai hak cipta musik,” katanya. Ia menambahkan, “Sosialisasi oleh Kemenkumham dan DJKI harus diperluas, bahkan bisa diintegrasikan ke dalam kurikulum seni dan kewirausahaan.”

Menyikapi berbagai kompleksitas dan tantangan yang ada, Aravah Windiani menegaskan bahwa pengelolaan royalti musik bukanlah semata persoalan hukum, melainkan esensi dari penghargaan terhadap karya seni dan pengakuan atas hak ekonomi para pencipta lagu. Sebuah sistem yang adil, transparan, dan efisien diyakini akan menjadi katalisator bagi penguatan industri musik nasional, sekaligus memberikan perlindungan yang layak bagi para pelaku kreatif dari segala bentuk praktik yang merugikan.

Daftar Isi

Ringkasan

Pakar hukum hak kekayaan intelektual, Aravah Windiani, menekankan pentingnya sistem royalti musik yang transparan dan berkeadilan sebagai bentuk perlindungan hak cipta bagi industri kreatif nasional. Royalti musik adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu karya musik secara komersial, yang wajib dibayarkan oleh pengguna di berbagai platform, mulai dari restoran hingga platform digital.

Di Indonesia, pembagian royalti melibatkan LMKN dan LMK, namun transparansi dan kecepatan distribusi masih menjadi isu. Aravah menyarankan audit independen, digitalisasi sistem pelaporan, dan revisi regulasi untuk mengatasi tantangan seperti platform digital asing yang kurang transparan dan pembajakan. Edukasi publik mengenai hak cipta musik juga sangat penting untuk membangun kesadaran dan penghargaan terhadap karya seni.

Leave a Comment