WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, secara terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap serangan Israel yang menargetkan rumah sakit di Gaza, Palestina. Pernyataan ini muncul setelah serangkaian serangan udara yang menimpa Kompleks Medis Nasser, menyebabkan 20 orang meninggal dunia, termasuk di antaranya lima jurnalis dan seorang petugas pemadam kebakaran.
“Saya tidak senang dengan itu. Saya tidak ingin melihatnya,” ujar Trump kepada para jurnalis di Oval Office, menegaskan posisinya yang menentang aksi tersebut. Namun, ia juga menambahkan, “Pada saat yang sama, mimpi buruk itu harus diakhiri. Saya yang berhasil membebaskan para sandera.” Pernyataan ini mengindikasikan kompleksitas pandangannya terhadap konflik berkepanjangan tersebut.
Kementerian Kesehatan Gaza mengonfirmasi bahwa 20 warga Palestina kehilangan nyawa dalam serangan brutal ini, meliputi pasien, tenaga medis, personel pertahanan sipil, dan awak pers. Selain itu, banyak korban lainnya yang mengalami luka-luka. Militer Israel dilaporkan menyerang lantai empat salah satu gedung di kompleks tersebut sebanyak dua kali, di mana serangan kedua terjadi ketika tim penyelamat sedang berupaya mengevakuasi korban luka dan jenazah, memperparah tragedi kemanusiaan.
Dampak serangan ini turut menimpa insan media yang sedang menjalankan tugas peliputan. Televisi resmi Palestina melaporkan juru kamera Hussam al-Masri sebagai salah satu korban tewas. Kanal Al Jazeera dari Qatar juga mengonfirmasi kematian fotografernya, Mohammad Salama. Sumber medis kepada Anadolu menambahkan bahwa jurnalis foto Mariam Abu Dagga dan Moaz Abu Taha juga menjadi korban. Selain itu, jurnalis lepas Ahmed Abu Aziz, yang bekerja untuk media Tunisia dan Maroko, meninggal dunia akibat luka yang diderita dalam serangan tersebut, menambah daftar panjang korban sipil dan profesional.
Dalam kesempatan yang sama, Trump turut menyinggung situasi sandera yang masih ditahan di Gaza. Ia memperkirakan “sedikit di bawah 20” sandera kemungkinan masih hidup, meskipun “satu atau dua sudah tidak ada.” Dengan nada pesimis, Trump menyatakan, “Ketika jumlahnya tinggal 10 atau 20, mereka tidak akan membebaskan sandera itu, karena mereka sudah mati setelah dibebaskan. Jadi, situasinya buruk, sangat buruk, hal yang mengerikan.” Penilaian Trump ini belum memiliki dasar yang jelas, mengingat Israel sebelumnya menyebut sekitar 50 sandera masih berada di Gaza, dengan 20 di antaranya diyakini masih hidup.
Saat menerima kunjungan Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung, Trump menyuarakan optimismenya bahwa perang di Gaza akan segera berakhir. Menurutnya, konflik tersebut “sudah mendekati puncaknya” dan diyakini akan selesai dalam kurun waktu dua hingga tiga pekan. “Sejauh ini mereka berbicara tentang Kota Gaza. Mereka selalu mempermasalahkan sesuatu, tetapi ini akan selesai. Dan saya katakan, lebih baik diselesaikan segera,” katanya, merujuk pada tujuan Israel untuk menduduki kota terbesar di Gaza itu.
Sejak Oktober 2023, Israel telah menyebabkan kematian lebih dari 62.700 warga Palestina di Gaza. Kampanye militer yang intensif ini telah menghancurkan sebagian besar wilayah kantong tersebut, yang kini menghadapi ancaman kelaparan serius. Situasi ini semakin rumit dengan adanya tuntutan hukum internasional.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait perang di wilayah tersebut, menambah tekanan global untuk mengakhiri konflik dan mengusut tuntas pelanggaran hukum internasional. (antara/jpnn)