Warga di sejumlah daerah di Indonesia mengeluhkan kelangkaan beras medium dan premium di pasar retail. Kelangkaan ini diperkirakan akan terus berlanjut akibat terhentinya produksi penggilingan padi di beberapa daerah, kata pengamat.
Merujuk catatan sejumlah pengamat pertanian, saat ini baru 50% penggilingan padi beroperasi. Itu pun, klaim pengamat, persediaan gabah yang dimiliki tidak terlalu banyak lantaran sudah memasuki musim gadu atau kemarau.
Kelangkaan tersebut tak pelak berimbas pada naiknya harga beras di pasaran.
Asosiasi pedagang pasar seluruh Indonesia menyebut harga beras medium di pasar tradisional di Jawa sudah menyentuh angka Rp12.500-Rp13.000 per kilogram dan beras premium mencapai Rp15.000-Rp16.000 per kilogram.
Di beberapa daerah di Indonesia, warga mengaku kesal dengan kelangkaan beras, apalagi harganya yang melejit. Mereka akhirnya terpaksa mengurangi makan beras hingga berhenti berjualan.
Apa penyebab beras langka dan akan sampai kapan harganya naik?
‘Dua hari cari beras, kosong’
Sejak awal Agustus, warga di sejumlah daerah mengeluhkan hal yang sama: beras langka dan harganya naik.
Shena, yang tinggal di Kota Bogor, Jawa Barat, adalah salah satunya.
Kira-kira sepekan lalu, persediaan beras dan bahan pokok di rumahnya habis. Ia bersama suami lantas pergi ke toko retail modern untuk belanja bulanan.
Yang pertama kali dicarinya, sudah pasti beras. Tapi, rak yang biasanya terisi penuh oleh beras berukuran lima kilogram, kosong melompong.
Dia bersama suami lalu mencari di pasar retail lain, setiap kali melewati toko berwarna merah dan biru, pasti berhenti.
“Saya nanya ke pelayannya, ‘Ada beras?’ Jawabannya sama, ‘Enggak ada bu, kosong’,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia, Selasa (26/08).
“Terus ke Super Indo, Yomart, Alfamart, Indomaret, sama dong enggak ada beras. Ada kali tuh sepuluh toko saya datangi.”
Besoknya, Shena kembali berburu beras ke beberapa swalayan di Kota Bogor.
“Saya ke Bogor Junction, ada beras tapi mereknya berbeda dari yang biasa saya beli. Harganya Rp74.500 per lima kilogram. Saya sudah enggak peduli sama harga atau mereknya, langsung beli yang itu daripada kehabisan,” imbuhnya kesal.
“Karena saya lihat ada beras premium juga dengan label ‘short grain’ dan itu mahal banget harganya Rp130.000 [per lima kilogram]. Wah udah enggak masuk akal dah harganya,” sambungnya sambil mengelus dada.
Ibu muda ini bercerita selalu mengonsumsi beras premium, karena rasanya enak dan bulirnya bersih. Berbeda dengan kualitas beras murah yang berdasarkan pengalamannya, bulir berasnya patah-patah dan berwarna agak gelap.
Harga beras premium di pasar retail modern juga masih masuk kantongnya, sekitar Rp64.000 per lima kilogram.
“Sekarang malah naik jadi Rp74.500 [per lima kilogram], ya enggak apa-apa asal berasnya enak dan enggak dicurangin kayak dulu beras oplosan,” cetusnya.
“Tapi kalau sudah Rp120.000, itu naiknya enggak masuk akal,” ucapnya kesal sembari mengeluh gajinya sebagai karyawan di sebuah perusahaan tak ada kenaikan.
‘Harga beras sudah menembus Rp88.000’
Santoso, warga Kendal yang sekarang bekerja di Kota Semarang, Jawa Tengah, juga punya pengalaman serupa.
Sekitar dua pekan lalu, ia sampai mendatangi tiga toko retail modern untuk membeli beras premium, tapi hasilnya nihil.
“Saya cari-cari ke minimarket, enggak ada,” keluhnya.
Dari informasi penjaga toko kepadanya, kelangkaan beras ini sudah terjadi sejak awal Agustus.
Sekarang, kata Santoso, beras premium memang sudah memenuhi rak-rak penjualan tapi harganya terlalu mahal.
“Sekitar Rp88.000 beras yang saya beli, merek premium yang biasa saya beli enggak ada semua,” katanya.
Bagi pria paruh baya ini pemerintah telah gagal mengendalikan harga pangan.
‘Harga beras naik, semua kebutuhan pokok naik’
Di Medan, Sumatra Utara, Juleha yang bekerja sebagai pedagang warung nasi sempat cemas ketika beras medium di daerahnya langka beberapa pekan lalu.
Ia masih ingat betul, betapa susahnya mencari beras di Kota Medan pada Juli hingga awal Agustus kemarin.
Perempuan 34 tahun ini bahkan terpaksa pergi jauh keluar kota demi mendapatkan beras. Itu pun dengan harga tinggi dan jumlahnya dibatasi.
Sebelum kelangkaan terjadi, Juleha biasa beli beras medium di toko sembako seharga Rp80.000-Rp82.000 per lima kilogram.
Tapi, pada Juli lalu, produk beras dengan merek yang sama dibanderol lebih mahal Rp88.000-Rp90.000 per lima kilogram.
Memasuki pertengahan Agustus, kondisinya mulai membaik.
Beras medium beredar di pasaran dan diikuti penurunan harga. Tapi, terbilang masih tinggi dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Bagi pedagang seperti dirinya, perbedaan harga ini berdampak serius terhadap usahanya.
“Akhirnya mengganggu. Karena saya jualan nasi, jadi butuh beras. Saat ini harga beras naik tinggi, tapi [harga] jualan kami kan tidak [naik], jadi untungnya semakin tipis,” ujar Juleha.
Dia pun harus memutar otak. Juleha terpaksa mengambil sebagian dana keperluan hidup dan mengalihkannya sebagai tambahan modal usaha.
Cara itu dipilih demi menjaga kualitas beras dan harga dagangannya.
“Kami mohon pemerintah bisa menurunkan harga sembako. Harga minyak goreng luar biasa sekarang, harga gula juga tinggi, sekarang ditambah lagi dengan harga beras,” keluhnya.
‘Tidak makan nasi setiap hari’
Di Makassar, Sulawesi Selatan, Stevany terpaksa harus mengurangi jumlah porsi makan nasi keluarganya gara-gara harga beras yang melejit.
“Kami batasi makan nasi. Saya [makan] di rumah kakak saya,” ujar ibu rumah tangga yang tinggal di Kabupaten Maros tersebut.
Sebelum terjadi kelangkaan beras, dia biasanya bisa membawa pulang beras premium ke rumah untuk dikonsumsi bersama keluarganya. Harga satu kilogramnya sekitar Rp12.000 yang dibeli dari pedagang tradisional.
Tapi, kini harga beras premium naik menjadi Rp15.000 per kilogram.
Harga di toko swalayan juga sama saja, sekarang kisaran Rp75.000 per lima kilogram. Padahal dulu hanya Rp60.000-Rp65.000 per kilogram.
Sedangkan harga beras medium, ungkapnya, saat ini bertengger di harga Rp13.000 per kilogram. Akan tetapi, naiknya harga beras tak menjamin kualitasnya lebih baik.
Stevany mengaku kerap mendapati beras premium yang ia beli kualitasnya lebih rendah dari yang ia biasa beli.
“Kalau dilihat dari biji berasnya kayak beda warnanya. Ada yang putih tulang, ada yang putih kecokelatan. Jadi kayak bercampur sekarang,” tuturnya.
“Kalau beras Bulog, SPHP, warnanya kayak kecokelatan, terus sebagian butirnya patah-patah.”
Di tengah naiknya harga beras, ibu tiga anak ini bilang pengeluaran bulanan untuk kebutuhan rumah tangga sudah pasti bertambah.
Ia pun harus lebih hemat berbelanja kebutuhan rumah.
“Mungkin makannya keluarga saya itu ada ikan dan tahu, tempe sebagai makanan pendampingnya. Mau tidak mau saya tekan dengan tidak terlalu beli ikan. Beli tahu dan tempe saja untuk dijadikan lauk,” tuturnya.
Baca juga:
- Dugaan praktik curang beras premium – ‘Kok rakyat lagi yang kena?’
- Harga beras naik ‘tertinggi dalam sejarah’ – ‘Ini sangat tidak masuk akal karena kita negara agraris’
“Iya sampai ke situ efeknya, yang sebelumnya saya beli minyak per dua liter, sekarang beli minyak yang satu liter dulu supaya bisa saya penuhi berasku.”
Selain itu, dampak lain, ia pun harus berhenti menjual makanan seperti nasi kuning dan nasi goreng di rumahnya.
“Stop dulu ini jualan, dua bulan saya stop jualan,” kata Stevany.
Ada kalanya, dia terpaksa patungan bersama kakaknya yang tinggal berdampingan untuk membeli beras Rp20 kilogram. Tujuannya tak lain supaya mengurangi beban.
Pilihan lain, mereka tak setiap hari makan nasi.
“Kalau misalnya sudah konsumsi nasi dalam tiga kali sehari, malamnya kita ganjal perut dengan makan ubi.”
Beras langka di pasar retail, kapan akan stabil?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin mengakui stok beras medium maupun premium di pasar retail modern menipis sejak kasus beras oplosan mencuat pada bulan lalu.
Kala itu, klaimnya, sejumlah kepala daerah melayangkan surat kepada anggotanya untuk menurunkan produk beras yang terindikasi di bawah mutu dari rak-rak etalase.
Bahkan, sambungnya, sekelompok masyarakat menuntut mereka untuk tidak menjual “beras oplosan”. Kendati di sisi lain, Badan Pangan Nasional (Bapanas) tetap meminta Aprindo menjual beras tersebut.
“Kalau tidak [diturunkan], akan dilakukan demo besar-besaran sampai ke kantor pusat,” ujar Solihin kepada BBC News Indonesia.
“Menghadapi hal tersebut kami sebagai peretail tentunya tidak mau bergesekan dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Dengan pertimbangan untuk menjaga kelancaran usaha, kami turunkan barang [beras] itu.”
“Meski tidak di semua daerah, tergantung situasi serta kondisi,” jelasnya.
Ketika situasi mulai mereda, beberapa toko retail menjual kembali sisa stok beras di gudang mereka.
“Tapi kami tidak order [pesan] baru,” kata Solihin.
“Otomatis karena tidak ada barang baru yang masuk, makin lama makin menipis, menipis, bahkan mungkin habis,” ungkapnya.
Untuk mengatasi kelangkaan beras medium dan premium di pasar retail, Solihin mengaku telah memesan produk beras ke produsen. Nilainya mencapai Rp3 miliar. Hanya saja, barang yang dikirim baru sekitar 10%.
Ia tak tahu pasti kapan beras medium dan premium itu bakal memenuhi toko-toko swalayan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Harapannya, dalam waktu sepekan ke depan persediaan beras sudah stabil.
Soal harga, Solihin menyebut pihaknya akan patuh pada keputusan pemerintah yang menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Sebagai catatan, Bapanas baru saja menerbitkan aturan baru tentang HET beras jenis medium pada Selasa (26/08).
HET beras medium terbaru yang ditetapkan Bapanas yakni Rp13.500 per kilogram untuk zona 1, Rp14.000 per kilogram untuk zona 2, dan Rp15.500 per kilogram untuk zona 3.
Adapun beras premium di zona 1 sebesar Rp14.900 per kilogram, Rp15.400 per kilogram di zona 2, dan Rp15.800 per kilogram untuk zona 3.
Seperti apa stok beras di pasar tradisional?
Anggota Dewan Pembina Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Ngadiran, mengklaim tak ada kelangkaan beras, kendati harganya “cukup tinggi”.
Untuk beras medium, dulu harganya Rp10.000 per kilogram. Sekarang naik mencapai Rp12.500-Rp13.000 per kilogram.
Sedangkan beras premium, kini menembus harga Rp15.000-Rp16.000 per kilogram.
Namun begitu, salah satu toko sembako di Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah, mengaku sudah sebulan ini tidak mendapatkan “beras premium” dari produsen. Berbeda dengan beras medium yang disebutnya lancar.
Pemilik toko, Ali, menuturkan selain langka, harganya juga naik.
“Kalau premium itu standarnya Rp70.000 [per lima kilogram]. Kalau sekarang sudah sampai Rp80.000 [per lima kilogram], tapi barang juga enggak ada,” ujarnya.
Akibat kelangkaan beras ini, beberapa kali pelanggannya terpaksa pulang dengan tangan hampa.
“Banyak, yang enggak jadi [beli],” katanya.
“Ini dari distributor juga belum memberi kepastian.”
Muji seorang pedagang grosiran di Pasar Bulu, Kota Semarang, bercerita kelangkaan beras premium terjadi sejak kasus beras oplosan merebak.
Beras premium yang biasanya laris di tokonya antara lain Ngawiti dan Tanak. Tapi tiga pekan belakangan, katanya, sudah tidak muncul lagi.
Soal harga, Muji bilang beras premium dengan merek lain di tokonya sudah menyentuh angka Rp78.000 per lima kilogram dari sebelumnya Rp76.000 per lima kilogram.
Adapun harga beras medium naik Rp500 per kilogram.
“Pelanggan tanya, tapi barangnya enggak ada gimana, akhirnya beli yang seadanya,” sambungnya soal para pembeli.
Baca juga:
- Apakah kita harus mulai meninggalkan kebiasaan makan nasi?
- Pemerintah bakal hapus beras medium dan premium – Apa saja dampak ke masyarakat?
Kelangkaan beras medium juga terjadi di Kota Medan, Sumatra Utara.
Yuliana, pemilik toko sembako, berucap tokonya pernah kehabisan beras selama seminggu. Ia bahkan sempat kebingungan mencari beras medium pada Juli lalu.
“Agennya tidak berani memasukkan banyak karena pasokannya tidak ada. Di gudang kosong.”
Situasi ini membuat usahanya merugi.
Saat kelangkaan terjadi, ia terpaksa membeli stok beras medium dengan harga lebih mahal dan harus mengecernya seharga Rp17.000 per kilogram.
Dan ketika dagangannya belum habis terjual, toko lain mampu mematok harga lebih murah karena peredaran produk yang berangsur normal.
“Rugi lah kami, harganya sekarang turun Rp1.000 di bawah modal, pasti rugi. Orang tidak mau beli, karena di tempat lain harganya sudah murah,” ucapnya kesal.
Selain Kota Medan, kondisi serupa juga dialami sejumlah daerah lainnya di Sumatra Utara.
Menurut Affan, pedagang sembako di Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, stok beras medium di tokonya kini sudah berangsur normal.
Sebulan lalu, ia harus pontang-panting mencari bantuan suplai.
“Akhirnya ada kawan yang punya stok, jadi kami bayari dulu. Sempat juga kosong seminggu,” tukasnya.
Di toko Affan, harga beras medium dipatok Rp12.500 per kilogram. Sedangkan yang termahal Rp16.000 per kilogram.
Saat kelangkaan terjadi, harganya sempat melonjak jadi Rp17.000 per kilogram.
“Ini sekarang sudah normal. Kami pesan berapa saja, agen mampu memenuhi,” ujarnya.
Baca juga:
- Perubahan iklim disebut tingkatkan arsenik dalam beras, apa risikonya?
- Rencana penghentian impor beras hingga gula dinilai tidak berkelanjutan – ‘Saya tidak pernah percaya data kementerian’
Di Kota Pematangsiantar, harga eceran beras medium juga perlahan turun meski belum seperti semula. Penurunan terjadi seiring keberadaan produk yang tidak lagi langka di peredaran.
Khairudin Lubis, pemilik toko sembako di tepi jalan raya, pernah merasakan betapa sulitnya mencari beras medium di tingkat grosir beberapa waktu lalu.
Hal itu membuatnya sempat kelimpungan memenuhi permintaan konsumen.
“Di grosir sempat langka. Kalaupun ada, jumlahnya dijatah. Misalnya saya waktu pesan 100 kilogram, tapi yang dikasih cuma 20 kilogram,” tutur Khairudin.
Menurut Khairudin, kelangkaan terjadi sejak Juli hingga awal Agustus 2025 lalu.
Akibatnya, harga eceran beras medium sempat melambung dari yang semula Rp13.000 per kilogram menjadi Rp15.400 per kilogram.
Walau belum pulih lagi seperti sedia kala, harga produk tersebut kini sudah turun ke angka Rp14.300 per kilogram.
“Mungkin stok di tingkat grosir sudah mulai normal, makanya kami tidak dijatah-jatah lagi sekarang,” ucapnya.
Omgeng, pedagang beras di pasar tradisional Toddopuli, Makassar, Sulawesi Selatan, juga merasakan langkanya beras. Ia bahkan sempat berhenti berjualan.
Ia menyebut kelangkaan itu sudah terjadi sejak Juni lalu.
“Sekitar dua mingguan saya tidak menjual beras. Iya, habis bukan kurang,” kata Omgeng.
Menurut distributor langganannya, stok beras kosong. Tapi pria 60 tahun ini tetap saja membuka toko kecilnya dan menjajakan kebutuhan pokok lainnya seperti telur dan minyak goreng.
Pria yang sudah 30 tahun berdagang di Makassar ini bercerita, baru kali ini kelangkaan beras terjadi.
“Tidak wajar karena tidak ada barang. Tidak ada dijual, kosong,” kata dia.
“Tidak ada barangnya [alasan distributor], tidak ada perbatasan [beras], tapi memang tidak ada beras.”
Baca juga:
- Kenaikan harga beras akan selalu terjadi?
- Kasus beras: Dari penggerebekan hingga harga yang ‘mencekik petani’
Gara-gara beras langka, harga semua jenis beras yang dijual para pedagang melonjak naik. Entah itu beras kualitas medium maupun premium. Kenaikannya antara Rp1.500 sampai Rp2.000 per kilogram.
Omgeng mengaku menjual beras medium Rp13.000 per kilogram, sementara beras premium Rp14.900 per kilogram.
“Waktu langka Rp16.000 sampai Rp16.500 [per kilogram] yang premium. Kalau yang medium Rp14.000 hingga Rp15.000,” sambung Omgeng.
Sejumlah langganannya mengeluh begitu melihat harga beras. Ada yang tetap membeli, tapi ada juga yang mengurangi takaran demi berhemat.
Saat ini stok beras di pedagang tradisional sudah kembali normal. Meskipun harga beras premium berada dibanderol Rp70.000-Rp75.000 per lima kilogram.
Namun, di toko retail modern kondisinya berbeda.
Pelayan toko, Yassir, mengatakan distribusi beras premium ukuran lima kilogram ke tokonya masih belum lancar.
Kalau pun tersedia, langsung habis dalam tiga hari. Harganya Rp74.500.
“Banyak sekali [warga datang] bertanya kapan lagi ada beras masuk? Ada 10 sampai 15 oranglah yang datang cari, tapi tidak ada beras pas datang.”
Yassir mengaku tidak tahu penyebab terjadinya kelangkaan beras di Makassar.
“Tidak tahu juga karena tidak pernah ada alasan dari distributor. Saya tanya, tapi dia bilang tidak tahu.”
Apa penyebab kelangkaan beras?
Sejumlah pengamat pertanian satu suara bahwa penyebab kelangkaan beras premium di pasar retail akibat ulah pemerintah yang disebutnya “menebar ketakutan” di kalangan pelaku usaha.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, mengatakan ketika isu “beras oplosan” merebak pada Juli lalu polisi gencar menangkap sejumlah perusahaan yang diduga menjual beras tidak sesuai standar mutu.
Di lapangan, klaimnya, Satgas Pangan juga kerap mendatangi gudang-gudang penggilingan padi untuk melihat apakah ada penimbunan atau tidak.
Situasi seperti itu, katanya, membuat pengusaha penggilingan padi tertekan dan ketakutan. Akibatnya, sebagian besar menghentikan produksi.
“Banyak yang menghentikan produksi. Lebih dari 40% tutup dan itu sudah barang tentu berdampak pada beras di pasar,” tuturnya.
“Di pasar retail modern, jelas stoknya menurun tajam. Ketika retail modern kosong, jadi semacam lingkaran setan. Harganya jadi naik.”
Pengamatannya, kenaikan harga beras pada tahun ini bisa dibilang “anomali”.
Sebab kalau di tahun-tahun sebelumnya harga beras cenderung fluktuatif, sekarang justru “naik setiap bulan”.
Dwi Andreas mengutarakan kondisi tersebut tak lepas dari buruknya tata kelola beras oleh pemerintah yang dimulai ketika awal 2025 pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) gabah kering sebesar Rp6.500 per kilogram di tingkat petani.
“Padahal petani sedang berusaha memperbaiki kondisi dan beberapa minggu yang lalu harga gabah sudah meningkat. Meningkat ke rata-rata seluruh Jawa Rp7.500 per kilogram,” jelas Dwi Andreas.
“Dengan harga gabah ditekan ke level Rp6.500, penggilingan-penggilingan padi tidak berani beli di harga itu. Berarti petani dirugikan kan?” ucapnya.
Baca juga:
- Mengapa persoalan beras terus terjadi setiap tahun di Indonesia?
- Kelakar menteri Jepang yang berujung ke pengunduran diri – ‘Jangan bercanda soal beras!’
Persoalan lain, sebutnya, pemerintah kerap melihat pengusaha penggilingan padi sebagai “biang kerok” mahalnya harga beras.
Dwi Andreas berkata pandangan yang keliru itu harus diubah. Sebab, bagaimanapun, 90% produksi nasional beras berada di tangan mereka. Itu pun, klaimnya, margin yang diperoleh pengusaha beras jauh di bawah 20%.
“Margin perdagangan dan pengangkutan yang diperoleh pedagang beras itu 11,31% tahun 2011 dan harus dibagi ke beberapa pihak,” jelasnya.
“Tahun 2024 naik jadi 18,7%. Itu pun masih di bawah 20%. Tahun ini perkiraan turun ke 12%.”
“Jadi kecurigaan dan konflik antara pemerintah dengan swasta harus dikurangi. Harus semakin dikikis, bukan diperbesar seperti yang sekarang terjadi,” paparnya.
“Karena sekali lagi, pemerintah hanya memegang kurang dari 10% produksi nasional.”
Ia kemudian memaparkan untuk memproduksi per kilogram beras medium sebetulnya sudah mencapai Rp13.888, itu pun dengan catatan harga gabah masih di angka Rp6.500.
Begitu pula dengan produksi beras premium yang mencapai Rp15.502 per kilogram.
Itu mengapa, menurutnya, HET yang ditetapkan pemerintah sebetulnya tidak realistis. Karena tidak hanya menekan petani, tapi juga produsen beras.
“Sehingga bagi produsen beras yang besar, ngapain berproduksi kalau rugi? Tutup saja, tidak berproduksi kan tidak dilarang di undang-undang,” katanya.
“Tapi nanti yang dirugikan siapa? Masyarakat.”
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, sependapat.
Di tengah situasi yang disebutnya “krusial” tersebut, pemerintah harus segera bertindak menahan harga beras agak tidak terus melonjak naik hingga akhir tahun.
Pertama, dengan menggelontorkan secara masif beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) ke pasar.
Sebelumnya, Perum Bulog mengklaim penyaluran harian beras SPHP sudah lebih dari 8.000 ton pada 25 Agustus 2025.
Namun, kata Khudori, intervensi itu sudah terlambat pada saat harga beras sudah kadung tinggi.
“Memang dilaporkan Agustus ini sudah 7.000-8.000 ton dilepas ke pasar, tapi itu masih kecil. Sekarang ini yang terjadi pasar lapar beras,” tegasnya.
“Kalau orang lapar itu harus dikasih makan yang cukup, bahkan berlebih. Intinya jenuhin pasar dengan beras. Berapapun harus dipasok.”
Kedua, pada saat yang sama pemerintah bisa membuat kebijakan baru berupa penyaluran pangan beras kepada 18 juta rumah tangga.
“Bansos beras berakhir kan Agustus, sebaiknya dilanjutkan sampai September, Oktober, November, Desember gitu. Kalau bantuan beras dilanjutkan, ada peluang harga akan turun.”
“Toh stok Bulog kan besar, jadi penting untuk dibiarkan segera keluar. Kalau disimpan kelamaan justru berpotensi menurunkan mutu dan volume, tidak akan bagus kualitasnya.”
Ketiga, pemerintah harus menghentikan cara-cara pendekatan keamanan terhadap pengelolaan beras agar produsen tidak diliputi ketakutan.
“Karena itu pasti tidak baik, mereka [produsen] pasti pilihannya daripada berperkara, lebih baik berhenti.”
“Padahal usaha yang mereka lakukan itu bukan memproduksi narkoba, minuman keras, atau barang ilegal. Jadi situasi ini harus segera dipulihkan supaya muncul kepercayaan untuk berusaha.”
Apa sikap pemerintah?
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri, Helfi Assegaf, mengakui langkanya beras premium di pasar retail modern lantaran “takut ditangkap Satgas Pangan” menyusul kasus dugaan beras oplosan beberapa waktu lalu.
Imbasnya, produsen tak menambah stok berasnya.
“Memang ada penurunan [stok beras]. Otomatis mereka melakukan penarikan, menghabiskan stok yang ada di retail dan tidak mengisi kembali,” ujarnya dalam diskusi di Kantor Ombudsman, Rabu (27/08).
“Kami dalami kembali, apa masalahnya? ‘Kami takut pak, nanti ditangkap,'” sambungnya menirukan jawaban produsen.
Masalah lain, menurutnya, Perum Bulog yang tak bisa sembarangan memasok beras SPHP ke toko retail modern jika tidak ada kerja sama.
“Macam-macam masalahnya. Jadi tidak semudah yang kita lihat. Jadi buruh waktu, proses, yang sudah pegang izin kerja sama pun tidak mengajukan PO [pre-order].”
Helfi mengklaim dalam waktu dekat stok beras akan kembali terisi di pasar dengan beras SPHP.
“Insya Allah dalam waktu beberapa hari ini akan segera dipenuhi oleh rekan-rekan dari Bulog untuk pengisian beras SPHP yang kualitasnya juga tidak kalah,” tuturnya.
“Yang SPHP maupun komersial, kualitas juga bagus. Saya kira tidak ada masalah. Ini yang kita harapkan.”
Wartawan Kamal di Semarang, Nanda di Sumatra Utara, dan Muhamad Aidil di Makassar berkontribusi untuk laporan ini.