Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?

Photo of author

By AdminTekno

Senin pagi merupakan hari paling sibuk di Jakarta, tapi 1 September 2025 sedikit berbeda. Jalan-jalan terasa lengang.

Mulai dari arah Pasar Rebo-Cililitan-Matraman-Tugu Proklamasi-Bundaran Hotel Indonesia, sepeda motor atau mobil saling berjarak. Beberapa lampu lalu lintas tak berfungsi, tapi para pengendara dapat mengatur diri masing-masing. Bersabar bergantian lewat.

Sepanjang Sudirman-Thamrin, jalan-jalan juga senggang. Beberapa anggota Brimob naik motor trail diiringi mobil-mobil plat tentara, berpatroli.

Ini hanya cuplikasi kondisi terkini di Jakarta, setelah demonstrasi tak berkesudahan, setidaknya sejak 25 sampai 30 Agustus.

Eskalasi unjuk rasa meledak setelah seorang pengemudi ojek online tewas dilindas rantis Brimob, Kamis malam (28/08).

Di sejumlah wilayah Indonesia, demonstrasi yang sudah terkonsentrasi diwarnai aksi pembakaran gedung parlemen dan fasilitas umum. Beberapa orang menjarah aset-aset yang ada di dalamnya.

Massa juga menargetkan rumah-rumah pejabat. Mereka menjarah hampir seluruh perabotan, termasuk barang-barang pribadi seperti celana dalam. Aksi di beberapa daerah juga menelan korban jiwa.

Baca juga:

  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?
  • Demo setelah pengemudi ojek online tewas dilindas rantis, dua anggota Brimob diduga langgar etik berat
  • Pengemudi ojol Affan Kurniawan disebut ‘martir demokrasi’ – Apakah aksi massa bakal membesar?

Belakangan muncul dugaan tentang aksi yang ditunggangi. Republika, misalnya, memberitakan indikasi orang yang diorganisir untuk melakukan perusakan dan penjarahan.

Presiden Prabowo Subianto dalam responsnya mengatakan, aksi demonstrasi “mulai kelihatan gejala adanya tindakan di luar hukum, bahkan melawan hukum”.

“Bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme,” ujar Prabowo, Minggu (31/08).

Presiden memerintahkan Polri dan TNI mengambil “tindakan tegas”.

“Saya perintahkan untuk mengambil tindakan yang setegas-tegasnya terhadap segala macam bentuk pengerusakan fasilitas umum, penjarahan terhadap rumah individu ataupun tempat-tempat umum atau sentra-sentra ekonomi, sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Prabowo.

Ketua umum Partai Gerindra ini pun menegaskan, pemerintah akan menghormati penuh aspirasi yang disampaikan secara damai. Dengan catatan, tidak melanggar aturan.

Namun, sejumlah unggahan di media sosial terus menganjurkan aksi yang menjurus kepada kerusuhan dan penjarahan.

Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) melaporkan, hoaks yang beredar di media sosial dan media perpesanan makin meningkat.

Contohnya adalah video kerusuhan di Baghdad diklaim sebagai kejadian di Jakarta, ataupun klaim penjarahan di gedung DPR dan Mall Atrium Senen.

“Bahkan, beberapa hoaks itu sudah menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) berupa deepfake sehingga publik kesulitan mengidentifikasi secara cepat, malah tergocek oleh deepfake itu,” kata Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho dalam keterangan tertulis.

Apa yang melatarbelakangi aksi demonstrasi?

Peneliti politik dari PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, mengatakan demonstrasi yang meletus sejak 25 Agustus bukanlah ledakan spontan, melainkan lahir dari akumulasi keresahan yang sudah lama dipendam.

Kata dia, ada rentetan peristiwa sebelum demonstrasi berhari-hari.

Presiden Prabowo memberi tanda kehormatan kepada pejabat di lingkarannya-termasuk orang yang pernah terbelit korupsi, dan gaji-tunjangan anggota DPR mencapai lebih dari Rp100 juta di saat masyarakat mengeluh soal perekonomian.

Pernyataan sejumlah anggota parlemen justru memicu polemik dan kemarahan warganet di media sosial.

Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat berdampak terhadap pemerintah daerah-yang selama ini bergantung dari tansfer pusat. Untuk menyiasati itu, pemerintah daerah memungut pajak lebih besar terhadap warga.

Aksi unjuk rasa memprotes kenaikan pajak ini terjadi di Kabupaten Pati dan beberapa wilayah lainnya.

“Negara tidak lagi berpihak, melainkan berpesta di atas penderitaan rakyat. Ketika ruang aspirasi ditutup dan harga kebutuhan pokok melonjak, rakyat tidak lagi bicara lewat saluran formal. Mereka turun ke jalan,” kata Virdika.

Akan tetapi, aksi yang semula jelas tuntutannya bergeser arah.

“Ada lapisan lain yang tidak bisa dijelaskan sebagai kemarahan sipil,” tambahnya.

Spekulasi yang lahir dari kejanggalan aksi

Penjarahan terhadap rumah-rumah pejabat, pembakaran halte, sampai penggunaan bom molotov, merupakan kejanggalan dalam aksi kemarin, katanya.

Dari kejanggalan kemudian muncul berbagai macam spekulasi di media sosial.

Kejanggalan yang kentara, misalnya, penjarahan dua kali di rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro, tanpa ada pengamanan berarti.

“Saya pikir publik menangkap itu. Dan ketika figur sekelas Sri Mulyani bisa dijarah tanpa perlindungan, spekulasi soal siapa yang mengatur, siapa yang membiarkan, dan siapa yang diuntungkan jadi tak terhindarkan,” tambahnya.

Pola kerusuhan dan penjarahan bukan hal baru, kata Virdika. Pada Mei 1998, kerusuhan terjadi setelah muncul kelompok tak dikenal bergerak di luar tuntutan masyarakat.

“Tujuannya bisa macam-macam. Bisa untuk menciptakan alasan intervensi, bisa untuk mendiskreditkan gerakan sipil, bisa juga untuk membuka ruang bagi aktor-aktor yang selama ini berada di pinggir kekuasaan,” katanya.

Ia melanjutkan, apa yang menjadi pembeda dari Mei 1998, kerusuhan yang saat ini terjadi disinyalir bertujuan menggeser narasi.

“Supaya tuntutan rakyat tenggelam di tengah asap dan pecahan kaca. Supaya negara punya alasan untuk bertindak lebih keras. Supaya ruang sipil bisa dibekukan atas nama ketertiban,” tambahnya.

“Saya khawatir, tuduhan makar dan terorisme [dari presiden] bisa dipakai untuk membenarkan represi”.

Demo hari ini

Bagaimanapun, aksi unjuk rasa dengan tuntutan yang jelas terus berlangsung di kota-kota di Indonesia, seperti Padang, Sumatra Barat; Jakarta; Bandung, Jawa Barat; Palopo, Sulawesi Selatan; sampai Ambon, Senin (01/09).

Di Jakarta, ratusan mahasiswa yang menamai diri Gerakan Bersama Rakyat (Gemarak) menggelar unjuk rasa di gedung DPR.

Dalam orasinya, seorang pengunjuk rasa menuntut pembebasan ratusan demonstran yang masih ditahan polisi, reformasi polri, pengesahan RUU Perampasan Aset; RUU perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat.

Orator juga mengatakan, mereka menolak revisi RUU Pokok Agraria, RUU KUHAP, serta menolak Proyek Strategis Nasional (PSN).

Vatov dari Front Mahasiswa Nasional yang terlibat dalam aksi ini, juga menuntut agar kematian Affan Kurniawan diusut tuntas dan pelakunya dihukum.

Ia juga mengatakan kelompok mahasiswa tetap menggelar aksi unjuk rasa, karena masyarakat masih menghadapi “pendidikan semakin mahal” termasuk “tidak adanya jaminan lapangan kerja”.

“Jadi, itulah mengapa kami tetap akan turun [ke jalan],” katanya.

Di Bandung, kelompok mahasiswa membakar ban di depan pagar DPRD Jabar. Mahasiswa ini tergabung dalam Cipayung Plus.

“Kami menghargai pidato yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto, dan kami hadir di sini untuk mengawal kebenaran pidato tersebut, ” kata Amanda Rinjani, mahasiswi yang ditemui saat aksi unjuk rasa.

Presiden Prabowo menemui seluruh ketua umum Parpol di Istana, Minggu (31/08) kemarin.

Presiden Prabowo menegaskan, para ketua umum parpol telah mengambil langkah tegas terhadap anggotanya di parlemen yang melakukan kekeliruan, dengan pencabutan keanggotaan hingga pencabutan sejumlah kebijakan termasuk besaran tunjangan dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.

“Terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025, yaitu terhadap anggota DPR masing-masing yang telah mungkin menyampaikan pernyataan-pernyataan yang keliru,” ujar Prabowo.

“Kemudian para pimpinan DPR menyampaikan akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI termasuk besaran tunjangan anggota DPR dan juga moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.”

“Langkah tegas tadi yang dilakukan Ketua Umum Partai Politik adalah mereka masing-masing dicabut dari keanggotanya di DPR RI,” kata Presiden Prabowo.

Presiden Prabowo pun menekankan agar para wakil rakyat selalu peka terhadap aspirasi publik dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.

Ia menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dijamin undang-undang dan instrumen internasional, selama penyampaian aspirasi dilakukan secara damai.

“Para anggota DPR harus selalu peka dan selalu berpihak kepada kepentingan rakyat. Kami menghormati kebebasan berpendapat seperti diatur dalam United Nations International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 19 dan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998. Penyampaian aspirasi bisa dilakukan secara damai,” ucap Presiden.

Namun, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia yang terdiri dari belasan organisasi pro demokrasi menilai pidato Presiden Prabowo terbaru sebagai “gagal paham merespons dinamika sosial politik dan ekonomi”.

Kegaduan yang terjadi bukan cuma persoalan pernyataan anggota parlemen yang mengundang polemik dan berujung pada penonaktifan, tapi ada persoalan lain yang lebih luas. Persoalan yang dicatat koalisi antara lain:

  • Pemborosan uang rakyat dan tindakan-tindakan korup untuk kepentingan pejabat di tengah kesulitan rakyat.
  • Pengaturan gaji dan tunjangan pejabat negara, anggota DPR, direksi dan komisaris-komisaris BUMN yang sangat tinggi dan sangat jauh dari rata-rata pendapatan rakyat.
  • Pengaturan anggaran, efisiensi hingga pajak yang ugal-ugalan yang membuat sulit rakyat, perampasan dan perusakan ruang hidup rakyat yang terjadi secara sistematis melalui proyek-proyek pemerintah atau investasi.

Koalisi menyebut jalan keluar yang ditawarkan pemerintah sebagai “solusi palsu atau sesat”.

Dari keterangan tertulis yang dikirim Direktur YLBHI, M. Isnur, koalisi menilai presiden bahkan tidak menyampaikan koreksi dan perintah untuk menjamin kebebasan berekspresi sesuai standar HAM yang disebutkan yakni Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Presiden juga tidak mengetengahkan tuntutan keadilan dari rakyat untuk reformasi Kepolisian RI sebagai syarat maju dan berubahnya penghormatan dan perlindungan masyarakat,” katanya.

“Prabowo malah menggiring arah represi baru dengan menyebut bahwa demonstran adalah pelaku makar dan terorisme, jelas ini membahayakan segenap bangsa dan nyawa rakyat Indonesia”.

“Seharusnya presiden membentuk Tim Independen yang dipimpin oleh Komnas HAM dan melibatkan lembaga-lembaga independen serta ahli dan perwakilan kelompok masyarakat sipil untuk mengungkapkan dugaan-dugaan kekerasan dan kerusuhan yang terjadi,” tulis pernyataan tersebut.

  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?
  • Demo DPR: Kendaraan polisi melindas pengemudi ojol hingga tewas, Istana minta maaf dan tujuh polisi diperiksa
  • Demo setelah pengemudi ojek online tewas dilindas rantis, dua anggota Brimob diduga langgar etik berat

Leave a Comment