TNI Jaga Keamanan: Darurat Militerkah Indonesia? Fakta & Analisis

Photo of author

By AdminTekno

Lebih dari 300 Guru Besar Mendesak Presiden Prabowo: Hindari Darurat Militer, Cegah Represi Sipil

Sebanyak 344 guru besar dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia menyuarakan desakan serius kepada Presiden Prabowo Subianto agar tidak memberlakukan darurat militer. Mereka memperingatkan bahwa langkah tersebut berpotensi memicu tindakan represif yang merugikan gerakan masyarakat sipil.

Seruan ini muncul sebagai respons atas pidato Presiden Prabowo yang cenderung menggunakan pendekatan koersif. Presiden menuding adanya indikasi makar dan terorisme di balik gelombang aksi demonstrasi yang melanda sejumlah daerah di Indonesia, dan karenanya memerintahkan Polri serta TNI untuk mengambil “tindakan tegas”. Di waktu yang sama, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan bahwa Panglima TNI, dengan dukungan Kepala Staf Angkatan Darat, Laut, dan Udara, akan bertugas memelihara keamanan nasional serta melakukan upaya pengamanan dan penertiban. Namun, Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita membantah keras adanya skenario menuju darurat militer dalam penanganan kerusuhan dan kericuhan demonstrasi yang terjadi selama sepekan terakhir, menegaskan bahwa TNI hanya memberikan bantuan sesuai ketentuan berlaku.

Di tengah dinamika ini, narasi ‘darurat militer‘ justru menguat di media sosial X, memicu kekhawatiran yang meluas di kalangan warganet. Pertanyaan pun mengemuka: Mengapa isu ini mencuat dan apa sebenarnya definisi darurat militer?

Iringan Panser dan Kekhawatiran Darurat Militer

Kecemasan publik semakin memuncak setelah penampakan iring-iringan panser dan truk pengangkut pasukan tentara terpantau di beberapa wilayah. Di Jakarta Barat, sebuah panser TNI jenis Anoa terlihat ‘bertengger’ di depan Puri Indah Mall sejak Sabtu (30/08). Kendaraan lapis baja yang selama ini dikenal untuk mobilitas tempur dan operasi pengamanan tersebut kehadiran di lokasi umum menimbulkan pertanyaan. Sementara itu, di Yogyakarta, iring-iringan panser dan truk berpasukan loreng juga terekam melintas di kawasan wisata Malioboro pada Minggu (31/08), dengan seorang tentara menyerukan pesan menjaga keamanan dan ketertiban. Fenomena ini segera memicu spekulasi di kalangan warganet: apakah Indonesia sedang dalam situasi perang?

https://twitter.com/merapi_uncover/status/1962100932793299036?s=46

Seiring dengan itu, berbagai insiden yang terjadi belakangan ini kian memperkuat dugaan warganet di media sosial X tentang potensi darurat militer. Rentetan penjarahan rumah anggota DPR seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya (Surya Utama), Nafa Urbach, dan bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, menjadi sorotan. Bersamaan dengan itu, kerusakan dan pembakaran fasilitas umum juga terjadi, disusul dengan perintah Kapolri Listyo Sigit yang memerintahkan penggunaan peluru tajam untuk menindak kelompok anarkis. Perintah ini terungkap dari video rapat daring Kapolri dengan sejumlah pejabat Polri yang membahas aturan penggunaan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam dalam menghadapi situasi terkini.

Pada hari yang sama, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mempertegas pernyataan Kapolri, menegaskan bahwa Kapolri dan Panglima TNI tidak akan ragu mengambil langkah terukur dan tegas terhadap pelanggaran hukum. Sjafrie juga menyatakan, “Panglima TNI akan dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Darat maupun Angkatan laut dan Angkatan Udara untuk terus memelihara keamanan di wilayah nasional dan melakukan upaya pengamanan dan penertiban terhadap sumber daya alam.” Ia menambahkan, “Kapolri akan terus bekerja sama dengan Jaksa Agung dalam penegakan hukum secara cepat terhadap semua pelanggaran yang terjadi di seluruh wilayah nasional.”

Urgensi Pelibatan Militer: Analisis Pengamat

Pengamat militer sekaligus Koordinator Centra Initiative, Al Araf, menjelaskan bahwa Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025 memang memberikan ruang bagi pelibatan militer dalam perbantuan kepolisian, baik dalam Operasi Militer untuk Perang (OMP) maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Namun, ia menekankan, pelibatan ini bersifat terbatas dan mensyaratkan adanya peraturan pemerintah, yang hingga kini belum juga diterbitkan. “Ini yang saya kritik sejak revisi UU TNI. Kritik utama saya adalah Anda [DPR] memberikan cek kosong di dalam pelibatan militer dalam penanganan dalam negeri,” tegas Al Araf kepada BBC News Indonesia pada Senin (01/09). Ia menambahkan, “Ini berbahaya karena kita tidak tahu [pelibatan militer] sampai kapan dan berapa lama.”

Terlepas dari aspek regulasi, Al Araf menilai bahwa situasi saat ini tidaklah cukup genting untuk memerlukan bantuan militer. Menurutnya, gelombang protes masyarakat yang terjadi bukanlah muncul dari kevakuman, melainkan ekspresi kekecewaan atas kegagalan negara dalam memberikan keadilan sosial dan ekonomi, yang diperparah oleh arogansi para pejabat. “Sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang terjadi hari ini, yang berbentuk kemarahan masyarakat. Tapi penanganannya justru tidak proporsional dan cenderung excessive use of force yang akhirnya menimbulkan kematian seorang pengemudi ojek online,” paparnya. Ia mengamati, “Kalaupun ada dinamika pembakaran, sifatnya selektif lebih banyak ke kantor polsek atau DPRD.” Al Araf juga menekankan bahwa massa tidak menggunakan senjata api atau granat, sehingga aksi tersebut hanyalah luapan kemarahan akibat insiden ojek online dan akumulasi ketidakadilan.

Untuk meredam gejolak ini, Al Araf menyarankan agar Presiden Prabowo seharusnya meminta maaf, kemudian memastikan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat, serta mengoreksi keputusan-keputusan keliru, bukan malah membuka ruang bagi keterlibatan militer. Pendekatan keamanan, menurutnya, masih bisa sepenuhnya dikelola oleh perangkat sipil. “Hal itu masih bisa dimungkinkan dengan cara bagaimana institusi kepolisian harus benar-benar profesional, proporsional, dan persuasif dengan masyarakat,” jelasnya, sembari menyoroti perlunya menghindari langkah represif seperti yang terjadi pada kasus ojek online.

Oleh karena itu, Al Araf mempertanyakan pernyataan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang terkesan menunjuk TNI untuk mengambil alih upaya keamanan. “Hal tersebut salah dan keliru, karena secara konstitusional fungsi TNI adalah sebagai alat pertahanan negara. Fungsi keamanan ada di kepolisian,” terangnya. “Jadi saya melihat apa yang dikatakan Menhan berbahaya dalam situasi kekinian.” Ia menambahkan bahwa jika ada pelibatan militer, Presiden wajib menjelaskan secara transparan tujuan, durasi, sumber pasukan, anggaran, dan mekanisme pengawasannya. “Sayangnya pengerahan sudah terjadi dan kita tidak tahu untuk apa, berapa lama, legitimasi dasarnya apa. Ini yang nanti menjadi masalah karena masyarakat menganggap kita akan masuk dalam situasi darurat militer,” pungkasnya.

Baca juga:

  • Pengemudi ojol Affan Kurniawan disebut ‘martir demokrasi’ – Apakah aksi massa bakal membesar?

Memahami Darurat Militer di Indonesia

Darurat militer didefinisikan sebagai pengalihan kekuasaan kepada otoritas militer di sebagian atau seluruh wilayah negara, terjadi ketika otoritas sipil dianggap tidak mampu berfungsi. Kondisi ini umumnya ditandai oleh tiga hal utama:

Pertama, ketika kapasitas sipil telah lumpuh dan tidak lagi mampu mengatasi ancaman yang terjadi. Kedua, apabila situasi dan kondisi masyarakat secara nyata menghadapi ancaman sangat serius, seperti pemberontakan bersenjata yang pernah dialami di Aceh. Ketiga, jika parlemen dan presiden sepakat bahwa situasi yang ada tidak lagi dapat ditanggulangi oleh pemerintahan sipil.

Al Araf berpendapat bahwa ketiga kondisi tersebut saat ini tidak terjadi di Indonesia. Para pengunjuk rasa, menurutnya, masih menyampaikan aspirasinya secara damai, belum mencapai level kelompok yang ‘berperang’ (belligerence). Selain itu, pemerintahan sipil juga masih berfungsi. “Jadi lagi-lagi opsi darurat militer bukan pilihan sebenarnya,” tegasnya.

Di Indonesia, ketentuan mengenai darurat militer diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 Tahun 1959. Pasal 1 Ayat 1 Perpu tersebut menyebutkan tiga kondisi yang memungkinkan diberlakukannya darurat militer:

  • Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
  • Timbul perang atau bahaya perang, atau dikhawatirkan terjadi perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
  • Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya, atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Pihak yang berhak menyatakan darurat militer di seluruh atau sebagian wilayah Indonesia adalah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Dalam mengelola keadaan darurat (baik sipil, militer, maupun perang), Presiden dibantu oleh sebuah badan yang terdiri dari Menteri Pertama, Menteri Keamanan/Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Menteri Luar Negeri, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara, dan Kepala Kepolisian Negara.

Konsekuensi Penerapan Darurat Militer

Jika darurat militer diberlakukan, Al Araf mengingatkan bahwa militer akan mengambil alih kekuasaan di berbagai daerah, yang biasanya diikuti oleh pembatasan kebebasan masyarakat, seperti pemberlakuan jam malam. “Atau pembatasan kebebasan berpendapat, dalihnya diperbolehkan oleh negara karena status darurat. Sehingga cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia,” paparnya. Ia juga memperingatkan, “Dan jika itu terjadi, akan berpotensi membawa Indonesia ke dalam pemerintahan militeristik seperti yang terjadi di Myanmar.”

Solusi yang Ditawarkan Para Akademisi

Ratusan guru besar yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Peduli Indonesia memaparkan bahwa aksi demonstrasi serempak di berbagai wilayah Indonesia berakar pada sejumlah masalah fundamental. Guru Besar dari Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, dalam konferensi pers Senin (01/09), mengemukakan adanya jurang lebar antara elite penyelenggara negara dan rakyat, yang diakibatkan oleh perumusan kebijakan dan alokasi anggaran negara. “Ini terbukti dari banyaknya program yang salah sasaran, rawan penyimpangan, dan sebagian cenderung bisa ditafsirkan sebagai ‘power build-up’, sehingga menghadapi penolakan rakyat terhadapnya,” ujarnya.

Sulistyowati Irianto juga menambahkan, “Para elite melancarkan pidato populis dan palsu, berbeda dari kenyataan di lapangan. Kondisi seperti ini membuat rakyat mulai kehilangan kepercayaan, kehilangan harapan dan marah… Tidak terelakkan jika keadaan seperti ini melahirkan protes dan amok. Bukan mustahil akan terjadi chaos.”

Menyikapi kondisi tersebut, para akademisi ini menyerukan enam poin penting kepada pemerintah:

  1. Restrukturisasi Kabinet dan Pejabat: Memastikan kabinet dan pejabat lembaga pemerintahan kompeten, ramping, efisien, dan tidak membebani keuangan negara. Ini termasuk meninjau kembali pengangkatan pejabat yang tidak didasarkan pada kompetensi, profesionalisme, dan integritas tinggi, demi mencegah penguatan dan perluasan kekuasaan semata.
  2. Tinjau Ulang Kebijakan Anggaran: Meninjau kembali kebijakan politik anggaran yang salah sasaran, serta tidak didasarkan pada rasionalitas ilmiah dan data yang valid.
  3. Evaluasi Instrumen Hukum dan Kebijakan: Meninjau kembali berbagai instrumen hukum dan kebijakan yang dibuat secara instan, sarat kepentingan kekuasaan, dan berdampak merugikan secara ekonomi-sosial.
  4. Pemberantasan Korupsi: Berantas korupsi, gratifikasi, dan berbagai bentuk kecurangan sebagai kejahatan luar biasa, karena telah merampas kesempatan rakyat untuk menikmati hak dasarnya seperti kecukupan pangan, akses pendidikan, kesehatan, dan layanan publik lainnya.
  5. Hindari Darurat Militer: Tidak memberlakukan darurat militer atau sipil yang berpotensi berakibat pada tindakan represif terhadap gerakan masyarakat sipil yang menyuarakan aspirasi rakyat. Tindakan tegas hanya boleh ditujukan secara selektif kepada penyusup dan provokator tindakan anarkis atau perusakan.
  6. Cegah Diskriminasi: Mencegah berbagai bentuk tindakan diskriminasi rasial dan kekerasan berbasis gender.

Baca juga:

  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?

Tanggapan Resmi TNI

Menanggapi kekhawatiran publik, Wakil Panglima TNI Tandyo Budi Revita kembali menegaskan bahwa tidak ada skenario menuju penetapan darurat militer pasca-berbagai kerusuhan dalam gelombang unjuk rasa sepekan terakhir. Tandyo memastikan bahwa TNI senantiasa menaati konstitusi dalam menjalankan fungsinya. “Kalau ada anggapan seperti itu tentunya sangat salah, jauh dari apa yang kami lakukan,” ucapnya usai rapat kerja dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen, Senayan, Senin (01/09).

Tandyo menambahkan bahwa TNI memberikan bantuan dalam penanganan gelombang demonstrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atas arahan Presiden Prabowo kepada Panglima TNI Agus Subiyanto dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk bersama-sama menangani unjuk rasa yang meluas. “Kami memberikan bantuan kepada institusi lain tentunya atas dasar regulasi dan permintaan saat itu sendiri,” sambungnya. Ia juga membantah keras keinginan pihak militer untuk mengambil alih penanganan keamanan dari Polri. Menurutnya, unjuk rasa selama ini selalu ditangani oleh Polri terlebih dahulu. “Setelah ada kondisi seperti ini, ya barulah kami jadi satu dengan Polri. Tidak ada keinginan kami untuk mengambil alih,” tegas Tandyo.

  • Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
  • Demonstrasi di berbagai kota – Polisi dilaporkan menembakkan gas air mata di kampus Unisba Bandung
  • Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?

Daftar Isi

Ringkasan

Artikel ini membahas kekhawatiran publik mengenai kemungkinan penerapan darurat militer di Indonesia, menyusul seruan dari ratusan guru besar yang mendesak Presiden Prabowo untuk menghindarinya. Kekhawatiran ini muncul setelah pidato presiden yang cenderung koersif, penampakan iring-iringan panser di beberapa wilayah, dan insiden penjarahan serta kerusakan fasilitas umum. Meskipun TNI membantah adanya skenario darurat militer dan menegaskan hanya memberikan bantuan sesuai ketentuan, narasi ini terus menguat di media sosial.

Pengamat militer Al Araf menjelaskan bahwa pelibatan militer dalam perbantuan kepolisian memang dimungkinkan oleh UU TNI, tetapi memerlukan peraturan pemerintah yang belum diterbitkan. Ia menilai situasi saat ini belum cukup genting untuk memerlukan bantuan militer dan menyarankan agar pemerintah meminta maaf, memastikan kebijakan yang berpihak pada masyarakat, dan mengoreksi keputusan keliru, daripada membuka ruang bagi keterlibatan militer. Artikel ini juga menjelaskan definisi dan konsekuensi penerapan darurat militer di Indonesia, serta solusi yang ditawarkan oleh para akademisi untuk mengatasi masalah fundamental yang memicu aksi demonstrasi.

Leave a Comment