Fraksi Partai NasDem DPR RI secara tegas mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) segera menghentikan pemberian gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi dua anggotanya, Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Permintaan ini muncul setelah keduanya dinonaktifkan dari keanggotaan DPR RI oleh Partai NasDem, menyusul insiden demonstrasi yang berakhir ricuh dan diwarnai penjarahan.
Melalui keterangan tertulis pada Selasa (2/9), Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI, Viktor Bungtilu Laiskodat, menjelaskan dasar dari permintaan tersebut. “Fraksi Partai NasDem DPR RI meminta penghentian sementara gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi yang bersangkutan, yang kini berstatus nonaktif, sebagai bagian dari penegakan mekanisme dan integritas partai,” ujar Viktor, menekankan komitmen partai terhadap aturan internal.
Viktor lebih lanjut membeberkan bahwa status penonaktifan keanggotaan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach saat ini sedang dalam proses tindak lanjut oleh Mahkamah NasDem. Institusi internal partai ini diharapkan akan menerbitkan putusan yang bersifat final, mengikat, dan tidak dapat digugat, menegaskan keputusan partai.
Mantan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menegaskan bahwa setiap langkah yang diambil oleh Fraksi NasDem merupakan bagian integral dari upaya partai untuk memastikan mekanisme internalnya dijalankan secara transparan dan akuntabel di hadapan publik. Sebagai penutup pernyataannya, Viktor juga menyerukan, “Mari bersama merajut persatuan dan menguatkan spirit restorasi demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” sebuah pesan yang kerap digaungkan Partai NasDem.
Namun, permintaan penghentian fasilitas bagi anggota nonaktif ini mendapat sorotan dari pakar hukum. Titi Anggraini, seorang Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia (UI), sebelumnya telah menyatakan bahwa tidak ada status ‘nonaktif’ untuk anggota DPR secara umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Menurutnya, jika pun ada ketentuan nonaktif, hal itu berlaku dalam kondisi yang sangat spesifik dan terbatas.
Berdasarkan penafsiran UU MD3, implikasinya adalah bahwa anggota DPR yang berstatus nonaktif sekalipun, tetap memiliki hak untuk menerima gaji dan tunjangan mereka hingga mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) resmi dilakukan dan anggota pengganti dilantik.
Lebih lanjut, Titi mengutip Pasal 144 UU MD3 yang secara eksplisit menyatakan bahwa pimpinan DPR hanya dapat menonaktifkan sementara pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang dalam proses pengaduan yang telah memenuhi syarat dan lengkap. Penjelasan ini ia sampaikan saat dihubungi pada Senin (1/9).
Oleh karena itu, Titi menyimpulkan, konteks status ‘nonaktif’ dalam kerangka UU MD3 sangatlah terbatas, hanya berlaku bagi pimpinan atau anggota MKD, dan tidak dapat diterapkan secara umum untuk seluruh anggota DPR.