Polda Metro Jaya secara resmi menetapkan Delpedro Marhaen, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) terkemuka sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru, sebagai tersangka pada Selasa (02/09). Penetapan ini menyusul tuduhan bahwa Delpedro menyebarkan hasutan yang memicu kerusuhan dan melibatkan anak-anak dalam serangkaian demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus lalu.
Selain Delpedro, seorang staf Lokataru lain bernama Mujaffar Salim juga turut ditetapkan sebagai tersangka. Lokataru sendiri merupakan organisasi nirlaba yang berbasis di Jakarta, berdedikasi penuh pada advokasi isu-isu hak asasi manusia. Menanggapi penetapan tersangka ini, sejumlah kelompok masyarakat sipil dan pengamat menyoroti bahwa tindakan polisi dinilai “gagal membedakan antara ekspresi kebebasan berpendapat dan provokasi”. Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun, bahkan mempertanyakan, “Apa tafsir mereka [polisi]? Jangan-jangan tidak bisa membedakan antara ekspresi berpendapat dan provokasi.”
Meskipun Polda Metro Jaya belum merinci secara detail dugaan hasutan yang dilakukan Delpedro, mereka menegaskan bahwa penyelidikan terhadap aktivitas aktivis Lokataru tersebut telah berlangsung sejak unjuk rasa pertama kali digelar pada 25 Agustus. Di sisi lain, Pendiri Lokataru, Harris Azhar, dengan tegas menilai penetapan tersangka Delpedro sebagai “praktik pengambinghitaman” terhadap para pegiat HAM dan demokrasi, yang mengindikasikan adanya upaya mencari kambing hitam.
Kronologi penangkapan Delpedro
Delpedro Marhaen dijerat oleh Polda Metro Jaya dengan pasal berlapis, termasuk penghasutan untuk melakukan kekerasan, penyebarluasan informasi elektronik yang menyebabkan kerusuhan, serta sejumlah pasal terkait perlindungan anak. Berdasarkan kronologi penangkapan yang dirilis oleh LBH Jakarta, Delpedro “dijemput paksa” oleh sekitar sepuluh polisi berpakaian serba hitam di kantor Lokataru Foundation, Pulo Gadung, Jakarta Timur, pada Senin (01/09) malam.
Rombongan polisi dari Sub Direktorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya tersebut tiba di kantor Lokataru sekitar pukul 22.30 WIB. Setelah mengetuk pintu, mereka langsung menanyakan keberadaan Delpedro saat pintu dibuka, yang kemudian dijawab singkat oleh Delpedro, “Saya Pedro.”
Para petugas kemudian menunjukkan selembar kertas kuning yang mereka klaim sebagai surat penangkapan, seraya meminta Delpedro untuk segera mengikuti mereka ke Polda Metro Jaya. LBH Jakarta mencatat bahwa meski tidak terjadi kekerasan fisik selama “penjemputan paksa” ini, seluruh proses berlangsung tergesa-gesa dengan pengawalan ketat enam mobil, menunjukkan indikasi kejanggalan dalam prosedur.
Dalam keterangan resminya, Lokataru mengungkapkan bahwa Delpedro sempat mempertanyakan legalitas surat penangkapan dan meminta pendampingan hukum karena ia belum memahami sepenuhnya pasal-pasal yang dituduhkan kepadanya. Namun, rombongan polisi berdalih bahwa mereka telah mengantongi surat tugas yang menginstruksikan penangkapan dan penggeledahan. Selain itu, Delpedro juga dilarang menggunakan telepon selular untuk menghubungi koleganya, dan permintaannya untuk mengganti baju sebelum dibawa ke Polda Metro Jaya disampaikan dengan intonasi yang dinilai mengarah pada intimidasi.
Berdasarkan seluruh kronologi tersebut, Lokataru menyimpulkan bahwa penangkapan Delpedro cacat prosedur, mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan membatasi hak konstitusionalnya. Lokataru juga menambahkan bahwa saat penangkapan, petugas secara tidak sopan memasuki lantai dua kantor, melakukan penggeledahan, serta merusak dan menonaktifkan CCTV kantor, tindakan yang berpotensi menghilangkan bukti dan menimbulkan kerugian hukum.
Pernyataan Lokataru ini senada dengan pandangan Fadhil Alfathan, Pengacara Publik LBH Jakarta yang mengadvokasi kasus Delpedro. Fadhil menilai penangkapan tersebut tidak sah, sebab seseorang tidak dapat ditangkap jika belum resmi ditetapkan sebagai tersangka. “Kami menilai ada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan polisi,” tegas Fadhil, menguatkan dugaan pelanggaran prosedur hukum.
Apa alasan polisi tangkap Delpedro?
Juru Bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Ary Syam, dalam keterangan pers pada Senin (02/08), menyatakan bahwa penangkapan Delpedro dilakukan “setelah penyidik menemukan bukti cukup” terkait ajakan provokasi yang memicu kerusuhan. Ade Syam menegaskan bahwa Delpedro tidak menyuarakan demonstrasi damai, melainkan memprovokasi massa untuk melakukan kerusuhan dan anarki, bahkan melibatkan pelajar serta anak-anak. Meskipun demikian, Ade Ary enggan memerinci lebih lanjut detail provokasi yang dilakukan Delpedro, dengan alasan masih dalam pendalaman penyidik. Ia juga menambahkan bahwa penyelidikan terhadap Delpedro telah berlangsung sejak unjuk rasa pertama pada 25 Agustus.
Haris Azhar, Pendiri Lokataru, mengecam langkah polisi tersebut sebagai tindakan berlebihan. Menurut Haris, unggahan Lokataru di media sosial sama sekali tidak bermuatan hasutan yang mendorong para pelajar terlibat dalam unjuk rasa hingga berujung kerusuhan. “Itu adalah ekspresi yang tidak berbentuk hasutan,” ujarnya, mempertanyakan, “Apa koneksinya unggahan itu dan ribuan unggahan lain dengan anak-anak di bawah umur?” Haris justru menjelaskan bahwa Lokataru selama ini aktif memberikan pendampingan hukum bagi anak-anak yang ditangkap polisi pasca-gelombang demonstrasi akhir Agustus. Oleh karena itu, ia kembali menegaskan bahwa penangkapan Delpedro adalah “praktik pengambinghitaman.” “Kenapa menyasar teman-teman yang kerja advokasi?” tambahnya, menyuarakan keprihatinan.
Polisi juga menangkap sejumlah aktivis lain
Tak hanya Delpedro dan Mujaffar Salim dari Lokataru, gelombang penangkapan aktivis pasca-demonstrasi juga menyasar dua pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di kota berbeda. Seorang pengacara YLBHI ditangkap di Manado, Sulawesi Utara, dan seorang lainnya di Samarinda, Kalimantan Timur. YLBHI tidak merinci identitas keduanya, namun melaporkan bahwa pengacara di Manado sempat dianiaya aparat saat hendak ditangkap pada 1 September. Sementara itu, pengacara publik di Samarinda ditangkap saat memberikan pendampingan hukum di hari yang sama, diperiksa hingga dini hari, dan kemudian dibebaskan dengan syarat. Upaya BBC News Indonesia untuk mengonfirmasi penangkapan ini kepada Juru Bicara Mabes Polri tidak membuahkan hasil.
Penangkapan serupa juga menimpa aktivis Gejayan Memanggil, Syahdan Husein, yang diamankan di Bali pada 1 September sekitar pukul 23.00 WITA. Gejayan Memanggil adalah gerakan kolektif demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang berasal dari Yogyakarta, mengambil nama jalan ikonik yang menjadi lokasi unjuk rasa menentang Orde Baru pada tahun 1998. Penangkapan Syahdan ini telah dikonfirmasi oleh salah satu admin gerakan tersebut, meskipun dibantah oleh Polda Bali. Lebih lanjut, pasca-gelombang unjuk rasa akhir Agustus, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat adanya 20 orang yang masih hilang. Sementara 31 orang lainnya yang sempat dilaporkan hilang telah ditemukan dalam kondisi ditahan kepolisian, di mana KontraS menyatakan mereka “ditahan secara rahasia dan mengalami penangkapan sewenang-wenang serta proses hukum yang tidak sesuai prosedur.”
‘Aparat tidak mampu belajar dari kesalahan masa lalu’
Serangkaian penangkapan aktivis ini, menurut Pengamat Sosial Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun, menunjukkan kegagalan aparat keamanan untuk belajar dari pengalaman masa lalu. Ubedillah menjelaskan bahwa kemarahan masyarakat masih membara pasca-kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, pada 28 Agustus lalu. Namun, alih-alih meredam situasi, aparat kepolisian justru mengulangi sikap represif yang serupa, bahkan meniru taktik pemerintahan Orde Baru yang kala itu juga melakukan penculikan terhadap sejumlah aktivis pro-demokrasi. “Sudah ada rakyat dilindas dan aktivis juga ditangkap, tapi saya kira aparat tidak mampu belajar dari kesalahan masa lalu,” tegas Ubedillah.
Oleh karena itu, Ubedillah menilai seluruh rangkaian peristiwa ini sebagai ancaman serius dan berbahaya bagi demokrasi, karena mengesankan bahwa seluruh lapisan masyarakat tidak lagi diberikan kebebasan berpendapat. “Dalam kerangka demokrasi, ini ancaman penting dan berbahaya,” simpulnya, menekankan dampak jangka panjang terhadap iklim kebebasan sipil.
Senada, Pengamat Politik dan Perubahan Sosial dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Dominique Nicky Fahrizal, berpendapat bahwa pemerintah terlihat ingin menata ulang kekuasaannya melalui serangkaian penangkapan aktivis ini. “Ini pola mengembalikan ketertiban masyarakat setelah unjuk rasa besar,” kata Nicky. Ia menambahkan bahwa situasi ini “kebetulan juga mendapat momentum dengan pernyataan Presiden Prabowo [Subianto] yang seperti melegitimasi untuk sweeping,” sebuah sinyal yang dapat diartikan sebagai dukungan terhadap tindakan keras.
Legitimasi dari pernyataan Prabowo tersebut, lanjut Nicky, diduga menjadi pemicu bagi aparat keamanan untuk mengabaikan prosedur hukum yang berlaku. Mengacu pada aturan, penangkapan dan penahanan semestinya diawali dengan surat pemanggilan resmi. “Ini di luar penindakan hukum yang proporsional,” tegas Nicky. Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Ubedillah Badrun, yang menyebut aparat seolah mendapatkan legitimasi karena Presiden Prabowo menyatakan akan menindak tegas “pendemo yang merusuh” dan menjanjikan kenaikan pangkat bagi anggota polisi yang terluka akibat demonstrasi. “Penghargaan semacam itu sangat berbahaya. Akhirnya, aparat berlomba-lomba melakukan tindakan represif,” pungkas Ubedillah, menyuarakan kekhawatirannya akan dampak negatif.
Baca Juga:
- Demonstrasi di berbagai kota – Polisi dilaporkan menembakkan gas air mata di kampus Unisba Bandung
- Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
- TNI ditugaskan ‘memelihara keamanan dan ketertiban’ – Apakah Indonesia dalam situasi darurat militer?
- Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?
- Demo setelah pengemudi ojek online tewas dilindas rantis, dua anggota Brimob diduga langgar etik berat
- Demo DPR: Kendaraan polisi melindas pengemudi ojol hingga tewas, Istana minta maaf dan tujuh polisi diperiksa