Setidaknya sepuluh orang meregang nyawa dalam gelombang demonstrasi yang mengguncang akhir Agustus lalu. Kematian tragis ini, sebagian besar, diduga kuat akibat kekerasan aparat. Para pegiat hak asasi manusia mendesak pemerintah untuk segera mengusut tuntas keterlibatan aparat serta menjalankan reformasi kepolisian yang komprehensif.
“Negara harus tanggap memenuhi semua tuntutan masyarakat dalam unjuk rasa sebelum jatuh lebih banyak korban,” tegas Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyoroti urgensi situasi.
Senada, Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi saat ini, terutama mengingat kekerasan aparat yang terus berulang sepanjang rangkaian aksi. “Aksi-aksi yang terjadi ini merupakan akumulasi dari ruang dialog yang sangat sempit. Ketika masyarakat berusaha menyampaikan persoalan dan kesulitan yang mereka hadapi, akses terhadap ruang tersebut terasa ada, namun tidak mudah dijangkau,” jelasnya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (02/09).
Namun, respons Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa hari terakhir justru mempertegas perintahnya agar aparat “menindak tegas” para pendemo yang dianggap anarkis. Ia bahkan mengaitkan unjuk rasa ini dengan tuduhan makar dan terorisme. Lebih lanjut, Presiden meminta Kapolri untuk menaikkan pangkat “polisi yang terluka” akibat demo.
Selain korban jiwa, data yang dikumpulkan YLBHI menunjukkan setidaknya 1.042 orang dilarikan ke rumah sakit di berbagai kota seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, Bandung, Medan, Sorong, dan Malang. Mereka dilaporkan mengalami luka dan cedera serius akibat kekerasan fisik serta efek gas air mata dari aparat. Angka ini, menurut YLBHI, belum termasuk mereka yang disiksa saat ditangkap oleh polisi.
Para kerabat korban pun turut membagikan kisah pilu tentang rangkaian pemukulan dan pengeroyokan yang diduga dilakukan aparat. Dampaknya sungguh memilukan, mulai dari patah tulang hingga berujung pada kematian anggota keluarga mereka.
’Tulang punggung keluarga’
Kedua tangan Saerah, 51 tahun, tak henti menggenggam erat foto putranya, Rusdam Diansyah alias Dandi, yang tewas dikeroyok sejumlah massa di depan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Sulawesi Selatan, pada 29 Agustus lalu.
Dandi, pria berusia 26 tahun, menjadi korban pemukulan massa setelah dituduh sebagai intel. Adik ipar Dandi, Reza, menceritakan bahwa suara Saerah sempat hilang karena terus menangis sejak Dandi dinyatakan meninggal dunia. Dandi telah dimakamkan di pemakaman Panaikang, Panakkukang, Makassar, sehari setelah kejadian tragis tersebut.
“Malam itu, saat Dandi kritis, Ibu sudah tak bersuara, menangis terus. Saya pun marah bercampur sedih, saya tidak peduli siapa itu, saya marah sekali, siapapun di depan saya, saya marah, itu kacau sekali,” tutur Reza saat ditemui di rumah duka, menggambarkan kekacauan emosinya.
Sebelum dihakimi massa, Dandi sempat mengabari keluarganya bahwa ia diajak rekannya untuk menonton demonstrasi mahasiswa.
“Itu jam delapan malam lewat dua menit, waktu itu saya sudah di tempat kerja, saya dihubungi lewat ponselnya. Katanya, Dandi kecelakaan, tapi saya tidak percaya, karena dari berbagai informasi, anak ini dikeroyok,” ungkap Reza.
“Sebenarnya, anak itu hari itu libur karena berpikir Makassar macet akibat demo. Bapaknya juga sudah melarang, tapi dia pergi ke rumah tantenya dan mungkin ada temannya yang mengajak,” imbuh Reza, mencoba merangkai kronologi kejadian.
Selama ini, Dandi adalah tulang punggung keluarga, bekerja sebagai pengemudi ojek online lebih dari tujuh tahun. “Dia ini anak yang pekerja keras, tidak pernah itu saya dengar dia mengeluh, kalau mau bilang dia tulang punggung keluarga juga,” kata Reza penuh haru.
Ayah Dandi, Rustam, masih teringat kata-kata terakhir putranya sebelum pergi menonton demo di depan kampus UMI. “Pak, itu motor saya, sudah saya cuci. Ini kuncinya, motornya saya tidak mau pakai lagi, ada teman yang menjemput saya,” kenang Rustam.
Selain Dandi, tiga orang lain juga menjadi korban meninggal di Makassar sepanjang gelombang aksi tersebut. Mereka adalah Muhammad Akbar Basri atau Abay, staf Humas DPRD Kota Makassar; Syahrina Wati, staf DPRD Kota Makassar; dan Syaiful Akbar, Plt Kasi Kesra Kecamatan Ujung Tanah. Abay dan Syahrina ditemukan setelah api dipadamkan, terjebak dalam gedung. Sementara itu, Syaiful disebut melompat dari lantai empat gedung saat kebakaran membesar. Saat ini, tujuh korban masih dirawat intensif di beberapa rumah sakit di Makassar.
’Patah tulang, cedera kepala, hingga meninggal’
Karangan bunga bertuliskan “Turut Berduka Cita Atas Wafatnya Rheza Sendy Pratama dari Keluarga Besar Amikom Yogyakarta” tersandar di tembok pagar salah satu gang tak jauh dari rumah duka di Mlati, Sleman, Yogyakarta, Minggu malam (31/08).
Suasana rumah duka mulai lengang. Sebagian besar mahasiswa Amikom yang mengantar jenazah telah meninggalkan lokasi. Namun, masih ada satu per satu pihak yang datang, berjalan kaki memasuki lorong sempit untuk menemui Yoyon Surono (45) dan Heni Marvina (41), menyampaikan ungkapan belasungkawa atas peristiwa nahas yang menimpa putra sulung mereka.
Rheza menjadi korban dalam unjuk rasa saat massa bentrok dengan polisi di Mapolda DIY. Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito untuk mendapatkan perawatan, namun mengembuskan napas terakhir pada Minggu (31/08) pagi.
Yoyon mengungkapkan kebingungan dan kesulitannya memahami kejadian ini. Ia masih tak menyangka mendapati anaknya dalam “kondisi tidak karuan”, seperti yang ia sampaikan kepada perwakilan satuan tugas anti-kekerasan Amikom yang berkunjung ke rumah duka.
Yoyon dan Heni menerima informasi tentang Rheza berada di kamar mayat rumah sakit sekitar pukul 10.00 WIB. Mereka segera mendatangi rumah sakit dan langsung menemui dokter serta perawat, yang menunjukkan bahwa anak mereka telah terbujur kaku tak bernyawa.
Dokter menjelaskan bahwa Rheza diantar oleh dua orang dari Dinas Kesehatan Polda DIY dan mengaku telah memberikan penanganan terbaik, namun nyawa Rheza tak tertolong. Yoyon kemudian menerima ponsel milik anaknya dan satu sisir kecil. “Saya tanya, KTP-nya mana? Dompet juga enggak ada. Lalu tadi yang mengabari pakai foto KTP itu mana?” ujar Yoyon, masih merasa bingung sambil menceritakan ulang kejadian tersebut.
Demi mempercepat proses, Yoyon bergegas membuat surat pernyataan sebagai syarat untuk mengambil jenazah anaknya. “Surat tanda tangan kalau pernyataan kita itu tidak menghendaki autopsi dan juga tentang kejadian di ringroad itu adalah istilahnya musibah, seperti itu, dan yang keduanya itu kita tidak menuntut menurut dari Polda DIY,” kata Yoyon, sembari istrinya memperlihatkan dokumentasi surat pernyataan tersebut.
Ketika memandikan jenazah Rheza, Yoyon mendapati tubuh anaknya penuh luka parah. Terlihat bekas luka seperti sabetan di beberapa bagian tubuh dengan luka bocor di area tertentu. Bekas sepatu besar terlihat jelas di beberapa bagian tubuhnya. Ada lebam-lebam di tangan dan punggung, patah tulang, dan bagian belakang tubuh menunjukkan luka seperti akibat terseret di aspal. Wajah Rheza juga tampak seperti terkena sesuatu yang putih-putih, kotor, serta terdapat luka merah kehitaman yang diduga bekas pukulan.
“Kami belum ada instruksi juga dari Pak Wakil Rektor III (Bidang Kemahasiswaan Amikom), Ahmad Fauzi,” kata perwakilan satuan tugas anti-kekerasan Amikom yang enggan menyebut namanya usai merespons cerita orang tua korban.
Mengenai sosok Rheza yang terekam dalam video amatir singkat berdurasi 34 detik, Heni membenarkan bahwa itu adalah anaknya yang mengendarai motor trail di tengah situasi pengamanan unjuk rasa. Saat itu, Rheza mengenakan celana panjang hitam dengan baju menutupi wajah, mengendarai motor membonceng rekannya yang membawa sebilah kayu. Mereka datang dari arah barat menuju timur, mendekati barikade pengamanan polisi di depan Mapolda DIY.
Namun, korban tidak berhasil menyelamatkan diri dari petugas yang ramai menerjang dengan tembakan gas air mata, sementara rekan korban terlihat berlari menyelamatkan diri dari kejaran petugas. Pasca kejadian pada Minggu pagi itu, puing-puing sisa bentrok masih berserakan di depan Mapolda DIY, disertai asap kabut pekat gas air mata.
Polisi juga masih berlalu-lalang dan merazia siapa saja yang melintas dengan sepeda motor karena diduga merupakan bagian dari pelaku demonstrasi. Ponsel Riza Salman, wartawan yang meliput untuk BBC News Indonesia, sempat dirampas polisi. Mereka memaksa Riza menunjukkan galeri fotonya dan kemudian menghapus foto para pengendara motor yang tengah diinterogasi oleh petugas berseragam lengkap dengan alat pengamanan.
Kematian yang penuh kejanggalan
Di Semarang, Iko Juliant Junior (20) juga dinyatakan meninggal dunia pada Minggu (31/08) setelah dirawat di RS Kariadi. Meskipun polisi mengklaim kematian mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu akibat kecelakaan, namun kasusnya menyisakan banyak kejanggalan.
Informasi dari ibu Iko yang disampaikan melalui Naufal Sebastian dari Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Hukum Unnes, menyebutkan bahwa Iko yang dalam kondisi kritis sempat mengigau agar tidak lagi dipukuli oleh aparat. Tim Hukum dari PBH IK Alumni FH Unnes, Ady Putra Cesario, menjelaskan bahwa Iko meninggalkan rumah menuju kampus pada Sabtu (30/08) pukul 17.00 WIB. Keesokan harinya, Minggu (31/08) sekitar pukul 11.00 WIB, keluarga mendapat kabar bahwa Iko dalam kondisi kritis dan dirawat di RSUP dr. Kariadi.
Saat itu, Iko mengalami luka pada bagian wajah dan dokter menyatakan bahwa ia harus segera dioperasi karena mengalami kerusakan pada bagian limpa. Iko dikabarkan meninggal dunia pada Minggu (31/08) sekitar pukul 16.00 WIB. Namun, penyebab pasti kondisi Iko hingga meninggal dunia masih simpang siur dan memicu banyak pertanyaan.
“Ada kabar yang simpang siur mengenai penyebab meninggalnya Almarhum Iko. Ada [polisi] yang menyebut karena kecelakaan, tapi ada juga beberapa informasi luka di bagian limpa,” ungkap Ady Putra Cesario. “Kita sedang mencari titik terang supaya tidak dibelokkan [penyebab kematiannya].”
Kejanggalan tidak hanya pada kondisi lukanya, tetapi juga pada lokasi kejadian perkara (TKP) yang disebutkan polisi sebagai tempat kecelakaan berbeda dengan tempat yang disebutkan teman-temannya. Selain itu, Iko tidak diantar ke rumah sakit oleh ambulans atau relawan, melainkan oleh Brimob. Rentetan kejanggalan ini mendorong 50 alumni Fakultas Hukum Unnes siap menjadi pendamping hukum. Saat ini, Ady bersama rekan-rekannya tengah mengupayakan pengumpulan bukti-bukti dan saksi dalam kejadian tersebut.
“Kalau yang mengigau itu keterangan dari keluarga sebagai pihak yang mendampingi saat di rumah sakit, motornya masih dibawa polisi,” tambahnya. “Sementara kondisi keluarga masih sangat trauma dan beliau masih syok, kemudian ingin mendapatkan ketenangan.” Ia menegaskan, “Ketika ada adik-adik kita berurusan dengan hukum, kami akan turun.”
Kabar meninggalnya Iko mulai ramai disampaikan pada Senin (01/09), namun kepolisian baru memberikan penjelasan mengenai kecelakaannya pada Selasa (02/09). Tak hanya itu, polisi juga memindahkan titik TKP kecelakaan Iko di Jalan Veteran Semarang. Padahal, data yang didapatkan wartawan Kamal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, menunjukkan adanya surat kepolisian resmi yang ditandatangani oleh Aiptu Hardiyanto, menyebutkan Iko mengalami kecelakaan pada Minggu (31/8/2025) pukul 02.30 WIB saat mengendarai motor di Jalan Dokter Cipto Kota Semarang.
“Namanya kejadian peristiwa yang sangat mendadak singkat ya. Orang yang membawa belum tentu tahu namanya jalan apa, jalan apa,” dalih Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, pada Selasa (02/09). “Nah, ini perlu kita cek faktanya seperti apa dan kita mengumpulkan CCTV-nya yang ada di jalan, semua harus dikumpulkan dan saksi-saksi.” Menanggapi luka lebam yang dialami Iko, ia menjawab, “Kita sedang meminta hasil visumnya seperti apa, nanti yang akan berbicara adalah visum.”
Merespons kematian Iko, mahasiswa Unnes Semarang melaksanakan doa bersama di area kampus pada Selasa (02/09). Rektor Unnes, Profesor Martono, menyatakan kesiapannya membantu Iko jika terbukti adanya penyelewengan kronologi kejadian. “Sementara kita hargai mengenai pernyataan polisi yang menyampaikan bahwa itu kejadiannya kecelakaan,” katanya. “Nanti ditemukan fakta lain ya kita ikuti, untuk membantu melacak penyebab kematian mahasiswa ini.” Ia juga mempertanyakan, “Apa benar ketika limpa rusak, berakibat mengigau?”
Selain Dandi di Makassar, Rheza di Yogyakarta, dan Iko di Semarang, tercatat sejumlah orang lain juga menjadi korban jiwa dalam gelombang demonstrasi yang terjadi akhir Agustus silam. Di Jakarta, pengemudi ojek online Affan Kurniawan meninggal dunia setelah terlindas kendaraan rantis polisi usai demonstrasi pada 28 Agustus silam. Kematiannya memicu kemarahan dan gelombang demonstrasi yang meluas ke seluruh Indonesia.
Di Tangerang, Andika Lutfi Falah, pelajar berusia 16 tahun, juga meninggal pada Senin (01/09) setelah koma selama tiga hari di RS AL Mintohardjo. Pelajar SMK ini ikut aksi pada 29 Agustus lalu. Dugaan kekerasan aparat menguat setelah diketahui tempurung kepala Andika mengalami cedera berat akibat benda tumpul. Tragedi serupa terjadi di Surakarta, di mana Sumari meninggal dunia karena dugaan efek gas air mata saat demonstrasi merebak. Di Manokwari, Papua, Septinus Sesa, laki-laki berusia 39 tahun, turut meninggal karena efek gas air mata yang ditembakkan polisi. Septinus saat itu berada dekat lokasi unjuk rasa warga Papua yang menentang pemindahan empat terdakwa kasus makar ke Makassar.
Dorongan untuk usut tuntas
Meskipun beberapa keluarga korban, seperti keluarga Rheza dan Andika, memilih untuk berdamai, keluarga Affan dan Dandi justru mendesak agar kasus ini diusut tuntas demi mencegah terulangnya korban serupa di masa mendatang. “Harapan keluarga kami itu agar kasus ini diusut tuntas, dan semoga tidak ada Dandi yang kedua ataupun yang ketiga ke depannya,” ujar Reza, adik ipar Rusdam Diansyah.
Secara terpisah, Kapolda DIY, Irjen Anggoro Sukartono, menyatakan kesiapan polisi untuk melakukan proses hukum jika keluarga menghendakinya. Namun, keluarga korban saat ini menolak ekshumasi dan menerima kematian Rheza. “Apabila ada masyarakat yang bisa membantu juga, mungkin ada saksi bagaimana Saudara Rheza selama ini yang kami lihat hanya dari media, kami coba lihat berita-berita media sosial. Apakah benar korban yang diperlakukan seperti itu? Ini penting,” kata Anggoro, menyerukan partisipasi publik.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mendesak negara untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen guna mengusut semua kasus kematian yang terkait unjuk rasa. “Negara seharusnya memberi fokus utama pada hilangnya nyawa manusia,” tegas Usman. Ia juga meminta Komnas HAM segera melakukan penyelidikan pro-yustisia atas terbunuhnya 10 warga sipil ini. “Negara harus mau bekerja sama dengan Komnas HAM dalam memastikan pertanggungjawaban atas kematian ini.”
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menjelaskan pihaknya tengah berupaya mengumpulkan data melalui pemantauan dan melakukan penyelidikan. Saat ini, penyelidikan yang dilakukan terkait dengan kematian Affan Kurniawan. Kasusnya masih berada dalam ranah etik dan akan diserahkan ke Bareskrim untuk penanganan pidananya. Komnas HAM juga menemukan 429 orang di Bandung dirawat akibat luka. Di Jakarta, sebanyak 469 orang mengakses layanan kesehatan, dengan rincian 371 orang rawat jalan, 97 orang rawat inap, dan 1 orang meninggal dunia.
“Jenis keluhan infeksi pada mata ada 198 kasus, luka terbuka ada 90 kasus, sesak napas ada 42 kasus. Lalu, ada trauma fisik, patah tulang, dan cedera kepala,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Jakarta, Ani Ruspitawati, merinci dampak fisik korban.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Fatimah Asri Mutmainah, menyampaikan kekerasan yang terjadi ini berpotensi menimbulkan disabilitas baru. “Patah tulang iga, kerusakan telinga yang mengakibatkan disabilitas sensorik tuli, persoalan mental berupa trauma rentan terjadi.”
“Dampak ini tidak hanya dirasakan individu langsung, tetapi juga keluarga. Ini memberikan beban psikososial dan ekonomi yang lebih meningkat. Pendekatan damai dan perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas dalam penanganan konflik sosial,” ujar Fatimah, menekankan pentingnya empati dan perlindungan.
Adapun banyaknya jumlah kasus ini, menurut temuan Komnas HAM, disebabkan oleh penggunaan gas air mata yang masif dan pemukulan benda tumpul, baik saat menyampaikan pendapat maupun saat membubarkan massa. Berdasarkan catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), anggaran untuk pengendalian massa sepanjang 2021-2025 mencapai Rp2,6 triliun. Anggaran fantastis ini dialokasikan untuk pengadaan alat pengendalian massa, meliputi peluru karet, tongkat baton, amunisi huru-hara, hingga drone pelontar gas air mata.
“Anggaran negara seharusnya untuk mengayomi masyarakat, bukan menakuti apalagi membungkam suara rakyat,” ujar peneliti Fitra, Gurnadi R., mengkritisi alokasi anggaran tersebut.
Tanggapan dunia internasional
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, mendesak aparat keamanan di seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan pendekatan kekerasan dalam menjalankan tugas pengamanan aksi. “Aparat agar tetap berada pada koridor HAM dalam mengamankan aksi,” tegasnya. “Apalagi sudah ada korban kekerasan yang diduga pelakunya juga aparat, penting saat ini dibutuhkan komitmen untuk tidak melakukan kekerasan, tidak represif dalam mengamankan aksi,” ujar Anis, yang juga mendorong reformasi kepolisian secara menyeluruh.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, turut menegaskan bahwa negara seharusnya hadir secara manusiawi dengan mendengarkan tuntutan warga, menghormati kebebasan berekspresi, dan menegakkan hukum secara adil. Menurut Usman, pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan sosial ekonomi yang merugikan hak masyarakat dan memastikan akuntabilitas polisi. “Ini mengapa negara seperti menghindar dari akar masalahnya?” ucap Usman. “Tunjangan DPR itu hanya ranting masalah yang menghimpit kehidupan masyarakat. Ada kenaikan pajak, pemotongan belanja daerah, PSN, IKN, Danantara, dan banyak lagi adalah akar masalah.”
Dunia internasional juga telah menyuarakan sikapnya. Ravina Shamdasani dari Badan PBB Urusan HAM meminta penyelidikan yang cepat, mendalam, dan transparan terkait pelanggaran hukum HAM internasional yang telah dilakukan oleh aparat. Ia juga menekankan pentingnya kebebasan pers agar media dapat meliput secara independen. “Otoritas harus menjunjung tinggi perdamaian, hak untuk berkumpul, dan kebebasan berekspresi. Penegak hukum juga harus mengikuti prinsip dasar HAM dalam menjalankan tugas,” pungkasnya, menyerukan kepatuhan pada standar global.
Darul Amri di Makassar, Riza Salman di Yogyakarta, dan Kamal di Semarang, berkontribusi untuk liputan ini.
- Penjarahan rumah pejabat dan korban tewas bermunculan – Akankah berujung seperti krisis 1998?
- Demonstrasi di berbagai kota – Polisi dilaporkan menembakkan gas air mata di kampus Unisba Bandung
- Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
- Aktivis Lokataru ditangkap buntut gelombang demonstrasi Agustus – ‘Pola yang berulang usai unjuk rasa besar’
- TNI ditugaskan ‘memelihara keamanan dan ketertiban’ – Apakah Indonesia dalam situasi darurat militer?
- Demonstrasi di berbagai kota – Polisi dilaporkan menembakkan gas air mata di kampus Unisba Bandung
- Aktivis Lokataru ditangkap buntut gelombang demonstrasi Agustus – ‘Pola yang berulang usai unjuk rasa besar’
- Mengapa aksi demonstrasi berujung perusakan dan penjarahan?
- TNI ditugaskan ‘memelihara keamanan dan ketertiban’ – Apakah Indonesia dalam situasi darurat militer?