Sejumlah koalisi masyarakat sipil terkemuka mengunjungi Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen, yang kini ditahan di Polda Metro Jaya. Kunjungan ini menyusul penahanan Delpedro atas tuduhan penghasutan dalam aksi demonstrasi di Jakarta yang berujung pada kericuhan.
Perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang hadir mencakup Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty Internasional Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dan KontraS. Mereka bersatu menyuarakan keprihatinan mendalam atas penangkapan aktivis tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, dengan tegas mendesak pembebasan Delpedro Marhaen dan aktivis lain yang ditahan oleh pihak kepolisian. Menurut Usman, penahanan ini merupakan “langkah keliru” yang cenderung menyudutkan aktivis seolah-olah mereka adalah dalang di balik kerusuhan tersebut. Ia menyampaikan pernyataan ini kepada awak media di Polda Metro Jaya, Jakarta, pada Kamis (4/9).
Selain itu, Usman Hamid juga mendesak pemerintah untuk segera membentuk tim pencari fakta yang benar-benar independen. Tim ini diharapkan dapat mengungkap secara komprehensif apa yang sebenarnya terjadi di balik demonstrasi dan siapa dalang kerusuhan yang sesungguhnya.
Senada, Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, membantah tuduhan penghasutan terhadap Lokataru dalam aksi tersebut. Menurutnya, Lokataru justru mendirikan posko aduan bagi siswa yang Kartu Jakarta Pintar (KJP)-nya dicabut karena partisipasi dalam demonstrasi. Dimas menekankan bahwa upaya Lokataru ini tidak ada kaitannya dengan penghasutan, melainkan berfokus pada perlindungan hak-hak siswa.
Dimas menambahkan bahwa pendekatan kepolisian terhadap kasus ini bersifat diskriminatif dan tidak menyasar pada upaya pengungkapan fakta sebenarnya terkait insiden kerusuhan. Ia menegaskan, “Menurut kami ini sebuah upaya-upaya yang sifatnya diskriminatif dan tidak menyasar pada upaya-upaya untuk mendorong pengungkapan fakta sebenarnya yang untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan kerusuhan yang terjadi.” Baginya, langkah yang diambil oleh kepolisian adalah “upaya-upaya yang salah kaprah.”
Sementara itu, tim advokasi dari LBH Jakarta, yang mewakili Delpedro dan kawan-kawan, menyatakan bahwa pasal-pasal yang disangkakan kepada Delpedro tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Delpedro dijerat dengan Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3 UU ITE dan/atau Pasal 76H juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 UU Perlindungan Anak.
Fadhil Alfathan, perwakilan LBH Jakarta, menilai konstruksi hukum ini “lemah dan cenderung konspiratif.” Ia menjelaskan bahwa tidak mudah untuk menetapkan seseorang sebagai penghasut dan mengaitkannya secara kausalitas dengan orang yang terhasut. Fadhil bahkan menduga adanya upaya “perburuan kambing hitam” dalam kasus ini, sebuah praktik yang menurutnya kerap terjadi dalam sejarah republik.
Kasus Delpedro di Polda Metro Jaya
Polisi menangkap Delpedro di kantornya pada Senin (1/9) malam. Penangkapan ini dilakukan atas dugaan melakukan ajakan dan hasutan provokatif yang berpotensi memicu aksi anarkistis, khususnya dengan melibatkan pelajar atau anak di bawah umur.
Menurut keterangan kepolisian, ajakan yang diduga dilakukan Delpedro tersebut menyebabkan sejumlah pelajar turut serta dalam demonstrasi hingga berujung pada kerusuhan dan pengrusakan fasilitas umum. Polisi mengklaim telah memantau pergerakan media sosial yang dianggap provokatif sejak 25 Agustus lalu sebagai dasar penangkapan.
Menanggapi tindakan ini, Tim Advokasi Lokataru Foundation mengecam keras penangkapan Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen, oleh Polda Metro Jaya. Mereka menilai langkah kepolisian tersebut sebagai bentuk pengkambinghitaman terhadap organisasi masyarakat sipil, yang berpotensi membungkam suara-suara kritis.