Kemenangan yang seharusnya membawa kelegaan justru menyisakan kegelisahan. Itu adalah gambaran perasaan pelatih timnas Inggris, Thomas Tuchel, setelah skuadnya meraih kemenangan 2-0 atas Andorra di Villa Park dalam laga Grup K Kualifikasi Piala Dunia 2026. Bagi sang pelatih asal Jerman itu, skor 2-0 ini belumlah cerminan kekuatan sejati tim yang ia arsiteki.
Gol pembuka bahkan tercipta bukan dari sentuhan pemain Inggris, melainkan ‘hadiah’ dari gol bunuh diri bek Andorra, Christian Garcia. Declan Rice memang berhasil menambah keunggulan lewat sundulan khasnya, namun permainan The Three Lions secara keseluruhan terasa hambar, minim kreativitas, dan tanpa ‘ledakan’ khas yang diharapkan dari tim sekelas Inggris. “Ya, kami menang. Tapi kemenangan ini belum memberi rasa puas,” ungkap Tuchel setelah laga.
Meskipun timnya mendominasi lapangan, Tuchel merasa kurangnya momen-momen otentik yang dapat meyakinkan para penonton bahwa Inggris benar-benar siap untuk menghadapi lawan-lawan yang lebih berat. Dan ‘ujian’ sesungguhnya itu kini sudah menanti di depan mata: Serbia, di Belgrade.
Jika laga kontra Andorra hanya dianggap sebagai pemanasan wajib, maka Serbia adalah arena pembuktian sesungguhnya. Tuchel sangat menyadari bahwa atmosfer di Belgrade tidak pernah ramah bagi tim tamu. Stadion yang penuh sesak, nyanyian suporter yang menggema, serta tekanan psikologis yang merambat dari tribun hingga ke telinga para pemain lawan akan menjadi tantangan tersendiri.
“Serbia adalah tim yang fisik, langsung, dan berbahaya. Mereka bisa menyulitkan siapa pun,” ujar Tuchel dengan nada waspada. Baginya, inilah panggung di mana Inggris harus menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar superior di atas kertas, melainkan juga raksasa yang tangguh di lapangan hijau.
Angka yang menipu
Secara matematis, Inggris tampak kokoh di puncak Grup K dengan rekor sempurna: empat kemenangan dari empat pertandingan, mengantongi 12 poin mutlak. Serbia menguntit di posisi kedua dengan tujuh poin dari tiga laga. Namun, Tuchel justru membaca statistik ini dengan pandangan yang lebih mendalam. Menurutnya, catatan apik tersebut tak berarti banyak jika tim masih rapuh saat dihadapkan pada tekanan besar. “Kemenangan melawan tim kecil tidak cukup. Kami harus membuktikan diri melawan tim yang benar-benar menantang,” tegasnya lugas.
Bagi Inggris, duel melawan Serbia bukan sekadar misi menjaga catatan sempurna di babak kualifikasi. Ini adalah pertaruhan harga diri, momen pembuktian bahwa generasi pemain saat ini, di bawah bimbingan pelatih baru dengan filosofi yang lebih segar, memang mampu bersinar dan mengukir sejarah.
Tuchel sangat memahami bahwa publik Inggris tidak hanya mendambakan kemenangan. Mereka menginginkan gairah, energi, dan keyakinan dalam setiap gerak-gerik tim, sesuatu yang belum sepenuhnya terpancar di Villa Park. “Di Belgrade nanti, kami akan tahu siapa kami sebenarnya,” pungkas Tuchel, seolah menantang timnya sendiri.
Pada akhirnya, laga kontra Serbia lebih dari sekadar pertandingan kualifikasi biasa. Ia berpotensi menjadi titik balik krusial, menentukan apakah Timnas Inggris siap memberikan jaminan kepastian performa atau masih akan terus terjebak dalam bayang-bayang kemenangan yang belum meyakinkan.
Ringkasan
Thomas Tuchel, pelatih timnas Inggris, merasa kurang puas dengan kemenangan 2-0 atas Andorra dalam Kualifikasi Piala Dunia 2026. Meskipun menang, Tuchel menilai permainan Inggris hambar dan kurang meyakinkan, terutama karena gol pembuka berasal dari gol bunuh diri lawan. Ia menekankan pentingnya tim menunjukkan performa yang lebih baik saat menghadapi lawan yang lebih kuat.
Tuchel menganggap Serbia sebagai ujian berat bagi Inggris, mengingatkan akan atmosfer yang tidak ramah di Belgrade dan kekuatan fisik serta bahaya yang dimiliki tim Serbia. Laga melawan Serbia dianggap sebagai pertaruhan harga diri dan momen pembuktian bagi Inggris untuk menunjukkan bahwa mereka bukan hanya superior di atas kertas, tetapi juga tangguh di lapangan.