Bendera One Piece berkibar di tengah aksi demonstrasi di Indonesia, Nepal, dan Prancis – ‘Bentuk rasa frustrasi anak muda pada pemerintah’

Photo of author

By AdminTekno

Aksi Demonstrasi Global dengan Simbol One Piece: Mengapa Para ‘Nakama’ Bergerak di Indonesia, Nepal, dan Prancis?

Gelombang demonstrasi yang belakangan ini merebak di berbagai negara, termasuk Indonesia, Nepal, dan Prancis, menunjukkan sebuah fenomena menarik. Para anak muda yang turun ke jalan seringkali menyematkan ikon populer dari serial manga dan anime “One Piece”. Dari bendera Jolly Roger hingga topi jerami khas Monkey D. Luffy, simbol-simbol ini terpampang di tengah kerumunan massa. Pertanyaannya, apa yang memicu para ‘nakama’ (sebutan untuk penggemar One Piece) ini untuk bergerak dalam skala global?

Sosiolog dan sastrawan terkemuka, Okky Madasari, menyoroti kompleksnya pengalaman hidup generasi muda saat ini. Mereka dihadapkan pada tekanan ekonomi yang berat, sensor digital yang mengekang, birokrasi yang absurd, hingga pelecehan kekuasaan yang meresahkan.

“Budaya pop menjadi jembatan antara kemarahan mereka dengan bentuk ekspresi yang bisa dipahami semua orang,” jelas Okky kepada jurnalis Riana Afifah dari BBC News Indonesia, Kamis (11/09).

“Cukup angkat bendera One Piece, dan semua orang tahu: ‘kami muak, kami melawan.'” Pernyataan ini menegaskan bagaimana simbol pop culture mampu merangkum sentimen kolektif.

Baik di Nepal maupun Prancis, gerakan protes saat ini juga didominasi oleh anak-anak muda. Mereka merasa lelah dengan kondisi negara dan masyarakat yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak adil. Kesenjangan sosial semakin melebar, membuat rakyat kian melarat sementara para pejabat justru gemar memamerkan harta.

Resonansi Kisah One Piece dengan Perjuangan Nyata Anak Muda

Kisah One Piece, dengan tokoh sentral Monkey D. Luffy dan kru bajak lautnya, menawarkan narasi perlawanan terhadap kekuatan opresif yang menciptakan ketidakadilan. Problematika yang diangkat dalam cerita ini—seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kesenjangan sosial dan ekonomi, penindasan, hingga gejala otoritarianisme—beresonansi kuat dengan isu-isu yang dihadapi anak muda di berbagai belahan dunia.

Oleh karena itu, kemunculan bendera Jolly Roger dalam aksi-aksi di Indonesia, Nepal, dan Prancis menjadi sangat relevan dan mudah dipahami. Konteks dalam karya Eiichiro Oda ini berhasil menangkap dan merefleksikan suara serta semangat perlawanan generasi muda di negara-negara tersebut.

Sebelum One Piece menjadi simbol protes yang ramai, dunia juga pernah menyaksikan bagaimana simbol budaya pop lainnya digunakan dalam gerakan sosial. Contohnya, salam tiga jari khas film “Hunger Games” yang digunakan dalam aksi di Thailand pada tahun 2020. Di Korea Selatan, lightstick yang biasa meramaikan konser K-Pop bahkan menjadi simbol penting saat pemakzulan presiden pada tahun 2024, menunjukkan betapa adaptifnya budaya pop dalam merepresentasikan sebuah gerakan.

Benang Merah Persoalan di Indonesia, Nepal, dan Prancis: Akar Amarah Anak Muda

Sastrawan sekaligus sosiolog Okky Madasari kembali menelaah kemiripan persoalan fundamental yang memantik gerakan masif anak muda di ketiga negara ini.

“Kesenjangan ekonomi, kebebasan sipil yang ditekan, dan elite yang tak tersentuh,” ujar Okky, merangkum tiga pilar utama yang menjadi sumber frustrasi.

Di Indonesia, amarah publik mencapai puncaknya setelah terungkapnya gaji dan tunjangan anggota DPR yang mencapai lebih dari Rp100 juta. Publik geram, terutama di tengah badai pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sulitnya mencari pekerjaan, sementara penghasilan pejabat berlipat-lipat dari upah minimum provinsi.

Alih-alih mendapatkan tanggapan yang konstruktif, masyarakat justru disuguhi ucapan dan tindakan yang menyakitkan dari para pejabat. Rentetan permasalahan lain—mulai dari program populis eksekutif, kenaikan pajak yang fantastis, hingga efisiensi anggaran yang selama ini ditahan—kemudian terakumulasi menjadi gelombang kemarahan yang tak terbendung. Situasi semakin memanas setelah jatuhnya 10 korban jiwa, penangkapan sejumlah orang, dan beberapa orang yang masih hilang, menyebabkan eskalasi gerakan menyebar luas dari Jakarta, Yogyakarta, Medan, Makassar, Bali, Semarang, Bandung, Padang, hingga sejumlah daerah lainnya. Tanggapan pemerintah hanya berupa permintaan maaf dan pengurangan tunjangan anggota DPR, sementara deretan tuntutan lainnya belum ada yang ditindaklanjuti.

Di Nepal, puncak amarah dipicu oleh pemblokiran 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan YouTube. Pemblokiran ini terjadi setelah media sosial ramai membicarakan fenomena “nepo kid” yang menyoroti gaya hidup mewah anak-anak politisi serta tudingan korupsi yang masif. Penutupan akses media sosial ini memicu ribuan anak muda melancarkan aksi dan bahkan menyerbu gedung parlemen di Kathmandu, ibu kota Nepal, pada Senin (08/09). Setelah 19 orang tewas, media sosial kembali dibuka, namun aksi protes belum mereda. Perdana Menteri Nepal, K.P. Sharma Oli, akhirnya mengundurkan diri, disusul oleh Presiden Ramchandra Paudel. Namun, situasi tidak membaik; massa justru membakar gedung parlemen dan menjarah rumah para pejabat. Total korban hingga Kamis (11/09) mencapai 34 orang, dan darurat militer pun diterapkan. Persoalan utama di Nepal adalah korupsi yang mengakar, terbatasnya lapangan kerja, dan kesenjangan sosial yang tajam.

Seorang pengunjuk rasa, Sabana Budathoki, sebelumnya mengungkapkan kepada BBC bahwa larangan media sosial hanyalah “alasan” mereka berkumpul. “Ketimbang larangan media sosial, saya pikir fokus semua orang adalah pada korupsi. Kami ingin negara kami kembali. Kami datang untuk menghentikan korupsi,” ujarnya, menegaskan inti perjuangan mereka.

Di Prancis, gerakan “bloquons tout” atau “blokir semuanya” telah disebarluaskan sejak Mei 2025 melalui pesan berantai di Telegram, pasca kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Perdana Menteri Francois Bayrou yang berdampak signifikan pada sektor pelayanan publik. Mobilisasi ini kemudian menarik dukungan dari partai ekstrim kiri pada pertengahan Agustus 2025. Selain efisiensi anggaran, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di Prancis juga memicu amarah publik. Protes yang dilakukan pada Rabu (10/09) ini sesuai dengan nama gerakannya, yaitu memblokir semua akses pelayanan publik. Para anak muda bahkan menutup sekolah mereka sebagai bentuk aksi di beberapa wilayah strategis seperti Paris, Toulouse, Marseille, Lyon, Nantes, Rennes, dan Grenoble. Gerakan ini diikuti oleh sekitar 200 ribu orang di 700 titik unjuk rasa. Sehari sebelum aksi, parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya yang mengakibatkan Bayrou lengser. Presiden Prancis Emmanuel Macron menggantinya dengan Sebastien Lecornu, yang juga berasal dari kubu yang sama. Meskipun ada pergantian pimpinan, aksi yang sudah direncanakan pada 10 September tersebut tetap berlanjut, dan sebanyak 540 orang ditangkap polisi.

Mengapa Ikon One Piece Menjadi Simbol Sentral dalam Aksi Protes?

Dengan kemiripan persoalan mendasar di setiap negara, keberadaan ikon One Piece—melalui bendera Jolly Roger dan topi jerami Mugiwara—dalam aksi-aksi yang terekam di berbagai media sosial menjadi sangat mencuri perhatian. Fenomena ini diyakini karena mayoritas pendukung gerakan adalah anak muda yang memang gandrung dengan One Piece dan merasa terwakili oleh nilai-nilai yang diusungnya.

Temuan dari Fondation Jean Jaurès terkait aksi “Bloquons tout” di Prancis menunjukkan bahwa sebagian besar pendukung gerakan ini adalah generasi muda: 26% berusia antara 25 dan 34 tahun, dan 18% berusia antara 35 dan 44 tahun. Demografi ini jelas berbeda dengan gerakan “rompi kuning” atau “gilet jaune” beberapa tahun lalu yang sebagian besar berasal dari kelas pekerja.

Sekelompok pengunjuk rasa muda di luar Gare du Nord, Paris, mengungkapkan kepada BBC bahwa mereka turun ke jalan dalam semangat “solidaritas” karena situasi genting di seluruh Prancis.

“Kami di sini karena kami sangat lelah dengan cara Macron menangani situasi. Utang meningkat dan kami tidak percaya juga dengan perdana menteri baru karena sepertinya akan mengulangi siklus,” kata Alex (25), menegaskan kekecewaan terhadap elite politik.

Kehadiran ikon One Piece di Prancis pun menjadi selaras mengingat negara ini merupakan pasar kedua dengan jumlah penjualan komik One Piece tertinggi setelah Jepang, menurut data dari Bookscan. Dominasi pembacanya memang merupakan anak muda. Menariknya, Presiden Macron yang kini diguncang aksi protes juga diketahui sebagai penggemar One Piece.

“Enggak terpengaruh Indonesia juga, karena demo di Indonesia enggak terlalu dibahas di sini. Memang ada beberapa artikel dan liputan media-media ternama tapi enggak intense seperti, liputan soal Gaza, Ukraina, dan Cina,” ujar Gita Ayudya, seorang warga Indonesia yang sudah belasan tahun tinggal di Prancis, menepis anggapan pengaruh langsung aksi di Indonesia terhadap Prancis.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Mengacu data Netflix pada tahun 2023, Indonesia merupakan salah satu ceruk penonton terbanyak ketika platform digital ini merilis serial live action One Piece. Selain Jakarta, kota-kota besar lainnya yang menjadi basis penonton terbanyak adalah Tokyo, Paris, Milan, dan Los Angeles. Bahkan, pasca rilis live action ini, One Piece berhasil memperoleh penggemar baru yang kemudian tertarik menelusuri manga dan animenya, memperluas jangkauan pengaruhnya.

Thea (33), yang telah mengikuti manga dan animenya sejak SMA, memahami sepenuhnya kemunculan ikon ini dalam berbagai aksi yang diikuti anak muda. “Jadi benang merah One Piece itu soal kebebasan, perlawanan terhadap ketidakadilan, dan represi. Itu sudah kelihatan sejak episode-episode dan arc-arc awal,” ucap Thea.

“Dari awal, waktu dia baru merekrut anggota kru bajak lautnya, Luffy sudah ngelawan bajak laut lain dan penguasa tirani. Bajak laut lain ini ada yang sudah berkolusi sama pemerintah atau bajak laut yang pengin jadi penguasa, atau jadi pemerintah dan menindas rakyat,” jelasnya, menyoroti konsistensi tema perlawanan.

Setiap ‘arc’ atau kelompok cerita dalam One Piece, lanjut Thea, terasa relevan dengan kondisi negara saat ini. Ia mengambil contoh arc Negeri Wano yang menceritakan rakyat Wano yang hidup kelaparan, sementara pemimpinnya, Kaido, bersama kroni-kroninya hidup bergelimang harta.

“Arc yang ini juga kritik terhadap penguasa dan korporasi yang merusak lingkungan karena kehadiran Kaido di Wano itu buat ngubah negara itu jadi pabrikan senjata. Hasilnya satu Wano jadi terkena polusi dan masyarakatnya hidup miskin dan kelaparan. Familiar kan,” ujar Thea, memperlihatkan kemiripan dengan persoalan dunia nyata. “Enggak heran kalo bendera One Piece berkibar di aksi-aksi unjuk rasa itu sih.”

‘Bahasa Generasi’ dan ‘Ruang Alternatif Ekspresi’ dalam Perlawanan Kontemporer

Sosiolog dan sastrawan Okky Madasari menjelaskan bahwa pergerakan anak muda saat ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan masa lalu. Jika Indonesia identik dengan penurunan Soeharto pada tahun 1998 yang dilatarbelakangi korupsi, Nepal juga memiliki sejarah penting penggulingan raja dan sistem monarki pada tahun 1990. Begitu pula Prancis, dengan rekam jejak revolusi panjang, baik pada tahun 1789 yang dipicu oleh kemewahan kerajaan dan bangsawan, maupun pada tahun 1968 karena otoritarianisme dan langgengnya sistem patriarki. Pada peristiwa 1968 ini, budaya pop bahkan sudah mulai digunakan sebagai alat perlawanan melalui poster maupun grafiti dengan slogan-slogan lokal.

Namun, generasi masa kini tampil berbeda. Menurut Okky, budaya pop kini telah menjadi ‘bahasa generasi’ hari ini. Simbol-simbol seperti One Piece, warna, atau meme bukan lagi sekadar hiburan.

“Itu identitas. Anak muda hari ini tumbuh dengan anime, K-pop, komik, film—dan mereka menjadikannya alat untuk berbicara sekaligus cara untuk mendefinisikan diri mereka,” tegas Okky, menunjukkan peran sentral budaya pop.

Ketika institusi politik, agama, dan negara terasa jauh dan tidak lagi mewakili aspirasi, budaya pop hadir sebagai ruang alternatif yang vital untuk ekspresi. Simbol seperti bendera dari One Piece mewakili perlawanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang dipahami dan dirasakan secara emosional oleh anak muda.

“Apalagi dunia hari ini terkoneksi, dan perlawanan pun ikut terhubung. Ketika anak muda Indonesia bisa menggunakan simbol budaya global untuk melawan ketidakadilan lokal, itu memberi contoh bahwa siapa pun bisa melakukan hal yang sama. Yang dilakukan anak muda Indonesia bisa jadi inspirasi di Nepal, Prancis, bahkan Amerika Selatan—karena rasa frustrasi itu universal,” paparnya, menyoroti dimensi global dari gerakan ini.

Okky menambahkan bahwa cara ini merupakan bentuk perlawanan baru yang cair, kreatif, dan subversif.

“Mereka tidak lagi percaya pada simbol-simbol negara yang sudah kehilangan makna. Mereka menciptakan makna baru lewat ikon yang mereka pilih sendiri. Itu bukan simbol kosong. Itu pesan politik,” ucap Okky.

“Itu bentuk penolakan terhadap dominasi budaya formal, sekaligus upaya merebut ruang wacana publik dengan cara yang tidak bisa dikontrol sepenuhnya oleh negara atau elit. Tapi kita juga harus kritis: jangan sampai ini jadi tren sesaat tanpa arah. Simbol harus disambung dengan gerakan yang konkret, terus-menerus, dan punya arah perjuangan,” tandas Okky Madasari, memberikan peringatan penting agar gerakan ini tidak kehilangan substansinya.

  • Seruan mengibarkan bendera One Piece – Kenapa budaya pop kerap ‘dipinjam’ sebagai simbol protes?
  • Gedung DPR dibakar, 22 orang tewas, PM mundur – Apa yang diketahui soal demo di Nepal?
  • One Piece: Dari pasar ceruk terkecil menjadi serial anime favorit presiden dan artis internasional
  • Gedung DPR dibakar, 22 orang tewas, PM mundur – Apa yang diketahui soal demo di Nepal?
  • Apa itu tuntutan 17+8? – Mahasiswa akan terus demo sampai tuntutan dipenuhi, DPR berikan tanggapan
  • Dukungan warga Malaysia dan negara lain untuk aksi di Indonesia – ‘Pemerintah kita sama buruk dan korup’
  • One Piece: Dari pasar ceruk terkecil menjadi serial anime favorit presiden dan artis internasional
  • Seruan mengibarkan bendera One Piece – Kenapa budaya pop kerap ‘dipinjam’ sebagai simbol protes?
  • Benarkah memasang bendera One Piece bisa dipidana?

Leave a Comment