Di balik ‘Norma: Antara Mertua dan Menantu’ – Mengapa film tema selingkuh digemari di Asia Tenggara?

Photo of author

By AdminTekno

Tayangan drama berupa perselingkuhan dan ketidaksetiaan terhadap pasangan kembali menjadi tontonan publik. Film Norma: Antara Mertua dan Menantu menanjak popularitasnya di Indonesia, Malaysia, dan Singapura setelah masuk ke pelantar digital Netflix. Bahkan kini, warga di Myanmar juga ramai menyaksikan film ini.

Nukilan kisah hidup perempuan bernama Norma Risma yang dikhianati oleh suaminya ini diketahui masyarakat setelah curhatnya viral melalui Tiktok pada akhir 2022.

Ia menyebut suaminya berselingkuh dengan ibu kandungnya hingga mereka dijatuhi hukuman penjara dan sanksi sosial dari sekitar.

Cerita ini lantas menambah deret panjang kasus perselingkuhan yang diungkap melalui media sosial. Sebagian kemudian berkesempatan diadaptasi menjadi film.

Sebelum Norma, ada serial Layangan Putus dan film Ipar adalah Maut yang juga berasal dari kisah nyata dan viral di dunia maya. Keduanya pun mereguk sukses dari penayangan di pelantar digital.

Dari data yang dirilis Tudum, film Norma: Antara Mertua dan Menantu yang dirilis Netflix pada 14 Agustus 2025 bertahan selama dua pekan pada peringkat 10 besar film yang bukan berbahasa Inggris.

Jumlah views selama dua pekan tersebut tembus 2,5 juta. Beda jauh dengan hasil ketika tayang di bioskop Indonesia pada akhir Maret 2025, film yang disutradarai Guntur Soeharjanto ini berhenti pada 600.000 penonton.

Kendati demikian, pertanyaan yang kemudian sebenarnya: apa yang membuat film bertema selingkuh ini diminati bahkan hingga lintas negara?

Benarkah karena solidaritas sesama perempuan atau sebatas wujud katarsis diri melalui bergosip atas skandal yang sedang memanas?

Bagaimana proses kreatif film Norma?

Hingga artikel ini diturunkan, Norma tidak bersedia memberikan komentar bahkan terkait film tentang dirinya.

Menurut informasi yang dihimpun, Norma kini bekerja sebagai tenaga alih daya di sebuah perusahaan di Serang, Jawa Barat. Ibunya, Rihanah, yang telah rampung menjalani hukuman delapan bulan penjara telah tinggal bersama Norma lagi.

Namun, Norma pernah memberikan pernyataan pada Februari 2025 saat jumpa pers mengenai filmnya.

Dalam kesempatan itu, Norma menuturkan menerima banyak pesan di akun media sosialnya dari para perempuan yang juga diselingkuhi pasangannya tapi tak berani bersuara.

“Ketika saya mengalami itu, saya mikirnya ‘kenapa kok saya diselingkuhin sama orang yang paling dekat sama saya? Apa saya doang yang ngalamin?’ ternyata pas saya speak up, banyak yang pernah ngerasain hal yang sama,” kata Norma.

Keputusannya bersedia kisahnya diangkat ke layar lebar juga karena tidak mau ada perempuan lain yang bernasib sama seperti dirinya.

Meski diakuinya rasa sakit dan trauma itu muncul ketika melihat visualisasi adegan yang mirip dengan kejadian nyata.

Penulis naskah film ini, Oka Aurora, berkata pada BBC News Indonesia bahwa proses kreatif film ini selalu melibatkan Norma. Oka pun mengaku cukup intens berdiskusi dan berupaya menyelami perasaan Norma ketika menuliskan cerita ini.

Bahkan untuk karakteristik penokohan pun dibahasnya bersama Norma. Salah satunya terkait tokoh ibu yang diperankan Wulan Guritno dibuat tetap manusiawi sesuai dengan pesan si pemilik cerita.

“Inti ceritanya tetap sesuai secara garis besar. Tapi kalau berbicara kebutuhan industri ini, sudah pasti ada bagian-bagian tertentu yang didramatisasi untuk memainkan emosi penonton,” ucap Oka yang juga mengerjakan naskah adaptasi untuk Layangan Putus dan Ipar adalah Maut.

“Bagian ibunya itu kemudian aku twist. Ada cerita latar belakang dari sisi psikologis kenapa si ibu melakukan hal ini, juga dengan suami Norma yang digambarkan memiliki trauma.”

“Tapi ternyata saat tayang di bioskop itu sepertinya kurang berhasil ya. Malah jadi turun emosinya karena mungkin [penonton] jadi mikir seperti diajak bersimpati dengan pelaku,” kata Oka.

Meski ia tidak menyangka ternyata upayanya tersebut justru membuahkan hasil saat tayang di Netflix dan sukses di Asia Tenggara.

Dari observasinya, ia menyadari para penonton yang datang ke bioskop untuk menonton film dengan tema selingkuh ini bertujuan untuk melampiaskan amarahnya.

Penginnya ya maki-maki aja sampai lempar sandal kalau perlu kan saking keselnya. Karena ya film ini juga jalan orang untuk melepaskan emosi dan hiburan. Jadi, saat keluar studio itu ada yang dirasakan dan dibicarakan,” ujar Oka.

Untuk itu, adegan khas berupa penggrebekan atau tertangkap basah pasangan sah maupun orang sekitar selalu dijadikan klimaks dari film selingkuh yang memancing amarah pada pelaku sekaligus iba pada pemeran utama.

Film Norma memilih formula penggrebekan yang berlanjut dengan diarak warga kampung sebagai bentuk sanksi sosial.

Ini sejalan dengan pendapat Vero (42), ibu rumah tangga yang menonton film ini di bioskop.

Amarahnya memuncak saat pintu yang digedor Norma dan warga tak kunjung dibuka, lalu berubah tangis ketika melihat Norma yang diperankan Tissa Biani mendapati suami dan ibunya di dalam kamar.

Vero memutuskan untuk menyaksikan film ini karena penasaran mengenai detil cerita yang sempat diikutinya di sosial media.

“Pas ramai di TikTok itu, aku ngikutin dan marah banget sama suami dan ibunya. Kok bisa-bisanya? Tahu cerita ini dijadiin film, aku pengin nonton segila apa sih dua orang yang tega ke Norma?” ucap Vero yang menonton ini bersama empat orang sahabatnya.

“Ternyata kelakuannya memang bikin kecewa dan marah.”

“Keluar bioskop ya marah-marah lah sambil ngebahas lagi. Tapi jadi lepas capeknya sih, marah-marahnya jadi di sini kan bukan ke orang rumah atau ke anak,” kata Vero sambil tertawa.

Ia enggan membayangkan kejadian tersebut terjadi pada dirinya. Akan tetapi, film seperti Norma ini diakuinya kadang memunculkan rasa curiga pada pasangan dan membuatnya lebih memperhatikan perilaku suami.

Mengapa film bertema perselingkuhan populer di Asia Tenggara?

S.M. Gietty Tambunan dari Komite Film Dewan Kesenian Jakarta menjelaskan, film seperti Norma yang berangkat dari kisah nyata ini dapat ditempatkan sebagai upaya solidaritas perempuan.

Melalui film, perempuan menjadi punya ruang untuk bercerita mengenai kekerasan yang dialaminya dan menginspirasi perempuan lain untuk bersuara.

“Karena di dalam patriarki kan perempuan biasanya tidak punya ruang itu. Jadi ketika ini terbuka, mereka akhirnya berani juga berbicara. Ini bisa menjadi ruang pemberdayaan untuk perempuan,” ujar Gietty.

Salah satu faktor yang mendorong popularitas film Norma di Asia Tenggara juga dinilainya karena konteks solidaritas ini.

Merujuk pada aturan di sejumlah negara seperti Malaysia dan Myanmar, laki-laki yang kedapatan selingkuh tidak memperoleh sanksi sosial bahkan secara hukum legal melakukan poligami.

Sebaliknya, perempuan bisa kehilangan berbagai haknya dan memperoleh stigma di lingkungannya ketika dituding melakukan perselingkuhan. Ini terjadi juga di Indonesia.

Akan tetapi, Gietty kemudian memperingatkan para pelaku industri film agar berhati-hati sehingga tidak terjebak pada eksploitasi dan obyektifikasi perempuan.

Dalam risetnya pada 2018 yang berjudul Shaming The Other Woman (Pelakor): Female Catfight As A Spectale In Social Media, Gietty memaparkan serangan di sosial media ketika perselingkuhan diungkap selalu menyasar pada perempuan, alih-alih pada pria.

Muncul istilah ‘pelakor’ atau perebut laki orang pada pihak ketiga. Istri sah juga kadang menjadi target karena dianggap tidak mampu memuaskan suami atau merawat diri sehingga pria berpaling.

“Suaminya atau laki-lakinya seperti tenggelam. Ini juga yang muncul dalam film selingkuh maupun di kehidupan nyata. Istri sah versus pelakor yang ditonjolkan. Laki-lakinya cenderung enggak ada hukuman, kalau ada ya enggak segitunya,” kata Gietty.

Fenomena membenturkan sesama perempuan yang menjadi amunisi dalam film selingkuh ini disebut dalam budaya pop sebagai teori female catfight yang rupanya laku di pasar.

“Imaji mengenai perempuan yang berantem kalau itu bahkan kadang diseksualisasi. Di komik, misalnya, perempuan menyerang satu sama lain di dalam lumpur sebagai bentuk dramatisasi yang kemudian laku dan diterapkan juga dalam film.”

Untuk itu, hadir dikotomi untuk membantu imaji ini dalam film selingkuh.

Contohnya, istri sah kerap digambarkan sebagai perempuan pekerja keras, penyayang, dan santun. Sementara itu, pihak ketiga direpresentasikan sebagai perempuan berpakaian seksi, gerak-gerik yang menggoda dan manja, hingga berakal licik.

Ditambah lagi, adegan sensual antara pihak ketiga dan suami juga acapkali mengeksploitasi tubuh perempuan secara serampangan.

“Saya tidak membenarkan perselingkuhan, tapi formula narasi dikotomi ini demi efek dramatis tanpa disadari melanggengkan obyektifikasi perempuan,” kata Gietty.

Persoalannya, selera pasar terkait rivalitas perempuan di Asia Tenggara bahkan di luar Asia diperhatikannya masih diminati. Tontonan yang menjual female catfight ini akarnya adalah reproduksi ideologi patriarki, menurut Gietty.

“Faktor sosio kultural lainnya, industri budaya populer di Asia Tenggara sudah akrab dengan melodrama. Ketika film Indonesia mengangkat tema serupa, lebih cepat relate dan familiar.”

Penulis naskah film, Oka Aurora, tak menampik mengenai kekhawatiran obyektifikasi perempuan. Ia juga kerap berpikir keras agar naskahnya tidak jatuh dalam obyektifikasi perempuan. Namun dalam proses kreatif, ia tidak sendiri dan mengakui ada pertimbangan pasar.

“Sebisa mungkin meminimalisir itu. Tapi setidaknya ada langkah kecil untuk perempuan bisa bersuara, terkait perselingkuhan dan kekerasan yang dihadapinya, daripada tidak ada sama sekali.”

Dari kisah viral ke layar lebar

Meski mampu menarik minat, film Norma: Antara Mertua dan Menantu yang lahir dari kisah viral di sosial media ini memperoleh kritik juga dari penonton.

“Rumah produksi Indonesia terlalu FOMO [fear of missing out], viral sedikit langsung dijadikan film. Ini bisa berpengaruh ke kualitasnya. Harapannya, ke depan jangan ikut-ikutan lagi karena penonton bisa bosan juga karena monoton,” ucap Sefa, seorang pekerja di Jakarta.

Dosen di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Gietty Tambunan, menyebut cerita yang berkembang di sosial media bisa menjadi salah satu sumber gagasan penggarapan film.

“Kebutuhan industri itu kadang enggak bisa seidealis itu, mau tidak mau harus melihat juga pasar. Bisa jadi lewat cerita viral atau tadi tema perselingkuhan.”

Penulis naskah, Oka Aurora mengakui ingin memperbanyak naskah orisinil. Meski dalam prosesnya, pengerjaan naskah adaptasi dari kisah viral ini juga menantang.

Untuk Norma, ia bisa menggali lebih dalam karena berjumpa dengan sosoknya langsung. Begitu pula dengan Ipar adalah Maut, ia rutin bertukar pikiran dengan orang yang menerima curhat dari korban perselingkuhan tersebut.

Namun ada kalanya, ceritanya hanya permukaan saja sehingga ia perlu membayangkan detil ornamen untuk membangun suasana.

Suka tidak suka, Gietty menambahkan film adaptasi masih akan banyak wara-wiri di industri, termasuk dengan tema selingkuh ini.

  • Sederet alasan kita perlu bicara soal perselingkuhan
  • Singapura diguncang skandal perselingkuhan dan korupsi
  • Mengapa anak memutuskan hubungan dengan orang tua mereka?
  • Di balik film ‘Sore: Istri dari Masa Depan’ – Ketika dalam duka perempuan masih disalahpahami
  • Mengapa film horor kembali mendominasi di libur Lebaran? – ‘Film horor itu pelumas roda bisnis bioskop’
  • Skandal perselingkuhan terungkap, Miss Jepang kelahiran Ukraina melepas gelarnya
  • Di balik pujian dan kritikan terhadap Jumbo, film animasi terlaris se-Asia Tenggara – ‘Mengungkap bagaimana anak memproses duka kehilangan orang yang dicintai’
  • Sempat ‘hilang’ puluhan tahun, bagaimana ‘Turang’ yang meraih predikat film terbaik Indonesia ditemukan kembali?
  • Hapus ‘kasta’ dalam genre film, ‘Perempuan Tanah Jahanam’ jadi film horor pertama wakili Indonesia di ajang Piala Oscar
  • Di balik film ‘Sore: Istri dari Masa Depan’ – Ketika dalam duka perempuan masih disalahpahami
  • Kpop Demon Hunters: Masa depan budaya pop Korea di tangan grup virtual
  • One Piece: Dari pasar ceruk terkecil menjadi serial anime favorit presiden dan artis internasional

Leave a Comment