Badan PBB untuk Perlindungan Anak, Unicef, baru-baru ini merilis laporan global terkait tren obesitas pada anak usia sekolah dan remaja.
Dalam laporan Child Nutrition Report 2025 – ‘Feeding Profit: How food environments are failing children’ Unicef mengungkap negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami peningkatan prevalensi obesitas sangat pesat selama dua dekade terakhir.
Prevalensi kelebihan berat badan di kalangan anak-anak dan remaja berusia 5-19 tahun setidaknya meningkat tiga kali lipat antara tahun 2000 dan 2022, serta mencapai tingkat sedang (dari 15% menjadi kurang dari 25%) di sembilan negara—lima di antaranya berada di Asia Selatan: Afghanistan, Bhutan, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Liberia, Maladewa, Pakistan, Sri Lanka, dan Vietnam.
Penyebab lonjakan obesitas itu, kata Unicef, karena maraknya paparan industri retail yang menjajakan makanan tidak sehat semisal camilan murah, ultra-olahan (makanan siap saji yang menggunakan banyak bahan kimia tambahan), dan minuman manis.
“Remaja sangat rentan terhadap lingkungan retail yang tidak sehat karena mereka memperoleh daya beli yang bebas dan otonom yang lebih besar dalam memilih makanan, seringkali tanpa pengawasan orang tua,” sebut Unicef dalam laporannya.
Penelitian lembaga itu di Provinsi Chengdu (China), Indonesia, Filipina, dan Thailand menemukan sembilan dari sepuluh remaja yang membeli makanan dari supermarket atau toko swalayan “paling sering membeli camilan manis dan asin dari peretail seperti permen, biskuit, keripik, dan es krim”.
Unicef dan Universitas Deakin juga menganalisis secara mendalam di empat negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik—China, Indonesia, Filipina, dan Thailand.
Temuan mereka mengungkapkan di negara-negara tersebut terjadi peningkatan pesat dalam jumlah gerai makanan modern dan penjualan makanan serta minuman ultra-olahan per kapita.
“Seiring bertambahnya jumlah gerai makanan modern, demikian pula peluang bagi remaja untuk mengakses makanan dan minuman ultra-olahan.”
“Di negara-negara itu, lebih dari dua pertiga remaja (usia 13-19 tahun) membeli makanan dari supermarket atau toko swalayan.”
Pertumbuhan toko bahan makanan yang bisa dipesan secara daring dan lewat aplikasi disebut dalam laporan ini turut mempermudah akses ke makanan dan minuman tidak sehat tersebut.
Di beberapa negara berpenghasilan menengah, toko yang memiliki layanan semacam itu tumbuh pesat pasca-era Covid-19.
Dalam survei Unicef di Provinsi Chengdu (China), Indonesia, Filipina, dan Thailand, terlihat bahwa lebih dari sepertiga remaja memanfaatkan platform belanja secara daring dalam satu pekan.
Dan, separuh remaja lainnya memesan melalui aplikasi pengiriman makanan.
Baca juga:
- Produk makanan bayi di Asia Tenggara mengandung tambahan gula, apa dampaknya?
- Konsumsi gula berlebihan, pasien cuci darah menyesal ‘setiap hari minum kopi dan teh kemasan’
Penelitian Unicef yang dilakukan di Argentina, Kenya, Indonesia, Meksiko, Filipina, dan Uganda juga mengungkapkan tingginya tingkat paparan iklan digital untuk makanan dan minuman tidak sehat.
Termasuk “taktik” yang dirancang khusus untuk menarik minat anak-anak dan remaja.
“Melalui platform media sosial, perusahaan makanan dan minuman menggunakan strategi pemasaran yang persuasif, interaktif, dan seringkali halus untuk menjangkau audiens muda,” kata laporan Unicef.
Di Indonesia, akses internet di kalangan remaja usia 13-18 tahun sangat tinggi atau hampir 99%.
Unicef menganalisis iklan makanan ringan, olahan, minuman ringan, hingga makanan cepat saji dari merek-merek besar telah masuk ke seluruh platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan X.
Baca juga:
- Kasus diabetes anak meningkat ‘sangat mengkhawatirkan’, imbas makanan-minuman manis ‘mudah dijangkau’
- Kandungan gula dalam minuman berpemanis jadi polemik, apakah penerapan cukai bisa jadi solusi?
Perusahaan-perusahaan itu memakai berbagai teknik, konten bermerek, stiker, geotag, tagar, daya tarik emosional, dan penawaran promosi.
Gambar anak-anak, remaja, dan orang dewasa sering digunakan untuk meningkatan rasa “kedekatan”.
Dari 20 merek yang ditinjau, 85% mempromosikan produk yang melampaui ambang batas yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) soal zat gizi yang perlu diperhatikan.
Apa upaya pemerintah?
Merujuk pada Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) milik Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 hingga 2023, ada kenaikan angka obesitas hampir dua kali lipat pada usia remaja 13-18 tahun.
Tetapi, berbeda untuk kategori umur 5-12 tahun yang menunjukkan adanya penurunan.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, mengatakan ada beberapa upaya Kemenkes untuk mengatasi persoalan ini.
Di antaranya mengedukasi soal gizi seimbang melalui kampanye Isi Piringku dan pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak.
Penerapan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) berupa aktivitas fisik, makan bergizi, istirahat cukup.
Kemudian, deteksi dini faktor risiko melalui cek kesehatan gratis anak sekolah, penguatan usaha kesehatan sekolah untuk membiasakan pola makan sehat dan aktivitas fisik sejak dini.
“Regulasi label gizi dan informasi nilai gizi pada pangan olahan serta kolaborasi lintas sektor dengan kementerian/lembaga, pemda, sekolah, dan masyarakat untuk ciptakan lingkungan sehat serta kendalikan iklan/pemasaran makanan tidak sehat bagi anak,” katanya dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia, Jumat (12/09).
- Konsumsi gula berlebihan, pasien cuci darah menyesal ‘setiap hari minum kopi dan teh kemasan’
- Kasus diabetes anak meningkat ‘sangat mengkhawatirkan’, imbas makanan-minuman manis ‘mudah dijangkau’ – ‘regulasi belum cukup melindungi,’ kata peneliti
- Produk makanan bayi di Asia Tenggara mengandung tambahan gula, apa dampaknya?