Stok bahan bakar minyak di SPBU swasta minim sejak akhir Agustus lalu. Pemicunya beragam, dari dinamika pasar hingga dampak kebijakan pemerintah. Namun satu pertanyaan masih terus diperbincangkan, apakah ada praktik monopoli yang menyebabkan kondisi ini?
Di sebuah SPBU Shell di Jakarta Selatan, seorang pegawai menginformasikan stok BBM yang tersedia hanya yang berkadar RON 92. Sisanya kosong.
“Dari pusat sudah begini sejak beberapa hari terakhir,” tutur pekerja, Senin (15/9).
Dia tidak menjelaskan secara detail mengenai penyebabnya.
Di beberapa kota besar seperti Bandung dan Surabaya, pemandangan yang sama ditemukan. SPBU milik swasta nyaris kehabisan stok, bahkan ada yang persediaannya nihil.
Pemerintah bilang kelangkaan stok itu terjadi karena perubahan pola konsumsi masyarakat: mulai membeli BBM nonsubsidi.
Namun akademisi dari UGM, Fahmy Radhi, menuding pemerintah, secara tidak langsung, tengah mengarahkan krisis BBM swasta ini ke implementasi monopoli.
Menurutnya, di tengah situasi itu pemerintah hadir dengan “solusi” berwujud impor BBM satu pintu dari Pertamina, badan usaha negara yang fokus mengurus perminyakan.
Pertamina membantah tudingan monopoli.
Bagaimana kelangkaan terjadi?
Kabar mengenai tipisnya—atau kelangkaan—stok BBM di SPBU milik swasta setidaknya terjadi sejak akhir Agustus 2025.
Shell, dalam keterangan resmi yang dipublikasikan pada 25 Agustus 2025, menyebutkan produk BBM berjenis Shell Super, Shell V-Power, dan Shell V-Power Nitro+ “tidak tersedia di beberapa jaringan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) hingga waktu yang belum dapat dipastikan.”
Namun Shell menyebut akan “tetap melayani para pelanggan dengan produk BBM Shell V-Power Diesel dan layanan lainnya.”
“Shell Indonesia senantiasa berupaya untuk memastikan kelancaran pendistribusian dan penyediaan produk BBM di jaringan SPBU Shell,” tulis mereka dalam pernyataan itu.
“Kami terus berkoordinasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memastikan ketersediaan produk BBM di jaringan SPBU Shell.”
Lebih dari dua minggu setelah pengumuman itu dibuat, pasokan BBM di Shell belum memperlihatkan tanda-tanda perubahan.
Merujuk laman resmi mereka, per 15 September lalu, hanya tersedia Shell Super di lebih dari 10 SPBU di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, serta Banten.
Produk Shell lainnya kosong hingga waktu yang belum dapat dipastikan.
Pantauan BBC News Indonesia di lapangan, Senin (15/09), memperlihatkan stok BBM yang tak merata di setiap SPBU milik Shell.
Di SPBU Shell di Jalan Raya Kenjeran, Surabaya, misalnya, tak memiliki persediaan BBM sama sekali. Dua pegawai menginformasikan kekosongan stok ini kepada setiap konsumen yang datang.
Seorang pegawai di SPBU itu bilang stok sudah tak tersedia dalam tiga hari terakhir.
Namun di SPBU milik Shell di Jalan Pemuda, Surabaya, terlihat antrean mobil dan motor yang mengisi bahan bakar berjenis Shell Super 92 atau Shell V Power 94.
Sementara itu, di SPBU milik British Petroleum Indonesia (BP) tidak terlihat aktivitas jual-beli. Stok BBM mereka kosong.
Semua mesin pengisi BBM diberi garis batas, menandakan ketiadaan pengisian bahan bakar. Mobil dan motor yang sempat berdatangan akhirnya keluar tanpa mendapat tambahan bahan bakar.
“Sudah lebih satu bulan ini stok kosong,” ujar dua karyawan pengisian BBM di SPBU BP.
Di Bandung, Jawa Barat, salah satu SPBU BP memasang pemberitahuan yang menyatakan mereka “tidak dapat melayani penjualan secara lengkap.”
SPBU bersangkutan turut menyertakan narahubung yang dapat dikontak andaikata konsumen membutuhkan data tentang ketersediaan pasokan BBM.
Petinggi BP Indonesia menuturkan kelangkaan BBM membikin perusahaan mesti mengevaluasi rencana-rencana bisnis yang sudah ditetapkan, salah satunya wacana pembangunan SPBU baru.
“Untuk saat ini, tentunya masih melihat situasi dan kondisi. Kalau, misalnya, SPBU kami buka, kalau tidak ada barangnya [BBM], sayang,” papar Direktur Utama BP-AKR, Vanda Laura, Rabu (10/9) silam.
Kementerian ESDM membuat klaim kekosongan di SPBU swasta didorong faktor peralihan pengguna BBM subsidi ke nonsubsidi.
“Itu dinamika yang terjadi memang ada shifting. Yang tadinya banyak pengguna RON 90, ada shifting ke RON yang lain. Sebenarnya ini dinamika konsumsi saja,” ucap Direktur Jenderal Migas, Laode Sulaeman 9 September lalu.
Ekonom dari FEB UGM, Fahmy Radhi, punya analisa lain. Kekosongan yang terjadi kiwari, dia menduga, merupakan prakondisi menuju monopoli.
“Saya kira memang secara tidak langsung arahnya ke sana [monopoli oleh pemerintah],” ujarnya via telepon.
‘Pertamina seharusnya tidak takut bersaing’
Terdapat beberapa kebijakan pemerintah di sektor minyak dan gas yang turut memicu kelangkaan stok BBM di SPBU swasta, menurut ekonom di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Fahmy Radhi.
Pada Februari 2025, Kementerian ESDM mengubah periode izin impor BBM dari semula satu tahun menjadi enam bulan sebagai bagian dari perbaikan tata niaga impor dan ekspor BBM di Indonesia.
“Dengan evaluasi setiap tiga bulan,” kata Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia.
Selain itu, pengimpor BBM wajib memegang izin yang sesuai, usaha pengolahan atau niaga, di samping menyampaikan laporan berkala kepada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi setiap tiga bulan sekali atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
Tiga bulan berikutnya, Mei 2025, Kementerian ESDM merencanakan penghentian impor BBM dari Singapura yang, selama ini, menyumbang 54 sampai 59% porsi nasional.
Gantinya, pemerintah akan mengalihkan impor ke negara Timur Tengah serta Amerika Serikat.
Pengalihan impor BBM bakal ditempuh secara bertahap, dari awalnya 50 hingga 60% menuju 100%—atau berhenti total. Prosesnya sendiri dimulai pada November mendatang.
“Pemerintah mengurangi impor ke SPBU asing hampir 50%. Dengan kekurangan ini, ada semacam pembatasan. Kalau mau impor, harus mengajukan izin lagi, dan jumlahnya pun terbatas,” kata Fahmy.
“Sekarang, SPBU asing diharuskan membeli dari Pertamina jika ingin memenuhi kebutuhannya.”
Arahan membeli minyak ke Pertamina dilontarkan Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, akhir Agustus kemarin, menanggapi kelangkaan di SPBU milik swasta.
“Kalau ada yang masih kurang, [SPBU swasta] silakan beli di Pertamina,” ujarnya di kantor Kementerian ESDM.
Bahlil berkata, stok BBM di Pertamina masih cukup. Pada waktu bersamaan, Bahlil ingin memperkuat posisi Pertamina di antara keterbatasan pasokan yang sedang dihadapi pelaku usaha swasta.
“Stok Pertamina masih banyak. Saya harus menjaga neraca komoditas. Salah satu indikator kita punya lifting dan produksi kita baik adalah mengurangi impor, bukan menambah impor. Habiskan dulu, dong,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintah menggarisbawahi bahwa keran dan kuota impor BBM untuk SPBU milik swasta tidak ditambah. Tahun 2025, pemerintah mengklaim, tambahan impor BBM bagi pengelola swasta sudah dinaikkan sebesar 10% dibandingkan 2024.
Kelebihan kuota itu diharapkan pemerintah mampu berkontribusi dalam distribusi BBM dari pihak swasta.
Seiring waktu, pemerintah menyebut dinamika pasar berubah, dari masyarakat yang biasa membeli BBM bersubsidi seperti Pertalite kini beralih ke BBM nonsubsidi. Hasilnya, pemerintah berdalih, adalah kelangkaan seperti sekarang.
“Sebenarnya ini dinamika konsumsi saja, yang tadinya banyak pengguna RON 90 [Pertalite], shifting [berpindah] ke RON lain,” ucap Dirjen Migas, Laode Sulaeman.
Solusinya, menurut Laode, pihak swasta perlu menyerap impor BBM yang tersedia di Pertamina.
Laode memastikan terdapat sinkronisasi standar kualitas BBM, mengacu pada regulasi yang dikeluarkan Ditjen Migas tentang spesifikasi BBM.
Kementerian ESDM mengklaim sudah meminta kepada badan usaha pengelola SPBU swasta, dari Shell, Vivo, hingga BP, untuk mengirimkan data keperluan volume dan spesifikasi BBM.
“Jadi, ini [kualitas] sudah diatur. Harusnya tidak ada isu dengan spesifikasinya,” ujar Laode.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan langkah impor satu pintu melalui Pertamina telah final dan dipandang tidak melanggar peraturan.
“Kami posisinya sudah jelas. Dirjen Migas sudah [memberi] statement [impor lewat Pertamina],” tandas Dadan di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (15/9).
Kementerian ESDM masih menunggu finalisasi data kebutuhan impor BBM sebelum diserahkan ke Pertamina untuk ditindaklanjuti.
Ekonom FEB UGM, Fahmy Radhi, menuturkan penunjukkan Pertamina sebagai pintu utama impor BBM dipandang bermasalah—dan berpeluang menciptakan monopoli.
Bagaimana bisa begitu? Dia menyebut tiga alasan. Pertama, menurut Fahmy, ketika kebijakan satu pintu direalisasikan maka penentu harga ada di tangan Pertamina.
Kedua, lanjut Fahmy, pihak swasta tidak dapat mencari opsi impor lain yang, mungkin saja, dapat ditebus dengan harga relatif terjangkau.
Karena tidak mampu mencari alternatif impor, swasta tidak dapat mengelola margin keuntungan. Selama ini, Fahmy mengatakan, SPBU asing berupaya menjaga logistik supaya tidak merugi.
“Caranya memilih harga [impor] yang lebih murah tadi sehingga margin-nya lebih tinggi,” ucapnya.
Ketiga, dengan pilihan yang tidak banyak tersedia, perusahaan swasta lama-lama akan memikirkan rencana untuk mencabut investasi dari Indonesia.
“Dan kemudian cuma ada Pertamina. Terjadilah monopoli,” ujar Fahmy.
Efek domino yang ditimbulkan dari monopoli tidaklah sedikit, menurut Fahmy.
Dari sisi konsumen, monopoli mengabaikan kebutuhan akan pelayanan terbaik maupun harga yang ditawarkan. Pasalnya, dengan tidak adanya persaingan membuat perusahaan yang tersisa dapat berlaku manasuka.
Sedangkan dari segi investasi, monopoli berpeluang mengusik ketenangan investor. Para investor bisa jadi berpikir ulang untuk menanamkan modal atau membuka usaha di Indonesia ketika iklim yang disodorkan justru tidak kondusif.
“Bagi investor, mereka tentu akan berpikir buat apa berusaha di Indonesia kalau ujung-ujungnya dimonopoli [pemerintah]?” ujar Fahmy.
“Maka, kalau situasinya begini, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan pemerintahan Prabowo adalah nonsense.”
Tak ketinggalan, apabila efek dari monopoli tidak lagi dapat dibendung, para pekerja di SPBU swasta bisa mengalami pemutusan hubungan kerja.
Fahmy menilai pemerintah tidak perlu mengatur pintu impor dengan memberikan keleluasaan kepada Pertamina untuk mendistribusikan “jatah” BBM. Mekanisme pasar bebas, ucap Fahmy, sebaiknya dipertahankan.
“Masalah bersaing, Pertamina pasti menang karena mereka ada di mana-mana. Dan SPBU asing ini cuma di kota-kota besar saja, beda dengan Pertamina,” tandasnya.
“Dari sini saja sudah terlihat Pertamina bisa menjadi market leader.”
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menampik asumsi perusahaan yang dipimpinnya akan memonopoli impor maupun pendistribusian BBM.
“Tidak, tidak ada sama sekali monopoli,” tegasnya di Jakarta, Kamis (11/9).
Simon menerangkan kuota impor BBM yang diperoleh Pertamina dan masing-masing SPBU swasta telah dirunutkan Kementerian ESDM beserta Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas (Migas).
“Tentunya, kalau kita lihat juga, kita cek saat ini untuk yang swasta itu alokasinya juga sudah sesuai dengan permintaan. Begitu juga Pertamina,” katanya.
Menyoal permintaan pemerintah kepada pelaku usaha asing untuk “menarik” BBM cuma dari Pertamina, Simon menyampaikan perkara tersebut masih dalam tahap pembicaraan.
“Masih dalam tahap pembicaraan dengan tim kami. Stok Pertamina tentunya masih cukup sampai akhir tahun,” ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, pemegang SPBU swasta, BP Indonesia, mengutarakan masih mencari “solusi terbaik” untuk semua pihak.
Dari kualifikasi spesifikasi BBM, misalnya, BP Indonesia mengatakan setiap badan usaha mempunyai zat tambahan (aditif) yang berbeda sehingga nantinya berpengaruh dengan produk yang dijual.
Tentang rencana pembelian BBM dari Pertamina, BP Indonesia juga akan menimbang terlebih dahulu.
“Tentunya kami juga harus mengevaluasi lebih lanjut dan mengantisipasi apabila ada potensi risiko dan lain sebagainya,” ucap Direktur Utama BP-AKR, Vanda Laura.
Corporate & Internal Communications Lead Shell Indonesia, Reza Fawzy, belum dapat menyediakan keterangan rinci soal pemberitaan yang beredar di publik.
“Kalau sudah ada, saya info, ya,” jawab Reza.
Pertamina dalam pusaran dugaan monopoli
Tidak kali ini saja dugaan monopoli yang menyeret Pertamina menyeruak ke permukaan.
Pada 2024, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki dugaan monopoli penyediaan avtur (bahan bakar pesawat) oleh PT Pertamina Patra Niaga, anak usaha Pertamina. Penyelidikan KPPU berangkat dari tingginya harga avtur di Indonesia.
PT Pertamina Patra Niaga diketahui memasok avtur ke 72 bandara di seluruh Indonesia. KPPU mendapati indikasi PT Pertamina Patra Niaga dan Pertamina mencegah masuk pesaing potensial dalam pasar avtur serta hanya menjual kepada perusahaan yang terafiliasi.
PT Pertamina Patra Niaga menampik tudingan tersebut dan menegaskan perusahaan selalu membuka kemungkinan kerja sama dengan pihak lain.
“Pertamina Patra Niaga tidak pernah menolak kerja sama karena sampai saat ini belum ada permintaan dari Izin Niaga Umum [INU] lain,” sebut mereka dalam keterangan resminya.
Isu yang sama sebetulnya berhembus pada 2019 manakala Pertamina dianggap memonopoli pasar avtur. Direktur Utama Pertamina waktu itu, Nicke Widyawati, mengatakan bahwa Pertamina memang menjadi satu-satunya penjual avtur di dalam negeri.
Nicke menegaskan dirinya tidak mengetahui alasan di balik hal tersebut. Pertamina, terang Nicke, menjalankan bisnis avtur sesuai aturan yang sudah dirumuskan.
Maret tahun ini, nama PT Pertamina Patra Niaga kembali masuk radar penyelidikan KPPU sehubungan dugaan monopoli penjualan gas minyak cair (LPG) nonsubsidi.
Dugaan monopoli berimbas terhadap tingginya harga LPG nonsubsidi sehingga memicu pergeseran konsumen ke LPG subsidi 3 kilogram.
PT Pertamina Patra Niaga menguasai lebih dari 80% pasokan LPG dalam negeri dan rantai impor, kata KPPU.
Data penjualan 2024, mengutip KPPU, menunjukkan adanya keuntungan yang tinggi dari penjualan LPG nonsubsidi sebesar 10 kali lipat dibandingkan laba penjualan LPG subsidi—sekitar Rp1,5 triliun.
PT Pertamina Patra Niaga menekankan bakal bersikap kooperatif dan mematuhi proses hukum yang ada.
Berjarak mundur jauh ke belakang, tepatnya pada 2014, KPPU melihat potensi perilaku praktik monopoli dari Pertamina kala menaikkan harga LPG berukuran 12 kilogram.
Persentase kenaikan harga LPG 12 kg saat itu sebesar 67,7%.
KPPU menegaskan keputusan Pertamina mengubah harga LPG 12 kg tidak memiliki dasar kewenangan. Secara posisi, Pertamina dianggap menguntungkan sebab menguasai pasar penjualan LPG di Indonesia di atas 50%.
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, menyatakan pada prinsipnya praktik monopoli merupakan penguasaan struktur pasar oleh pelaku usaha tertentu di atas 50%—atau 75% apabila berkelompok.
Monopoli, Deswin melanjutkan, tidak dilarang, terlebih ketika berurusan dengan kepentingan publik. Ini diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Yang dilarang adalah bagaimana monopoli itu dilakukan, lebih ke praktik dan eksekusinya. Apakah melanggar hukum, misalnya, atau dilakukan secara tidak jujur?” ujarnya ketika diwawancarai BBC News Indonesia, Senin (15/9).
Saat monopoli ditempuh dengan cara-cara yang tidak ideal, pasar dan konsumen menjadi pihak yang dirugikan, tambah Deswin.
Di lingkup kasus ketersediaan BBM di SPBU swasta, Deswin mengungkapkan KPPU masih menyelidikinya secara lebih jauh dan mendalam. Mereka belum dapat memberikan kesimpulan apa pun ihwal masalah ini.
Meski begitu, Deswin menyodorkan beberapa kriteria maupun titik pijak KPPU saat melihat dinamika pasokan BBM di SPBU asing.
Pertama, ujar Deswin, perlu dipertegas lagi soal para aktor di belakangnya: apakah pelaku usaha atau pemerintah.
Kedua, pengelompokan BBM nonsubsidi, yang menjadi subjek tarik ulur, termasuk untuk “menguasai hajat hidup orang banyak atau bukan,” tutur Deswin.
“Dan ketiga, kalau dilihat dari kacamata kebijakan, apakah [yang diputuskan saat ini] sudah benar? Apakah kewenangannya sudah berdasarkan undang-undang?” ucapnya.
Deswin berpendapat penyelesaian sengkarut pasokan BBM ini bergantung atas bagaimana pemetaan masalah di dalamnya.
“Kalau penyebabnya kuota [impor], berarti perlu diatur lagi kebijakannya,” terang Deswin.
“Sebaliknya, kalau dalam konteks pelaku usaha, jika memang nanti diarahkan ke Pertamina, pasti ada beban tambahan. Pertanyaannya: apakah patut bidang usaha ini diberikan kewenangan untuk itu?”
Deswin mengingatkan—secara teori—prosedur penyediaan BBM nonsubsidi ialah pemberian kesempatan yang sama kepada pelaku usaha yang ingin ambil bagian.
“Pasar ini sudah terbuka. Jadi, semua sebaiknya memang memperoleh ruang yang tidak berbeda atau dibedakan satu dan lainnya,” pungkasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, mengungkapkan apabila pintu masuk impor BBM harus dari Pertamina, kinerja perusahaan harus ditingkatkan.
Ada dua aspek yang disorot Faisal: kualitas minyak dan distribusi.
Poin pertama penting bagi Pertamina guna memastikan kualitas minyak yang disalurkan memenuhi standar serta sesuai spesifikasi.
“Kemudian yang kedua yakni memastikan distribusi, kecukupan kuantitas, dan distribusi yang lancar kepada pelaku swasta yang menyalurkan BBM ini,” katanya.
Argumen Faisal dilandaskan kepada kenyataan di lapangan saat Pertamina kerap terkendala isu penyaluran BBM maupun kualitas BBM itu sendiri.
Mei kemarin, sebagai contoh, terjadi kelangkaan di Bengkulu yang berefek terhadap melonjaknya harga satu liter BBM sampai menyentuh Rp30 ribu.
Kelangkaan disebabkan terhentinya pasokan bahan bakar dari Pertamina Bengkulu lewat pendistribusian jalur laut.
Dua bulan sebelumnya, Maret, bersamaan dengan penanganan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018-2023, muncul temuan dari Kejaksaan Agung bahwa PT Pertamina Patra Niaga mengoplos BBM jenis Pertalite dan menjualnya seharga Pertamax.
Kerugian negara akibat korupsi tersebut ditaksir mencapai lebih dari Rp190 triliun.
Masyarakat mencurahkan kegeramannya di media sosial, sembari mengancam memboikot atau tidak membeli BBM dari SPBU Pertamina.
Ada juga yang menyiapkan gugatan hukum.
Menurut rekapitulasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, lebih dari 500 aduan masuk ke meja mereka sehubungan dugaan oplosan BBM.
LBH Jakarta menerima keluhan yang bervariasi, seperti kerusakan kendaraan sampai kenaikan pengeluaran yang ditanggung konsumen. Tapi, yang utama, beragam laporan itu merangkum betapa masyarakat merasa tidak percaya kepada Pertamina dan pemerintah, imbuh LBH Jakarta.
Pertamina membantah tuduhan mencampur BBM dan menyatakan Pertamax yang beredar di SPBU tetap sesuai standar RON 92.
“Sekali lagi, mewakili keluarga besar Pertamina, kami sampaikan permohonan maaf sebesar-besarnya,” ujar Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, merespons kritik atau tekanan yang ditujukan ke Pertamina.
Faisal menerangkan Pertamina mesti berbenah dengan meminimalisir pengulangan masalah-masalah di masa lampau. Reputasi adalah taruhannya.
“Nah, perbaikan itu yang perlu juga dilakukan. Karena kalau tidak, yang dikhawatirkan nanti ketika ada hal-hal yang tidak diinginkan,” jelas Faisal.
“Kalau sampai kejadian, itu yang menggerus kepercayaan masyarakat, terutama kalangan menengah ke atas.”
Roni Fauzan (Surabaya) dan Yuli Saputra (Bandung) berkontribusi dalam laporan ini.
- MyPertamina untuk beli Pertalite, bagaimana kalau tidak punya smartphone?
- Insiden kebakaran berulang di fasilitas migas, Pertamina didesak benahi ‘sistem pengamanan yang tidak andal’
- Tiga orang tewas akibat kebakaran sumur minyak di Blora, Bahlil diminta revisi aturan perizinan
- Mengapa selisih Rp2.000 di ongkos bensin ojol bisa guncang perekonomian dan membuat pemerintah batalkan pembatasan BBM bersubsidi?
- Dirut Pertamina minta maaf soal korupsi minyak mentah, warga yang mengadu ke LBH Jakarta terus bertambah – ‘Ada yang usul Pertamina dibubarkan saja’
- Wacana pembatasan BBM bersubsidi, bagaimana mekanismenya?
- Harga BBM subsidi resmi naik, meski pemerintah sudah diperingatkan tentang dampak sosialnya
- Subsidi BBM lewat aplikasi MyPertamina ‘berpotensi blunder karena masyarakat kelas bawah belum siap’
- Setelah pembatasan elpiji 3kg berjalan amburadul, Bahlil bakal tertibkan penyaluran solar bersubsidi – ‘Kami nelayan kekurangan solar, dikuras pemain nakal’
- Pemerintah naikkan harga BBM subsidi, ekonom: ‘Kebijakan yang salah sasaran dan cari gampangnya saja’
- Gas elpiji 3kg dipakai ‘orang kaya’, Kementerian ESDM revisi aturan – Bagaimana solusinya?
- RUU Minerba disahkan, pemerintah dan DPR batal beri konsesi tambang ke kampus – Siapa yang mengusulkan dan bagaimana awal mulanya?
- Siapa Riza Chalid, tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi BBM Pertamina?
- TNI AL minta utang Rp5,45 triliun ke Pertamina dihapus, bagaimana duduk perkaranya?
- Hukuman eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan diperberat jadi 13 tahun penjara – Siapa Karen dan bagaimana perjalanan kasusnya?
- Larangan penjualan gas elpiji 3kg secara eceran ‘matikan pengusaha kecil dan susahkan konsumen’ – Bagaimana cerita warga yang terdampak kebijakan ini?
- Kisah orang asli Papua tolak blok minyak terbesar di Indonesia – Tak mau ‘tragedi bom’ 1977 terulang
- Pertamina hapus Pertalite dan Pertamax tahun depan, empat hal yang perlu Anda ketahui
- Kebakaran Pertamina Plumpang: Keselamatan warga terimpit di antara standar keamanan depo yang ‘jauh dari ideal’ dan puluhan tahun sengketa lahan
- Gugat ExxonMobil lantaran dugaan disiksa tentara Indonesia, warga desa Aceh dapat ganti rugi
- Pemerintah klaim tidak berbisnis soal konversi gas LPG ke kompor listrik, warga: ‘Berat, mau bayar pakai apa?’