MK tolak uji formil UU TNI – Apa alasannya dan bagaimana dampaknya?

Photo of author

By AdminTekno

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil terkait Undang-undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI. Selain persoalan kedudukan hukum, MK menyatakan pembahasan perubahan UU TNI sudah sesuai dengan aturan dan tidak melanggar hak konstitusional. Putusan kali ini dikhawatirkan berdampak pada demokrasi ke depan, kata ahli hukum.

“Mahkamah berpendapat, telah ternyata proses pembentukan UU 3/2025 secara formil tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, UU 3/2025 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hakim MK, Guntur Hamzah, ketika membacakan pertimbangan pada Rabu (17/09).

“Dengan demikian, tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menilai dan menyatakan dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” lanjutnya.

Namun putusan ini diwarnai dissenting opinion.

Untuk putusan perkara 81/PUU-XXIII/2025 yang ditolak, terdapat empat hakim yang berbeda pendapat yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arsul Sani.

Para hakim ini menilai MK semestinya mengabulkan sebagian permohonan uji formil yang diajukan Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan karena cacat formil dalam proses pembentukan undang-undangnya.

Untuk empat perkara lainnya: 45/PUU-XXIII/2025; 56/PUU-XXIII/2025; 69/PUU-XXIII/2025; dan 75/PUU-XXIII/2025 yang tidak diterima karena berkaitan dengan kedudukan hukum menuai perbedaan pendapat dari dua hakim MK yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra.

Pada 5 Juni 2025, MK sudah menolak lima permohonan uji formil lainnya. Alasannya berkaitan dengan persoalan kedudukan hukum dan kekuatan bukti serupa dengan empat perkara yang diputus pada Rabu (17/09). Sejumlah permohonan lainnya telah ditarik karena butuh perbaikan dan tak dilanjut kembali.

Dalam agenda mendengar DPR dan Presiden beberapa waktu yang lalu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas meminta pada MK agar menolak semua permohonan karena penyusunan revisi UU TNI sudah sesuai peraturan.

Menanggapi putusan MK kali ini, Muhammad Isnur dari YLBHI yang juga merupakan kuasa hukum dari Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan berpendapat MK gagal menjadi majelis yang dengan jelas dan jernih melihat permasalahan mengenai revisi UU TNI ini.

Apa alasan MK menolak uji formil UU TNI?

  • MK menilai RUU TNI tidak melanggar hukum terkait dengan tidak terdaftar dalam prolegnas

Dalam hal ini, Mahkamah berpendapat, UU 34/2004 telah terdaftar dan tercantum berulang kali dalam Prolegnas dan setidaknya telah dua kali terdaftar dalam Prolegnas Prioritas. Selain itu, kebutuhan akan pembaruan UU 34/2004 juga lahir melalui Putusan MK 62/PUU-XIX/2021.

Mahkamah juga mengambil keterangan DPR mengenai digelarnya rapat paripurna DPR pada 18 Februari 2025. Saat itu, pimpinan rapat meminta persetujuan kepada seluruh anggota Rapat Paripurna untuk memasukkan RUU tentang Perubahan Atas UU 34/2004 dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dan menugaskan Komisi I untuk melakukan pembahasan RUU tersebut.

“Terlepas dari adanya fakta hukum bahwa DPR dalam rapat pleno yang dihadiri oleh seluruh anggota DPR melakukan perubahan agenda acara. Menurut Mahkamah sikap DPR tersebut dapat dibenarkan, karena keputusan yang diambil telah dilakukan dalam rapat sidang pleno DPR yang dihadiri oleh seluruh anggota DPR,” kata Hakim Daniel Yusmic.

“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para pemohon berkenaan perencanaan revisi UU TNI dalam Prolegnas dilakukan secara melanggar hukum dan seterusnya adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Daniel.

  • MK menilai RUU TNI merupakan carry over

Dari kronologi yang disampaikan DPR, MK mempertimbangkan rangkaian tahapan penyusunan telah menunjukkan bahwa proses penyusunan RUU ini sudah dimulai pada 2022.

Kemudian, dilakukan secara intensif pada 2024, baik oleh DPR terkait penyusunan naskah akademik dan RUUnya, maupun oleh Pemerintah terkait penyusunan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang juga melibatkan berbagai elemen masyarakat, baik melalui kegiatan FGD, maupun diskusi dan/atau dialog yang berkaitan dengan perubahan undang-undang ini.

Dalam rentang tersebut, proses pembahasan yang juga ditandai perubahan DIM terus berjalan sampai 2025. Mahkamah pun menilai penyusunan RUU ini terus berlanjut dari 2022 hingga kemudian disahkan. Dengan demikian, dalil mengenai RUU TNI bukan merupakan carry over dianggap tidak beralasan menurut hukum.

  • MK menilai RUU TNI sesuai dengan reformasi TNI

Dalam pertimbangannya, perubahan UU TNI ini dianggap sesuai dengan nilai kesesuaian.

Sebab, perubahan ini diarahkan untuk menghadapi kompleksitas dan tantangan pertahanan negara, mendukung optimalisasi pencapaian tugas dan fungsi kementerian/lembaga tertentu sehingga dapat melibatkan prajurit sesuai dengan kekhususannya, serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan organisasi TNI terkait batas usia pensiun prajurit

Selanjutnya, MK mempertimbangkan asas kebutuhan bahwa UU TNI yang lalu telah berlaku lebih dari 20 tahun sehingga memerlukan penyesuaian agar dapat menjawab tantangan serta meningkatnya dinamika dan kompleksitas pertahanan negara. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan hukum sebagai tindak lanjut Putusan MK 62/PUU-XIX/2021

Terakhir, bertujuan untuk mewujudkan keseimbangan dengan tetap mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang sesuai dengan semangat reformasi untuk menata kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik,

“Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pembentukan UU 3/2025 telah selaras dengan asas kejelasan tujuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta telah dilaksanakan secara proporsional,” ucap Daniel.

  • MK menilai pembahasan perubahan UU TNI transparan dan akuntabel

Dalam konteks ini, MK menyitir penjelasan DPR yang merinci telah melakukan diskusi, rapat kerja, hingga rapat dengar pendapat yang diklaim dilakukan dengan mengundang masyarakat sipil. Hal ini dilakukan dalam berbagai tahapan dari perencanaan sampa pembahasan.

“Pembentuk undang-undang juga melakukan upaya baik melalui tatap muka dalam berbagai diskusi publik maupun melalui metode berbagi informasi secara elektronik melalui laman resmi maupun kanal youtube yang dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan terutama para pemangku kepentingan (stakeholders) yang hendak menggunakan haknya untuk berpartisipasi,” ujar hakim Guntur Hamzah.

Artinya, pembentuk undang-undang telah menyediakan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi publik, serta tidak ada upaya untuk menghalangi masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam proses pembentukan revisi UU TNI, kata hakim.

  • MK menilai tidak ada keterbatasan akses dokumen dan akses informasi

Dalam konteks ini, MK berpandangan DPR telah melakukan keterbukaan akses masyarakat terhadap draft RUU dan naskah akademik.

Salah satunya dibuktikan dengan adanya Policy Brief yang disusun oleh Indonesia Strategic & Defense Studies (ISDS) dengan judul “Revisi UU TNI Perlu Orientasi Jangka Panjang”. Adanya analisis tersebut menunjukan bahwa ISDS dapat mengakses draft RUU dari Badan Legislasi DPR.

Baca juga:

  • Revisi UU TNI: Apa dampaknya terhadap masyarakat sipil dan mengapa buru-buru disahkan?
  • ‘Pemerintah gadaikan keselamatan masyarakat’ – Prabowo perluas peran TNI di ranah sipil, tanda kembalinya ‘dwifungsi ABRI’ ala Orde Baru?
  • TNI masuk ranah perguruan tinggi di Bali hingga Papua, apa tujuannya?

Di sisi lain, rapat dengar pendapat dan diskusi yang disebut dilakukan bersama publik juga merupakan wujud lain agar masyarakat dapat mengakses dokumen dan informasi mengenai revisi UU ini.

Terkait rapat di luar gedung DPR, MK juga tidak mempersoalkan apabila memang diperlukan. Bahkan tidak ada upaya menghalangi upaya penyampaian aspirasi publik sehubungan dengan aksi masyarakat sipil di Hotel Fairmont ketika pembahasan RUU TNI.

Atas dasar ini, mahkamah menilai dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Apa isi ‘dissenting opinion’ terhadap putusan ini?

  • Ketua MK Suhartoyo

Dalam pertimbangannya, Suhartoyo mempersoalkan mengenai keterbukaan, kemudahan akses dokumen, dan partisipasi publik dalam pembahasan mengenai revisi UU TNI. Ini diperolehnya setelah mahkamah melakukan pembuktian silang.

Menurut Suhartoyo, hak masyarakat dalam memberikan masukan terhambat karena pembentuk undang-undang tidak menginformasikan mengenai pembentukan undang-undang.

Naskah akademik dan rancangan undang-undang juga tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, termasuk adanya rapat pembahasan yang dilakukan tertutup atau dilakukan di tempat yang publik tidak dapat dengan mudah mengakses jalannya rapat pembahasan.

“Pembentuk undang-undang seharusnya benar-benar mengaktualisasikan ketentuan di atas, karena hal tersebut merupakan turunan dari adanya asas keterbukaan dalam pembentukan undang-undang agar masyarakat yang berkepentingan dan terdampak langsung dapat mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.”

Partisipasi masyarakat dalam pembahasan UU yang dilakukan juga belum secara bermakna (meaningful participation) karena tidak memenuhi tiga prasyarat yaitu: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).

“Permohonan para pemohon seharusnya dikabulkan untuk sebagian dan Mahkamah menyatakan pembentukan UU 3/2025 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang dilakukan perbaikan dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan perkara ini diucapkan dengan dipenuhinya asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna dalam tahap perbaikan pembentukan undang- undang.”

  • Hakim Saldi Isra

Serupa dengan Suhartoyo, Saldi juga mempersoalkan mengenai partisipasi publik. “Terlebih, sebagai salah satu undang-undang yang lahir dari “roh” reformasi, ruang keterlibatan publik menjadi keniscayaan,” ucap Saldi.

Alasannya, “pertahanan dan kemananan” menjadi salah satu isu dan pembahasan sentral dalam perubahan konstitusi (1999-2002), yang di dalamnya menyangkut penataan institusi milter (TNI) dan institusi kepolisian dalam desain pertahanan dan keamanan negara.

Dengan sentralnya isu pertahanan dan keamanan negara tersebut, tidak terdapat alasan bagi pembentuk undang-undang untuk tidak memberi ruang bagi publik terlibat aktif dalam proses pembentukan UU No 3 Tahun 2025.

Di sisi lain, ia menyoroti mengenai revisi UU TNI yang dianggap sebagai carry over. Saldi tidak sepakat setelah memeriksa silang alat bukti. Menurut dia, perubahan UU TNI ini tidak masuk dalam carry over. Ia berpendapat mahkamah sepatutnya mengabulkan permohonan karena proses pembentukan UU TNI mengandung cacat (formil) prosedural.

Baca juga:

  • Kesaksian mantan jenderal yang dulu berupaya hapus Dwifungsi ABRI – ‘Saya melawan arus dan dikeroyok’
  • Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan pada era Orde Baru
  • Tentara jaga kejaksaan, upaya Prabowo lemahkan pengaruh Jokowi?
  • Hakim Enny Nurbaningsih

Pandangan Enny dalam perkara ini juga menitikberatkan pada persoalan carry over undang-undang dan pelibatan partisipasi publik yang dinilainya tidak memenuhi syarat meski disebut telah dilakukan DPR. Ketidak tersediaan ruang partisipasi publik dalam masa pembahasan serta tidak mudahnya mengakses draf RUU TNI menyebabkan tidak adanya jaminan pemenuhan hak publik.

“Belum ada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) karena yang baru tersedia saat itu adalah naskah akademik dan RUU TNI inisiatif DPR. Terkait dengan hal inilah, dalam Prolegnas 2024-2029, RUU TNI tidak mungkin ditentukan sebagai RUU “carry over”,” ujar Enny.

Sebab, untuk menjadi RUU “carry over” harus memenuhi ketentuan Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Enny pun menilai perubahan undang-undang ini cacat formil.

  • Hakim Arsul Sani

Arsul yang semula juga berpengalaman sebagai anggota DPR fokus pada kaitan prolegnas prioritas dan partisipasi publik. “Saya berpendapat sejak awal pembentuk undang-undang merencanakan RUU Perubahan UU 34/2004 bukan sekedar untuk mengakomodasikan substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-XIX/2021, melainkan juga sekaligus dimaksudkan untuk mencakup materi muatan lainnya,” kata Arsul.

Atas dasar itu, ia menilai hal yang tepat jika pembuat undang-undang memilih revisi UU TNI dalam RUU Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2025. Namun, konsekuensi dari pilihan itu, Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2025 seharusnya diubah terlebih dahulu sesuai dengan prosedur/tata cara yang ditetapkan dalam UU 12/2011 dan Peraturan Tatib DPR.

“Untuk itu, DPR dan pemerintah seharusnya terlebih dahulu mengubah Prolegnas Prioritas Tahun 2025 dengan memasukkan RUU Perubahan UU 34/2004 ke dalamnya. Akan tetapi secara faktual, prosedur demikian tidak ditempuh oleh pembentuk undang-undang.”

‘Ini berdampak pada demokrasi’

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menilai MK tidak berhasil melihat banyak fakta tentang tindakan dpr dan pemerintah yang tidak partisipatif dalam penyusunan undang-undang TNI ini. Ia juga menyoroti empat hakim MK yang berbeda pendapat.

“Adanya dissenting opinion dari empat hakim ini menjadi pertanda di mana terjadi diskusi yang alot,” ucap Isnur.

MK memiliki sembilan hakim. Dengan perbedaan pendapat dari empat hakim, makan menyisakan lima lainnya yang memutuskan menolak permohonan.

Baca juga:

  • TNI AD merekrut puluhan ribu prajurit baru, apa dampaknya terhadap anggaran hingga politik?
  • Sejarah Dwifungsi ABRI: Panggilan sejarah, kelemahan pemimpin sipil, atau hasrat militer berkuasa?
  • DPR sahkan Revisi UU TNI, mahasiswa gelar demonstrasi di berbagai kota

Isnur pun menjelaskan mengenai klaim DPR yang dijadikan MK sebagai salah satu landasan adanya partisipasi publik. “YLBHI disebut diundang di RDPU, kami jelaskan kami tidak pernah diundang secara formal. Kami diundang secara informal, sehari sebelum pengesahan,” ujar Isnur.

“Ini manipulasi penyusunan UU, dan MK gagal menerapkan kembali dasar yang mereka tetapkan mengenai meaningful participation.”

Menurut Isnur, dampak dari UU TNI yang telah diubah dapat terlihat belakangan ini. Antara lain, TNI merasa punya legitimasi dalam melakukan tindakan aksi di lapangan seperti, menjaga DPR dan Kejaksaan.

“Bahkan yang terbaru mengancam Ferry Irwandi. Ini tidak sesuai semangat konsitusi dan reformasi. Bertentangan juga dengan reformasi TNI dan berdampak serius pada demokrasi ke depan,” kata Isnur.

Direktur Imparsial, Ardi Manto, berpendapat senada. Adanya perbedaan pendapat yang cukup signifikan dari hakim MK ini membuktikan bahwa regulasi ini tidak layak secara prosedur pembuatannya. “Ini cacat dan bermasalah.”

Apalagi terkait carry over, dua hakim yang berbeda pendapat secara terang menjelaskan untuk bisa menjadi carry over, DIM dari undang-undang itu harus tersedia.

“Nah, sementara MK menemukan DIM terkait RUU TNI itu baru ada pada tanggal 4 Oktober 2024 . Artinya, sudah DPR periode baru. Jadi kan, proses pembentukannya itu dari nol, dimulai dari awal,” ujar Ardi.

Kini, ia dan rekan lainnya tengah mempertimbangkan untuk menyusun uji materi mengenai undang-undang ini.

Siapa saja yang mengajukan uji formil?

Sejak DPR mengesahkan revisi UU TNI pada 20 Maret 2025, masyarakat sipil dan akademisi memutuskan mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi. Berikut sebagian yang memasukkan berkas uji formil dan putusannya dibacakan pada 17 September 2025:

  • Perkara 45/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yaitu Namoradiarta Siaahan, Kelvin Oktariano, M. Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan R.Yuniar A. Alpandi.
  • Perkara 56/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia yaitu Muhammad Bagir Shadr, Muhammad Fawwaz Farhan Farabi, Thariq Qudsi Al Fahd
  • Perkara 69/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa dari Fakultas Universitas Padjajaran yaitu Moch Rasyid Gumilar, Kartika Eka Pertiwi, Akmal Muhammad Abdullah, Fadhil Wirdiyan Ihsan, dan Riyan Fernando.
  • Perkara 75/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa dari Fakultas Hukum UGM yaitu Muhammad Imam Maulana, Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban, Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar, dan Ursula Lara Pagitta Tarigan
  • Perkara 81/PUU-XXIII/2025: Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari YLBHI, Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Inayah Wahid, Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty

Pada 5 Juni 2025, lima putusan terkait permohonan uji formil UU TNI telah kandas dalam sidang pemeriksaan pendahuluan. Di bawah ini, sejumlah perkara dan pengaju permohonannya:

  • Perkara 55/PUU-XXIII/2025: Masyarakat sipil Christian Adrianus Sihite, Noverianus Samosir, dan Agam Firdaus
  • Perkara 58/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam yaitu Hidayatuddin dan Respati Hadinata
  • Perkara 66/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa magister Universitas Indonesia yaitu Masa’il Ishmad Mawaqif, Reyhan Roberkat, Muh Amin Rais Natsir, dan Aldi Rizki Khoiruddin
  • Perkara 74/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dari Study of Constitutional Law (SCL) FH UII yakni Abdur Rahman Aufklarung, Satrio Anggito Abimanyu, dan Bagus Putra Handika Pradana.
  • Perkara 79/PUU-XXIII/2025: Mahasiswa FH Universitas Brawijaya yaitu Endrianto Bayu Setiawan, Raditya Nur Sya’bani, Felix Rafiansyah Affandi, Dinda Rahmalia, Muhamad Teguh Pebrian, dan Andrean Agus Budiyanto

Permohonan mereka tidak dapat diterima karena para pemohon dinilai tidak dapat menjelaskan kedudukan hukum dan hubungan kerugian konstitusional yang spesifik dari pembentukan UU TNI. Aktivitas akademis sebagai mahasiswa dianggap MK bukan merupakan aktivitas yang terkait langsung dalam mengawal proses pembentukan UU No 3/2025. Aktivitas diskusi dan demonstrasi berkaitan dengan revisi UU TNI juga tidak dapat menunjukkan hubungan sebab-akibat.

Apa saja yang menjadi poin uji formil?

Dari 10 permohonan yang masuk, poin uji formil yang disampaikan sebagian besar serupa. Ada lima garis besar persoalan yang melandasi permohonan uji formil ini, antara lain:

  • Revisi UU TNI tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI yang ditetapkan pasca reformasi 1998
  • Revisi UU TNI bukan carry over dari periode sebelumnya
  • Perencanaan revisi UU TNI dalam prolegnas prioritas 2025 dilakukan secara ilegal karena sebelumnya tidak terdaftar dalam Prolegnas Prioritas 2025
  • Proses pembahasan perubahan UU TNI sengaja menutup partisipasi publik dan tidak akuntabel telah menimbulkan kegagalan pembentukan hukum
  • Pemerintah dan DPR sengaja menahan revisi UU TNI dan tidak langsung membuka akses dokumen revisi kepada publik

“Rapat-rapat pembentukan revisi UU TNI oleh DPR dan pemerintah digelar secara sembunyi-sembunyi di ruang tertutup. Hal ini mempertegas abusive law making dalam pembentukan revisi UU TNI dan tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna,” tutur Bugivia Maharani yang menjadi kuasa hukum bagi perkara yang diajukan YLBHI, Kontras, Imparsial, dan masyarakat sipil.

Bahkan kritik yang disampaikan masyarakat sipil dan kelompok akademisi tidak diindahkan oleh pembentuk undang-undang. Ia juga menambahkan dokumen pembentukan undang-undang tidak aksesibel dan tidak transparan bagi publik sehingga publik sulit untuk mengakses dan melakukan pengawasan.

Setelah ditandatangani pun, dokumen revisi ini tidak dipublikasikan dalam kanal resmi DPR dan pemerintah. Bahkan setelah diundangkan pada 26 Maret 2025, dokumen masih simpang siur.

“Ini produk hukum yang gagal karena lahir dari itikad buruk DPR yang telah dengan sengaja tidak melakukan publikasi draf rancangan revisi UU TNI, naskah akademik, dan DIM saat pembahasan dan menutup ruang partisipasi publik,” kata Bugivia.

“Ini bertentangan dan melanggar hak konstitusional untuk memperoleh informasi publik, serta menyatakan pendapat dan partisipasi dalam pembentukan undang-undang.”

Selain itu, sejumlah pemohon juga mempersoalkan pasal-pasal yang dinilai menimbulkan ketidakpastian terkait tugas dan fungsi TNI yang masuk ke ranah sipil, bahkan diperbolehkan menduduki jabatan sipil.

Intimidasi sepanjang pengajuan uji formil

Meski revisi UU TNI telah disahkan, sejumlah pihak yang aktif bersuara dan mengambil langkah untuk mengajukan uji formil mengalami intimidasi pada periode Maret hingga Mei 2025,

Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) sempat disambangi orang tak dikenal. Peristiwa ini terjadi setelah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang di dalamnya terdapat KontraS mendatangi rapat tertutup pembahasan revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025.

Kedatangan koalisi tersebut dilakukan sehari sebelum revisi disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 20 Maret.

Selain itu, pekerja KontraS juga turut mengalami teror digital. Ketika ditelusuri nomor penerornya ditemukan identitas anggota intel Kodam Jaya.

Tiga hari setelah pengesahan revisi UU TNI, ada dua kendaraan taktis yang diduga milik militer berhenti di depan kantor lembaga ini dan tentara di dalamnya merekam situasi kantor dengan ponsel.

Mahasiswa juga mengalami intimidasi dalam bentuk berbeda. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dipanggil Kodim 0701 Banyumas sehari setelah mahasiswa melakukan protes tolak revisi UU TNI, akhir Maret 2025.

Mereka diminta melakukan klarifikasi dan permintaan maaf terhadap aksi penolakan revisi UU TNI dalam pertemuan yang diinisiasi Kodim tersebut.

Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo juga didatangi anggota TNI ketika tengah menggelar diskusi mengenai militerisme di ranah akademik pada April lalu.

Di UI, pada April, militer juga terlihat wara-wiri di areal kampus pasca aksi penolakan revisi UU TNI yang digelar akhir Maret. Selain itu, militer juga mendatangi Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI saat mahasiswa sedang mengadakan konsolidasi nasional. Pihak mahasiswa dan rektorat bahkan menegaskan tidak pernah mengundang TNI dalam kegiatan tersebut.

Sejumlah mahasiswa juga mengalami teror digital. Hal ini seperti yang dialami mahasiswa UII yang mengajukan uji formil.

Salah satunya, Abdur Rahman Aufklarung atau Arung yang berkata orang tuanya ‘diintimidasi’ oleh seseorang yang menyebut dari Komando Resor Militer (Korem) di Mojokerto, Jawa Timur. Orangtuanya diminta menasehati Arung yang tengah mengajukan uji formil di MK.

Orangtuanya juga didatangi ke rumah oleh seseorang yang mengaku dari Babinsa untuk meminta dokumen pribadi Arung. Dua rekannya juga mengalami hal serupa. Ada orang yang menyambangi kediaman RT setempat untuk meminta dokumen pribadi.

  • ‘Harapannya MK tetap netral dan objektif’ – Sejumlah mahasiswa gugat revisi UU TNI ke MK, bagaimana peluangnya?
  • Mahasiswa penggugat UU TNI diduga ‘diintimidasi’ anggota TNI – Mulai menelepon orang tua, hingga Babinsa datangi ketua RT
  • Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?
  • Demonstrasi mahasiswa menentang UU TNI berlangsung maraton dan menyebar ke banyak kota, apa maknanya?
  • TNI ditugaskan ‘memelihara keamanan dan ketertiban’ – Apakah Indonesia dalam situasi darurat militer?
  • Militer cari sosok di balik petisi tolak RUU TNI, tuduh gerakan sipil dibayar
  • Revisi UU TNI: ‘Militer itu tidak pernah demokratis’ – Apa bahayanya jika TNI merambah dunia sipil?
  • TNI ditugaskan ‘memelihara keamanan dan ketertiban’ – Apakah Indonesia dalam situasi darurat militer?
  • Kesaksian mantan jenderal yang dulu berupaya hapus Dwifungsi ABRI – ‘Saya melawan arus dan dikeroyok’

Leave a Comment