Kita Tekno – JAKARTA – Prospek penurunan yield Surat Utang Negara (SUN) di sisa tahun 2025 masih terbuka lebar, menyusul langkah pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI) dan The Fed. Namun, para analis mengingatkan akan pentingnya memperhatikan tren penurunan yield tersebut, terutama terkait dengan spread atau selisihnya terhadap yield obligasi AS.
Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata, menjelaskan bahwa meskipun peluang penurunan yield SUN di penghujung tahun 2025 tetap ada, laju penurunannya diperkirakan tidak akan seagresif yang terjadi pada paruh pertama tahun ini. Pandangan ini memberikan gambaran realistis mengenai dinamika pasar obligasi.
Berdasarkan data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) per Kamis (18/9/2025), yield Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun kini berada di level 6,33%. Angka ini menunjukkan penurunan signifikan dibandingkan posisi awal tahun yang mencapai 6,98%, sekaligus mendekati titik terendah yield SBN sepanjang tahun berjalan 2025. Perkembangan ini mengindikasikan respons positif pasar terhadap berbagai kebijakan moneter.
Baca Juga: Yield SBN Diproyeksi Naik Usai Reshuffle Sri Mulyani, Tren Inflow Asing Terhenti?
Mengenai potensi penurunan yield lebih lanjut, Josua menjelaskan bahwa pemangkasan suku bunga The Fed berpotensi mendorong penurunan imbal hasil US Treasury Yield. Namun, skenario ini bergantung pada kinerja data ekonomi AS yang positif dan konsistensi arah kebijakan yang diambil oleh Donald Trump.
Di sisi domestik, peran Bank Indonesia (BI) sangat krusial. Selain sukses menurunkan BI Rate, BI juga aktif menambah likuiditas pasar dengan membeli SBN. Kebijakan ini dinilai efektif dalam mendorong kurva imbal hasil obligasi ke level yang lebih rendah, menciptakan kondisi yang lebih kondusif bagi pasar.
Baca Juga: Yield Obligasi Negara SBN Diproyeksi Naik Usai Sri Mulyani Diganti
“Dengan kombinasi faktor-faktor ini, skenario dasar untuk yield SUN bertenor 10 tahun di akhir tahun 2025 diperkirakan akan berada di kisaran 6,10–6,30%,” ujar Josua saat dihubungi pada Kamis (18/9/2025). Prediksi ini menunjukkan optimisme yang terukur.
Ia menambahkan, apabila The Fed kembali melanjutkan pemangkasan suku bunga di sisa tahun 2025 dan suplai SBN di pasar domestik tetap terkelola dengan baik, yield berpotensi mendekati batas bawah perkiraan. Sebaliknya, yield dapat bertahan di level 6,30–6,50% jika suplai SBN domestik menumpuk dan nilai tukar rupiah menunjukkan volatilitas tinggi. Ini menggarisbawahi pentingnya pengelolaan pasokan obligasi dan stabilitas mata uang.
Pandangan serupa datang dari Rudiyanto, Direktur Panin Asset Management. Ia menilai peluang penurunan yield SUN di sisa tahun 2025 masih cukup terbuka, meskipun terbatas. Rudiyanto memprediksi yield SUN bertenor 10 tahun akan berakhir di kisaran 6–6,25% pada akhir tahun 2025, menunjukkan konsensus tertentu di antara para ahli.
Menurut Rudiyanto, saat ini faktor-faktor utama yang menentukan kinerja pasar obligasi meliputi tingkat inflasi, disiplin fiskal pemerintah, dan efektivitas stimulus yang digelontorkan. Ia melihat kondisi pasar obligasi dalam negeri cenderung positif, ditopang oleh inflasi yang terkendali dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang melampaui ekspektasi.
“Yield SUN memang punya peluang untuk turun, namun lajunya akan lebih terbatas. Level yield yang wajar diperkirakan ada di kisaran 6–6,25%,” tegas Rudiyanto.
Meskipun demikian, tidak semua analis bersikap sepenuhnya optimistis. Ramdhan Ario, Head of Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia, memberikan peringatan mengenai potensi titik jenuh pada penurunan yield. Ia berpendapat bahwa meskipun ada peluang yield bisa mencapai level 6–6,1%, pemerintah perlu ekstra hati-hati dan secara cermat memperhatikan tren yield di Amerika Serikat (AS).
Ramdhan menegaskan, berdasarkan data historis, yield SUN di Indonesia jarang sekali mencapai level di bawah 5%. Ia menambahkan, jika yield obligasi AS turun hingga di bawah 4%, pasar obligasi domestik berpotensi mengalami kejenuhan. Oleh karena itu, menjaga spread yang sehat antara yield Indonesia dan AS menjadi sangat krusial untuk menarik minat investor asing dan menjaga stabilitas pasar.
“Jika sudah mencapai titik jenuh, investor asing dipastikan akan lebih berhati-hati dalam menempatkan dananya,” pungkas Ramdhan, Kamis (18/9/2025). Ini menekankan pentingnya strategi yang tepat dalam mengelola pasar obligasi di tengah gejolak global.