Ondel-Ondel Dilarang Mengamen: Kisah Pilu dan Mata Pencaharian

Photo of author

By AdminTekno

Polemik Ondel-Ondel Mengamen: Antara Pelestarian Budaya dan Mata Pencaharian

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menggagas rencana pelarangan penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen di jalanan. Gubernur Pramono Anung berpendapat, langkah ini diambil demi menjaga marwah ondel-ondel sebagai salah satu ikon kesenian Betawi. Namun, wacana ini memicu kekhawatiran baru: potensi meningkatnya angka pengangguran di Ibu Kota.

Para pengamen ondel-ondel mengaku bergantung pada kegiatan ini sebagai sumber penghasilan utama. Mereka cemas akan kehilangan mata pencaharian jika pelarangan tersebut benar-benar diterapkan.

“Kalau ondel-ondel dilarang, mau makan apaan? Ini doang pencarian saya,” keluh Achmad Muchsin, seorang pengamen ondel-ondel, kepada wartawan BBC News Indonesia, Arie Firdaus.

Menanggapi hal ini, pemilik sanggar ondel-ondel berharap Pemprov DKI Jakarta dapat menyediakan solusi alternatif. Salah satunya adalah dengan memfasilitasi lokasi pertunjukan yang layak jika pelarangan mengamen benar-benar diberlakukan. Selama ini, keterbatasan tempat tampil memaksa mereka untuk menyewakan ondel-ondel sebagai sarana mengamen.

Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menegaskan bahwa pelarangan ini ditujukan bagi penggunaan ondel-ondel untuk mengamen yang “tidak sesuai pakem”. Pihaknya berjanji akan memberikan pembinaan dan memfasilitasi para pegiat seni ondel-ondel untuk tampil di berbagai acara.

Mengapa Mengamen dengan Ondel-Ondel?

Di balik riasan wajah yang cerah dan kostum warna-warni ondel-ondel, tersimpan cerita perjuangan hidup. Ahmad Muchsin, misalnya, memperlihatkan memar sekitar 4 sentimeter di bahu kirinya. “Biasanya, bisa lebih merah lagi,” ujarnya sambil mengangkat kaosnya.

Memar itu adalah bukti beratnya beban yang harus dipikul Muchsin saat mengamen. Ia harus memikul ondel-ondel seberat lima kilogram selama kurang lebih 30 menit di sekitar Senen, Jakarta Pusat.

“Berat itu!” timpal seorang perempuan bernama Wati, yang ikut mengamen bersama Muchsin.

Pada hari itu, Kamis (28/8), Muchsin mengamen bersama Wati (28 tahun) dan Yuni (35 tahun). Mereka berbagi tugas: Muchsin memikul ondel-ondel, sementara kedua perempuan itu membawa ember kecil untuk menampung uang dari para pengguna jalan. Namun, Wati sesekali menggantikan Muchsin memikul ondel-ondel. “Gantian aja, kuat saya mah,” katanya sambil tertawa kecil.

Arie Firdaus menemui Muchsin dan rombongannya sekitar pukul 13.00 WIB. Terik matahari menyengat kawasan Senen, dengan suhu mencapai 31 derajat Celcius. Mereka beristirahat sejenak di bawah rindangnya pepohonan, menunggu bajaj langganan untuk mengantar mereka ke lokasi mengamen berikutnya.

Siang itu, mereka berencana melanjutkan mengamen di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, hingga sore hari. Setelah magrib, mereka akan berpindah ke Mampang, Jakarta Selatan. Rutinitas ini mereka jalani hampir setiap hari, mulai selepas zuhur hingga pukul 22.00 WIB.

Dengan jam kerja yang panjang—sembilan hingga sepuluh jam, berjalan kaki belasan kilometer, dan memikul ondel-ondel—memar di pundak sudah menjadi hal biasa bagi Muchsin. Baginya, yang terpenting adalah mencari uang untuk makan.

“Enggak ada kepintaran [keahlian] lain. Daripada enggak ngapa-ngapain di rumah,” ujar pria lulusan SMP ini.

Muchsin, yang bertubuh kurus dengan tinggi sekitar 160 sentimeter, tampak mengenakan kaus kuning pudar, celana panjang hitam, dan sandal karet kebesaran. Ia mengaku sudah mengamen ondel-ondel sejak remaja, awalnya ikut dengan rombongan lain. Setelah dewasa, ia memutuskan untuk mengamen sendiri dan mengajak beberapa teman. Terkadang, rombongannya beranggotakan dua orang, terkadang tiga atau empat orang.

“Kadang-kadang juga berempat. Tapi, berempat susah nyari duitnya, [karena] [masing-masing] paling dapat Rp20 ribu,” jelas Muchsin.

Pendapatan dari mengamen ondel-ondel memang tidak menentu. Semakin banyak anggota rombongan, semakin kecil pula penghasilan yang didapat. Saat sedang beruntung, Muchsin bisa mengumpulkan lebih dari Rp200.000. Namun, saat hujan atau sepi, pendapatannya hanya berkisar Rp100.000.

Penghasilan itu pun tidak sepenuhnya menjadi milik Muchsin. Ia harus menyisihkan sebagian untuk biaya sewa bajaj atau angkutan kota, makan, sewa speaker kecil, dan sewa ondel-ondel. Untuk menuju Kemanggisan, misalnya, ia harus membayar Rp35.000 untuk sewa bajaj. Biaya akan lebih besar jika lokasi mengamen lebih jauh dan harus menggunakan angkot. Ia juga harus membayar Rp10.000 untuk sewa speaker dan Rp30.000 untuk sewa ondel-ondel kepada pemilik sanggar.

“Enggak menentu,” jawab Muchsin singkat saat ditanya tentang pendapatan bersihnya per hari. “Paling [per orang] dapat Rp30.000-Rp40.000.”

Apakah cukup untuk kebutuhan sehari-hari? “Secukupnya aja,” jawabnya.

Muchsin mengaku sudah mendengar rencana Pemprov DKI Jakarta untuk melarang ondel-ondel digunakan untuk mengamen. Ia pun bingung dan belum bisa membayangkan pekerjaan alternatif yang bisa dilakukannya. Meski sudah lama mengenal pemilik ondel-ondel, ia tidak pernah diajak tampil di acara-acara tertentu karena tidak memiliki keahlian bermain musik tradisional atau kesenian Betawi lainnya.

“Kalau ondel-ondel dilarang, mau makan apaan? Ini doang [mengamen] pencarian saya…” ujarnya dengan nada pasrah.

Sanggar Ondel-Ondel di Persimpangan Jalan

Muchsin menyewa ondel-ondel dari Mulyadi, pemilik sanggar Irama Betawi yang berlokasi di Pasar Gaplok, Senen, Jakarta Pusat. Sanggar yang berdiri sejak tahun 2009 ini fokus pada kesenian ondel-ondel.

Sebagai seniman Betawi, Mulyadi mengaku dilema saat harus menyewakan ondel-ondel miliknya untuk mengamen. Di satu sisi, ia ingin ondel-ondel tampil di tempat yang layak, bukan di jalanan. Namun, di sisi lain, ia tidak ingin ondel-ondelnya rusak karena tidak terpakai.

“Daripada saya punya barang [ondel-ondel] enggak dimanfaatin, lebih baik dimanfaatin [disewakan],” ujarnya. “Kedua, ini juga sambil kita mengenalkan budaya Betawi ke masyarakat [lewat mengamen].”

Saat ini, Mulyadi memiliki tiga pasang ondel-ondel. Sepasang ondel-ondel dengan kondisi terbaik ia simpan untuk mengisi acara. Sementara dua pasang lainnya disewakan kepada para pengamen, termasuk Muchsin. Mulyadi tidak menyewakan sepasang ondel-ondel sekaligus kepada satu kelompok pengamen. Tujuannya agar lebih banyak orang yang bisa mendapatkan penghasilan.

Pertimbangan lainnya adalah karena ia ingin membantu warga di sekitar rumahnya yang sebagian besar tidak memiliki pekerjaan tetap. Kawasan Pasar Gaplok merupakan daerah padat penduduk.

“Daripada mereka melakukan hal-hal yang dilarang sama pemerintah, misalnya, mencuri atau hal-hal yang merugikan orang lain, mendingan dia ngamen,” kata Mulyadi. “Orang, [kalau] masalah perut bisa ngebunuh orang.”

Irama Betawi awalnya tidak menyewakan ondel-ondel untuk mengamen. Pada tahun-tahun awal berdirinya, sanggar ini aktif berpartisipasi dalam berbagai lomba yang diadakan oleh pemerintah daerah. Dari situ, nama Irama Betawi semakin dikenal dan tawaran untuk tampil pun berdatangan.

Mulyadi mengenang tahun 2014 sebagai masa kejayaan sanggarnya. Kala itu, ia bisa tampil empat hingga lima kali dalam sebulan.

Namun, situasi berubah drastis pada awal tahun 2020. Pandemi Covid-19 menghantam sanggarnya dengan keras. Tawaran tampil menjadi sangat jarang.

Untuk bertahan hidup, Mulyadi membuka toko kelontong yang menjual kebutuhan sehari-hari. Untungnya, ia juga seorang perajin ondel-ondel. Ia mendapatkan penghasilan tambahan dari membuat ondel-ondel yang dipesan oleh hotel, perusahaan, atau kantor pemerintahan.

Untuk ondel-ondel berukuran 2,5 meter, ia mematok harga Rp5 juta sepasang. Ondel-ondel berukuran lebih kecil, yakni dua meter, ia jual seharga Rp4 juta. Ia juga membuat miniatur ondel-ondel dengan harga bervariasi, mulai dari Rp800.000 (ukuran 80 sentimeter), Rp250.000 (40 cm), dan Rp150.000 untuk sepasang ondel-ondel berukuran 20 sentimeter.

Di rumah Mulyadi yang juga dikenal sebagai “Kampung Ondel-ondel”, terlihat sejumlah rangka miniatur ondel-ondel berjejer di pinggir jalan, tempat ia biasa merakitnya.

Apakah pendapatan dari menjual ondel-ondel cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya? “Insya Allah,” jawabnya singkat.

Mengenai rencana pelarangan penggunaan ondel-ondel untuk mengamen, Mulyadi berharap pemerintah dapat bersikap bijak dengan menyiapkan solusi seperti memperbanyak akses lokasi pertunjukan atau anggaran pembinaan bagi sanggar-sanggar kecil seperti miliknya.

“Sebelum ditutup [dilarang], diarahkan dulu. Bakal ditempatkan di mana?” kata Mulyadi. “[membuat] Sepasang ondel-ondel itu kan enggak murah. Biaya paling kecil Rp2 juta. Itu [uang] besar buat kami rakyat kecil.”

Alasan Pelarangan Ondel-Ondel Mengamen

Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menyampaikan rencana pelarangan ondel-ondel untuk mengamen dalam sebuah acara penandatanganan kesepakatan bersama pelestarian budaya Betawi di Hotel Borobudur, Jakarta, pada 28 Mei 2025. Ia kembali mengulangi seruan serupa dalam pidatonya di Sarasehan III Kaukus Muda Betawi di Ancol, Jakarta Utara, lima hari kemudian.

Pramono beralasan bahwa pelarangan ini didasarkan pada keinginannya untuk menjaga marwah kesenian Betawi. “Supaya budaya Betawi ini kita naikkan, kita buat menjadi sesuatu budaya yang sangat dihormati oleh siapa pun. Bukan kemudian budaya untuk ngamen,” ujarnya.

Pramono juga berencana menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur pelarangan tersebut, termasuk sanksi bagi mereka yang tetap menggunakan ondel-ondel untuk mengamen. Namun, ia belum memerinci sanksi yang akan diberikan karena detail aturan masih dibahas bersama tokoh-tokoh Betawi.

Wakil Gubernur DKI Jakarta saat itu, Rano Karno, sempat menargetkan Perda tersebut akan terbit pada peringatan HUT ke-498 Kota Jakarta pada 22 Juni, namun hingga saat ini beleid yang dijanjikan belum juga rampung.

Tanggapan Seniman dan Budayawan Betawi

Sejumlah seniman dan tokoh Betawi mendukung rencana Pemprov DKI Jakarta untuk mengatur fenomena mengamen dengan ondel-ondel.

Bachtiar, seorang seniman Betawi di Rawabelong, Jakarta Barat, sering melihat pengamen ondel-ondel yang menggunakan simbol kesenian tersebut secara serampangan. Ia menyoroti arak-arakan ondel-ondel yang tidak sesuai pakem, seperti diarak tidak berpasangan atau diiringi musik seadanya. Selain itu, para pengamen seringkali tidak mengenakan pakaian tradisional Betawi, bahkan hanya memakai kaus lusuh saat berkeliling, atau tetap membunyikan musik saat azan berkumandang.

Jika dibiarkan, Bachtiar khawatir hal ini akan memberikan citra buruk tentang ondel-ondel kepada masyarakat, terutama bagi mereka yang baru pertama kali melihatnya.

“Ketika marak ondel-ondel yang tidak berdasarkan kepatutan, efeknya justru berdampak buruk bagi orang Betawi. Karena diwakili ondel-ondel yang tidak layak,” kata Bachtiar. “Keresahan kami hari ini [adalah] hilangnya kebanggaan sebagai anak Betawi untuk melihat ondel-ondel yang layak, bagus, dan diiringi musik yang rapi.”

Bachtiar mendirikan sanggar Si Pitung pada tahun 1995. Sanggar ini mengelola berbagai cabang kesenian Betawi, seperti ondel-ondel, pelatihan tari, lenong, dan palang pintu. Ia mengaku beberapa kali menegur pengamen ondel-ondel yang lewat di sekitar rumahnya, mulai dari yang berkeliling dan tetap memutar musik saat azan, membawa anak kecil saat mengamen, hingga yang berbuat tidak senonoh saat beristirahat.

“Pengaturan ondel-ondel ngamen ini lumayan mendesak,” terangnya. “Bagaimana budaya [Betawi], istilahnya, dicaplok dan digunakan untuk mengamen yang kemudian menimbulkan image yang buruk, bahkan bagi masyarakat Betawi sendiri.”

Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, berpendapat bahwa fenomena pengamen yang tidak sesuai pakem telah mereduksi nilai-nilai ondel-ondel. Ia mencontohkan pengamen yang hanya mengarak satu ondel-ondel, padahal ondel-ondel seharusnya dibuat berpasangan sebagai simbol keseimbangan.

“Ondel-ondel yang dibuat sepasang itu simbolisasi keseimbangan,” kata Yahya.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang melarang penggunaan ondel-ondel secara sembarangan untuk mengamen, serta menyiapkan solusi komprehensif agar fenomena itu tidak terulang di masa mendatang.

“Oknum [menggunakan ondel-ondel untuk mengamen] kan selalu berganti. Satu sadar, tapi ada generasi berikutnya.”

Tudingan merendahkan nilai ondel-ondel sempat dialami Muchsin saat mengamen. Suatu sore, saat sedang berkeliling di daerah Kemanggisan, seseorang tiba-tiba berteriak ke arahnya, “Eh, budaya gue lu pakai ngamen! Bikin gue malu aja lu!”

Beruntung, tidak ada serangan fisik. Namun, ia diminta segera meninggalkan lokasi tersebut. “Cuma dimaki doang,” kata Muchsin. “Saya jawab, ‘ya, bagaimana pak? Pekerjaan saya cuma main ondel-ondel’.”

Mulyadi, pemilik sanggar Irama Betawi, enggan berkomentar soal tudingan mereduksi nilai-nilai kesenian. “Saya enggak bisa bicara [berkomentar]. Mereka [mengamen] untuk menghidupi anak dan istri,” ujarnya.

Sejarah Ondel-Ondel Mengamen

Menurut budayawan Yahya Andi Saputra, catatan sejarah menunjukkan bahwa ondel-ondel sudah digunakan untuk mengamen sejak era kolonial, awal abad ke-20. Pada masa itu, pemerintah kolonial menerapkan aturan ketat terhadap arak-arakan ondel-ondel, termasuk kewajiban menggunakan sepasang ondel-ondel dan mengatur hari serta lokasi yang diperbolehkan untuk mengamen. Para pengamen juga dikenakan pajak.

“Pada awal abad ke-20 itu sudah diatur, yang mau mengamen silakan, tapi sesuai pakem,” kata Yahya.

Pelanggaran terhadap aturan ini akan dikenakan sanksi, seperti penyitaan ondel-ondel yang dapat ditebus setelah membayar denda.

Yahya menduga bahwa tradisi mengarak ondel-ondel secara beramai-ramai sudah ada jauh sebelum abad ke-20. Hal ini didasarkan pada nama terdahulu ondel-ondel, yaitu “barongan” atau “barungan”, yang berasal dari bahasa Betawi klasik yang berarti serombongan.

Perubahan nama dari barongan menjadi ondel-ondel baru terjadi pada awal abad ke-20, namun Yahya tidak mengetahui siapa penggagasnya. “Ondel-ondel itu bahasa Betawi lama juga, artinya lincah dan fleksibel,” jelasnya.

Antropolog Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab, menambahkan bahwa ondel-ondel juga mengalami perubahan fisik seiring waktu. Dulu, ondel-ondel digambarkan berwajah seram dengan taring panjang karena digunakan sebagai penolak bala.

Menurut Yasmine, perubahan sebuah kesenian seperti ondel-ondel adalah hal yang wajar karena kultur masyarakat Betawi juga berubah seiring waktu. “Apalagi itu [simbol penolak bala] berhubungan dengan animisme. Sementara masyarakat Betawi seiring waktu lekat dengan nilai-nilai Islam,” pungkasnya.

Tanggapan Pemerintah Daerah DKI Jakarta

Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Mochamad Miftahulloh Tamary, menegaskan bahwa larangan mengamen yang digagas Gubernur Pramono Anung sebenarnya menyasar ondel-ondel yang tidak sesuai pakem. Ia bahkan menyebut ondel-ondel yang digunakan untuk mengamen secara tidak sesuai aturan dapat dikategorikan sebagai mengemis.

Sikap tegas pemerintah daerah ini bertujuan agar ondel-ondel dimanfaatkan sesuai marwahnya sebagai bagian dari kebudayaan Betawi.

Mengenai Perda yang sempat dijanjikan Wakil Gubernur Rano Karno, Miftah mengatakan bahwa lembaganya terus membahas detail aturannya bersama para pemangku kepentingan terkait untuk memastikan substansi aturan sesuai dengan tujuan pelestarian kebudayaan Betawi.

Ia menyadari bahwa penertiban para pengamen ondel-ondel berpotensi membuat sejumlah orang kehilangan sumber pendapatan. Oleh karena itu, pemerintah berupaya memberdayakan mereka dalam berbagai kesempatan, seperti HUT DKI, Karnaval Budaya, Lebaran Betawi, dan acara resmi lainnya. Miftahulloh belum memerinci kebijakan yang dilakukan.

Daftar Isi

Ringkasan

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana melarang penggunaan ondel-ondel untuk mengamen dengan alasan menjaga marwah kesenian Betawi. Wacana ini menimbulkan kekhawatiran para pengamen ondel-ondel yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan tersebut, serta memicu harapan dari pemilik sanggar agar Pemprov DKI Jakarta menyediakan solusi alternatif seperti lokasi pertunjukan yang layak.

Pelarangan ini ditujukan bagi penggunaan ondel-ondel untuk mengamen yang “tidak sesuai pakem,” dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta berjanji akan memberikan pembinaan dan memfasilitasi para pegiat seni ondel-ondel untuk tampil di berbagai acara. Sejarah mencatat ondel-ondel sudah digunakan untuk mengamen sejak era kolonial, dan perubahan fisik serta fungsi ondel-ondel dianggap wajar seiring perubahan kultur masyarakat Betawi.

Leave a Comment