Permasalahan dualisme federasi olahraga telah lama menjadi momok yang menghantui dunia olahraga Indonesia. Contoh paling nyata adalah cabang tenis meja, di mana konflik kepengurusan belum juga menemukan titik terang, bahkan setelah pergantian pucuk pimpinan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Kisruh ini bermula dari klaim legitimasi masing-masing pihak yang merasa paling berhak dan sah memimpin Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI). Dampak paling merugikan dari perselisihan tak berkesudahan ini adalah para atlet Indonesia. Mereka harus menanggung konsekuensi pahit, seperti absennya perwakilan di SEA Games 2023 Kamboja, bahkan tenis meja tidak dipertandingkan dalam perhelatan akbar PON 2021 di Papua. Kerugian ini tidak hanya sebatas pada performa atlet, tetapi juga meredupkan potensi dan menghambat regenerasi talenta nasional.
Fenomena dualisme ini tidak hanya menimpa tenis meja. Sejumlah cabang olahraga lain juga menghadapi masalah serupa, termasuk sepak takraw, biliar, berkuda, hingga anggar. Oleh karena itu, harapan besar kini tertumpu pada Menpora Erick Thohir untuk mampu menjadi katalisator dalam menuntaskan kisruh berkepanjangan yang telah lama melanda sejumlah cabang olahraga ini.
Menanggapi isu krusial ini, dalam sebuah wawancara dengan televisi swasta nasional pada Senin (22/9/2025), Menpora Erick Thohir menyampaikan pandangan tegasnya. Ia menekankan bahwa birokrasi dan federasi olahraga di bawah kementerian harus berani melakukan introspeksi diri secara mendalam. Menurutnya, amanah untuk memimpin seharusnya dipandang sebagai berkah dan kesempatan untuk memajukan olahraga, bukan justru dimanfaatkan sebagai sarana untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok.
Lebih jauh, Menpora menilai bahwa konsekuensi menjadi seorang pemimpin di dunia olahraga menuntut rekam jejak yang kuat, komitmen tulus, serta kecintaan mendalam terhadap bidang tersebut. Selain itu, seorang pemimpin harus aktif mencari solusi pembiayaan organisasi, bukan hanya berorientasi pada kekuasaan. “Bagaimana olahraganya itu dicarikan solusi pembiayaan, bukan menjadi kekuasaan ya, seumur hidup cari makannya di organisasi olahraganya,” ujarnya, menggarisbawahi pentingnya integritas finansial dan keberlanjutan.
Ia menambahkan, praktik-praktik yang merusak integritas dan etika kepemimpinan inilah yang pada akhirnya menimbulkan friksi dan klik-klik (faksi-faksi) dalam organisasi olahraga. Atas dasar pemikiran tersebut, Menpora mengungkapkan bahwa Presiden secara aktif mendorong adanya evaluasi menyeluruh dan transformasi total dalam tata kelola olahraga nasional. Oleh karena itu, kolaborasi menjadi kunci utama. “Tadi, makanya saya bilang harus ada kolaborasi seluruhnya. Ini bukan karena saya atau mereka, ini semuanya,” pungkasnya, menyerukan persatuan demi kemajuan olahraga Indonesia.
Ringkasan
Artikel ini membahas permasalahan dualisme federasi olahraga di Indonesia, yang berdampak negatif pada atlet dan perkembangan olahraga nasional. Contoh nyata adalah konflik di Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI) yang menyebabkan kerugian besar bagi atlet dan bahkan hilangnya kesempatan bertanding di ajang penting.
Menpora Erick Thohir menekankan bahwa memimpin organisasi olahraga adalah berkah untuk memajukan olahraga, bukan mencari keuntungan. Ia juga mendorong evaluasi menyeluruh dan transformasi total dalam tata kelola olahraga nasional melalui kolaborasi, serta menuntut rekam jejak yang kuat, komitmen, dan integritas finansial dari para pemimpin olahraga.