UU BUMN Berubah: Kementerian BUMN Dihapus, Danantara Berjaya?

Photo of author

By AdminTekno

Pemerintah mengajukan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 23 September. Perubahan beleid yang baru berusia sekitar tujuh bulan ini, yang menjadi dasar hukum pendirian Danantara, mengindikasikan pemerintah kurang memiliki persiapan matang dalam merumuskan program-program besar, demikian pandangan para pengamat.

Kini, kekhawatiran mengenai masa depan Danantara kembali mencuat, mengingat lembaga ini mengelola dana hingga ratusan triliun rupiah yang bersumber dari efisiensi anggaran negara. Dana yang tidak sedikit ini menjadi sorotan tajam berbagai pihak.

“Sejak awal, pembentukan Danantara terkesan tergesa-gesa. Tidak ada peta jalan atau panduan yang jelas sehingga tata cara operasionalnya belum terbentuk dengan baik,” ungkap Asri Widayati, seorang peneliti dari Transparency International Indonesia, menyoroti proses pendirian lembaga tersebut.

Wacana pemberantasan praktik rangkap jabatan melalui perubahan regulasi yang masih seumur jagung ini juga dinilai Asri sebagai langkah yang bersifat performatif atau hanya sekadar pencitraan. Pendapatnya didasarkan pada fakta bahwa dua pimpinan Danantara saat ini masih merangkap jabatan sebagai menteri. Situasi ini semakin diperparah dengan penunjukan sejumlah wakil menteri baru yang belum lama ini juga dihadiahi jabatan komisaris di beberapa BUMN, memperkuat persepsi adanya konflik kepentingan.

Ketergesaan dalam proses ini, menurut Asri, juga terlihat dari target penyelesaian revisi Undang-Undang BUMN yang seolah dipaksakan rampung pada akhir masa sidang pertama DPR periode 2025-2026. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai urgensi dan kedalaman pembahasan regulasi tersebut.

Keberadaan Danantara yang kemudian menaungi banyak perusahaan BUMN justru disebut oleh pengamat lain sebagai sebuah pengulangan pola lama. Meskipun lembaga ini mengadopsi ’embel-embel’ pengelolaan investasi dengan merujuk pada konsep Temasek Holdings di Singapura, implementasinya justru dianggap seperti pengambilalihan fungsi dan kinerja Kementerian BUMN.

Konsekuensinya, jabatan Menteri BUMN yang sebelumnya diemban oleh Erick Thohir kini hanya diisi oleh pelaksana tugas, yaitu Wakil Menteri BUMN Donny Oskaria, yang juga merangkap sebagai pimpinan di Danantara. Pergeseran peran ini semakin mengaburkan batas antara fungsi kementerian dan badan investasi negara.

Isu mengenai investasi Danantara juga menjadi pertanyaan besar. Investasi yang dijalankan Danantara selama tujuh bulan terakhir, melalui suntikan dana ke perusahaan milik negara dan swasta, diduga bermasalah. Kekhawatiran muncul bahwa kegagalan investasi Danantara berpotensi memicu goncangan serius pada perekonomian dan anggaran negara, mengingat skala dana yang dikelola.

Di tengah berbagai kritik di dalam negeri, CEO Danantara, Rosan Roeslani, sempat membuka peluang kerja sama global di Amerika Serikat. Inisiatif ini diawali melalui kemitraan dengan Gates Foundation, di mana Danantara Trust Fund, sebuah badan filantropi Danantara, akan berkolaborasi dalam program pemberdayaan di bidang pendidikan, kesehatan, dan sanitasi air.


Apakah perubahan UU BUMN demi Danantara?

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR, mengklaim bahwa revisi UU BUMN dilakukan untuk menjawab kegelisahan masyarakat. Ia menjelaskan, terdapat sejumlah penyesuaian krusial yang memang memerlukan pembaruan dalam UU BUMN.

Melalui Prasetyo, Presiden Prabowo telah mengirimkan Surat Presiden kepada DPR agar pembahasan revisi UU BUMN segera digulirkan. Salah satu poin yang digarisbawahi dalam usulan revisi tersebut adalah terkait status Kementerian BUMN yang akan diturunkan menjadi Badan Penyelenggara BUMN, sebuah perubahan struktural yang signifikan.

Menurut Prasetyo, perubahan ini sangat berkaitan dengan fungsi operasional pengelolaan BUMN yang kini mayoritas sudah dilaksanakan oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Ini menunjukkan bahwa peran Danantara semakin sentral dalam tata kelola perusahaan negara.

“Presiden, selaku pemegang kekuasaan keuangan negara, menghendaki adanya perubahan kebijakan perihal kementerian atau lembaga pemerintah yang berwenang atas pengelolaan badan usaha milik negara, termasuk pemegang saham Seri A Dwi Warna,” tegas Prasetyo.

Ia melanjutkan, “Maka perubahan tersebut haruslah diwujudkan dalam bentuk undang-undang.” Pernyataan ini menegaskan bahwa transformasi kelembagaan memerlukan landasan hukum yang kuat.

“Untuk mengoptimalkan pengelolaan BUMN dibutuhkan transformasi kelembagaan guna memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian nasional. Oleh karena itu, kebijakan tersebut hanya dapat dilakukan dengan melakukan perubahan UU BUMN,” tambah Prasetyo, menjelaskan visi di balik revisi tersebut.

Prasetyo juga menyebutkan bahwa dengan perubahan ini nantinya akan diatur persoalan tantiem, yang sebelumnya diatur dalam surat BPI Danantara bernomor S-063/DI-BP/VII/2025, tertanggal 30 Juli 2025. Selain itu, regulasi mengenai rangkap jabatan pejabat negara sebagai komisaris BUMN juga akan diatur secara lebih jelas dalam UU BUMN versi terbaru. Para pejabat negara ini juga akan dikembalikan sebagai penyelenggara negara, sehingga dapat ditindak jika terindikasi melakukan korupsi, sebuah langkah yang diharapkan meningkatkan akuntabilitas.

Di samping itu, pemerintah turut mengusulkan perampingan struktur perusahaan BUMN. “Kalau sekarang ada lebih dari 1000-an, kita ingin kurang lebih mungkin di 400 atau 200 BUMN,” papar Prasetyo, mengindikasikan upaya efisiensi dan konsolidasi aset negara.

Revisi UU BUMN ditargetkan selesai pada masa penutupan sidang pertama 2025-2026. Mengacu pada jadwal, anggota DPR akan memasuki masa reses pada 3 Oktober-3 November 2025, dan masa sidang kedua dimulai 4 November 2025. Sementara itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Danantara sendiri telah masuk dalam Program Legislasi Nasional.

‘Penyelamat atau bikin ambruk kas negara?’

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 baru saja disahkan dengan defisit mencapai Rp689,1 triliun. Meskipun angka ini masih dalam margin aman, indikator defisit tersebut perlu diantisipasi secara cermat, demikian menurut ekonom dari Universitas Indonesia, Telisa Falianty.

Telisa menjelaskan bahwa yang kini diperlukan adalah peningkatan penerimaan negara, bukan hanya fokus pada belanja, dalam postur APBN tahun depan. Salah satu potensi penerimaan tersebut bisa berasal dari Danantara, yang jika dikelola dengan tepat, hasilnya sudah dapat sedikit dipanen pada tahun 2026. Harapan ini selaras dengan visi awal pembentukan Danantara.

Visi ini pula yang sempat diutarakan Presiden Prabowo ketika membentuk Danantara yang kemudian mengelola hampir seluruh perusahaan BUMN. Prabowo menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh Danantara dapat dimanfaatkan untuk membiayai program pembangunan. Dengan kata lain, ruang fiskal negara bisa mengalami relaksasi, bahkan seolah menyelamatkan kas negara dari tekanan.

Akan tetapi, sepak terjang Danantara sepanjang hampir tujuh bulan ini justru menimbulkan keraguan besar. Asri Widayati dari Transparency International Indonesia secara khusus mempertanyakan beberapa investasi awal yang telah dilakukan Danantara.

“Mengapa harus Garuda Indonesia? Berkali-kali nyaris kolaps, disuntik lagi dan lagi tapi situasinya tetap begitu. Ini kan menjadi pertanyaan besar,” ucapnya, menyoroti rekam jejak maskapai pelat merah tersebut.

Beberapa bulan lalu, Danantara menyuntikkan dana sebesar Rp6,65 triliun, atau setara 405 juta dollar AS, kepada PT Garuda Indonesia. Dari nominal tersebut, sekitar Rp4,8 triliun dialokasikan untuk anak perusahaan, Citilink, dan Rp1,8 triliun sisanya untuk Garuda Indonesia. Suntikan dana ini dimaksudkan untuk membantu perusahaan penerbangan ini mengatasi kerugian yang terus melanda. Pada semester I 2025 saja, Garuda Indonesia mencatat kerugian Rp2,3 triliun.

Sebelumnya, Garuda Indonesia juga pernah menerima suntikan dana segar dari negara pada tahun 2022 berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) senilai Rp7,5 triliun. Selain itu, ada pula fasilitas pembiayaan berbasis bagi hasil sebesar Rp725 miliar dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Namun, kerugian terus berulang, yang kemungkinan besar berkaitan dengan beban utang yang sangat besar dari perusahaan ini, sehingga efektivitas suntikan dana dipertanyakan.

Investasi lain yang menjadi sorotan adalah suntikan dana mencapai Rp13 triliun kepada PT Chandra Asri, yang berkaitan dengan industri hilir. Chandra Asri adalah perusahaan swasta dengan Prajogo Pangestu, salah satu orang terkaya yang pernah tersangkut kasus korupsi besar, sebagai pemegang saham terbesar. Investasi ini memicu kekhawatiran tentang potensi konflik kepentingan dan risiko.

“Ini jelas menyuntikkan dana ke investasi yang berisiko tinggi. Jika benar-benar merujuk pada Temasek, semangat investasinya sangatlah berbeda. Temasek, misalnya, tidak akan berinvestasi pada perusahaan yang tidak patuh, mencurigakan, atau memiliki risiko tinggi,” kata Asri, membandingkan prinsip investasi.

“Berbeda sekali dengan Danantara di awal-awal pembentukannya. Ini sangat membahayakan,” tambahnya, memperingatkan potensi dampak negatif.

Berkaca dari pengalaman badan pengelola investasi di sejumlah negara, pengelolaan yang tidak tepat dan penempatan orang-orang yang penuh konflik kepentingan berpotensi besar membuka celah korupsi. Asri mencontohkan kasus 1MDB di Malaysia, sebuah lembaga yang juga berada di bawah kendali kepala negaranya.

“1MDB justru menjadi salah satu kasus pencucian uang terbesar di dunia, dan lembaga itu juga mengelola dana investasi,” ucap Asri, menggambarkan risiko yang nyata.

“Saya jadi ingat saat berjumpa dengan KPK-nya Malaysia, mereka bilang kalau negara korupsinya masih tinggi, lebih baik jangan buat Sovereign Wealth Fund,” kata Asri, menggarisbawahi pentingnya integritas sebelum membentuk lembaga investasi negara.

Dampak terburuknya, menurut Asri, akan sangat merugikan publik. Banyak aset yang akan dikelola oleh badan investasi ini bersifat liquid atau mudah dicairkan. “Kalau liquid kan ini berbahaya. Seperti Bank Mandiri, BNI, BTN, dan lain sebagainya yang mayoritas asetnya dana publik, karena aset infrastrukturnya tidak sebesar di sektor migas seperti Pertamina. Kalau gagal, maka risikonya ke publik,” jelas Asri, menekankan bahaya kegagalan investasi terhadap masyarakat luas.

Praktik yang disebut terburu-buru hingga revisi UU BUMN yang sebenarnya baru diperbarui, memperlihatkan bahwa program Danantara dijalankan tanpa persiapan matang, kata Asri. “Ini kan targetnya jangka panjang, tidak boleh tergesa-gesa karena akan mengarah dampaknya ke publik yang lebih luas. Bahkan APBN bisa ambruk dan perekonomian goyang,” ujar Asri, memberikan peringatan keras.

Apa rekomendasi untuk Danantara?

Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi dari INDEF, Ariyo Irhamna, memberikan lima rekomendasi krusial terkait tata kelola Danantara:

  • Kriteria penunjukan badan pelaksana dan dewan pengawas harus jelas dan transparan, dengan larangan tegas bagi pejabat politik aktif untuk menghindari potensi konflik kepentingan.
  • Intervensi pemerintah harus diminimalisir agar Danantara dapat beroperasi secara independen dan profesional, mengikuti prinsip-prinsip tata kelola investasi yang baik.
  • Transparansi dan akuntabilitas harus diperkuat secara menyeluruh, termasuk melalui audit independen dan pelaporan berkala yang komprehensif kepada publik.
  • Dewan Etik Independen wajib dibentuk untuk memantau secara ketat potensi pelanggaran integritas dan etika dalam operasional Danantara.
  • Sinkronisasi kebijakan dengan regulasi pasar modal harus dilakukan secara konsisten, agar tata kelola SWF tidak bertentangan dengan peraturan yang ada dan tetap melindungi kepentingan investor.

Ariyo juga menegaskan bahwa seharusnya tidak ada pimpinan atau pejabat Danantara yang merangkap jabatan, baik di pemerintahan maupun di badan usaha lainnya. Persoalannya, revisi UU BUMN yang diusulkan hanya menyasar rangkap jabatan pada perusahaan BUMN dengan jabatan pemerintahan, namun belum menyentuh praktik rangkap jabatan di internal Danantara.

Di sisi lain, afiliasi pejabat lembaga itu dengan partai politik juga perlu dibatasi secara ketat. Transparency International Indonesia menemukan banyak politisi Partai Gerindra yang menduduki posisi komisaris BUMN, sebuah fenomena yang menimbulkan kekhawatiran. “BUMN atau Danantara kemudian jadi seperti tempat bagi-bagi jatah,” ujar Asri Widayati, mengkritisi praktik tersebut.

Terkait tata kelola, Asisten Profesor Perbankan dan Keuangan di University of Southampton, Wahyu Jatmiko, memberikan contoh praktik sukses di Norwegia. Di negara tersebut, badan investasi negara didirikan untuk mengelola surplus minyak bumi, dengan tujuan mencegah pengeluaran berlebihan dalam jangka pendek sekaligus mengalokasikan dana untuk generasi mendatang. Konsep ini menekankan keberlanjutan.

Temasek di Singapura juga menganut prinsip keadilan antar-generasi, memastikan bahwa keuntungan investasi tetap memberikan manfaat jangka panjang bagi masa depan negara. Kedua badan investasi negara ini dikenal menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, menjadi tolok ukur bagi Danantara.

Dari sisi strategi investasi, berbagai badan pengelola investasi di banyak negara memiliki sumber dana dan pendekatan yang bervariasi, sangat tergantung pada karakteristik ekonomi masing-masing negara. Ada yang berbasis komoditas, seperti Norwegia dan Qatar yang memanfaatkan surplus minyak, serta yang berbasis non-komoditas, seperti Tiongkok dan Singapura yang mengandalkan surplus devisa dari ekspor.

Selain itu, badan serupa di banyak negara memiliki tujuan investasi yang beragam, mulai dari stabilisasi ekonomi, investasi jangka panjang, hingga pengelolaan dana pensiun. Badan pengelola investasi yang dinilai sukses, seperti Temasek, memiliki fokus investasi yang jelas dalam sektor teknologi, digitalisasi, dan kesehatan sebagai bagian dari strategi jangka panjang. Di sisi lain, beberapa negara seperti Norwegia dan Qatar mengadopsi standar investasi berkelanjutan dengan secara tegas menghindari sektor yang merusak lingkungan.

Apa itu BPI Danantara?

Danantara, yang merupakan akronim dari Daya Anagata Nusantara, adalah sebuah badan pengelola investasi strategis. Lembaga yang diresmikan pada 24 Februari 2025 ini memiliki mandat untuk mengonsolidasikan aset-aset pemerintah melalui investasi strategis jangka panjang. Harapannya, keuntungan atau dividen yang diperoleh kelak dapat digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan nasional.

Adapun fokus utama investasi Danantara diarahkan pada sektor-sektor strategis yang bertujuan mendorong percepatan ekonomi nasional, antara lain hilirisasi industri, infrastruktur dan energi, ketahanan pangan dan pertanian, serta ekonomi digital. Sektor-sektor ini dipilih karena dianggap memiliki dampak multiplier yang besar terhadap perekonomian.

Konsep kerja Danantara sering disebut-sebut merujuk pada Temasek Holdings yang berbasis di Singapura. Temasek, yang telah berdiri sejak 1974, dikenal piawai mengelola portofolio global yang jumlahnya mencapai 53%. Danantara, di awal pembentukannya, lebih menitikberatkan pada pengelolaan BUMN sebagai fokus utama.

Ketika diresmikan, nilai awal dana kelola Danantara mencapai US$900 miliar, setara dengan Rp14.648 triliun. Jumlah fantastis ini bahkan melebihi Temasek yang disebut sebagai contoh, menempatkan Danantara sebagai badan pengelola investasi keempat terbesar di dunia, jika mengacu pada dana yang dikelola.

Sebagian besar dana kelola ini berasal dari efisiensi anggaran pemerintah yang mencapai Rp300 triliun. Menurut Presiden Prabowo saat peluncuran Danantara, dana tersebut akan diinvestasikan pada lebih dari 20 proyek strategis nasional yang berkaitan erat dengan industrialisasi dan hilirisasi.

Tiga pimpinan utama yang mengatur laju dana kelola Danantara adalah Rosan Roeslani sebagai Chief Executive Officer, Pandu Sjahrir sebagai Chief Investment Officer, dan Donny Oskaria sebagai Chief Operating Officer. Mereka bertiga memegang kendali atas arah investasi lembaga ini.

Usai diresmikan, Danantara diketahui mengelola tujuh BUMN sebagai langkah awal. Secara bertahap, semua BUMN direncanakan akan berada di bawah naungan Danantara. Pada Town Hall Meeting Danantara April 2025, CEO Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa ada 844 perusahaan BUMN, termasuk anak dan cucu perusahaan, yang resmi dikelola oleh Danantara.

Namun, informasi pada Agustus lalu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 1.046 BUMN, termasuk anak dan cucu perusahaan. Berdasarkan jumlah ini, sebanyak 97% dividen yang disetorkan sejauh ini hanya berasal dari delapan perusahaan BUMN terbesar, seperti BRI, Bank Mandiri, MIND ID, Telkom, Pertamina, BNI, PLN, dan Pelindo. Jumlah dividen ini diperhitungkan lebih dari Rp100 triliun, mengindikasikan konsentrasi kontribusi pada beberapa entitas kunci.


Sejumlah kontroversi Danantara

Landasan hukum

Pembentukan Danantara sejak awal memicu polemik sengit karena landasan hukumnya yang masih samar. Namun, dalam waktu singkat, serangkaian aturan pendukung berhasil dilahirkan. Revisi UU BUMN yang baru berusia singkat pun berlangsung dengan sangat cepat dan kilat.

Semula, regulasi ini sudah pernah diajukan untuk diubah pada tahun 2016 dan bahkan masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Namun, pembahasannya sempat terhenti karena rancangan revisi belum diserahkan kepada pemerintah untuk penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).

Pada November 2024, sebuah Surat Presiden bernomor E-64/pres/11/2024 terbit, yang berkaitan dengan pembahasan RUU BUMN. Salah satu isinya menegaskan bahwa RUU BUMN ini akan menjadi landasan hukum utama bagi pembentukan BPI Danantara. Pembahasan kemudian bergulir dengan sangat cepat, dan revisi tersebut akhirnya disahkan pada 4 Februari 2025, sebuah proses yang hanya memakan waktu sekitar empat bulan.

Selain UU BUMN, aturan turunan lainnya juga segera menyusul, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara. Regulasi kedua adalah Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2025 tentang Pengangkatan Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana BPI Danantara. Kedua regulasi ini baru disahkan pada 24 Februari 2025, bertepatan dengan momen peluncuran Danantara, menunjukkan betapa cepatnya seluruh kerangka hukum disusun.


Dana besar dari efisiensi anggaran

Setelah dilantik menjadi presiden, Prabowo langsung menerapkan kebijakan efisiensi anggaran yang menyita perhatian publik. Target efisiensi yang dicanangkan mencapai sekitar Rp750 triliun, sebuah angka yang sangat besar. Namun, efisiensi anggaran ini bukan digunakan untuk menghemat belanja negara, melainkan untuk menyokong program-program prioritas pemerintah, khususnya program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Belakangan diketahui, alokasi untuk MBG hanya sekitar Rp24 triliun, sementara sisanya dikelola oleh Danantara. Putaran pertama dana berasal dari penghematan pos Bagian Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp300 triliun, pos yang secara langsung dikelola oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya, ada dua putaran lagi yang merupakan hasil pemangkasan anggaran di seluruh kementerian/lembaga sesuai Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, ditambah penerimaan dari dividen BUMN.

Menurut peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Riandy Laksono, kebijakan efisiensi anggaran yang kemudian dialihkan salah satunya untuk Danantara ini merupakan sebuah pertaruhan dengan risiko yang sangat tinggi. INDEF juga menemukan bahwa pengalihan pengelolaan BUMN ke Danantara berpotensi menciptakan risiko pembentukan institusi yang “terlalu besar untuk gagal” namun “terlalu kompleks untuk diawasi secara efektif,” mengkhawatirkan implikasi jangka panjangnya.

Berbeda dengan badan pengelola investasi seperti Temasek yang mengalokasikan lebih dari 60% investasinya ke luar negeri, Danantara tampaknya akan lebih berfokus pada proyek strategis domestik yang bersinggungan langsung dengan agenda prioritas Prabowo, antara lain sektor energi dan pangan. Konsentrasi investasi domestik ini, meskipun strategis, juga dapat meningkatkan risiko.

Potensi korupsi dan isu transparansi

Asri Widayati dari Transparency International Indonesia menambahkan, penggunaan dana besar yang bersumber dari efisiensi anggaran untuk Danantara sangat rentan terhadap potensi korupsi dan kerugian negara. Lembaga pengelola investasi yang dianggap berhasil seringkali memutar surplus dari pengelolaan sumber daya alam, seperti Government Pension Fund Global di Norwegia, yang memiliki landasan dana yang jelas dan tata kelola yang kuat.

Danantara mengambil anggaran yang seharusnya digunakan untuk menjalankan program pembangunan, yang berarti ada pengalihan fungsi dana. Di sisi lain, sejumlah aturan yang diubah menjadi UU No. 1 Tahun 2025 justru makin memperkuat peluang terjadinya korupsi dan cenderung menutup transparansi, sehingga pengawasan publik menjadi semakin sulit.

Celah penyelewengan

Kewenangan yang dimiliki Danantara dianggap banyak pakar tergolong super luas. Danantara tidak hanya bertugas mengelola dividen BUMN, tetapi juga memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan penambahan atau pengurangan penyertaan modal negara ke BUMN, bahkan merestui penghapusan buku atau hapus tagih atas aset BUMN. Kewenangan yang begitu besar ini menimbulkan kekhawatiran serius tentang potensi penyalahgunaan.

Celios pernah mengadakan survei dan merilis hasilnya pada Agustus 2025. Survei tersebut menemukan bahwa 80,7% responden menilai Danantara rentan terhadap celah penyelewengan, terutama karena minimnya pengawasan dan partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembentukannya. Ini mengindikasikan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi dari masyarakat.

Komite Pengawas Danantara, yang seharusnya menjadi pilar pengawasan, bersifat opsional dan dapat dibubarkan kapan saja oleh Presiden. Selain itu, sejumlah peneliti menilai terdapat potensi risiko sistemik karena aset bank milik negara yang dikelola tanpa peraturan mitigasi risiko yang tepat bisa mengancam stabilitas keuangan nasional. Ketiadaan mitigasi risiko yang memadai dapat menimbulkan konsekuensi fatal bagi perekonomian negara.

Daftar Isi

Ringkasan

Pemerintah merevisi UU BUMN, menghapus Kementerian BUMN dan memperkuat peran Danantara, badan pengelola investasi baru. Revisi ini dinilai tergesa-gesa, menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan potensi konflik kepentingan karena beberapa petinggi Danantara merangkap jabatan. Investasi Danantara, yang mengelola dana ratusan triliun rupiah dari efisiensi anggaran, juga menuai kontroversi karena beberapa investasi dinilai berisiko tinggi.

Kritik muncul terkait kurangnya persiapan matang dan transparansi dalam pengelolaan Danantara. Beberapa investasi, seperti ke Garuda Indonesia dan Chandra Asri, dipertanyakan efektivitas dan potensinya menimbulkan kerugian negara. Rekomendasi perbaikan meliputi transparansi, independensi, dan penguatan pengawasan untuk mencegah potensi korupsi dan memastikan pengelolaan investasi yang bertanggung jawab.

Leave a Comment