Tiga terdakwa dalam kasus pengancaman dan pemerasan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang telah menerima vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa. Putusan ini menjadi tonggak sejarah sebagai kasus pemerasan pertama yang berhasil dibuktikan di dunia pendidikan kedokteran spesialis di Indonesia.
Pada sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah, Rabu (01/10), Zara Yupita Azra, mahasiswa senior PPDS Anestesi Undip, dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara. Hakim Rightmen Situmorang menyatakan terdakwa terbukti sah melakukan pemerasan secara bersama-sama, “Menjatuhkan hukuman penjara sembilan bulan, menetapkan terdakwa agar tetap ditahan,” katanya.
Terdakwa kedua, Sri Maryani, staf administrasi PPDS Anestesi Undip, juga divonis sembilan bulan penjara. Hakim Djohan Arifin menegaskan Maryani terbukti melakukan tindak pidana pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut, “Menjatuhkan pidana oleh karena perbuatan terdakwa dengan pidana penjara selama sembilan bulan,” ucap Djohan.
Sementara itu, Taufik Eko Nugroho, mantan Ketua PPDS Anestesi Undip, menerima vonis dua tahun penjara, menjadikannya terdakwa dengan hukuman terberat dalam kasus ini.
Apa peran tiga terdakwa?
Pada awal September 2023, jaksa penuntut umum telah membacakan tuntutan terhadap tiga terdakwa kasus pengancaman dan pemerasan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro. Saat itu, Taufik Eko Nugroho dituntut tiga tahun penjara, sedangkan Sri Maryani dan Zara Yupita Azzra masing-masing dituntut pidana penjara satu tahun enam bulan. Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 368 Ayat 1 dan 2 KUHP tentang tindak pidana pemerasan.
Jaksa Efrita menjelaskan bahwa Zara terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Ia memaksa seseorang, termasuk mendiang Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS Anestesi Undip, untuk memberikan suatu barang atau uang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Zara disebut memeras para juniornya dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan para senior, salah satunya untuk membeli “makan prolong” atau makanan bagi residen dan dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) yang bertugas di rumah sakit hingga di atas pukul 18.00 WIB.
Di sisi lain, Sri Maryani dan Taufik juga terlibat dalam pemerasan mahasiswa PPDS Anestesi Undip dengan modus mengumpulkan uang iuran tidak resmi. Dana ini diklaim sebagai biaya operasional pendidikan dan ditarik dari para mahasiswa, termasuk mendiang Aulia.
Fakta persidangan mengungkap bahwa Taufik, sebagai mantan Ketua PPDS Anestesi Undip, melakukan praktik pemerasan ini selama kurun waktu 2018 hingga 2023. Pungutan yang disebut sebagai biaya operasional pendidikan tersebut nilainya mencapai Rp2,4 miliar, di mana setiap mahasiswa program PPDS diwajibkan membayar Rp80 juta yang diklaim untuk ujian serta persiapan akademik. Dari dana yang dihimpun itu, Taufik disebut menerima Rp177 juta untuk keperluan pribadinya, sementara Maryani mendapat honor Rp400.000 per bulan, dengan total mencapai Rp24 juta.
Keluarga mendiang Aulia Risma Lestari, yang turut mengikuti persidangan, mengungkapkan rasa kurang puas atas tuntutan jaksa. Menurut mereka, tuntutan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan untuk Zara dan Maryani, serta 3 tahun untuk Taufik, dianggap terlalu rendah mengingat besarnya kerugian dan dampak yang ditimbulkan.
Bagaimana kasus ini bisa terungkap?
Kasus dugaan perundungan dan pemerasan di lingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro ini mencuat setelah kematian tragis dokter PPDS Anestesi, Aulia Risma Lestari. Ia ditemukan tak bernyawa di kamar kosnya di kawasan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur, pada Senin, 12 Agustus 2023, sekitar pukul 23.00 WIB.
Awalnya, seorang pria yang mengaku teman dekat korban tidak dapat menghubungi Aulia sejak pagi. Panggilan dari rekan sejawat dan atasannya juga tak kunjung direspons sepanjang hari. Khawatir, teman dekat korban memutuskan untuk mendatangi tempat kos Aulia. Setibanya di lokasi, pintu kamar kos ditemukan tertutup rapat. Setelah mengetuk pintu dua kali tanpa ada jawaban, tukang kunci dipanggil. Aulia ditemukan sudah meninggal dunia, dengan kondisi wajah kebiruan dan posisi miring seperti orang sedang tidur. Di tempat kejadian perkara, polisi menemukan buku harian korban yang menceritakan masa sulit yang dialaminya selama kuliah kedokteran dan menyinggung urusan dengan para seniornya.
Keluarga dokter Aulia laporkan dugaan pemerasan ke polisi
Pada Agustus 2023, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menurunkan tim Inspektorat Jenderal untuk melakukan investigasi mendalam mengenai pemicu dugaan bunuh diri korban, apakah terkait dengan perundungan atau tidak. Selama proses investigasi berlangsung, Kemenkes menghentikan sementara kegiatan PPDS Anestesi Undip di RS Kariadi. Langkah ini diambil untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi para dokter junior agar dapat “berbicara apa adanya tanpa ada intimidasi dari senior.”
Hasil investigasi Kemenkes berhasil mengungkap adanya dugaan permintaan iuran tak resmi dalam PPDS Anestesi Undip di RSUP Dr. Kariadi, Semarang, dengan nominal yang berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan.
Prof. Zainal Muttaqin, Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip kala itu, tidak menyangkal adanya iuran atau pungutan tak resmi ini. Namun, ia mengeklaim bahwa iuran yang nilainya mencapai puluhan juta tersebut dipergunakan untuk kebutuhan kas mahasiswa PPDS masing-masing, khususnya di PPDS Anestesi, uang itu dipakai untuk membeli makanan. Hal ini dikarenakan dokter residen memiliki jadwal yang sangat padat dan tidak semua tenaga kesehatan anestesi dapat beristirahat di waktu yang sama.
Dalam kasus dokter Aulia, mendiang disebutnya sebagai pengelola atau penanggung jawab angkatan yang bertugas mengumpulkan uang sebesar Rp30 juta per bulan dari teman-teman seangkatannya.
Pada September 2023, keluarga mendiang dokter Aulia secara resmi melaporkan dugaan perundungan atau bullying ke Polda Jawa Tengah. Kuasa hukum keluarga, Misyal Achmad, menyatakan bahwa laporan yang mereka buat terkait dengan dugaan pengancaman, intimidasi, pemerasan, dan beberapa hal lain yang menimpa korban.
Untuk menguatkan laporan tersebut, Misyal Achmad telah menyerahkan semua bukti yang diperlukan, termasuk di antaranya rekaman suara dokter Aulia Risma dan pesan singkat WhatsApp yang memuat adanya indikasi perundungan. Ia berharap laporan ini menjadi pintu masuk krusial untuk perbaikan sistem pendidikan di dunia kedokteran Indonesia. Ia juga menyiratkan kemungkinan adanya korban lain yang belum memiliki keberanian untuk melakukan aduan serupa.
- Dokter PPDS Undip diduga bunuh diri karena perundungan dan beban kerja yang berat
- Tiga tersangka kasus dugaan pemerasan mahasiswa PPDS Undip ditahan – ‘Itu bullying finansial’
- ‘Saya trauma ditangani dokter laki-laki’ – Kasus dugaan pemerkosaan oleh dokter PPDS anestesi picu ketidakpercayaan terhadap tenaga medis
- Kesaksian calon dokter spesialis yang sempat berusaha bunuh diri – ‘Perundungan dijustifikasi atas nama pendidikan mental’
- Kesaksian korban dugaan bullying di pendidikan dokter spesialis: Mulai ‘jam kerja panjang’, sediakan ‘tiket pesawat’, hingga ‘menjadi babu’ para senior
- Dokter di Garut jadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual, korban diperkirakan lebih dari satu orang – ‘Saya merasa risih, USG berlangsung lama’