Taliban pulihkan layanan internet di Afghanistan – ‘Kami buta tanpa internet’

Photo of author

By AdminTekno

Warga Afghanistan turun ke jalan untuk merayakan pemulihan layanan internet dan telekomunikasi setelah sempat diputus oleh pemerintahan Taliban.

Kabar gembira ini menyelimuti Afghanistan setelah periode sulit tanpa konektivitas. Wartawan lokal melaporkan bahwa komunikasi kini telah kembali normal, sebuah fakta yang turut dikonfirmasi oleh pemantau internet Netblocks dengan data jaringan yang menunjukkan “pemulihan sebagian” konektivitas. Sumber terdekat pemerintah juga mengonfirmasi kepada BBC Afghan bahwa akses internet dipulihkan atas perintah langsung dari perdana menteri Taliban.

Sebelumnya, pemadaman layanan internet ini telah menyebabkan kekacauan luas, mengganggu aktivitas bisnis, penerbangan, dan membatasi akses ke layanan darurat. Kekhawatiran juga memuncak terkait semakin terisolasinya perempuan dan anak perempuan, yang hak-haknya telah terkikis secara signifikan sejak Taliban kembali berkuasa pada tahun 2021.

‘Kami hanya duduk di rumah, tidak melakukan apa-apa’

Dalam beberapa pekan terakhir, Taliban telah memutus jaringan serat optik di sejumlah provinsi dengan alasan “mencegah kemaksiatan”. Namun, bagi sebagian warga, tindakan ini justru menimbulkan ketakutan akan langkah awal menuju pemadaman total. Ketakutan tersebut menjadi kenyataan pada Selasa (30/10) lalu, ketika Afghanistan mengalami “pemadaman internet total” selama 48 jam yang melumpuhkan berbagai layanan penting, sebagaimana dilaporkan oleh lembaga pemantau internet Netblocks.

Dampak pemadaman ini terasa hingga ke media internasional yang mengaku kehilangan kontak dengan kantor-kantor mereka di Kabul, ibu kota Afghanistan. Internet seluler dan televisi satelit pun terganggu di seluruh negeri, bahkan penerbangan dari bandara Kabul ikut terdampak parah, menurut laporan media-media lokal. Sebelum pemutusan total, BBC sempat mewawancarai beberapa warga di berbagai provinsi yang sudah merasakan dampaknya.

Shakiba, seorang perempuan dari Provinsi Tahkar yang meminta namanya dirahasiakan, menceritakan keputusasaannya. “Sebelumnya, saya belajar kebidanan, tapi sayangnya itu dilarang untuk perempuan. Satu-satunya harapan tersisa tinggal internet dan belajar secara daring,” ujarnya. “Kami ingin belajar, ingin berpendidikan, dan ingin bisa membantu orang. Namun, begitu mendengar kabar bahwa internet diputus, dunia seolah tiba-tiba gelap.”

Senada dengan Shakiba, Fahima Noori, seorang pelajar dari timur Afghanistan, menggambarkan kondisinya “tak tertolong”. Ia dan kedua adiknya mengandalkan kuliah secara online untuk tetap mendapatkan informasi terbaru mengenai berita dan teknologi. “Tapi kami kini tak bisa mencari informasi atau belajar kemampuan baru,” keluhnya. “Kami sempat bermimpi menuntaskan pendidikan dan membantu ayah secara finansial, tapi sekarang… kami hanya duduk di rumah, tidak melakukan apa-apa.”

Mimpi-mimpi besar Fahima Noori, yang sempat belajar hukum, menyelesaikan program kebidanan, dan bahkan bekerja di klinik kesehatan mental, musnah setelah Taliban kembali berkuasa pada 2021. Kelompok fundamentalis Islam itu telah melarang anak perempuan di atas 12 tahun bersekolah, mempersempit kesempatan kerja bagi perempuan, dan belakangan menghapus buku karya perempuan dari universitas. Internet menjadi satu-satunya harapan Fahima untuk tetap terhubung dengan dunia luar dan melanjutkan pendidikan.

“Saya baru saja mendaftarkan diri ke universitas online. Harapannya, saya bisa menyelesaikan studi dan mencari pekerjaan daring,” kata Fahima. Namun, harapan itu hancur total pada Selasa (30/10) lalu, tatkala Taliban resmi memutus akses internet di seluruh negeri tanpa batas waktu. “Harapan terakhir kami adalah belajar online, tapi sekarang itu pun sudah dihancurkan,” pungkas Fahima. Untuk alasan keamanan, nama Fahima dan narasumber lain dalam artikel ini disamarkan.

Larangan demi larangan

Sejak kembali berkuasa pada 2021, Taliban secara konsisten memberlakukan beragam aturan ketat yang didasarkan pada tafsir mereka atas hukum syariah. Pada awal bulan ini, mereka bahkan melarang buku-buku karya perempuan dari sistem pendidikan universitas, sebagai bagian dari aturan baru yang juga melarang pengajaran tentang hak asasi manusia dan pelecehan seksual. Sekitar 140 buku karya perempuan Afghanistan, termasuk Safety in the Chemical Laboratory, dinilai “bermasalah” karena dianggap “bertentangan dengan syariah dan kebijakan Taliban”. Pemerintah Taliban mengklaim bahwa mereka menghormati hak-hak perempuan, tetapi hanya yang sejalan dengan tafsir mereka atas budaya Afghanistan dan hukum Islam.

Tidak hanya siswa perempuan, seorang guru bahasa Inggris yang diidentifikasi sebagai Zabi pun kehilangan mata pencarian akibat pemutusan internet oleh Taliban. Zabi, yang dulunya seorang jurnalis di Pakistan namun tak menemukan peluang serupa di Afghanistan, kemudian mendirikan pusat kursus bahasa Inggris. Ketika institusi pendidikan dibatasi oleh pemerintahan Taliban, ia beralih mengajar secara online. “Satu kelas bisa berisi 70–80 orang, laki-laki dan perempuan. Mereka semua sedang persiapan IELTS. Semua bergantung pada internet, mulai dari penelitian, latihan, ujian resmi, dan sebagainya,” jelas Zabi.

Zabi, yang menetap di timur Afghanistan, menambahkan bahwa tidak ada pusat IELTS di negara tersebut, sehingga satu-satunya cara adalah mengikuti kelas secara online. “Dua hari lalu, sekitar 45 murid saya sedang mengikuti ujian saat internet tiba-tiba mati. Mereka sudah menyiapkan diri berbulan-bulan, tapi kesempatan itu hilang begitu saja. Hancur hati saya melihatnya,” kata Zabi. Ia mengaku terus menerima telepon dari murid-muridnya yang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. “Bagi murid laki-laki, masih ada beberapa pusat kursus bahasa Inggris yang buka. Namun, bagi murid perempuan, ini adalah kesempatan terakhir mereka, tapi sekarang itu pun sudah hilang.”

Sebelum pemutusan total pada Senin (29/10), beberapa warga masih memiliki opsi menggunakan data seluler, kendati tergolong mahal bagi mayoritas warga dan koneksinya pun tidak stabil. Paket bulanan sebesar 100 gigabyte dapat dijual seharga 3.500 Afghani, atau sekitar Rp830.000. Sebagai perbandingan, WiFi dulu hanya berkisar 1.000 Afghani per bulan, biaya yang masih bisa ditanggung secara patungan oleh beberapa mahasiswa. Menurut laporan UNDP sebelumnya, pendapatan per kapita Afghanistan pada 2024 hanya sekitar Rp5,1 juta. Zabi bahkan mengatakan ia mungkin harus meninggalkan Afghanistan jika internet tidak kunjung dipulihkan, karena tak ada cara lain untuk mencari nafkah.

Hingga kini, Taliban belum memberikan alasan resmi atas pemadaman tersebut, hanya sempat menyebut akan menyediakan jalur alternatif untuk akses internet tanpa rincian lebih lanjut. Seorang pebisnis penukaran uang di provinsi Takhar, Anas, mengatakan bisnisnya menghadapi “masalah besar” sejak internet dimatikan karena sebagian besar pekerjaannya bergantung pada jaringan itu. “Usaha kami terdampak sekitar 90%,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa saudara yang juga mitra bisnisnya tidak bisa mengirim email ke klien.

Namun, kekhawatiran utamanya adalah nasib ketiga putrinya yang mengikuti kelas daring. “Malam sebelumnya kami dengar Taliban memutus internet di Mazar, dan putri sulung saya datang sambil menangis, mengatakan bahwa ia takut hal yang sama akan terjadi di sini,” ujar Anas. “Kesempatan terakhir mereka untuk belajar kini telah hilang. Melihat anak-anak saya tak berdaya… [itu adalah] hal yang paling berat bagi saya. Kini, hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi kepada saya dan mereka.”

Bandara turut lumpuh

Pemutusan internet juga melumpuhkan sektor transportasi. Bandara Internasional Kabul nyaris berhenti total, dengan salah seorang warga menyebut bandara “hampir kosong” karena tidak ada pesawat keluar-masuk. Situs pemantau penerbangan, Flightradar24, mencatat beberapa penerbangan masuk dan keluar Kabul telah dibatalkan, dan sisanya berstatus “unknown”. Seorang penumpang yang dijadwalkan terbang pada Selasa lalu mendapat kabar bahwa penerbangan mungkin baru akan dibuka paling cepat Kamis mendatang. Seorang warga Kabul menambahkan bahwa semua penerbangan sejak Senin malam telah dibatalkan, dan meskipun kehidupan di kota “terlihat normal”, komunikasi terputus total.

Melihat dampak yang meluas, Misi PBB di Afghanistan mendesak Taliban untuk segera mengembalikan akses internet dan telekomunikasi. “Pemutusan ini membuat Afghanistan nyaris terisolasi total dari dunia luar, dan berisiko menimbulkan dampak besar bagi rakyat Afghanistan, termasuk mengancam stabilitas ekonomi serta memperparah salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia,” demikian bunyi pernyataan itu.

‘Kami buta tanpa internet’

Dalam beberapa pekan terakhir, Pemerintah Taliban telah memutus jaringan internet serat optik di sejumlah provinsi secara bertahap. Awalnya pemutusan hanya terjadi di beberapa wilayah dan belum berdampak ke Kabul. Namun, pada Senin (29/10), penduduk Kabul mulai merasakan dampaknya ketika koneksi serat optik berhenti berfungsi menjelang akhir jam kerja, sekitar pukul 17.00 waktu setempat (12.30 GMT). Pada Selasa pagi, banyak warga di seluruh negeri terbangun dan mendapati layanan-layanan penting lumpuh total.

Najibullah, seorang pedagang berusia 42 tahun di Kabul, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa warga merasa seperti “buta tanpa telepon dan internet”. “Seluruh bisnis kami bergantung pada ponsel. Pengiriman pun pakai ponsel. Rasanya seperti hari libur, semua orang hanya di rumah. Pasar benar-benar beku,” ujarnya. Seorang warga Kabul lain yang tidak ingin disebutkan namanya menuturkan bahwa bank-bank di ibu kota memang masih buka, namun antreannya mengular karena banyak orang ingin menarik uang, meskipun hanya “sangat sedikit uang tunai” yang bisa dicairkan. Sementara itu, seorang penukar uang di provinsi Helmand, Afghanistan selatan, mengatakan semua bank di wilayahnya tutup sehingga ia sama sekali tidak bisa memproses pembayaran. Para pejabat diplomatik sebelumnya sudah memperingatkan BBC bahwa pemutusan internet ini berpotensi mengganggu sistem perbankan dan e-commerce di seluruh negeri.

Media internasional juga melaporkan kehilangan kontak dengan kantor-kantor mereka di Kabul. Internet seluler dan siaran televisi satelit di berbagai wilayah pun ikut terganggu parah. Tolo News, saluran berita swasta Afghanistan, mengimbau masyarakat mengikuti pembaruan lewat halaman media sosial mereka karena mereka juga memperkirakan siaran televisi dan radio akan mengalami gangguan serupa. Salah seorang jurnalis di Kabul mengatakan kepada BBC bahwa mereka bahkan tidak dapat menelepon atau menghubungi narasumber untuk wawancara, sehingga terpaksa mengirim kru kamera langsung ke rumah para narasumber. “Kami belum pernah mengalami hal seperti ini,” tambahnya.

Pemadaman total

Netblocks menggambarkan situasi ini sebagai “total internet blackout” yang dijalankan Taliban secara bertahap. Seorang pejabat Taliban di Balkh sebelumnya menyebut pemutusan internet serat optik sebagai langkah untuk “mencegah kejahatan”, tanpa menjelaskan detail lebih lanjut. Sampai saat ini, alasan resmi pemadaman nasional ini masih belum jelas.

Pemutusan internet ini merupakan pembatasan terbaru sejak Taliban kembali berkuasa. Dengan akses pendidikan formal yang tertutup, banyak perempuan menggantungkan harapan pada kelas online. Namun, jalan itu pun kini telah hilang. “Saat mendengar internet diputus, dunia terasa gelap,” pungkas seorang mahasiswi kepada BBC, merangkum keputusasaan yang melanda banyak warga Afghanistan.

  • Taliban melarang buku-buku karya perempuan di semua universitas Afghanistan
  • Ratusan ribu anak perempuan di Afghanistan dilarang bersekolah oleh Taliban
  • Kisah para remaja perempuan Afganistan yang jadi penenun karpet akibat dilarang bersekolah oleh Taliban
  • ‘Tiga putra saya mati kelaparan, saya harap malaikat membawa pulang mereka’ – Kesaksian ibu yang kehilangan tiga anaknya akibat malnutrisi di Afghanistan
  • Perempuan Afghanistan ‘dilarang mengikuti kursus kebidanan’ oleh Taliban
  • Taliban larang perempuan Afghanistan bersuara dan perlihatkan wajah di luar rumah lewat undang-undang baru
  • Gempa Afghanistan: ‘Sejumlah pria menolak menyentuh perempuan yang terluka atau meninggal’
  • Lima momen penting ketika hak-hak perempuan Afghanistan dihancurkan Taliban
  • Taliban rombak sistem hukum Afghanistan, larang perempuan terlibat dalam proses peradilan
  • Menyelami isi pikiran pemimpin Taliban setelah dua tahun berkuasa di Afghanistan
  • Pemerintah Taliban Afghanistan dituding lakukan ‘genosida budaya’ setelah membakar alat-alat musik
  • Ratusan perempuan Afghanistan kabur ke luar negeri demi melanjutkan pendidikan

Leave a Comment