KPK Jerat 21 Tersangka Kasus Dana Hibah Jatim: Eks Pimpinan DPRD-Swasta

Photo of author

By AdminTekno

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan sebanyak 21 individu sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk kelompok masyarakat (pokmas) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Timur periode 2019-2022. Pengumuman penting ini disampaikan oleh Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (2/10).

Menurut Asep, penetapan tersangka ini didasarkan pada kecukupan alat bukti yang terkumpul setelah serangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan intensif. Dari total 21 tersangka, empat di antaranya diidentifikasi sebagai penerima suap, sementara 17 sisanya diduga berperan sebagai pemberi suap.

Empat individu yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap adalah:

  • Kusnadi, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPRD Jatim

  • Anwar Sadad, selaku Wakil Ketua DPRD Jatim

  • Achmad Iskandar, juga sebagai Wakil Ketua DPRD Jatim

  • Bagus Wahyudiono, seorang staf dari Anggota DPRD Jatim Achmad Iskandar atau pihak swasta

Sementara itu, 17 tersangka pemberi suap meliputi berbagai pihak, baik anggota DPRD maupun pihak swasta, dari beberapa kabupaten di Jawa Timur:

  • Mahud, Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur 2019-2024

  • Fauzan Adima, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Sampang Periode 2019-2024

  • Jon Junaidi, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kabupaten Probolinggo Periode 2019-2024

  • Ahmad Heriyadi, pihak swasta dari Kabupaten Sampang

  • Ahmad Affandy, pihak swasta dari Kabupaten Sampang

  • Abdul Motollib, pihak swasta dari Kabupaten Sampang

  • Moch. Mahrus, pihak swasta di Kabupaten Probolinggo (sekarang Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2024-2029)

  • A. Royan, pihak swasta dari Tulungagung

  • Wawan Kristiawan, pihak swasta dari Tulungagung

  • Sukar, mantan Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung

  • Ra. Wahid Ruslan, pihak swasta dari Kabupaten Bangkalan

  • Mashudi, pihak swasta dari Kabupaten Bangkalan

  • M. Fathullah, pihak swasta dari Kabupaten Pasuruan

  • Achmad Yahya, pihak swasta dari Kabupaten Pasuruan

  • Ahmad Jailani, pihak swasta dari Kabupaten Sumenep

  • Hasanuddin, pihak swasta dari Kabupaten Gresik (sekarang Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2024-2029)

  • Jodi Pradana Putra, pihak swasta dari Kabupaten Blitar

Asep Guntur Rahayu juga menjelaskan bahwa kasus ini merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Desember 2022, yang sebelumnya menjerat Sahat Tua P. Simanjuntak, selaku Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2019-2024.

4 Orang Tersangka Ditahan


Pada hari yang sama, Kamis (2/10), KPK mengambil langkah tegas dengan melakukan penahanan terhadap empat orang tersangka. Keempat individu yang ditahan ini berasal dari pihak pemberi suap yang terlibat dalam kasus yang berkaitan dengan eks Ketua DPRD Jawa Timur, Kusnadi.

Para tersangka yang kini mendekam di tahanan KPK adalah:

  • Hasanuddin, pihak swasta dari Kabupaten Gresik (Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur periode 2024-2029)

  • Jodi Pradana Putra, pihak swasta dari Kabupaten Blitar

  • Sukar, mantan Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung

  • Wawan Kristiawan, pihak swasta dari Tulungagung

“Keempat tersangka tersebut akan menjalani penahanan selama 20 hari pertama, terhitung mulai tanggal 2 hingga 21 Oktober 2025, di Rutan Cabang KPK, Merah Putih,” terang Asep. Selain itu, lembaga antirasuah ini sebenarnya juga berencana menahan satu tersangka lain, yaitu A. Royan, pihak swasta dari Tulungagung. Namun, penahanannya ditunda karena permintaan penjadwalan ulang pemeriksaan akibat kondisi kesehatannya.

Konstruksi Perkara


Dalam membeberkan konstruksi perkara, Asep menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari dugaan adanya pertemuan antara pimpinan DPRD Jawa Timur dengan fraksi-fraksi untuk menentukan alokasi dana hibah pokok pikiran (pokir) bagi setiap anggota DPRD Jawa Timur, yang berlangsung antara tahun 2019 hingga 2022.

Kusnadi, yang kala itu menjabat sebagai Ketua DPRD Jawa Timur, diduga menerima jatah dana hibah pokir dengan total fantastis mencapai Rp 398,7 miliar selama empat tahun. Rincian penerimaan dana pokir tersebut adalah:

a. Rp 54,6 miliar pada tahun 2019

b. Rp 84,4 miliar pada tahun 2020

c. Rp 124,5 miliar pada tahun 2021

d. Rp 135,2 miliar pada tahun 2022

Lebih lanjut, dari jatah pokir yang diterima Kusnadi, sebagian didistribusikan kepada beberapa koordinator lapangan (korlap). Para korlap ini memiliki wilayah cakupan masing-masing dalam mengelola dana pokmas, yaitu:

a) Hasanuddin, sebagai korlap yang mengelola dana pokmas di enam daerah: Kabupaten Gresik, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Pacitan.

b) Jodi Pradana Putra, sebagai korlap yang mengondisikan dana pokmas di tiga daerah: Kabupaten Blitar, Kota Blitar, dan Kabupaten Tulungagung.

c) Sukar bersama-sama dengan Wawan Kristiawan dan Royan, bertindak sebagai korlap yang bertugas mengelola dana pokmas khusus di Kabupaten Tulungagung.

Setelah menerima distribusi dana pokir, masing-masing koordinator lapangan (korlap) kemudian diduga membuat proposal permohonan dana hibah secara mandiri. Mereka juga menentukan jenis pekerjaan, menyusun Rencana Anggaran Biaya (RAB), dan bahkan membuat Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sendiri, tanpa proses yang seharusnya. Proses ini mengindikasikan adanya rekayasa dalam pengajuan dan pelaporan penggunaan dana hibah.

Asep Guntur Rahayu memaparkan bahwa dari anggaran pokir tersebut, terjadi kesepakatan pembagian fee antara Kusnadi dan para korlap. Para korlap diduga mendapat jatah sekitar 5-10 persen dari total dana. Sementara itu, pengurus Pokmas serta admin yang terlibat dalam pembuatan proposal dan LPJ masing-masing memperoleh sekitar 2,5 persen. Adapun Kusnadi, selaku Ketua DPRD Jawa Timur, diduga menerima fee yang jauh lebih besar, berkisar antara 15-20 persen.

Akibat skema pembagian fee yang tidak sah ini, Asep mengungkapkan bahwa dana pokir yang benar-benar dialokasikan untuk program masyarakat hanya sekitar 55-70 persen dari anggaran awal. Ini berarti sebagian besar dana hibah tidak sampai kepada penerima yang semestinya.

Dana hibah yang telah disetujui kemudian dicairkan melalui rekening di Bank Jatim atas nama Pokmas atau lembaga yang mengajukan proposal. Namun, dari pencairan tersebut, seluruh dananya diambil oleh para korlap. Selanjutnya, para korlap membagi jatah kepada pengurus Pokmas serta admin pembuatan proposal dan LPJ. Adapun bagian untuk Kusnadi, diduga diberikan di awal atau dikenal sebagai sistem ‘ijon’.

Asep menegaskan bahwa sepanjang rentang waktu 2019-2022, Kusnadi diduga telah menerima komitmen fee secara akumulatif mencapai Rp 32,2 miliar. Penerimaan ini dilakukan melalui transfer ke rekening istri dan staf pribadinya, atau secara tunai dari beberapa korlap. Rincian penerimaan fee Kusnadi dari para korlap adalah:

a. Dari Jodi Pradana Putra, sejumlah Rp 18,6 miliar (20,2 persen dari total dana hibah yang dikelola sebesar Rp 91,7 miliar).

b. Dari Hasanuddin, senilai Rp 11,5 miliar (30,3 persen dari total dana hibah yang dikelola sebesar Rp 30 miliar).

c. Dari Sukar bersama Wawan Kristiawan dan A. Royan, sebesar Rp 2,1 miliar (21 persen dari dana hibah yang dikelola sebesar Rp 10 miliar).

Dalam upaya penanganan kasus korupsi dana hibah ini, KPK juga telah mengambil tindakan penyitaan terhadap sejumlah aset yang diduga milik Kusnadi sebagai barang bukti, yaitu:

  • Tiga bidang tanah dengan total luas mencapai 10.566 m2 di Kabupaten Tuban

  • Dua bidang tanah beserta bangunan dengan total seluas 2.166 m2 di Kabupaten Sidoarjo

  • Satu unit mobil Mitsubishi Pajero

Leave a Comment