Sebuah insiden serius kembali terjadi di lepas pantai wilayah Palestina. Kapal Marinette, satu-satunya dan yang terakhir dari rombongan Global Sumud Flotilla yang berupaya berlayar menuju Gaza, dilaporkan telah ditangkap oleh pasukan Israel. Penangkapan ini menambah panjang daftar upaya Israel untuk menghentikan misi kemanusiaan yang mencoba menembus blokade Gaza.
Insiden penangkapan kapal Marinette terekam dalam sebuah video siaran langsung yang dikutip oleh Al Jazeera, menunjukkan pasukan Israel secara paksa memasuki kapal tersebut pada Jumat (3/10) pagi waktu setempat. Kapal berbendera Polandia ini membawa enam orang aktivis dan menjadi harapan terakhir dari seluruh armada Global Sumud Flotilla untuk mencapai Gaza. Sebelumnya, Global Sumud Flotilla (GSF) melaporkan bahwa Marinette sempat mengalami kerusakan teknis, yang menyebabkannya tertinggal dari rombongan utama. Meski demikian, kapal itu memutuskan untuk melanjutkan pelayarannya. Dalam sebuah pernyataan, GSF menegaskan, “Marinette bukan sekadar kapal. Marinette adalah Sumud, yaitu keteguhan dalam menghadapi rasa takut dan brutalitas Israel,” menyoroti simbolisme keberanian di balik misi tersebut.
Di tengah ketegangan ini, pemerintah Siprus turut angkat bicara. Mereka menginformasikan bahwa sebuah kapal lain, yang mengangkut 21 aktivis, telah diminta untuk berlabuh di Larnaca. Permintaan ini diajukan atas dasar kebutuhan pengisian bahan bakar dan alasan kemanusiaan. Namun, pemerintah Siprus tidak merinci identitas kapal tersebut, maupun mengonfirmasi apakah kapal itu termasuk dalam puluhan armada yang telah dihentikan pelayarannya oleh Israel. Setelah proses pendaftaran seluruh penumpang dilakukan, pihak Siprus menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan serta menawarkan bantuan konsuler.
Sejatinya, armada Global Sumud Flotilla terdiri dari 44 kapal yang memulai pelayaran. Namun, hanya sebagian kecil yang berhasil melanjutkan perjalanan. Dari jumlah tersebut, 23 kapal telah terkonfirmasi secara resmi dicegat Israel, sementara 19 kapal lainnya hilang kontak dan sangat diduga juga telah dicegat. Selain itu, dua kapal observasi, Summer Time-Jong dan Shireen, memutuskan untuk berbalik arah guna mengamankan dokumen serta bukti-bukti terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Israel dalam insiden ini.
Daftar Kapal Global Sumud Flotilla yang Dicegat dan Hilang Kontak
Di tengah misi kemanusiaan ini, total 41 kapal dari Global Sumud Flotilla dilaporkan telah terkonfirmasi dicegat secara ilegal oleh Israel atau hilang kontak dan diyakini juga telah dicegat. Berikut adalah daftar kapal-kapal tersebut:
22 Kapal yang Terkonfirmasi Dicegat secara Ilegal:
- Adara
- All In
- Alma
- Aurora
- Captain Nikos
- Deir Yassine
- Florida
- Free Willy
- Grande Blu
- Hio
- Huga
- Jeannot
- Karma
- Mohammad Bhar
- Morgana
- Otaria
- Oxygono
- Paola I
- Seulle
- Sirius
- Spectre
- Yulara
- Marinette
19 Kapal yang Hilang Kontak, Diduga Sudah Dicegat Israel:
- Adagio
- Ahed Tamimi
- Alakatalla
- Amsterdam
- Australe
- Catalina
- Estrella
- Fair Lady
- Inana
- Mango
- Maria
- Meteque
- MiaMia
- Mikeno
- Ohwayla
- Pavlos
- Selvaggia
- Vangleis Pissias
- Wahoo
Nasib Aktivis Indonesia dan Proses Repatriasi
Di antara aktivis kemanusiaan yang terlibat dalam misi ini adalah Muhammad Husein, perwakilan dari Indonesia, yang berada di dalam kapal Summer Time-Jong bersama 20 relawan internasional lainnya. Kapal ini, yang sebelumnya berbalik arah, kini tengah menuju Siprus untuk berlabuh. Informasi terkini menyebutkan bahwa sekitar 443 relawan diperkirakan telah ditahan secara paksa. Ada kekhawatiran bahwa mereka akan dibawa ke pelabuhan Ashdod untuk diproses, dalam kondisi yang banyak pihak anggap sebagai penahanan ilegal oleh Israel.
Kapal Summer Time-Jong sendiri telah tiba di Pelabuhan Larnaca, Siprus, pada Kamis (2/10) malam waktu setempat. Setibanya di sana, Muhammad Husein melaporkan bahwa sebagian aktivis mulai berpencar, terutama mereka yang memiliki paspor dan dapat memasuki Siprus tanpa visa. Namun, tidak semua memiliki keleluasaan tersebut. “Sementara sebagian lain masih menanti di kapal, masih harus stand by di kapal karena ketiadaan visa atau tidak bisa masuk karena visanya terbatas,” jelas Husein dalam sebuah video.
Husein sendiri termasuk dalam kelompok yang harus tetap bertahan di sekitar pelabuhan. Ia mengungkapkan bahwa dirinya masih menunggu koordinasi dari pemerintah Indonesia untuk mengurus kepulangannya. “Saya salah satu penumpang yang harus stay malam hari ini di kapal sampai pengurusan [dokumen] selesai, yang dilakukan oleh Kedutaan Besar [Indonesia] dari Roma yang sudah datang ke Siprus untuk mengurus masalah kepulangan saya ke Indonesia,” tuturnya.
Menanggapi situasi ini, Bachtiar Nasir, Pembina Indonesia Global Peace Convoy (IGPC) yang juga bagian dari rombongan Global Sumud Flotilla, menyuarakan keprihatinannya. Ia mengakui bahwa pembebasan aktivis dari negara-negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel akan menjadi tantangan. Meski demikian, ia optimis bahwa tekanan global dapat membebaskan mereka. “Tetapi kalau lebih jauh dari pengalaman-pengalaman yang ada sih mudah-mudahan ya karena ini gerakannya sudah global semoga mereka bisa dibebaskan segera,” ujarnya di Jakarta Pusat, Kamis (2/10).
Upaya Pembebasan Aktivis Internasional yang Ditahan Israel
Penangkapan ini juga berdampak pada puluhan warga negara Malaysia serta sejumlah aktivis kemanusiaan lainnya yang tergabung dalam Global Sumud Flotilla. Kondisi mereka menjadi sorotan serius, terutama mengingat Malaysia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, yang dapat mempersulit upaya pembebasan.
Menyikapi kompleksitas ini, Syamsul Ardiansyah, Presidium IGPC, menguraikan dua opsi strategis untuk membebaskan para aktivis dari negara-negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel: melalui jalur bilateral dan multilateral. Untuk pendekatan multilateral, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dapat didesak untuk mengeluarkan seruan pembebasan. “Kalau tidak punya hubungan diplomatik masih ada forum multilateral seperti forum PBB dan sebagainya untuk mendesakkan suara itu,” kata Syamsul.
Adapun jalur bilateral dapat ditempuh dengan mendesak negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel untuk memberikan bantuan. Negara ketiga yang bersahabat dengan Malaysia, seperti Turki, Mesir, atau Yordania, yang juga memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, bisa didorong untuk menjadi perantara pembebasan aktivis. “Kita desak Yordania atau kita desak Turki atau misalnya Mesir untuk kemudian mendorong upaya ini. Jadi itu para diplomat punya cara mainnya sendiri yang insyaallah teman-teman ini semua sudah dibicarakan secara serius di tingkatan SC, Steering Committee dari Global Security Law,” jelas Syamsul. Ia menambahkan bahwa karena baik Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, strategi utama yang diterapkan adalah pendekatan multilateral untuk menuntut pembebasan “saudara-saudara kita yang diculik” tersebut.