Keresahan warga dekat pabrik sumber radioaktif di Banten – ‘Mereka pakai masker, sarung tangan, tapi enggak ada yang menjelaskan’

Photo of author

By AdminTekno

Pekatnya kecemasan menyelimuti warga di sekitar pabrik peleburan limbah metal di Banten, yang kini menjadi pusat kontaminasi radioaktif Sesium-137. Mereka hidup dalam ketidakpastian, mengaku belum menerima penjelasan resmi dari pihak berwenang mengenai insiden ini maupun potensi dampak serius terhadap kesehatan akibat paparan radiasi.

Para pengamat nuklir mendesak otoritas terkait untuk segera membuka pos pengaduan masyarakat, sebagai bagian integral dari prosedur pengamanan insiden radiasi. Menanggapi desakan ini, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Radiasi Cs-137 yang dibentuk pemerintah menyatakan bahwa usulan tersebut masih dalam tahap pengkajian mendalam.

Pemerintah telah resmi menetapkan Kawasan Industri Modern (KIM) Cikande sebagai area Kejadian Khusus Cemaran Radiasi Cesium-137. Insiden pencemaran ini berawal dari temuan udang beku asal Indonesia yang terkontaminasi radioaktif saat diekspor ke Amerika Serikat, memicu penyelidikan yang berujung pada PT. Peter Metal Technology (PT. PMT) di Banten.

Sesium-137 (disingkat Cs-137) adalah unsur radioaktif buatan manusia, bukan berasal dari alam. Paparan radiasinya di lingkungan dapat memicu berbagai penyakit serius, mulai dari kanker hingga potensi kematian. Zat ini merupakan salah satu produk dari reaktor nuklir yang memancarkan radiasi beta dan gamma dengan umur paruh panjang, mencapai 30 tahun. Cs-137 juga dikenal mudah larut dalam air, tanah, serta terserap oleh tumbuhan, hewan, dan manusia. Meskipun berbahaya dalam kondisi tak terkendali, Cs-137 memiliki manfaat vital untuk keperluan medis, industri, dan penelitian apabila diatur secara ketat.

Kini, hampir sebulan sudah, warga Kampung Combrang, RT 04/02, Desa Nambo Udik, Kecamatan Cikande, Serang, Banten, dihantui oleh rasa cemas yang tak berkesudahan. Kampung mereka, yang dihuni sekitar 90 keluarga termasuk 20 lansia dan 50 anak-anak, merupakan pemukiman terdekat, hanya berjarak kurang dari 200 meter dari PT. PMT, lokasi utama sumber radiasi radioaktif tersebut. PT. PMT sendiri telah disegel oleh pihak berwenang sejak pekan kedua September lalu.

Di pabrik peleburan metal inilah, tim gabungan pemerintah menemukan tingkat radiasi Cs-137 yang mengkhawatirkan, mencapai 0,3-0,5 mikrosievert per jam. Angka ini jauh melampaui kondisi normal yang seharusnya hanya sekitar 0,1 mikrosievert per jam. Penyegelan PT. PMT merupakan respons atas temuan Customs Border Protection (CBP) Amerika Serikat terhadap udang beku yang diimpor dari Indonesia, yang ternyata mengandung Cs-137. Pabrik pengemasan udang ini sendiri berlokasi sekitar tiga kilometer dari PT. PMT.

‘Jangan sampai kami yang tinggal paling dekat, malah enggak tahu apa-apa’

Sejak penyegelan PT. PMT, pemandangan petugas berlalu-lalang dengan pakaian pelindung khusus antiradiasi (APD) menjadi hal lumrah bagi warga Kampung Combrang. Namun, hingga artikel ini ditulis, warga bersikeras belum menerima penjelasan resmi dari pemerintah, baik daerah maupun pusat, mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, termasuk risiko bahaya paparan radiasi radioaktif terhadap kesehatan mereka.

“Setiap hari ada petugas pakai APD lengkap lalu-lalang di depan rumah,” tutur Arief (36), seorang tokoh masyarakat Kampung Combrang, Sabtu (04/10). “Mereka pakai masker, pakai sarung tangan saat datang ke kampung dan bersalaman [dengan warga], bikin ketakutan, tapi enggak ada yang menjelaskan [secara resmi],” lanjutnya, menyoroti minimnya komunikasi yang jelas dari pihak berwenang. Arief menambahkan, dalam percakapan informal, seorang petugas sempat menyebut bahwa tingkat radiasi udara di kampung tersebut berada “di atas normal,” menambah kekhawatiran warga.

Warga sangat berharap pemerintah segera mengadakan sosialisasi menyeluruh dan menyediakan pemeriksaan medis gratis. “Kami enggak menolak investasi, tapi kami juga butuh perlindungan. Jangan sampai kami yang tinggal paling dekat, malah enggak tahu apa-apa,” tegas Arief, menyuarakan tuntutan dasar masyarakat akan hak informasi dan perlindungan.

Karsih (42), mantan pekerja PT PMT sekaligus penduduk Kampung Combrang, mengungkapkan bahwa operasional pabrik telah dihentikan sejak akhir Juli 2025—sebelum pemerintah melakukan penyegelan. “Tiba-tiba berhenti saja. Katanya bangkrut. Waktu itu saya enggak tahu apa-apa, tahunya belakangan baru ramai soal radiasi,” ujarnya. Ia juga mengaku belum pernah menjalani pemeriksaan kesehatan sejak isu radiasi Cs-137 mencuat. “Belum, belum diperiksa. Katanya ada yang diperiksa, tapi cuma beberapa orang bagian peleburan. Saya khawatir juga, soalnya tiap hari dulu masuk kerja, tapi enggak tahu apakah kena dampaknya atau enggak,” ungkapnya.

Karsih juga menuturkan bahwa banyak pekerja lain telah bubar dan sulit dihubungi. Ia menyebut bahwa pabrik peleburan limbah besi menjadi baja ringan di Kawasan Industri Modern Cikande ini dioperasikan oleh sejumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China. “Enggak ada yang ngasih tahu hasilnya [penyelidikannya] kayak gimana. Jadi ya tambah takut saja,” tambahnya, menggambarkan ketidakjelasan informasi yang semakin memicu kekhawatiran.

Warga Sempat Protes

Sebelum kasus radiasi ini mencuat, Arief menjelaskan bahwa warga sebenarnya sudah lama mengeluhkan aktivitas pabrik tersebut. Mereka sering terganggu oleh getaran hebat dan asap pekat dari proses peleburan. “Dulu sebelum ada [temuan radioaktif] ini juga kami sudah sering protes. Rumah bergetar kayak gempa, malam-malam keluar asap sampai ibu saya batuk-batuk,” kenangnya. Kini, ketakutan mereka semakin besar dengan adanya ancaman radiasi, sementara pemeriksaan kesehatan dan penjelasan resmi dari pemerintah tak kunjung tiba.

Keluhan Kesehatan

Beberapa warga bahkan mulai merasakan keluhan kesehatan seperti batuk dan gatal-gatal, menurut Arief. Meskipun BBC News Indonesia belum dapat memverifikasi langsung kaitan gejala ini dengan paparan radiasi, warga sangat mengharapkan kejelasan dan perlindungan dari negara. “Kami dengar katanya pemerintah melindungi warga. Tapi perlindungannya seperti apa? Sosialisasi saja belum pernah,” ujar Arief, mempertanyakan janji perlindungan dari pihak berwenang.

Radioaktif Cs-137 Menyebar

Pencemaran Cs-137 ternyata tidak hanya terlokalisasi di PT PMT. Sumber radiasi serupa juga terdeteksi di wilayah lain, termasuk lapak limbah besi di Kampung Sadang, Desa Sukatani, Kecamatan Cikande, yang berjarak tiga kilometer dari PT PMT. Lapak ini kini telah diberi garis peringatan radioaktif. Suheni (68), seorang petani yang bekerja di sekitar lapak tersebut, mengaku belum menerima sosialisasi atau pemeriksaan kesehatan apa pun terkait temuan radiasi ini.

Informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa sejumlah plang peringatan bahaya radiasi dan simbol radioaktif kini tersebar di sekitar PT. PMT dan di beberapa perkampungan warga sekitar kawasan industri, termasuk di Kampung Sadang, Desa Sukatani, dan Kampung Kedung Laban, Desa Kibin. Kedua lokasi terakhir ini merupakan lapak pengepul besi bekas. Sementara itu, pabrik pengemasan udang yang menjadi titik awal terkuaknya kasus ini telah kembali beroperasi normal.

Kejadian Khusus Cemaran Radiasi Cesium-137

PT. PMT dan pabrik udang yang terlibat berlokasi di Kawasan Industri Modern (KIM) Cikande, Serang, Banten, sebuah kawasan seluas 3.175 hektare yang menampung sekitar 300 perusahaan, termasuk industri multinasional pangan. Penetapan KIM Cikande sebagai area Kejadian Khusus Cemaran Radiasi Cesium-137 menunjukkan tingkat keseriusan insiden ini. Pemerintah berencana menggugat PT. PMT dan pengelola KIM Cikande, meskipun kedua pihak korporasi belum merilis pernyataan resmi terkait langkah hukum ini.

Untuk menangani krisis ini, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Radiasi Cs-137 yang melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Komando Brimob Polri (KBRN). Menteri Koordinator bidang Pangan, Zulkifli Hasan, ditunjuk sebagai ketua satgas.

Peneliti BRIN: Perlu Buka Posko

Profesor Djarot Sulistio, peneliti senior nuklir dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekaligus mantan Kepala Bapeten, menyebut kekosongan komunikasi dengan warga sebagai “masalah klasik.” Menurutnya, di lapangan, tidak banyak penyelidik yang memiliki kemampuan berkomunikasi secara sederhana namun akurat kepada masyarakat awam. “Saya kira memang perlu orang-orang yang menjelaskan secara bahasa sederhana, tetapi tidak salah. Tidak melebih-lebihkan, tidak mengurangi makna yang ada,” sarannya. Ia mengusulkan agar pemerintah segera membuka posko komunikasi yang berfungsi menjelaskan situasi dan menjawab kekhawatiran publik.

Meskipun demikian, Prof. Djarot berpendapat bahwa warga di Kawasan Industri Modern (KIM) Cikande belum perlu dievakuasi, selama sumber radiasi dapat segera dilokalisir. “Karena kalau selama itu mampu segera dilokalisir, maka otomatis… asal masyarakat setempat tidak mendekati sumber-sumber atau hotspot yang sudah ditetapkan oleh petugas,” jelasnya, menekankan pentingnya isolasi sumber kontaminasi.

Bagaimana Respons Pemerintah?

Wakil Bupati Serang, Najib Hamas, menyatakan bahwa penanganan radiasi Cs-137 sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat. Namun, untuk isu kesehatan masyarakat, Pemerintah Kabupaten Serang akan turut bertanggung jawab. “Kami Pemkab diberi tanggung jawab adalah masyarakat yang kemungkinan terindikasi [masalah] kesehatan, maka menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten Serang untuk melakukan pengobatan, perawatan sesuai dengan rekomendasi dari Bapeten,” terangnya.

Pihak Bapeten mengonfirmasi bahwa seluruh penanganan dan keputusan saat ini berada di bawah koordinasi Satgas Penanganan Radiasi Cs-137. Ketua Divisi Diplomasi dan Komunikasi Publik Satgas Penanganan Radiasi Cs-137, Bara Krishna Hasibuan, mengklaim bahwa pemeriksaan terhadap warga sudah dilakukan, meskipun tidak diungkapkan secara terang-terangan untuk menghindari kepanikan. “Sudah ada, cuma kita memang nggak terus terang selama ini. Kita nggak mau mereka panik,” katanya.

Bara Krishna membeberkan bahwa sekitar 1.500 pekerja di KIM Cikande telah menjalani pemeriksaan, dan sembilan orang dinyatakan positif terpapar Cs-137. Mereka kini dalam perawatan dan pemantauan intensif di RS Fatmawati. ” [Pil] khusus dari Singapura, sudah dipesan dari Kementerian Kesehatan,” tambahnya, merujuk pada pil Prussian Blue. Pil ini berfungsi mengikat cemaran zat radioaktif Cs-137 dalam tubuh, yang kemudian akan dikeluarkan melalui feses.

Terkait usulan pembukaan posko komunikasi dan penanganan keluhan kesehatan, Bara Krishna menyatakan, “setelah kita kaji, kemungkinan itu.” Ia melanjutkan, Satgas telah mengidentifikasi 15 lokasi lapak besi tua yang diduga mengandung material Cs-137 dan berhasil membersihkan dua lokasi di antaranya. Material besi bekas yang terkontaminasi tersebut, yang kemungkinan besar berasal dari limbah buangan PT PMT, kini dikumpulkan sementara di gedung PT. PMT yang tidak lagi beroperasi. Selain itu, tim kepolisian masih “mengejar” pemilik PT PMT yang diyakini berada di China untuk dimintai keterangan.

Dari Mana Asal-Usul Radiasi Cs-137 di Banten?

Pemerintah Indonesia meyakini sumber utama kontaminasi berasal dari “bijih besi, skrup dan barang sejenis” yang diimpor oleh PT PMT dari Filipina. Material ini dilebur dengan cara pembakaran, dan asap yang dihasilkan diduga mencemari lingkungan hingga mencapai pabrik udang yang berjarak tiga kilometer. Hal ini diperkuat dengan temuan unsur radioaktif pada blower dan ventilator pabrik udang, meski dalam konsentrasi rendah. Sementara itu, temuan sumber radiasi di lapak-lapak besi tua kemungkinan besar berasal dari material limbah buangan PT PMT.

Meskipun berbahaya, Cs-137 dalam kondisi terkendali sering dimanfaatkan dalam industri. Di sektor medis, zat radioaktif ini digunakan untuk terapi kanker (radioterapi). Dalam industri, Cs-137 berperan dalam mengukur ketebalan logam, kelembapan tanah, serta kalibrasi alat deteksi radiasi. Di bidang penelitian, Cs-137 berguna untuk melacak pergerakan sedimen, air, atau pencemaran lingkungan. Menanggapi potensi kebocoran dari peralatan industri di KIM Cikande, Bara Krishna Hasibuan mengatakan, “Tim Bapeten lagi cek itu.”

Belum lama ini, pemerintah Indonesia telah mengembalikan puluhan kontainer yang terkontaminasi radioaktif dari Filipina. Ada dugaan kuat bahwa beberapa kontainer berisi besi bekas yang akan masuk ke Indonesia juga mengandung radioaktif. Pakar instalasi nuklir, Heryudo Kusumo, menduga bahwa bahan dasar pembuatan material ini berasal dari peralatan industri yang mengandung radioaktif yang hilang di Filipina. “Saya menduga bahwa kontainer yang tercemar radioaktif tersebut berasal dari peralatan yang mengandung zat radioaktif, yang dilaporkan hilang di Filipina,” katanya, merujuk pada peringatan dari Institute Penelitian Nuklir Filipina tentang pencurian peralatan mengandung Cs-137. Ia telah menyampaikan dugaannya ini kepada Bapeten untuk ditindaklanjuti.

Mengaktifkan Pemantauan Radioaktif

Profesor Djarot Sulistio, peneliti senior nuklir BRIN, mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap “seluruh struktur sistem pengawasan sumber radioaktif.” “Karena apa? Sumber radioaktif ini kan dipakai di mana-mana. Di pabrik baja, di pabrik kertas, di mana-mana. Dan keluar masuknya antar negara atau antar wilayah itu juga frekuensinya lumayan tinggi,” jelasnya. Ia menggarisbawahi pentingnya pemasangan alat pemantau radiasi di titik-titik strategis. “Monitor di gerbang-gerbang strategis Indonesia maupun juga gerbang-gerbang di kawasan industri, maka otomatis kita mampu mendeteksi jalur-jalur transportasi sumber radioaktif tersebut,” tambah Prof Djarot, mengusulkan langkah konkret untuk pencegahan.

Apa Itu Sesium-137, dan Dampaknya bagi Manusia?

Sesium-137 (Cs-137) adalah zat radioaktif hasil sampingan dari fisi nuklir, terbentuk dari peristiwa seperti bom nuklir, uji coba senjata nuklir, dan operasi reaktor nuklir tertentu. “Sesium-137 itu tidak berbentuk gas, tapi dia bisa berbentuk serpihan atau mungkin debu,” terang Prof Djarot. Karakteristiknya yang mudah menyebar melalui udara, larut dalam air, dan menempel pada tanah atau material lain, menjadikannya ancaman serius. Zat radioaktif ini juga sangat mudah terserap oleh tumbuhan, hewan, dan manusia.

Paparan Cs-137 dari luar tubuh manusia dapat menyebabkan luka bakar radiasi, sindrom radiasi akut, bahkan kematian, tergantung pada dosis radiasi yang diterima. Gejala sindrom radiasi akut meliputi mual, muntah, diare, pusing, dan pendarahan. Lebih lanjut, jika Cs-137 masuk ke dalam tubuh melalui udara, air, atau makanan, ia akan mudah menempel pada otot. Radiasi gamma dan beta yang dipancarkan dari dalam tubuh berpotensi merusak sel dan DNA, meningkatkan risiko kanker. Namun, risiko ini sangat bergantung pada jumlah dosis radiasi, durasi paparan, dan faktor usia. Semakin tinggi dan sering paparan, semakin besar risikonya.

“Sesium memang tidak bisa dihancurkan, tidak bisa dihilangkan. Karena yang bisa kita lakukan adalah memindahkan ke lokasi yang aman supaya dia meluruh. Karena dia waktu paruhnya, usia sampai itu sekitar 30 tahun,” tambah Prof Djarot, menjelaskan tantangan penanganan Cs-137. Penanganannya dilakukan melalui dekontaminasi, yaitu menghapus partikel Cs-137 dari permukaan material. Material atau cairan pembersih yang terkontaminasi harus disimpan di tempat yang aman agar zat tersebut meluruh secara alami. “Jadi harus dipindahkan ke lokasi yang aman, dia akan meluruh pelan-pelan sampai nanti dianggap aman,” katanya.

Sementara untuk Cs-137 yang sudah masuk ke dalam tubuh, salah satu metode pengobatan yang efektif adalah dengan pil Prussian Blue. Pil ini bekerja dengan mengikat zat radioaktif Cs-137 dalam tubuh, memungkinkannya untuk dikeluarkan melalui feses.

Leave a Comment