Oleh Said Abdullah (Ketua DPP PDI Perjuangan)
Kita Tekno – Tanggal 26 Desember 1991 menjadi titik balik dalam sejarah dunia ketika Uni Soviet bubar, secara efektif mengakhiri Blok Timur. Peristiwa ini menempatkan Blok Barat sebagai kekuatan dominan tunggal di panggung global, memicu spekulasi luas tentang arah masa depan dunia.
Banyak ilmuwan, termasuk Francis Fukuyama pada tahun 1989, berasumsi bahwa dominasi Barat akan mempercepat agenda liberalisasi politik dan ekonomi di berbagai kawasan. Fukuyama bahkan dengan berani mengemukakan premis bahwa demokrasi liberal adalah puncak evolusi ideologi manusia, sebuah pandangan yang terbentuk dari kebangkrutan sosialisme-komunisme. Namun, pandangan tersebut terbukti terlalu gegabah, sebab realitas global pasca-Soviet justru dipenuhi dengan berbagai gejolak ideologi, politik, pasar, dan militer yang tak berkesudahan.
Kebangkrutan sosialisme-komunisme sebagai jalur politik memang tak lantas membuat dunia sepenuhnya berada dalam genggaman Blok Barat. Justru sebaliknya, pasca-keruntuhannya, muncul berbagai bentuk pertentangan baru. Absolutisme agama berkembang sebagai ideologi baru, disusul konflik perebutan sumber daya alam yang kian sengit, terorisme internasional dengan beragam manifestasinya, serta konflik kawasan akibat perebutan wilayah. Fenomena ini membuktikan bahwa dunia terus bergejolak, jauh dari apa yang digambarkan sebagai “akhir sejarah.”
Kebangkitan ideologi berbasis absolutisme agama, khususnya pasca-runtuhnya komunisme, menandai babak baru pertarungan ideologi yang berhadapan langsung dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Iran dan Afghanistan menjadi representasi paling konkret dari pertentangan diametris ini, menunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan baru menantang hegemoni yang ada.
Di tengah dinamika ini, Tiongkok muncul sebagai pemain kunci yang belajar banyak dari bubarnya Uni Soviet. Sejak era Deng Xiaoping pada tahun 1978, komunisme Tiongkok bergeser menjadi lebih revisionis, mengadopsi elemen pasar dalam sistem politiknya. Penerusnya, seperti Jiang Zemin dan Hu Jintao, semakin memperkuat pendekatan ini, menjadikan Tiongkok sebuah entitas politik hibrida yang memadukan komunisme dengan kekuatan ekonomi pasar. Tiongkok aktif membangun aliansi politik melalui pendekatan ekonomi, seperti melalui BRICS, serta proyek Jalur Sutra Baru (dari Asia Tengah hingga Eropa) dan Jalur Sutra Maritim yang menghubungkan Asia hingga ke Indonesia dan Afrika.
Menguatnya Tiongkok dan Rusia kini harus diakui sebagai “poros baru” dalam peta geopolitik global yang mencakup kekuatan politik, ekonomi, dan militer. Banyak negara dunia ketiga di Asia dan Afrika menemukan sandaran pada Tiongkok dan Rusia ketika kondisi dalam negeri mereka diguncang atau diintervensi oleh kekuatan Barat. Contoh nyata terlihat saat Rusia terlibat perang dengan Ukraina sejak tahun 2022; Tiongkok memberikan bantuan ekonomi dengan membeli gas dan minyak Rusia, sekaligus mendukung di meja diplomasi internasional. Demikian pula, saat Iran berkonflik dengan Israel, Rusia dan Tiongkok menjadi penopang utama dalam penyediaan peralatan perang dan diplomasi di Dewan Keamanan PBB. Bahkan, Rusia memberikan perlindungan kepada Presiden Bashar al-Assad dan keluarganya ketika sang Presiden Suriah terancam digulingkan oleh proksi Amerika Serikat.
Narasi di atas jelas menunjukkan bahwa kekuatan internasional kini bergeser dari dominasi sekutu Barat menuju tatanan “bipolar” yang baru, namun dengan basis pragmatisme, bukan lagi ideologi murni. Uniknya, Amerika Serikat sendiri tidak lagi menunjukkan solidaritas yang utuh dengan sebagian sekutunya. Kebijakan tarif dagang, misalnya, sempat memicu perselisihan dengan sekutu terdekatnya seperti Inggris, Prancis, dan Kanada. Amerika Serikat juga ditinggalkan oleh sekutunya dalam isu membela Israel, di mana banyak negara memilih untuk mengakui keberadaan Negara Palestina sebagai solusi dua negara atas konflik berkepanjangan tersebut.
Pertahanan Kita
Dalam tatanan geopolitik global yang kian kompleks ini, bagaimana seharusnya kita merumuskan pertahanan negara? Apakah cukup bagi kita merasa puas dengan penobatan sebagai kekuatan militer terkuat di ASEAN dan peringkat ke-13 dunia oleh Global Firepower? Jawabannya jelas bukan sekadar soal puas atau tidak puas. Yang lebih penting adalah menganalisis kembali, apakah sistem pertahanan kita dan jalan menuju pencapaian Minimum Essential Force (MEF) sudah berada pada jalur yang benar?
Doktrin pertahanan yang diajukan oleh Presiden Prabowo Subianto tidak bergeser dari Sistem Pertahanan Semesta (Sishankamrata). Konsep ini, yang dirumuskan oleh Jenderal AH Nasution dalam bukunya Pokok Pokok Gerilya, memiliki sifat fundamental yang melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya nasional dalam membangun pertahanan. TNI profesional dan Polri bertindak sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan utama, yang ditopang oleh partisipasi aktif rakyat terlatih dalam program bela negara.
Doktrin ini masih sangat relevan, mengingat dunia kini tidak hanya dihadapkan pada perang konvensional, tetapi juga perang non-konvensional yang meliputi aspek politik, ekonomi, budaya, dan siber. Dalam menghadapi ancaman perang non-konvensional, TNI profesional dan Polri memiliki keterbatasan, sehingga diperlukan dukungan rakyat terlatih serta kaum profesional yang ahli di bidangnya masing-masing, terintegrasi dengan kekuatan TNI dan Polri. Meskipun medan perang modern bersifat multifront, kebutuhan akan kekuatan pertahanan konvensional tidak serta merta hilang. Oleh karena itu, Minimum Essential Force (MEF) TNI menjadi krusial sebagai alat konfirmasi apakah TNI sudah mampu memenuhi kebutuhan pokok minimum pertahanan yang ideal.
Untuk memenuhi target MEF TNI, dibutuhkan dukungan yang komprehensif, meliputi pengembangan organisasi, peningkatan kemampuan industri pertahanan nasional, dukungan anggaran yang memadai, serta profesionalitas prajurit yang mumpuni. Dari sisi organisasi, sejak Presiden Prabowo Subianto menjabat sebagai Menteri Pertahanan, telah dibentuk enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru, 14 Komando Armada Angkatan Laut (Koarmada), tiga Komando Daerah Angkatan Udara (Koopsau), satu Komando Operasi Udara Nasional (Koopsudnas), enam grup Komando Pasukan Khusus (Kopassus), 20 Brigade Teritorial Pembangunan, satu Brigade Infanteri Marinir, satu Resimen Korps Pasukan Gerak Cepat (Korpaskhas), serta 100 Batalion Teritorial. Selain itu, pembangunan lima Batalion Infanteri Marinir dan lima Batalion Komando Korpaskhas juga terus berjalan, menunjukkan komitmen terhadap penguatan struktur organisasi.
Kemampuan industri pertahanan nasional yang menopang kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista) juga terus berkembang. Indonesia kini memiliki PT PAL yang mampu memproduksi kapal perang, serta PT Pindad yang handal dalam memproduksi tank, senapan tempur, dan artileri berat lainnya. Kita juga terlibat dalam proyek pengembangan pesawat tempur generasi 4.5 berkode KAI KF-21 Boramae bersama Korea Selatan. Meskipun prototipe sudah ada dan sempat menjalani uji coba, laju proyek ini terkadang terasa lambat. Intinya, industri pertahanan nasional sangat kita perlukan untuk membangun kemandirian alat pertahanan negara.
Dari sisi anggaran, kami di Badan Anggaran DPR RI senantiasa mendukung kebutuhan anggaran modernisasi alutsista TNI untuk mencapai MEF. Jika dibandingkan dengan anggaran pertahanan negara-negara maju dengan kekuatan militer canggih, alokasi anggaran pertahanan Indonesia memang masih tergolong rendah. Defend Budget Rank 2025 yang dirilis oleh Global Firepower menempatkan Indonesia di urutan ke-29, di bawah Singapura yang berada di urutan ke-26. Tentu ini belum ideal untuk mendukung pencapaian MEF secara optimal, mengingat keterbatasan fiskal yang kita miliki. Ke depan, kita akan terus berupaya memperkuat kebutuhan anggaran pertahanan, sejalan dengan upaya penyehatan fiskal negara.
Terakhir, profesionalitas prajurit TNI menjadi modal paling penting bagi kekuatan pertahanan Indonesia. TNI profesional berarti netral dari politik praktis, dan sebaliknya, politisi sipil juga tidak seharusnya menarik TNI ke arena politik. TNI harus tetap berada pada jalur kebijakan pertahanan negara. Profesionalisme TNI juga berarti prajurit mampu memenuhi kecakapan yang tinggi dalam mengemban tugas pertahanan. Secara individual, setiap prajurit TNI harus memiliki kemampuan tempur terlatih, disiplin, loyal, dan setia pada janji Sapta Marga. TNI dibangun dengan sistem meritokrasi yang ketat, di mana prestasi menjadi acuan utama untuk kenaikan pangkat dan pengembangan karier.
Bravo, Dirgahayu ke-80 TNI. Jadilah patriot bangsa yang gagah berani dan selalu siap menjaga kedaulatan negeri.