Mantan Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) DKI Jakarta periode 2020–2024, Iwan Henry Wardhana, menghadapi tuntutan pidana yang sangat berat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Iwan dengan hukuman 12 tahun penjara setelah meyakini bahwa ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait penyimpangan anggaran kegiatan pada Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Jakarta.
Dalam sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (9/10), jaksa menyatakan, “Memohon majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 12 tahun.” Selain pidana penjara, Iwan juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 500 juta. Apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Tak hanya itu, tuntutan terhadap Iwan Henry Wardhana semakin diperberat dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 20,5 miliar. Pembayaran uang pengganti ini akan memperhitungkan aset-aset miliknya, berupa bangunan dan tanah, yang telah disita selama proses penyidikan. JPU menegaskan, jika terdakwa tidak mampu membayar uang pengganti paling lama satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita dan dilelang. Apabila Iwan tidak memiliki harta benda yang cukup untuk melunasi uang pengganti, ia harus menjalani pidana penjara tambahan selama 6 tahun.
Kasus korupsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta ini diduga menyebabkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 36.319.045.056,69 (sekitar Rp 36,3 miliar). Jaksa meyakini bahwa perbuatan melanggar hukum ini dilakukan secara bersama-sama oleh Iwan Henry Wardhana dengan dua terdakwa lainnya, yaitu eks Plt Kabid Pemanfaatan pada Dinas Kebudayaan Pemprov Jakarta, Mohamad Fairza Maulana, dan pemilik EO GR-Pro, Gatot Arif Rahmadi.
Dalam sidang yang sama, JPU juga membacakan surat tuntutan untuk dua terdakwa lainnya. Mohamad Fairza Maulana dituntut dengan pidana 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta, subsider 6 bulan kurungan. Fairza juga dibebani pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,44 miliar, yang akan memperhitungkan penyitaan uang senilai Rp 1,01 miliar dan Rp 50 juta yang telah dilakukan dalam penyidikan. Jika sisa uang pengganti tersebut tidak dapat dibayarkan, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3,5 tahun.
Sementara itu, Gatot Arif Rahmadi, pemilik EO GR-Pro, menghadapi tuntutan pidana 9 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta, subsider 6 bulan kurungan. Gatot juga dibebani pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 13,26 miliar. Pembayaran uang pengganti ini akan memperhitungkan aset yang telah disita, meliputi uang tunai Rp 7 juta, 1 unit mobil Suzuki, dan 1 unit mobil Nissan Evalia. Jika Gatot tidak mampu melunasi sisa uang pengganti, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 4,5 tahun.
JPU meyakini bahwa perbuatan Iwan Henry Wardhana dan rekan-rekannya melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dakwaan sebelumnya pada Selasa (17/6) juga telah menyebutkan bahwa perbuatan ketiga terdakwa ini secara kolektif mengakibatkan kerugian keuangan negara yang masif, mencapai angka Rp 36,3 miliar. Mereka juga didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.