Kita Tekno JAKARTA — Harga minyak dunia terpantau melemah setelah Israel dan kelompok Hamas menandatangani perjanjian gencatan senjata di Gaza. Peristiwa ini menandai perubahan signifikan dalam lanskap geopolitik dan langsung memengaruhi pergerakan pasar energi global.
Data dari Reuters pada Jumat (10/10/2025) menunjukkan bahwa harga minyak berjangka Brent mengalami penurunan sebesar US$1,03, atau setara 1,6%, hingga mencapai US$65,22 per barel. Senada, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) dari AS juga terkoreksi US$1,04 atau 1,7%, mendarat di level US$61,51 per barel. Penurunan ini mencerminkan reaksi pasar terhadap meredanya ketegangan di Timur Tengah.
Perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat ini meliputi penghentian pertempuran, penarikan sebagian pasukan Israel dari wilayah Gaza, serta pembebasan seluruh sandera Israel yang ditahan oleh Hamas. Sebagai imbalannya, ratusan tahanan Palestina yang berada di Israel juga akan dibebaskan. Ini adalah langkah krusial dalam upaya perdamaian yang telah lama dinanti.
Presiden AS Donald Trump secara aktif terlibat dalam mediasi ini, bahkan sebelumnya mengklaim bahwa kesepakatan damai antara Israel dan Hamas di Gaza akan segera terwujud. Gencatan senjata Gaza ini menandai fase awal dari inisiatif perdamaian yang dicanangkan Trump untuk mengakhiri konflik berkepanjangan tersebut, termasuk pertukaran sandera dan tahanan yang telah disepakati.
Menurut Dennis Kissler, Senior Vice President of Trading BOK Financial, kontrak berjangka minyak memang sedang dalam fase koreksi. “Ini terjadi seiring meredanya konflik antara Israel dan Hamas, sebuah faktor utama yang memengaruhi sentimen pasar energi global,” jelas Kissler, menyoroti korelasi langsung antara stabilitas geopolitik dan harga komoditas.
Claudio Galimberti, Chief Economist Rystad Energy, menambahkan bahwa perjanjian damai ini merupakan terobosan signifikan dalam sejarah modern Timur Tengah, dengan implikasi yang sangat luas terhadap pasar energi global. Bahkan sebelumnya Hamas juga menyatakan siap menerima proposal perdamaian Trump asalkan Israel menarik pasukannya dari Gaza. Galimberti memaparkan, dampak positifnya bisa terlihat dari berkurangnya potensi serangan kelompok Houthi di Laut Merah, yang selama ini mengganggu jalur pelayaran global, serta meningkatnya peluang tercapainya kesepakatan nuklir dengan Iran, yang dapat membawa kembali pasokan minyak Iran ke pasar.
Di tengah dinamika ini, kelompok OPEC+ pada Minggu lalu telah menyepakati adanya kenaikan produksi minyak mulai bulan November. Meskipun peningkatan ini lebih kecil dari yang diantisipasi pasar, keputusan tersebut berhasil sedikit meredakan kekhawatiran akan adanya kelebihan pasokan di kemudian hari.
Sebelumnya, pada Rabu (8/10/2025), harga minyak sempat melonjak sekitar 1% mencapai level tertinggi dalam sepekan. Kenaikan ini dipicu oleh kekhawatiran pasar akan berlanjutnya sanksi terhadap Rusia, eksportir minyak terbesar kedua di dunia, akibat mandeknya perundingan damai di Ukraina. Ketegangan geopolitik di Eropa Timur ini terus menjadi salah satu penentu fluktuasi harga komoditas global.
Selain faktor global, dinamika politik internal Amerika Serikat juga turut menjadi sorotan utama. Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Partai Demokrat dan Republik untuk mendanai pemerintah federal dan mengakhiri penutupan sebagian layanan belum berhasil memperoleh cukup suara di Senat. Jika terjadi shutdown pemerintah yang berkepanjangan, hal ini berpotensi besar menekan pertumbuhan ekonomi AS secara signifikan dan pada akhirnya akan melemahkan permintaan minyak global.
Di sisi lain hubungan internasional, Perdana Menteri India Narendra Modi mengonfirmasi telah berdiskusi dengan Presiden Trump pada Kamis lalu, membahas kemajuan negosiasi dagang antara kedua negara. Diketahui bahwa Trump sebelumnya telah memberlakukan tarif tinggi pada sebagian besar ekspor India, termasuk bea masuk 25%, sebagai bentuk respons atas keputusan New Delhi yang terus mengimpor minyak dari Rusia, meski ada tekanan dari AS.
Lebih lanjut, kebijakan pemerintahan Donald Trump juga mencakup penjatuhan sanksi terhadap sekitar 100 individu, perusahaan, dan kapal. Di antaranya termasuk kilang independen dan terminal di China yang terbukti membantu perdagangan minyak dan petrokimia Iran. Serangkaian sanksi ini menunjukkan upaya AS untuk terus memengaruhi pasokan dan permintaan minyak global melalui jalur diplomatik dan ekonomi.