Ibu Tanpa Kewarganegaraan: Perjuangan Mempertahankan Hak Asuh Anak

Photo of author

By AdminTekno

Status kewarganegaraan Nur Amira dicabut karena ia terbukti sebagai Warga Negara Asing (WNA). Setelah dideportasi ke Malaysia, ia justru ditolak oleh otoritas setempat lantaran data kewarganegaraannya telah digunakan oleh orang lain. Akibatnya, ia dideportasi kembali ke Indonesia dan kini terancam dideportasi untuk kedua kalinya dari Tanah Air.

Nur Amira, 43 tahun, harus kembali merasakan dinginnya ruang detensi Kantor Imigrasi Agam sejak Jumat (19/09) lalu. Perempuan yang sehari-hari bekerja di salah satu peternakan burung puyuh di Situjuah, Kecamatan Limo Nagari, Kabupaten 50 Kota, ini kini tidak lagi memiliki kewarganegaraan yang jelas setelah Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dimilikinya dicabut oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil.

Kisah pelik Nur Amira bermula pada Oktober 2024 silam, ketika ia dilaporkan kepada pihak imigrasi sebagai imigran gelap dari Malaysia. Atas laporan tersebut, Imigrasi Agam segera bertindak dengan melakukan penyelidikan. Nur Amira kemudian dipanggil untuk diinterogasi dan dimintai keterangan mengenai status kewarganegaraannya.

Di hadapan pihak Imigrasi Agam, Nur Amira mengakui bahwa dirinya memang berasal dari Malaysia. Namun, ia telah tinggal dan menetap di daerah Payakumbuh selama 28 tahun. “Saya ke sini dulu itu dibawa oleh ibu saya bersama ayah tiri saya yang memang orang asli sini,” tutur Nur Amira kepada wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC Indonesia, Rabu (01/10). Ia menambahkan, “Saat itu umur saya baru sekitar delapan tahun pada tahun 1996.”

Kala itu, kedua orang tuanya telah berpisah, dan ibunya kembali menikah dengan seorang pria Indonesia bernama Martius. “Waktu pertama ke sini saya memiliki paspor [Malaysia] dan akta kelahiran yang diberikan oleh rumah sakit di Malaysia,” kenangnya. Setelah tiba di Indonesia, Amira tidak pernah melapor ke Imigrasi, lantaran ia mengaku tidak pernah diberitahu bahwa sebagai seorang WNA, ia wajib melaporkan diri secara berkala.

Sembilan tahun kemudian, setelah menetap bersama sang ibu dan ayah tirinya di Kota Payakumbuh, Amira akhirnya mendapatkan KTP pertamanya saat berusia 17 tahun. “Saya mendapatkan KTP itu pada tahun 2006. KTP itu saya dapatkan setelah saya masuk dalam Kartu Keluarga (KK) ayah tiri saya,” jelasnya. Dengan demikian, Amira dan ibunya, Nuraini, memperoleh Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai WNI, tanpa melalui proses legal yang semestinya ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.

Berbekal KTP tersebut, Nur Amira bahkan aktif berpartisipasi dalam perhelatan demokrasi di Indonesia. Ia mengaku pernah mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) sejak tahun 2009 hingga terakhir pada tahun 2019 silam. Kehidupan Amira semakin melebur dengan masyarakat lokal ketika ia menikah dengan seorang pria WNI asal Payakumbuh pada tahun 2009 dan dikaruniai seorang putri bernama Zahira. Namun, pernikahannya tidak berlangsung lama. Pada tahun 2015, Amira bercerai dan harus membesarkan putrinya seorang diri.

Amira menjalani hidup layaknya warga Indonesia pada umumnya, hingga suatu hari tak terduga status aslinya sebagai WNA terbongkar oleh pihak Imigrasi. “Pada 2024 lalu saya dilaporkan ke Imigrasi oleh seseorang yang mengetahui status saya itu dan saya dipanggil oleh pihak Imigrasi,” katanya. Pada Oktober 2024, tim Imigrasi Agam menjemput Amira di tempat tinggalnya di Situjuah. Amira dan ibunya kemudian dibawa ke Kantor Imigrasi untuk diproses. Setelah menjalani serangkaian prosedur, pihak Imigrasi Agam mendeportasi Amira pada 25 Oktober 2024, setelah sebelumnya juga mendeportasi sang ibu pada 12 Juni 2024.

Setelah dideportasi, Amira tiba di Malaysia dengan harapan dapat mengurus dokumen-dokumen kependudukannya sebagai warga negara Malaysia. Namun, keanehan terjadi. Data-data pribadinya sebagai warga negara Malaysia ternyata telah hilang. “Kalau dari pernyataan pemerintah Malaysia saat saya melakukan pengurusan itu katanya memang ada yang memiliki data tersebut, tapi bukan saya,” ungkap Amira.

Ia diminta untuk mencari orang yang telah menggunakan identitasnya itu demi membuktikan bahwa data tersebut memang miliknya. “Semuanya sama. Hanya saja nama Noor Amira yang ada di data Malaysia itu fotonya bukan saya dan orangnya sudah melakukan pendataan,” keluhnya. “Dengan keadaan itu saya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena saya tidak mengetahui orang yang telah menggunakan data saya itu. Saya juga tidak tahu dia berada di mana,” tambahnya.

Selama lima bulan Amira terkatung-katung di Malaysia, hingga nasib sial kembali menghampirinya. “Saya ditangkap oleh polisi pantai di Malaysia yang mencurigai saya sebagai pendatang gelap di sana. Saya dibawa ke Kantor Polisi dan diperiksa,” tuturnya. Saat pemeriksaan, Amira menyatakan dirinya adalah warga negara Malaysia yang telah dideportasi oleh Imigrasi Indonesia pada Oktober 2024. “Mereka tidak percaya dengan pernyataan saya dan menggeledah isi handphone saya. Di sana mereka menemukan gambar fotokopi KTP saya dan langsung menjebloskan saya ke penjara,” ujarnya.

Setelah menjalani persidangan, Amira harus mendekam di penjara Malaysia selama dua bulan karena dianggap sebagai pendatang gelap di Negeri Jiran. “Mereka juga melakukan pengecekan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru dan memang ditemukan bahwa saya terdaftar sebagai WNI,” tukasnya. Akhirnya, pihak Imigrasi Malaysia mendeportasi Amira kembali ke Indonesia. Ia dibekali dengan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang dikeluarkan oleh KJRI Johor Bahru.

Berbekal SPLP tersebut, Amira kembali ke Indonesia melalui pemeriksaan Kantor Imigrasi Yos Sudarso Dumai, sebelum melanjutkan perjalanan kembali ke Payakumbuh. Amira akhirnya tiba di Payakumbuh dan kembali berkumpul dengan anaknya, Zahira, yang telah merasa kehilangan sang ibu selama kurang lebih enam bulan. Setibanya di Situjuah, Amira kembali menjalankan kegiatan sehari-harinya sebagai pekerja di peternakan burung puyuh.

“Setelah beberapa bulan, saya berencana memindahkan data saya yang sebelumnya di Pemerintah Kota Payakumbuh ke Pemerintah Kabupaten 50 Kota,” kisahnya. Namun, saat mengurus pemindahan data tersebut, Amira kembali dihadapkan pada masalah kewarganegaraan. Data kependudukannya ternyata telah diblokir. Setelah NIK yang ia dapatkan pada tahun 2006 diblokir oleh Dukcapil, Amira secara resmi tidak memiliki kewarganegaraan.

“Untuk membuka blokir itu, saya disuruh meminta surat keterangan telah menjadi WNI dari Imigrasi oleh Disdukcapil Payakumbuh,” katanya. Karena keinginannya untuk memindahkan data kependudukannya, Amira langsung mengunjungi Kantor Imigrasi Agam untuk meminta surat keterangan WNI, berbekal SPLP dari KJRI Johor Bahru yang telah ia kantongi. “Saat saya sampai di sini, petugas Imigrasi terkejut melihat saya dan menanyakan kenapa saya bisa kembali lagi ke sini. Saya langsung memperlihatkan SPLP yang diberikan sebelumnya,” ujarnya.

Melihat SPLP tersebut, pihak Imigrasi Agam cukup heran dan meminta Amira menceritakan bagaimana ia bisa mendapatkan SPLP itu. “Saya ceritakan semuanya sesuai dengan apa yang saya alami sebelumnya kepada petugas Imigrasi Agam ini. Setelah itu mereka menyuruh saya pulang dahulu sementara mereka akan mengurus surat yang saya minta tersebut,” lanjutnya. Selang kurang lebih sebulan, Amira mendapatkan panggilan dari pihak Imigrasi Agam, tepatnya pada Jumat (19/09) lalu.

Amira mendatangi kantor Imigrasi Agam dengan harapan panggilan itu untuk menjemput surat keterangan menjadi WNI. Namun, harapannya pupus. Bukan surat keterangan WNI yang ia dapatkan, melainkan pencabutan SPLP yang sebelumnya diberikan oleh KJRI Johor Bahru. “Saya kaget SPLP itu dicabut dan saya langsung ditahan di Imigrasi Agam ini dan langsung dimasukkan ke dalam ruangan detensi ini. Saya sangat tidak menyangka akan seperti ini,” katanya.

Amira mengaku sangat takut jika dirinya harus dideportasi lagi, mengingat data dirinya tidak lagi menjadi miliknya di Malaysia, dan di Indonesia seluruh datanya juga telah dicabut. “Saya hanya berharap saya bisa diizinkan tinggal di sini bersama anak saya. Karena anak saya masih membutuhkan sosok ibu. Ia tidak memiliki siapa-siapa lagi selain saya,” harapnya.

Jangan pisahkan Zahira dengan Mama

Zahira, 15 tahun, putri tunggal Nur Amira, sangat tertekan dengan keadaan yang menimpa sang ibu. Bahkan, remaja berprestasi yang menjabat sebagai Ketua OSIS di SMPN 1 Situjuah itu memilih untuk tidak bersekolah sementara waktu karena permasalahan yang dialami ibunya. Ia memutuskan untuk tidak mengikuti ujian tengah semester yang sedang berlangsung di sekolahnya.

“Guru Zahira mengizinkan untuk mengikuti ujian nanti saja saat permasalahan ini sudah selesai supaya Zahira bisa fokus dalam mengikuti ujian dan nilainya nanti tidak terpengaruh,” kata siswi kelas 9 itu. Selain karena tidak fokus dalam belajar, Zahira juga harus menggantikan pekerjaan ibunya yang tertinggal di peternakan setelah ditahan oleh pihak Imigrasi Agam. Beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Zahira meliputi membersihkan rumah, membersihkan kandang burung puyuh, hingga mengarit rumput untuk makanan kambing.

“Biasanya Zahira membantu bekerja di kafe saja. Tapi sekarang karena mama tidak bisa, Zahira berinisiatif melakukan semua pekerjaan mama,” tuturnya. Zahira menceritakan, kala ibunya dipanggil oleh petugas Imigrasi Agam, ia sudah khawatir sang ibu akan kembali ditahan, atau bahkan bisa dideportasi. “Perasaan Zahira saat mama pergi ke sana itu sudah tidak enak.”

Firasat yang ditakuti remaja pemegang juara umum di sekolahnya itu ternyata benar. Amira ditahan di Imigrasi Agam dan tidak kembali lagi ke rumah sederhana yang dibangun di dalam kebun di Situjuah. “Mama tidak pulang lagi dan tidak bisa bersama Zahira. Zahira sangat takut kehilangan mama lagi seperti tahun lalu,” katanya sambil menahan tangis. Tangis itu akhirnya tumpah saat Zahira mengingat keadaan sang ibu.

Keesokan harinya, Zahira tetap berangkat ke sekolah. Ia harus bangun pukul 05.00 WIB untuk menyelesaikan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan ibunya, lalu melanjutkan pendidikannya. “Tapi di sekolah Zahira tidak semangat untuk belajar. Selalu teringat tentang mama. Zahira sangat takut kalau mama dideportasi kembali dan meninggalkan Zahira lagi,” katanya. Karena ingin membantu sang ibu, remaja yang telah ditinggalkan ayahnya sejak kecil itu berinisiatif melakukan sesuatu agar Amira tetap bersamanya dan tidak dideportasi ke Malaysia.

“Zahira berinisiatif membuat surat untuk Kepala Imigrasi Agam dan meminta agar mama Zahira tidak dideportasi. Karena hanya mama yang Zahira punya. Kalau mama dideportasi nanti Zahira tinggal sendiri,” tuturnya. Surat yang dibuat pada (26/09) itu tidak hanya ditujukan kepada Kepala Imigrasi Padang, tetapi juga ditembuskan kepada Ombudsman Sumbar dan menyebar kepada awak media, sehingga kisah ini viral di media sosial. Zahira dibantu oleh Fadhilla Putri, pemilik Dhila Farm tempat Amira bekerja.

Upaya yang sedang dilakukan Dhila adalah dengan menyurati Kementerian Hukum untuk dapat membantu permasalahan yang tengah dialami Amira. “Selain itu juga ada teman-teman dari LBH Padang yang membantu untuk mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang dialami oleh Amira saat ini,” katanya. Kuasa hukum dari LBH Padang, Elfin Mahendra, menyatakan pihaknya telah menemui Kepala Kantor Imigrasi Agam, Disdukcapil, dan Komnas HAM untuk melakukan koordinasi.

“Melihat peristiwa ini, ada beberapa peluang bagi kita. Pertama, klien kami ini memiliki keluarga di sini seperti anak dan dua saudara se-ibu. Kalau dilihat pada pasal 63 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011, saudaranya ini nanti akan bisa menjamin klien kami ini,” katanya. Upaya selanjutnya adalah dengan menyurati lembaga negara serta berkoordinasi dengan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan terkait izin tinggal Amira di Indonesia. “Yang terpenting, kalau nanti memang dilakukan deportasi, pemerintah harus bisa memastikan kewarganegaraan yang jelas untuk Amira,” tukasnya.

Kantor Perwakilan Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sumatra Barat juga turut terlibat untuk “memastikan tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh lembaga negara terhadap Nur Amira.” Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sumbar, Sultanul Arfin, mengatakan telah berkoordinasi dengan Kepala Kantor Imigrasi Agam dan Nur Amira untuk memastikan tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan dalam proses deportasi atau penindakan lainnya.

Mengapa Imigrasi Agam Mendeportasi Amira?

Kepala Seksi Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian, Kantor Imigrasi Kelas I Non TPI Agam, Putu Agus Sugiarto, menjelaskan bahwa pengamanan terhadap Amira dilakukan karena ia dinyatakan sebagai WNA ilegal yang masuk ke Sumatera Barat. “Pada Oktober 2024 lalu, kami mendapatkan laporan terkait adanya WNA ilegal yang tinggal di daerah Payakumbuh. Setelah itu tim langsung melakukan pemantauan dan penyelidikan,” katanya.

Putu mengungkapkan bahwa Nur Amira, yang bernama asli Noor Amira binti Ramli, merupakan warga negara Malaysia. Nur Amira lahir di Melaka, Malaysia, pada 28 September 1988. “Ibu kandungnya bernama Nuraini, warga negara Singapura. Adapun ayah kandungnya bernama Ramli, warga negara Malaysia [yang] meninggal pada 2012,” jelasnya. Menurut Putu, ayah tiri Nur Amira memboyong Nur Amira, ibunya, serta adik tirinya ke Indonesia pada 24 Agustus 1996.

Nur Amira, yang kala itu berusia sekitar delapan tahun, masuk ke Indonesia secara resmi dengan paspor Malaysia yang diterbitkan Imigrasi Melaka dengan masa berlaku 12 Agustus 1996 sampai 12 Agustus 2001. “Selama 28 tahun, Nur Amira tumbuh dan besar di Indonesia. Bahkan, ia mendapatkan KTP sejak 2006 dan KK Indonesia serta menikah secara resmi dengan pria Indonesia di Payakumbuh pada 2009, cerai 2015 dan melahirkan anak bernama Zahira,” lanjutnya.

Setelah mengetahui status WNA Amira, Imigrasi Agam mengambil tindakan dengan mendeportasinya pada 25 Oktober 2024 melalui Bandara Internasional Minangkabau. “Sebelumnya, kami juga telah mendeportasi Nuraini, ibu Nur Amira ke negara asalnya, Singapura, pada 12 Juni 2024,” tambahnya. Setelah melakukan deportasi, Putu mengatakan bahwa Kantor Imigrasi Agam langsung menyerahkan KTP Nur Amira ke Disdukcapil Payakumbuh pada 29 Oktober 2024.

“21 Agustus 2025 lalu Nur Amira datang ke Kantor Imigrasi Agam untuk meminta surat keterangan WNI sebagai syarat mengaktifkan KTP Indonesia yang telah dinonaktifkan oleh Disdukcapil Payakumbuh,” katanya. Ia mengungkapkan bahwa Amira kembali ke Indonesia menggunakan SPLP Indonesia yang dikeluarkan KJRI Johor Bahru pada 27 Maret 2025. “Dari pengakuannya, Amira masuk ke Indonesia melalui pemeriksaan imigrasi Yos Sudarso di Dumai,” ujar Putu.

Karena pihaknya telah mengetahui status WNA Amira, pada 28 Agustus 2025, Kantor Imigrasi Agam bersurat ke KJRI Johor Bahru perihal penerbitan SPLP tersebut. “Pada 17 September 2025, Kantor Imigrasi Agam dapat surat dari KJRI Johor Bahru pemberitahuan pembatalan dokumen SPLP Nur Amira,” katanya. Akibat pembatalan tersebut, pihaknya langsung memanggil Amira untuk diperiksa, dan dari keterangannya, diketahui bahwa Amira ditangkap Imigrasi Malaysia di Johor Bahru.

“Dari keterangannya memang sudah mengaku sebagai warga negara Malaysia, tetapi Imigrasi Malaysia di Johor Bahru tidak mempercayai dan mendeportasinya ke Indonesia,” katanya. Putu melanjutkan bahwa pada 30 September 2025, pihaknya mendapatkan email dari Konsulat Jenderal Malaysia di Medan agar Kantor Imigrasi Agam membawa warga negara Malaysia atas nama Nur Amira untuk proses penerbitan emergency paspor. “Saat ini kami menunggu Konsulat Jenderal Malaysia di Medan untuk menerbitkan dokumen perlakuan cemas yang akan digunakan untuk pendeportasian ke Malaysia,” katanya.

Putu menyatakan bahwa dalam waktu dekat, Imigrasi Agam akan memberangkatkan Nur Amira ke Konsulat Jenderal Malaysia di Medan untuk pembuatan dokumen perlakuan cemas, dan selanjutnya akan dideportasi. “Nanti di sana dia akan mengambil foto biometrik, sidik jari, dan lainnya hingga dokumen perlakuan cemas itu diterbitkan oleh Konsulat Jenderal Malaysia di Medan,” lanjutnya. Namun, Putu belum bisa memastikan kapan pihaknya akan membawa Amira ke Konsulat Jenderal Malaysia tersebut.

Alasan Pencabutan KTP Nur Amira

Putu mengungkapkan, pencabutan KTP yang dimiliki Nur Amira memang atas usulan dari Kantor Imigrasi Agam kepada Disdukcapil Payakumbuh. “Kami mengusulkan pencabutan KTP tersebut karena yang bersangkutan tidak melalui tahapan-tahapan untuk menjadi WNI seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006,” katanya. Putu menegaskan bahwa Nur Amira tidak akan kehilangan kewarganegaraan Malaysianya, karena Konsulat Jenderal Malaysia di Medan menyatakan akan mengeluarkan dokumen perlakuan cemas. “Nanti dengan dokumen perlakuan cemas itu bisa digunakan untuk pemulangan kembali ke negara asalnya,” lanjutnya.

Kepala Bidang Pelayanan dan Administrasi Kependudukan (Kabid Adminduk) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Payakumbuh, Ali Imran, membenarkan bahwa pencabutan NIK atas nama Nur Amira dan ibunya Nuraini memang telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). “Itu memang kami yang mengajukan untuk pemblokiran NIK Nur Amira. Pemblokiran itu kami usulkan lantaran adanya pengajuan dari pihak imigrasi,” katanya.

Dengan diblokirnya NIK milik Nur Amira, ia resmi tidak lagi terdaftar sebagai WNI. Menurut Ali Imran, kesalahan yang dilakukan Nur Amira dalam pengurusan KTP sebelumnya adalah karena tidak mengikuti prosedur yang benar. “Untuk menjadi WNI itu kan tidak semudah itu juga. Harus memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) terlebih dahulu selama lima tahun dan harus melapor setiap setahun sekali ke imigrasi. Selanjutnya seorang WNA itu harus memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) selama 10 tahun,” jelasnya.

Setelah memenuhi syarat tersebut, seorang WNA baru bisa mengajukan pembuatan KTP WNA. “KTP WNA ini berbeda dengan KTP WNI seperti yang dimiliki oleh Nur Amira. KTP WNA itu warnanya pink lebih ke oranye. Bukan berwarna biru seperti KTP WNI,” katanya. Menurut Imran, jika telah memiliki KTP tersebut, seorang WNA sudah mendapatkan beberapa hak yang sama seperti WNI, namun tetap ada aturan yang harus diikuti. “Proses inilah yang tidak dilakukan oleh Nur Amira selama berada di Payakumbuh ini dan langsung mendapatkan KTP WNI seperti yang telah kami ajukan pemblokiran tersebut,” ujarnya.

Imran mengakui bahwa KTP yang diperoleh Amira pada tahun 2006 silam adalah kelalaian dari pemerintah pada saat itu yang kurang teliti dalam melakukan pendataan. “Seperti kita ketahui juga pada saat itu belum ada data terpadu seperti saat ini. Pembuatan KTP juga bisa dilakukan di kantor lurah saja,” katanya. Ia mengungkapkan, dengan pendataan manual pada tahun 2006 tersebut, Disdukcapil Kota Payakumbuh memberikan undangan kepada Nur Amira untuk melakukan perekaman KTP guna beralih menggunakan KTP elektronik. “Dari jejak yang kami baca, kemungkinan Nur Amira ini ikut terdata saat perekaman massal yang dilakukan dalam rentang waktu 2010 hingga 2013 lalu,” katanya.

Ali Imran juga mengungkap bahwa Nur Amira selama ini tidak jujur, baik kepada pemerintah di Indonesia maupun kepada pemerintah di Malaysia selama perkara tersebut berlangsung. “Kalau dari informasi yang kami dapatkan, saat ditangkap oleh polisi Malaysia itu dia sedang bekerja di perkebunan sawit dan saat ditangkap dia mengaku WNI dengan menunjukkan gambar fotokopi KTP yang ia simpan di handphone-nya,” katanya. Menurut Imran, hal tersebut menjadi landasan bagi imigrasi Malaysia untuk melakukan pendeportasian terhadap Nur Amira, hingga KJRI Johor Bahru membuatkan SPLP.

Bagaimana dengan Status Kewarganegaraan Zahira?

Ali Imran menegaskan bahwa pemblokiran NIK hanya dilakukan terhadap Amira, sementara NIK anaknya, Zahira, diklaim sampai saat ini masih aktif. “Jadi untuk NIK Zahira ini masih aktif dan tidak diblokir. Dia masih bisa mendapatkan haknya sebagai WNI yang sah karena memang dia lahir di sini dan ayahnya juga merupakan WNI,” katanya. Menurut Imran, Zahira saat ini belum memiliki Kartu Keluarga (KK) karena ia masih berusia 15 tahun dan belum bisa memiliki dokumen itu secara mandiri.

“Solusinya nanti nama Zahira ini akan dimasukkan ke dalam KK saudara tiri ibunya itu atau ke KK lain yang mau memasukkan namanya. Karena untuk bisa memiliki KK sendiri itu harus berumur 17 tahun,” katanya. Imran menegaskan bahwa Zahira tidak akan terdampak dengan pemblokiran NIK ibunya. Dia tetap bisa mendapatkan jaminan kesehatan hingga beasiswa seperti siswa lainnya yang merupakan WNI.

Di balik semua ketentuan ini, Ali Imran berharap agar pihak imigrasi tidak terlalu kaku dalam menerapkan aturan terhadap Nur Amira, karena bisa menerapkan aturan lain. “Kami juga pernah menangani kasus yang hampir sama terhadap warga negara Swiss yang tetap ingin tinggal di Payakumbuh ini,” katanya. Ia mengungkapkan, solusi yang bisa diberikan adalah dengan adanya penjamin, baik itu dari kerabatnya atau dari orang yang berpengaruh di daerah Payakumbuh atau Kabupaten 50 Kota. “Warga Swiss yang sudah berumur 80 tahun itu dijamin oleh seorang datuak di sini dan diberikan oleh pihak imigrasi. Dengan begitu Kitasnya bisa keluar,” lanjutnya.

Namun, ia tetap harus melapor ke pihak imigrasi setiap setahun sekali hingga mendapatkan Kitas sebagai pegangannya di Indonesia, dan akhirnya mendapatkan KTP WNA. “Kami harap hal ini juga bisa diberlakukan terhadap Nur Amira ini karena kita bisa mempertimbangkan dari segi kemanusiaannya. Anaknya masih kecil dan butuh sosok orang tua yang akan membimbingnya,” harapnya.

Pemerintah Harus Kedepankan Pendekatan Kemanusiaan

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Andalas (Unand), Virtuous Setyaka, menyatakan bahwa status Nur Amira masuk dalam stateless person atau orang yang dianggap tidak memiliki kewarganegaraan, dengan berbagai permasalahan yang menyebabkan seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. “Yang jadi concern-nya itu biasanya kan orang-orang stateless person itu adalah hak-hak dasar sebagai seorang manusia atau HAM-nya berkemungkinan besar mengalami evusing atau pelanggaran yang luar biasa,” katanya.

Oleh karena itu, ia menekankan, “Makanya, sebaiknya menurut saya kewarganegaraan Amira ini segera diperjelas.” Menurut dosen yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) tersebut, rencana pendeportasian Nur Amira oleh Imigrasi Agam “kurang tepat.” Hal pertama yang bisa dipertimbangkan menurut Virtuous adalah tentang siapa Amira dan bagaimana selama ini ia tinggal atau hidup di Indonesia. “Atau ada aspek lain seperti dia punya keluarga. Terutama dia punya anak perempuan yang akan menjadi pertimbangan. Artinya Imigrasi harus melakukan pendekatan yang lebih manusiawi yang mengakomodir hak-hak dasar dia sebagai manusia,” katanya.

Sehingga, pihak imigrasi tidak terkesan asal melakukan deportasi saja. Walaupun secara legal formal, pihak imigrasi atau Pemerintah Indonesia mungkin bisa saja mendeportasi Amira, namun ada hal lain yang harus dipertimbangkan. Dengan melakukan tindakan tersebut, menurut Virtuous, Indonesia akan mendapatkan pandangan negatif di mata dunia. “Karena dianggap tidak bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan lebih baik atau lebih bijaksana,” katanya.

Menurut Virtuous, momen ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia untuk memperbaiki citranya dalam mengelola kewarganegaraan. “Meskipun juga ada permasalahan-permasalahan yang dianggap membingungkan atau dianggap dalam beberapa hal merugikan. Tetapi, kalau misalnya justru tidak dikelola dengan sebaik mungkin, secara politis pandangan dunia terhadap Indonesia akan lebih buruk,” sambungnya. Virtuous mengibaratkan, Pemerintah Indonesia yang selama ini peduli dengan problem kemanusiaan di negara lain, namun saat ini terjadi di halaman rumah sendiri, bahkan di dalam rumah sendiri malah diabaikan. “Harusnya pendekatan-pendekatan kemanusiaan lebih ditekankan dibanding kita secara kaku melakukan penindakan sesuai Undang-Undang yang sebenarnya juga bisa direformasi,” katanya.

Reportase oleh wartawan di Padang, Halbert Caniago

  • Cerita WNI yang pindah jadi warga negara Singapura
  • Kisah seorang perempuan di Lubuklinggau yang tiba-tiba jadi warga negara Malaysia – ‘Saya kaget kenapa ini bisa terjadi’
  • Lima negara menjual paspor dan kewarganegaraan, termasuk untuk WNI – Apa syaratnya?
  • Kisah WNI tanpa kewarganegaraan: ‘Warga Indonesia bukan, Malaysia juga bukan’
  • Apa yang dimaksud dengan ‘warga negara Indonesia asli’?
  • ‘Saya tidak mau mati sebagai orang Indonesia’ – Cerita tiga anak muda Indonesia yang tinggal dan bekerja di Korsel, AS dan Thailand
  • WNI ditahan aparat imigrasi AS, Kemlu Indonesia klaim lakukan pendampingan hukum
  • Ibu orang Indonesia, bapak warga Malaysia: ‘Saya tak punya status warga negara, tak boleh bersekolah dan takut ditangkap polisi’
  • Prabowo sepakat transfer data pribadi warga Indonesia ke AS – Apa saja datanya dan apa risikonya?
  • Siapa manusia Indonesia? ‘Tidak ada pribumi atau non-pri, kita semua pendatang’
  • Dukungan warga Malaysia dan negara lain untuk aksi di Indonesia – ‘Pemerintah kita sama buruk dan korup’
  • Tiga WNI ‘diproses hukum’ di AS dan satu lainnya dideportasi imbas kebijakan Trump – Rizal Mallarangeng keluhkan pemulangan anaknya dari AS
  • Pengakuan turis asing bekerja secara ilegal di Bali, ‘ilegal, tentu saja saya mengerti’
  • Iklan penjualan rumah di Karimun Jawa untuk WNA, warga lokal khawatir ‘terusir dari kampung sendiri’
  • Penemuan warga negara asing di DPT, KPU didesak ‘perbaiki proses verifikasi’
  • Pemerasan warga China di Bandara Soetta diharapkan ‘membuka bobroknya birokrasi imigrasi’ — ‘Birokrasi kita ini korup’
  • UEA tawarkan kewarganegaraan bagi WNA terampil
  • Anak hasil perkawinan campur dipaksa jadi turis di negeri orang tua
  • Cerita WNI yang pindah jadi warga negara Singapura
  • Kisah seorang perempuan di Lubuklinggau yang tiba-tiba jadi warga negara Malaysia – ‘Saya kaget kenapa ini bisa terjadi’
  • Lima negara menjual paspor dan kewarganegaraan, termasuk untuk WNI – Apa syaratnya?

Ringkasan

Nur Amira, seorang wanita berusia 43 tahun, kini terancam dideportasi dari Indonesia setelah status kewarganegaraannya dicabut karena terbukti sebagai WNA. Ia sempat dideportasi ke Malaysia, namun ditolak karena data kewarganegaraannya telah digunakan oleh orang lain. Hal ini menyebabkan ia kembali dideportasi ke Indonesia dan kini berada di ruang detensi Kantor Imigrasi Agam.

Kasus ini bermula ketika Nur Amira dilaporkan sebagai imigran gelap. Setelah penyelidikan, terungkap bahwa KTP yang diperolehnya pada tahun 2006 didapatkan tanpa melalui prosedur yang benar. Kini, putrinya, Zahira, sangat tertekan dan meminta agar ibunya tidak dideportasi, mengingat hanya Amira satu-satunya keluarga yang ia miliki. LBH Padang dan berbagai pihak sedang mengupayakan solusi agar Amira dapat tetap tinggal di Indonesia demi kepentingan anak perempuannya.

Leave a Comment