Pemerintah mengklaim proyek industrialisasi di pesisir utara Jawa mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan masyarakat, nyatanya malah membuat kerugian yang berlipat. Ekonom memperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan, akan ada penurunan pendapatan masyarakat dan berkurangnya produktivitas di sektor perikanan dan pertanian.
Setahun menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, target swasembada beras yang dia janjikan saat dilantik Oktober 2024 terancam gagal karena maraknya alih fungsi lahan produktif, salah satunya menjadi kawasan industri.
Contohnya di Indramayu, Jawa Barat, area Pantura yang disebut-sebut sebagai sumber lebih dari setengah persen pasokan beras nasional kini banyak yang berubah menjadi beton.
Indramayu, bersama sejumlah wilayah pesisir utara Jawa yang lain seperti Batang dan Kendal di Jawa Tengah dan Gresik di Jawa Timur menjadi lokasi pengembangan industri dengan label Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut fenomena kerugian multidimensi yang diderita masyarakat pesisir di tengah gencarnya pembangunan industri ini sebagai “paradoks hilirisasi”.
Merujuk studi Celios, dalam 10 tahun ke depan diprediksi akan terjadi terjadi penurunan produk domestik bruto (PDB) Rp219,39 triliun, dan pendapatan masyarakat menurun Rp 218,08 triliun akibat pembangunan proyek industri di Pantura.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga rugi sebesar Rp5,70 triliun dalam 10 tahun ke depan.
Ini adalah bagian ketiga sekaligus terakhir dari laporan panjang yang mengungkap apa yang disebut sebagai “ekosida”—perusakan lingkungan secara terstruktur, masif dan sistematis—di Pantura.
Liputan ketiga mengupas bagaimana kontradiksi lahan pertanian yang berubah jadi kawasan industri dengan ambisi swasembada dan utopia ketahanan pangan yang dicanangkan pemerintah. Sementara rakyat, menanggung rugi yang berlipat.
Seri liputan ini diproduksi bekerja sama dengan Pulitzer Center.
‘Lahan pertanian berubah jadi kawasan industri’
Sekelompok petani tampak berjejer rapi menanam padi di kawasan pertanian di Losarang, Indramayu, Jawa Barat. Pemandangan kontras tampak di belakang mereka, sejumlah ekskavator menimbun lahan sawah dengan pasir yang dibawa truk-truk yang berseliweran.
Tak jauh dari situ, sejumlah bangunan beton di kompleks kawasan peruntukan industri Losarang telah berdiri di antara hamparan sawah. Merujuk peta Bhumi ATR-BPN dan RTRW Indramayu, lokasi pembangunan pabrik tercatat sebagai Lahan Sawah Dilindungi (LSD).
“Di situ memang lahan pertaniannya berubah jadi kawasan industri,” kata Ruskiyah, ketika ditemui di lahan sawah garapannya, 12 Juli silam.
Ruskiyah, 54 tahun, adalah salah satu petani di Losarang, sekaligus sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Puntang, Kecamatan Losarang.
Kawasan industri yang sedang dibangun di atas lahan pertanian itu, kata Ruskiyah, rencananya seluas 1.000 hektare. Berada di sebelah utara Jalan Raya Pos yang dibangun Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, dikhawatirkan berdampak pada penurunan produksi pertanian.
Lahan sawah produktif seluas satu hektare, rata-rata memproduksi enam ton beras dalam sekali masa panen. Artinya, sekitar 6.000 ton potensi panen beras hilang jika lahan 1.000 hektare sawah di Losarang dikonversi jadi kawasan industri.
Sekitar 30 menit perjalanan ke arah pesisir utara Jawa Barat, sampailah di area persawahan Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu.
Rodi, 65 tahun, duduk santai di pematang sawah. Baju lengan panjang yang ia pakai terlihat basah. Usai mengusap peluh, pria yang akrab disapa Mang Rodi ini melepas topi koboi di kepala, lalu mengipas-kipaskan ke tubuh.
Mang Rodi adalah buruh tani di Mekarsari. Di lahan yang ia garap, dia menanam padi dan sayur mayur, sama seperti buruh tani lainnya.
Dari tempatnya duduk, pandangannya menyapu hamparan padi yang mulai menguning. Sayur mayur yang hijau juga terhampar sejauh mata memandang. Sesampai pandangannya lurus ke barat, matanya tertabrak cerobong asap yang tinggi.
“Itu cerobong PLTU Indramayu,” kata Mang Rodi.
Cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap yang ditunjuk Mang Rodi berada di Sumuradem, Kecamatan Sukra, Indramayu.
Jarak PLTU Indramayu 1—dengan luas 83 hektare dibangun 2007 dan mulai beroperasi pada 2011—dengan area pertanian di Mekarsari cukup dekat, sekitar 1,5 km.
Mekarsari dikenal sebagai kawasan pertanian produktif dengan satu hektare lahan sawah menghasilkan padi sekitar 7-8 ton. Selain terkenal dengan padi yang berwarna putih bersih, Mekarsari juga dikenal sebagai produsen bawang
Tapi lambat laun, lahan pertanian di Mekarsari tergerus abrasi karena penurunan muka tanah dan kenaikan permukaan air laut di pesisir utara Indramayu.
Mang Rodi bilang, situasi di Mekarsari memburuk setelah PLTU Indramayu berdiri di dekat lahan garapannya. Tanah mulai asam dan asap dari PLTU memengaruhi aktivitas petani.
Asap yang keluar dari cerobong PLTU, acap kali membuat petani sesak nafas, sakit mata, dan “yang tak kuat fisiknya, bisa pingsan”, ujar Mang Rodi.
Namun, alih-alih memberikan perlindungan di kawasan pertanian yang tergerus abrasi, pemerintah—bekerja sama dengan Jepang—malah berencana membangun PLTU 2 sebagai perluasan PLTU sebelumnya, yang akan dibangun di Mekarsari.
“Luasnya sekitar 266 hektare,” kata Mang Rodi menyebut luas lahan yang telah dibebaskan di Mekarsari.
Perluasan itu, menurut Mang Rodi membuat buruh tani semakin sengsara. Dampak PLTU 1 saja, kata Mang Rodi telah merugikan buruh tani. Dengan adanya perluasan PLTU 2, yang akan mencaplok lahan pertanian, kerugian semakin bertambah.
Buruh tani yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu), melakukan aksi protes sampai ke Jakarta. Mang Rodi yang menjadi ketua Jatayu, ogah lahan pertanian dibeton menjadi kompleks pembangkit listrik.
Alasan penolakan Jatayu, mempertahankan lahan yang menjadi tumpuan hidup mereka, serta masyarakat Indonesia secara luas. Dan tanah yang akan dibeton itu, kata Mang Rodi, adalah tanah sawah yang selama ini, bahkan sudah sejak lama menjadi lahan pertanian produktif.
Pertanian Mekarsari pun punya kontribusi dalam posisi Indramayu sebagai lumbung pangan. Ini ketahanan pangan. Dan mempertahankan lahan sawah Mekarsari, menjadi sebuah keniscayaan bagi petani Jatayu.
“Pertahanan pangan ini penting. Percuma punya pertahanan senjata, kalau enggak makan,” ujar Mang Rodi penuh semangat.
“Makanan rakyat adalah padi dan sayur mayur, bukan beton,” alasan mengapa Jatayu menolaknya.
Aksi Jatayu terbilang sukses, pada 2022, Jepang mundur dari kerja sama pendanaan pembangunan PLTU 2.
Mang Rodi dan buruh tani lainnya tetap bisa menanam di lahan sawah yang sekarang dikuasai negara karena di lahan itu, masih ada papan informasi berlogo Perusahaan Listrik Nasional (PLN), dan bertuliskan TANAH MILIK NEGARA. UNIT INDUK PEMBANGUNAN JAWA BAGIAN TENGAH I.
Meski sekarang Mang Rodi dan buruh tani lainnya bisa menanam, namun ancaman ruang hidup buruh tani Mekarsari belum usai.
Masih ada rencana pembangunan kawasan industri yang berlokasi di Kecamatan Patrol, Sukra, dan Kandanghaur yang masuk Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Patrol.
Sebagai petani, Mang Rodi akan menolak apa pun itu jika menggerus ruang hidup petani.
Lahan pangan harus tetap dipertahankan. Ia pun mempertanyakan arti lumbung padi bagi Indramayu, kalau pemerintah hanya ingin menggerus dan mengusir petani dari ruang hidupnya.
“Pembangunan pabrik menghabiskan lahan, mengapa ada kalimat pertahanan pangan, tapi lahannya dihabiskan. Apa yang akan dipertahankan, apa pangan datang dari langit. Pangan juga butuh ditanam, ditanam di atas bumi, bukan di atas batu beton,” ujar Mang Rodi, tegas.
Terjadinya alih fungsi lahan di Indramayu juga terekam dalam catatan BPS, yang menunjukkan dalam 7 tahun terakhir, 2018-2024, terjadi penurunan luas lahan yang diikuti dengan turunnya produksi beras.
Pada 2022, produksi padi Indramayu sempat naik ketimbang tahun sebelumnya, dari 1.319.623,64 ton menjadi 1.482.255,86 ton. Namun ini terjadi karena luas lahan bertambah.
Tapi pada 2023, produksi padi kembali turun menjadi 1.424.303,1 ton yang dipicu menyempitnya luas lahan pertanian
Turunnya produksi padi juga terjadi di Kendal, Jawa Tengah. Banyak lahan pertanian yang telah berubah menjadi tambak, atau dibiarkan terbengkalai terkena banjir rob.
Tambak-tambak yang dikelola salah satu petambak di Kendal, Turmudzi, dulunya juga sawah. Namun karena selalu terkena rob dan tidak bisa ditanami lagi, lahan itu sekarang menjadi tambak.
Desa Mororejo yang berdekatan dengan KEK Kendal, juga mengalami hal sama. Dalam 3-4 tahun terakhir, banjir rob mulai masuk ke areal persawahan.
Padi sudah tak bisa ditanam lagi. Banyak petani yang mengubahnya menjadi tambak, dan tak sedikit yang membiarkannya terbengkalai.
Data BPS menunjukkan produksi padi di Kabupaten Kendal dalam tujuh tahun terakhir mengalami fluktuatif.
Tapi tren yang terjadi, luas lahan dan produksi padi mengalami penurunan. Pada 2018, luas lahan 36.851 hektare, dengan produksi padi sebanyak 199.421 ton.
Pada 2024, luas lahan 29.188,5 hektare, dengan total produksi padi 175.081,41 ton.
Sementara pertanian di Kabupaten Batang juga mengalami penurunan. Meski sempat naik pada 2023, tapi terjun lagi di tahun berikutnya.
Tren yang terjadi dalam tujuh tahun terakhir adalah menyempitnya luas lahan, diikuti dengan turunnya produksi beras.
Merujuk data BPS, pada 2018 lahan tanaman padi seluas 34.393 hektare, dengan total produksi beras sebanyak 165.666 ton.
Dan pada 2024 luas lahan turun menjadi 25.536,62, dengan produksi padi yang juga ikut turun, sebanyak 139.924,97 ton.
Adapun tren pertanian di Kabupaten Gresik, sebenarnya mengalami kenaikan dalam tujuh tahun terakhir. Tapi pada 2024, produksi padi terjun bebas karena luas lahannya berkurang sampai 10.000 hektare lebih.
Data BPS menunjukkan, lahan tanaman di Kabupaten Gresik pada 2018 seluas 57.721,64 hektare, dengan produksi padi sebanyak 351.702,39 ton. Terus naik sampai 66.202,61 pada 2023, dan bisa memproduksi padi sebanyak 417.428,58 ton.
Namun pada 2024, luas lahannya menjadi 54.057,45 hektare. Hasil produksi padinya pun ikut turun menjadi 328.959,53 ton.
Utopia swasembada pangan
Pantai Utara Jawa adalah satu lumbung pangan Indonesia, terutama beras, dengan kontribusi 54,22 persen terhadap produksi beras nasional. Ini tertuang dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2025 yang diteken Prabowo setelah menjadi presiden.
Namun alih fungsi lahan atas nama Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN), berdampak signifikan pada ketahanan pangan Indonesia.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin, menyoroti Perpres Nomor 87 Tahun 2021, tentang pembangunan Kawasan Rebana dan Jawa Barat bagian selatan.
Menurut Iwank, panggilan karibnya, Perpres itu menjadi ancaman ketahanan pangan nasional, sebab banyak lahan pertanian beralih fungsi karenanya.
Perpres itu diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Pengembangan Kawasan Rebana Tahun 2020-2030 yang dikeluarkan saat Ridwan Kamil menjadi Gubernur Jawa Barat.
Dalam konteks Segitiga Rebana, yang meliputi Indramayu; Cirebon; dan Subang, kebijakan itu otomatis mengancam Indramayu yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi terbesar di Jawa Barat.
Merujuk Pergub Rencana Aksi itu, lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan Kawasan Rebana mencapai 43.912 hektare. Tapi dalam RTRW kabupaten dan kota yang masuk dalam kawasan Rebana—Indramayu, Subang, Cirebon, Sumedang, dan Majalengka—total luasnya hanya 17.925 hektare.
Selisih 25.987 hektare ini, oleh Iwank dari Walhi Jabar, disebut sebagai “mark up”.
“Luasan KPI (Kawasan Peruntukan Industri) Rebana tidak sesuai kebijakan RTRW Kabupaten/Kota,” kata Iwank.
Merujuk data itu, lanjut Iwank, banyak lahan pertanian dan tambak di Indramayu yang akan hilang.
“Ini tak hanya mengancam alih fungsi kawasan pertanian, tapi juga mengancam ketersediaan air,” imbuhnya.
Dalam RTRW Kabupaten Indramayu 2024-2044 yang tertuang dalam Perda Nomor 9 Tahun 2024, luas kawasan peruntukan industri (KPI) hanya 14.110 hektare.
Namun pemerintah Kabupaten Indramayu menyiapkan lahan KPI seluas 20.000 hektare. Ada selisih 5.890 hektar melebihi dari yang ditetapkan dalam RTRW.
Dari lahan tersebut, 85 persen berada di kawasan pesisir. Oleh karena itu, banyak Lahan Sawah Di Lindungi (LSD) yang terancam hilang karena alih fungsi lahan untuk industri.
Bupati Indramayu, Lucky Hakim, telah dimintai tanggapan terkait persoalan lahan ini, namun hingga liputan ini diterbitkan tak memberikan respons.
Alih-alih memproteksi pertanian, lanjut Iwank, pemerintahan Prabowo Subianto saat ini justru meneruskan program pemerintah sebelumnya yang merusak lahan pertanian.
Padahal, di sisi lain, Prabowo sendiri sedang ngidam terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia.
“Saya tidak bayangkan lumbung pangan yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat Jawa Barat dan nasional, lahan pertaniannya dialih fungsikan. Lalu program ketahanan pangan Prabowo mau dijawab di mana, daerah mana. Nah ini tidak relate,” Iwank heran dengan kebijakan pemerintah yang jauh panggang dari api.
Saat pidato pelantikan tahun kemarin, Prabowo percaya diri di masa kepemimpinannya, Indonesia bisa swasembada pangan, dan menjadi lumbung pangan dunia.
“Kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” kata Prabowo dalam pidato pelantikannya, 20 Oktober 2024.
Belum genap setahun, pada September kemarin, di depan Sidang Umum PBB, 23 September 2025, Prabowo memberanikan diri bercerita kepada dunia, bahwa Indonesia telah mengalami swasembada beras.
Ia pun yakin, beberapa tahun ke depan bisa menjadi lumbung pangan dunia. Katanya, produksi beras dan cadangan gabah Indonesia, menempati posisi tertinggi dalam sejarah.
Di hadapan delegasi berbagai negara pula, Prabowo mengatakan telah mengekspor beras ke negara-negara lain yang membutuhkan.
Namun, data BPS menunjukkan produksi beras tertinggi terjadi pada 2018, bukan di kepemimpinannya.
Pada tahun itu, dari Januari sampai Agustus produksi beras totalnya 45,99 ton. Sedangkan pada 2025, pada rentang waktu yang sama, total produksi hanya 43,75 ton—itu pun masih menggunakan angka sementara dan potensi.
Di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada Vietnam, India, Thailand, Arab Saudi, dan negara lain dalam hal impor beras. Data BPS menunjukkan, sampai Juli 2025, tercatat importasi beras sebanyak 70.543,5 ton.
Kendati begitu, Indonesia juga mengekspor beras ke Uni Emirat Arab pada Juli 2025 silam, sebanyak 1,1 ton beras. Betapapun, jumlah impor jauh lebih banyak ketimbang ekspor.
Ambisi Prabowo untuk mencapai swasembada beras di Indonesia semakin terancam. Ini karena alih fungsi lahan sawah menjadi beton, seperti yang terjadi di Indramayu, Jawa Barat.
Padahal, wilayah Pantura ini, yang sedang mengalami penyusutan lahan, diklaimnya menyumbang lebih dari setengah persen suplai beras nasional.
Sebelumnya, saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Joko Widodo berjanji untuk mempertahankan Indramayu sebagai lumbung padi nasional. Setelah terpilih menjadi Presiden, janji tersebut dihidupkan kembali dengan kunjungannya ke Indramayu.
Pada Oktober 2023, Presiden Jokowi secara simbolis melakukan seremoni panen padi di Desa Karanglayung, Kecamatan Sukra. Lokasi ini diketahui tidak jauh dari desa tetangga, yaitu Mekarsari, tempat tinggal Mang Rodi.
Seremoni panen raya ini dilakukan setelah ia menerbitkan Perpres Nomor 87 Tahun 2021 tentang percepatan pembangunan di Kawasan Rebana yang disebut menjadi akar masalah yang menggusur dan merusak lahan-lahan pertanian di Indramayu.
Sebagai buruh tani, Mang Rodi memiliki tekad kuat untuk mempertahankan lahan sawah di Indramayu, tidak hanya di desanya Mekarsari, tetapi juga di seluruh wilayah.
Bagi Mang Rodi, perjuangan mempertahankan lahan pertanian merupakan isu mendasar yang setara dengan mempertahankan harga dirinya.
Ia menolak keras dan tidak rela jika sawah-sawah produktif di Indramayu digerus atau dialihfungsikan oleh kepentingan perusahaan atau pembangunan apa pun.
“Harapan petani, kebijakan-kebijakan pemerintah supaya bisa mempertahankan pertanian. Jangan hanya mulutnya saja yang pandai bicara, tapi tujuannya tidak sesuai dengan mulut yang disampaikannya,” harap Mang Rodi.
Sementaara Ruskiyah mengeluhkan masalah serius terkait kelangkaan dan mahalnya pupuk.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang seringkali memutuskan impor beras, terutama saat musim panen raya, dinilai menekan dan merugikan petani karena menyebabkan anjloknya harga gabah.
“Saat petani panen, pemerintah malah impor, dan kalau dibeli, harganya murah,” keluh Ruskiyah.
Data BPS menunjukkan total impor beras mencapai 11.700.000 ton lebih selama delapan tahun terakhir.
Ini pukulan keras bagi petani seperti Ruskiyah dan Mang Rodi. Apalagi, impor biasa dilakukan saat masa panen tiba. Itu juga yang mendasari para petani akhirnya beralih profesi.
“Kalau begitu [rugi] terus kan enggak ada hasilnya,” katanya.
Kerugian yang berlipat
Kerugian masyarakat pesisir berlipat-lipat, tidak hanya menaggung dampak kerusakan ekologi, tapi juga ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut fenomena kerugian multidimensi yang diderita masyarakat di tengah gencarnya pembangunan industri ini sebagai “paradoks hilirisasi”.
Paradoks ini merujuk pada kontradiksi di mana program ekonomi nasional yang seharusnya membawa kemajuan justru menciptakan kemunduran dan kerugian bagi masyarakat lokal.
Bhima mengkaji dan menghitung dampak pembangunan kawasan industri KEK dan PSN di Pantura Jawa Timur, Tengah, dan Barat.
Total luas lahan mencapai 12.546 hektare, namun dampak kerusakan akibat hilangnya fungsi lahan per satu hektar, setiap tahunnya sebesar Rp690,98 juta.
Menilik laporan KEK 2024, akumulasi investasi yang terkumpul sebesar Rp263,4 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 160.874 orang.
Namun studi Celios menunjukkan lebih banyak rugi daripada untung. Kehadiran KEK khususnya di pesisir utara Pulau Jawa, justru menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp219 triliun rupiah dalam kurun waktu 10 tahun.
Artinya sampai 2035, meski ada keuntungan, tapi lebih banyak kerugiannya.
“Ada keuntungan, tapi menjadi net loss, banyak ruginya,” kata Bhima.
Serapan tenaga kerja yang diklaim mampu menyerap ribuan tenaga kerja terutama masyarakat lokal, ditepis Bhima. Katanya, serapan tenaga kerja tidak sebanding dari sisi makro dan mikro.
Dari sisi makro, semakin masifnya pembangunan KEK, terutama di era Presiden Joko Widodo, serapan tenaga kerjanya justru semakin tidak berkualitas.
Setiap Rp1 triliun dana investasi yang masuk, pada 2015 menyerap 2.600 orang tenaga kerja. Tapi 2025 semester pertama, serapannya hanya 1.200 orang tenaga kerja.
“Kalau semakin turun, artinya investasi yang masuk juga kurang berkualitas di KEK,” terang Bhima.
Jika dilihat lebih detail, masyarakat sekitar KEK yang mayoritas profesinya nelayan dan petani, tidak nyambung dengan kebutuhan kerja di industri-industri KEK.
Akhirnya, kata Bhima, mereka sebagian besar menjadi tenaga buruh kontrak lepas, atau sub-sub kontraktor. Dan sebagian besar menggunakan sistem outsourcing.
Atau warga yang berharap dari jasa laundry, tempat kos-kosan, ataupun jasa lain yang pendapatannya sangat kecil. Ini menurut Bhima tidak banyak membantu roda perekonomian masyarakat lokal.
“Jadi sebelum dan setelah adanya KEK, tidak ada perubahan yang signifikan,” katanya.
Apa yang dikatakan Bhima persis yang terjadi di Gresik, Kendal, dan Batang.
Di Gresik, banyak nelayan yang akhirnya tidak melaut, dan memilih kerja proyek bangunan di KEK. Di Kendal, sejumlah petambak malah berpikir menjual tambaknya dan memilih membuka usaha kos-kosan.
Melihat realitas yang terjadi, Bhima menganggap angka serapan tenaga kerja proyek industri KEK dan PSN hanyalah klaim yang semu.
Pemerintah, lanjut Bhima, tidak pernah menghitung berapa banyak tenaga kerja lokal yang kehilangan pekerjaannya, alih profesi, dan dampak-dampak lainnya.
Selain degradasi lahan dan banjir rob yang semakin tinggi frekuensinya, juga ada dampak lingkungan terkait dengan kesehatan, yakni akibat PLTU.
Kajian Celios menemukan, sumber energi di KEK datang dari PLTU. Total ada lima PLTU di Jawa yang memasok energi untuk KEK.
Rantai pasok energi berbahan batu bara ini, berdampak pada biaya kesehatan. Dan ini kerugiannya mencapai Rp438 triliun selama 10 tahun.
Bhima menganggap, dalih pemerintah yang mendaku KEK bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan mensejahterakan rakyat, bahkan mengandalkannya untuk menumbuhkan ekonomi 8 persen, hanyalah utopis dan klaim semu.
“KEK tidak efektif menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Pemerintah, menurut Bhima, membuat kesalahan fatal dengan mengubah fungsi lahan pertanian.
Sektor pertanian dan perikanan—baik tangkap maupun budidaya—seharusnya dipertahankan sebagai pilar ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi, tapi realitas yang terjadi justru kontradiktif.
Pemerintah dinilai telah menggerus kedua sektor penting tersebut, yang mengakibatkan kerugian berlipat ganda bagi masyarakat.
Celios menghitung, kerugian dari sektor pertanian, kehutanan, dan ekonomi dari pembangunan KEK di Pantura, mencapai Rp5,70 triliun dalam kurun waktu 10 tahun.
“Swasembada pangan hanya semu. Lahan yang sifatnya produktif sudah diganti besi dan beton,” kata Bhima.
Pakar hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agung Wardana, mengatakan model pembangunan yang diterapkan di Pantura tidak adaptif perubahan iklim, bahkan meningkatkan kerentanan masyarakat dan lingkungan terhadap perubahan iklim.
“Pembangunannya tidak ekologis,” kata Agung.
Kebijakan regulasi yang diterapkan pemerintah dituding menjadi penyebab kerusakan sistem yang menyeluruh, mulai dari tata ruang, perlindungan lingkungan, perlindungan sosial, hingga sistem penanggulangan bencana.
Rantai kerusakan ini berujung pada kondisi Pantura yang semakin hancur, ancaman tenggelam yang kian mendesak, dan menjadikan masyarakat setempat sebagai pihak yang paling dirugikan.
Apa yang terjadi di Pantura, menurut Agung, adalah apa yang disebut sebagai “ekosida”, perusakan lingkungan secara terstruktur, masif dan sistematis.
Negara, melalui kebijakan yang dikeluarkan telah membuka ruang penghancuran ekosistem di Pantura. Negara juga mengkompromikan keselamatan masyarakat yang semestinya diselamatkan dari dampak-dampak krisis iklim.
“Yang dilakukan pemerintah di Pantura dengan memperluas KEK dan menghancurkan ekosistem yang ada di Pantura, bisa disebut sebagai ekosida,” kata Agung.
Ekosida ini terlihat dari keluarnya kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Mulai dari mengubah tata ruang, mempermudah perizinan, dan meminta daerah untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat.
Menurut Agung, ada tiga medium untuk melakukan ekosida: by commission, yang menghancurkan ekosistem secara langsung; by omission, yang membiarkan terjadinya penghancuran; dan by legislation.
“Yang bertanggunjawab ya negara, melalui regulasi-regulasi yang dikeluarkan, sehingga membuka ruang penghancuran terhadap ekosistem,” kata Agung.
Dan dalam konteks keluarnya Perpres yang melahirkan PSN dan KEK, presiden menjadi simbol pemerintahan yang harus bertanggungjawab.
“Apa pun yang dilakukan bawahannya, sudah pasti berdasarkan pada ketika dia dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, sudah pasti kemudian berdasarkan pada mandat yang diberikan oleh presiden,” jelas Agung.
Iwank dari Walhi Jawa Barat menuntut tanggung jawab dari tiga Presiden Indonesia terakhir—yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi), dan Prabowo—atas kerusakan parah pada ekosistem di Pantura.
Secara khusus, Iwank mengkritik keras Presiden Joko Widodo dan menyebutnya sebagai pelanggar HAM berat.
Kritik ini didasarkan pada banyaknya Peraturan Presiden (Perpres) yang dikeluarkan Jokowi, seperti Perpres Kawasan Rebana, yang dinilai merusak lingkungan secara masif
Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham), menegaskan bahwa secara konteks kebijakan eksekutif, seorang presiden wajib bertanggung jawab atas dampak dari peraturan yang diterbitkan.
Ia menilai bahwa kebijakan lingkungan dari tiga presiden Indonesia terakhir bersifat regresif—yaitu kebijakan yang tidak melindungi atau bahkan merusak—dan tidak progresif. Oleh karena itu, ketiganya perlu mempertanggungjawabkan keputusan tersebut.
Pandangan senada disampaikan oleh Bhima Yudhistira dari Celios. Menurutnya, ketiga presiden terakhir tersebut harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi karena mereka berada dalam satu garis kebijakan pembangunan.
Susilo Bambang Yudhoyono menjadi peletak dasar pembangunan KEK dengan MP3EI, dilanjutkan PSN di masa Joko Widodo, dan kini berlanjut di masa Prabowo Subianto.
“Pemerintah daerah yang semakin lemah, tidak bisa mengakomodir aspirasi masyarakat terdampak, itu juga menjadi kesalahan yang cukup fatal,” kata Bhima.
Secara spesifik, Bhima menuntut agar pemerintahan Prabowo Subianto membatalkan penetapan enam KEK baru yang direncanakan akan diresmikan di masa kepemimpinannya.
Permintaan ini didasarkan pada perhitungan kerugian yang masif dan ancaman terhadap ruang hidup masyarakat pesisir.
“Yang tidak sesuai ya memang harus dibatalkan,” tegas Bhima.
Wakil Ketua Tim Pelaksana di Dewan Nasional KEK, Elen Setiadi, mengatakan “tidak melihat ada data” yang menunjukkan apa yang disebut sebagai “ekosida” oleh pakar dan pegiat lingkungan.
Lebih jauh, Elen mengatakan bahwa dia meyakini pelaku usaha dan pengelola di kawasan ekonomi khusus masih menerapkan standar. Apalagi banyak perusahaan global yang beroperasi di KEK, yang pastinya memiliki standar internasional dalam masalah lingkungan.
“Mereka akan bermasalah produknya kalau dalam prosesnya itu ada persoalan lingkungan hidup, tenaga kerja, dan lain sebagainya. Dan ternyata selama ini qualified mereka. Artinya mereka memiliki standar-standar dan pengelola juga memiliki standar-standar itu,” tegasnya.
Mewakili pejabat pemerintah, Elen mempersilakan masyarakat menunjukkan bukti dan data jika memang terjadi kerusakan lingkungan, yang ditimbulkan dari pembangunan KEK di Pantura.
“Tudingan harus berbasis data. Kami tidak menolak kalau memang studinya menunjukkan hal yang sama, atau memang halnya seperti itu. Mari kita lihat seperti apa, sehingga kita bisa mitigasi,” jelas Elen.
Mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo, yang dianggap paling bersalah atas terjadinya apa yang disebut sebagai ekosida dan pelanggaran HAM di Pantura oleh pakar dan pegiat, belum merespons permintaan wawancara.
—
Produksi visual oleh VJ Ivan Batara. Grafis oleh BBC East Asia Visual Journalism
- ‘Ekosida’ di Pantura: Pengembangan industri ancam pesisir utara Jawa makin cepat tenggelam – ‘Banjir sudah puluhan tahun, ini pembiaran sistematis’
- ‘Ekosida’ di Pantura: ‘Kongkalikong’ yang menggerus ruang hidup warga pesisir utara Jawa
- Ekosida: Apakah membunuh alam seharusnya dipidana?
- Penghargaan swasembada beras untuk Presiden Jokowi, ‘tanpa sentuh kesejahteraan petani’
- ‘Food estate tidak berhasil’ – 12 langkah yang harus dilakukan Prabowo agar swasembada pangan tercapai
- Polisi gelar proyek tanam jagung 1,7 juta hektare – ‘Jagung yang ditanam di Jayapura menguning, petani tak kunjung dapat cangkul’
- Tanggul laut raksasa di utara Jawa ‘solusi palsu’ dan ‘bawa masalah baru’, kata aktivis lingkungan
- Pesisir Indonesia terancam tenggelam, puluhan juta jiwa akan terdampak
- Pesisir Indonesia terancam tenggelam: ‘Ini bukan bencana alam, ini bencana buatan manusia’
- ‘Ekosida’ di Pantura: Pengembangan industri ancam pesisir utara Jawa makin cepat tenggelam – ‘Banjir sudah puluhan tahun, ini pembiaran sistematis’
- Pesisir Indonesia terancam tenggelam, puluhan juta jiwa akan terdampak
- ‘Ekosida’ di Pantura: ‘Kongkalikong’ yang menggerus ruang hidup warga pesisir utara Jawa