Dilema pembangunan di Mandalika – Haruskah pariwisata Lombok meniru Bali?

Photo of author

By AdminTekno

Damar, salah satu pemandu selancar terbaik di Pulau Lombok, sangat menikmati pekerjaannya mengantar wisatawan meluncur di atas ombak.

Dengan bahasa Inggrisnya yang fasih dan candaannya yang luwes, tidak ada yang pernah menyangka waktu kecil dia takut dengan orang asing.

“Waktu saya berumur 10 atau mungkin tujuh tahun, saya sering menangis sampai ngompol ketika melihat orang kulit putih,” kata Damar, yang kini berusia 39 tahun, kepada BBC.

Namun, rasa malu itu memudar seiring meningkatnya popularitas Lombok di kalangan wisatawan mancanegara.

Pulau yang masuk ke dalam wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu mulai dikenal di kalangan turis asing pada tahun 2000-an, lewat Gili Trawangan—pulau yang berada di antara Pulau Bali dan Lombok.

Di mata turis asing, Lombok punya magnet tersendiri. Pantai-pantai dan keindahan alamnya hampir sama dengan Bali, tapi bonusnya tidak ada kepadatan di jalan maupun tempat wisata.

Pantai-pantai Lombok juga masih disebut permata tersembunyi di kalangan peselancar, begitu pula Gunung Rinjani bagi para pendaki.

Jadi, tak heran jika pemerintah Indonesia melihat peluang untuk menciptakan surga wisata lain yang menguntungkan selain Bali.

Lombok masuk ke dalam daftar 10 Bali Baru yang dicetuskan pemerintah sejak 2016.

Bagi penduduk pulau, janji “Balinisasi” ini dianggap sebagai peluang yang baik, walaupun di sisi lain mereka juga waspada terhadap dampaknya.

Transformasi Lombok sebagai Bali Baru pun mulai terasa dalam berbagai hal.

Mandalika, sebuah kawasan di selatan Lombok, dipilih sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata untuk mengembangkan program Bali Baru.

Pantainya masih alami perlahan mulai dibangun kompleks terpadu, yang di dalamnya terdapat hotel, resor mewah, kafe, hingga sirkuit balap.

Awal Oktober lalu, penyelenggara mengklaim hampir 150.000 penonton datang untuk menyaksikan ajang balapan bergengsi Motorcycle Grand Prix atau yang dikenal dengan MotoGP.

Sejak 2019 hingga 2021, puluhan keluarga digusur dari kampungnya untuk pembangunan sirkuit Mandalika. Keluarga Damar termasuk di antaranya.

Dulu, Damar dan tetangga-tetangganya hanya bisa pasrah ketika diberi sejumlah kompensasi dan diminta untuk pindah ke permukiman baru yang dibuatkan khusus untuk mereka—jauh dari bibir pantai, tempat mereka mencari rejeki.

“Saya marah, tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Saya tidak bisa melawan pemerintah,” katanya.

Setelah digusur, Damar membeli sebidang tanah dan membangun rumahnya sendiri, hal yang belum bisa dilakukan oleh banyak tetangganya.

Profesinya sebagai pemandu selancar, yang penghasilannya bisa dua kali lipat nelayan, memungkinkan dia untuk melakukan hal itu.

“Saya tidak pernah benar-benar bersekolah, jadi bergabung dengan industri pariwisata adalah salah satu pilihan terbaik yang pernah saya buat,” kata Damar.

“Saya tidak marah pada para turis. Saya hanya marah pada pemerintah saya sendiri.”

Pembangunan destinasi baru

Transformasi Mandalika menjadi Bali Baru belum sepenuhnya rampung. Proses pembangunan masih panjang.

Namun, keinginan pemerintah untuk menarik wisatawan menjauh dari Bali, mulai membuahkan hasil.

Pada 2024 lalu, kunjungan wisatawan ke Pulau Lombok mencapai 3,6 juta, padahal targetnya 2,5 juta wisatawan.

Meski angka itu masih sangat jauh dari jumlah kunjungan wisatawan ke Bali—yang pada tahun lalu mendapatkan 16,4 juta pengunjung—semakin banyak wisatawan yang terpesona daya tarik Lombok.

Berharap Lombok mengikuti jejak Bali, pemerintah telah mengamankan investasi ratusan juta dolar, beserta pinjaman US$250 juta atau setara Rp3,7 triliun dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) pada 2018 lalu.

Modal itu mempercepat transformasi di kawasan.

Di Kuta—salah satu desa di Mandalika—hostel-hostel peselancar yang sederhana sudah digantikan oleh kolam renang berklorin dan kursi berjemur yang empuk, serta sekolah internasional untuk anak-anak ekspatriat.

Meskipun pemerintah memujinya sebagai kisah sukses Lombok, tapi beberapa pihak melihatnya sebagai kisah yang penuh peringatan.

Harga yang harus dibayar untuk membuat ‘surga’

Salah satu pemilik kafe sederhana di Tanjung Aan, Kartini Lumban Raja, mengatakan kepada BBC bahwa penduduk setempat “tidak ingin ‘terorganisir’ seperti Kuta”.

“Ketika pantai mulai terlihat seperti Kuta, pesonanya hilang. Kami kehilangan kesempatan. Kami kehilangan keindahan alam,” ujarnya.

Selama berbulan-bulan, rumor penggusuran telah beredar di Tanjung Aan. Para pemilik usaha mendengar di kawasan itu rencananya akan dibangun hotel mewah.

Beberapa hari setelah BBC mengunjungi Tanjung Aan pada Juli lalu, rumor tersebut terbukti benar.

Sekitar 700 aparat gabungan turun ke pantai untuk menghancurkan 186 warung milik warga lokal, termasuk kafe sederhana milik Kartini.

Video dari hari itu menunjukkan aparat membongkar warung-warung semi permanen, sementara para pemilik kios berunjuk rasa.

“Tadi waktu melihat teman-teman juga di sana, astaga, sekejam ini, sebar-bar ini penggusuran ini. Mereka bukan orang yang berhak membongkar warung itu pun menggebrak-gebrak, menendang tripleks. Itu tidak manusiawi sama sekali,” kata Ella, pemilik warung lainnya, dengan mata berkaca-kaca.

Badan usaha milik negara yang memimpin pengembangan pariwisata Mandalika, InJourney Tourism Development Corporation (ITDC), mengatakan di kawasan itu akan dibangun hotel berkelas “di atas bintang lima” dengan nilai investasi Rp2,1 triliun dan kafe premium. Investornya berasal dari Jepang dan Maroko.

Pihak-pihak yang berwenang mengatakan proyek ini akan menciptakan lapangan kerja dan mendorong perekonomian lokal.

Namun, hal itu tidak banyak menghibur para pemilik kios seperti Ella dan suaminya, Adi, yang telah berjualan kelapa dan kopi di pantai selama tiga tahun terakhir.

“Ribuan orang di sini bergantung pada [lahan pesisir] untuk mata pencaharian mereka,” kata Adi.

“Ke mana lagi kami harus mencari nafkah?”

Pasangan itu mengatakan mereka telah membayar pajak, sehingga mereka berhak berusaha di kawasan itu.

Namun, perwakilan ITDC mengatakan kepada BBC bahwa Tanjung Aan adalah “tanah milik negara”, dan pajak yang dibayarkan oleh bisnis-bisnis tersebut “tidak setara dengan kepemilikan legal atau legitimasi tanah”.

“Pajak itu bukan melegitimasi kegiatan usaha yang dilakukan di atas tanah negara. Itu fokus kepada pajak hiburan dan itu dikutip oleh semua pemerintah provinsi karena kan harus ada PAD (pendapatan asli daerah) dan sebagainya,” kata Direktur operasi ITDC, Troy Warokka.

Peristiwa ini menciptakan ketegangan baru terkait pengembangan pariwisata Mandalika.

Just Finance International, sebuah lembaga pengawas keuangan pembangunan, telah berulang kali menandai “pola pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan proyek Mandalika” dalam beberapa tahun terakhir.

Para pakar hak asasi manusia PBB memperkirakan lebih dari 2.000 orang “kehilangan mata pencaharian utama mereka dalam semalam” akibat penggusuran Tanjung Aan.

Para pemilik warung tidak diberi “pemberitahuan yang memadai” maupun rencana pemukiman kembali yang “sesuai”, kata mereka dalam sebuah pernyataan pada bulan Agustus.

“Masyarakat Mandalika tidak boleh dikorbankan untuk proyek yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan hak asasi manusia,” kata mereka.

Menjawab keresahan itu, ITDC mengatakan ke depannya mereka akan membangun ruang-ruang untuk warga yang memiliki usaha.

Mereka menyebutnya amenity core—ruang publik tempat masyarakat berinteraksi, mengakses pantai, sekaligus “mendapatkan manfaat ekonomi”.

Amenity core ini adalah bagian dari rencana jangka panjang dalam pengelolaan kawasan. Jadi bagaimana para pelaku ekonomi yang sudah pernah terlibat sebelumnya di Tanjung Aan, tetap bisa berinteraksi, tetap bisa berusaha,” kata Troy.

Yang perlu dicatat, pelaku ekonomi yang masuk akan dikurasi dan mereka harus mengikuti aturan yang ditetapkan ITDC, “harus rapi, bersih, nyaman, dan tidak sembarangan”.

“Ini kita lakukan bukan untuk kepentingan ITDC, tapi untuk kepentingan masyarakat dan juga yang paling penting tentunya adalah pemerintah provinsi dan juga akhirnya pemerintah Indonesia,” ucap Troy.

‘Lombok harus menemukan identitas sendiri’

Meski keindahan alamnya memiliki banyak kesamaan, Lombok tetap memiliki karakteristik yang berbeda dengan Bali, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada karakter pariwisatanya.

Mayoritas penduduk di Lombok beragama Islam dan pulau itu memiliki julukan Pulau Seribu Masjid.

Dibandingkan dengan Bali, alkohol tidak begitu mudah didapatkan, tetapi makanan halal tersedia di mana-mana.

Di kawasan wisata Kuta, wisatawan diminta tidak mengenakan bikini dan pakaian minim di area publik, seperti di area perkampungan, pasar, hingga jalan umum.

Kepekaan semacam itu dapat berubah, atau setidaknya bergeser lebih jauh ke pedalaman, seiring meningkatnya pariwisata di sepanjang pesisir.

Para wisatawan yang mencintai Lombok juga tidak senang dengan ‘Balinisasi’.

“Lombok begitu istimewa karena masih memiliki alamnya sendiri dan orang-orang datang untuk melihatnya,” kata turis Swiss Basil Berger. Dia skeptis terhadap “Balinisasi” pulau tersebut.

“Jika mereka ingin melihat Bali, mereka [harus] pergi ke Bali,” katanya. Mengubah Lombok menjadi Bali lain adalah “hal terburuk yang mereka lakukan”.

Kekhawatiran soal kondisi lingkungan juga muncul.

MotoGP tahun lalu, yang diklaim mendatangkan 120.000 penonton ke Mandalika, meninggalkan 35 ton sampah yang sulit dibersihkan oleh pihak berwenang.

“Sebelum mencapai tahap pembangunan seperti Bali, Lombok bisa belajar. Karena menunjukkan tekanan yang sama,” kata pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang berbasis di Bali, Sekar Utami Setiastuti.

Pemerintah harus memastikan “pengembangan pariwisata mendatangkan kesejahteraan bagi banyak orang, alih-alih hanya mendatangkan wisatawan ke Lombok”, tambahnya.

“Lombok harus menemukan identitasnya sendiri, bukan hanya [menjadi] Bali versi kurang ramai.”

Ke mana pun pencarian identitas itu mengarah, era baru telah dimulai di Lombok.

Andrew Irwin adalah salah satu investor asing yang sejak awal tertarik pada pariwisata Lombok yang sedang berkembang.

Pria asal Amerika Serikat ini adalah salah satu pemilik LMBK Surf House, salah satu kamp selancar paling populer di Mandalika.

Menurut dia, bisnis seperti miliknya membantu mengangkat perekonomian karyawan lokal dan keluarga mereka.

“Ini memberi orang lebih banyak kesempatan untuk menghasilkan lebih banyak uang, menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang layak, mendapatkan asuransi yang layak, mendapatkan layanan kesehatan yang layak, dan pada dasarnya menjalani kualitas hidup yang lebih baik,” katanya.

Meskipun “tidak banyak yang bisa dilakukan” terhadap perubahan lanskap Lombok, katanya, “sebagai gantinya kita hanya bisa berharap untuk membawa perubahan positif”.

Pariwisata tentu saja telah membawa kemakmuran bagi banyak penduduk setempat, yang memutuskan untuk mencoba berwirausaha.

“Selama Anda mau bekerja, Anda akan menghasilkan uang dari pariwisata,” kata Baiq Enida Kinang Lare, seorang pemilik penginapan di Kuta, yang dikenal oleh tamunya sebagai Lara.

Tetangga-tetangganya juga sudah memulai bisnis penginapan.

Lara memulai bisnisnya pada 2014 dengan empat kamar. Kini penginapannya sudah memiliki 14 kamar, belum termasuk vila terpisah yang sedang dibangun.

Meskipun ia bersemangat dengan prospeknya, ia jadi agak sendu saat mengenang kehidupan sebelum sibuk mengelola penginapan.

“Sulit menemukan waktu untuk berkumpul dan bertemu semua orang. Inilah yang kami rindukan. Kami merasa waktu berlalu sangat, sangat cepat karena kami sibuk,” ujarnya.

Perasaan itu mungkin juga dirasakan oleh warga lokal di kawasan pariwisata—seperti Bali, Mykonos, hingga Cancun—setiap kali pariwisata mulai berkembang di surga mereka: “Saya merindukan masa lalu, tetapi kami menyukai uang.”

  • Pendakian Gunung Rinjani kembali dibuka, apa saja perbaikan yang dilakukan?
  • Mengapa proyek wisata glamping-seaplane di Gunung Rinjani mendapat penolakan?
  • Gempa Lombok: Nasib wisata Lombok, hoaks tsunami, dan eksodus ribuan turis
  • MotoGP Mandalika selesai, bagaimana warga Lombok tetap mendapat nafkah dan ‘tidak tergilas investor besar’?
  • MotoGP di Sirkuit Mandalika dan tuduhan pelanggaran HAM PBB
  • Polemik Mandalika: Tuduhan pelanggaran HAM oleh PBB dalam pembangunan ‘Bali Baru’

Artikel-artikel yang direkomendasikan:

  • Pembangunan proyek wisata Mandalika dituding melanggar HAM, ‘Hak belum dipenuhi tapi pembangunan jalan terus, ini pemaksaan’
  • World Superbike hendak dihapus dari Sirkuit Mandalika karena rugi miliaran, warga ‘kecewa berat’

Leave a Comment