Maiwand Banayee kini menjalani kehidupan yang bisa dibilang normal.
Saat tak sedang bekerja di Layanan Kesehatan Nasional UK atau sedang belajar untuk menuntaskan studi pascarsarjananya, kemungkinan besar Banayee tengah mengangkat beban di pusat kebugaran tak jauh dari kediamannya di Coventry.
Kehidupan Banayee yang kini terlihat tenang itu berbanding terbalik dengan masa lalunya pada 1990-an. Saat itu, menurut Banayee, “satu-satunya keinginan adalah mati sebagai martir” untuk Taliban sekalipun dia harus ikut operasi bunuh diri.
Banayee berhasil melepaskan diri dari ideologi jihad ekstrem Taliban. Ia lantas menulis buku Delusions of Paradise: Escaping the Life of a Taliban Fighter, yang diharapkan dapat mencegah orang lain terjerumus ke dalam kondisi serupa.
Dalam bukunya, Banayee menjelaskan bagaimana dirinya dulu sempat tergoda oleh janji kejayaan dan diyakinkan bahwa jalan tercepat menuju surga adalah mengorbankan nyawa untuk memperjuangkan “masyarakat Islam yang murni.”
Sejak Taliban kembali ke tampuk kekuasaan di Afghanistan pada 2021, Banayee risau “lonjakan jumlah sekolah agama di Afghanistan” akan membuat generasi baru terpapar ekstremisme dengan mudah.
Dari anak yang lembut menjadi calon mujahid
Maiwand Banayee lahir di Afghanistan pada 1980, sebagai anak bungsu dalam keluarga Pashtun.
“Bagi ayah saya, saya adalah anak yang lembut dan sensitif. Anak-anak di lingkungan sering mengeroyok saya. Ayah serta kakak laki-laki saya mencemooh karena saya tidak melawan,” ujar Banayee, mengisahkan ulang masa lalunya.
Semua itu berubah pada 1994, saat ia berusia 14 tahun. Banayee mulai terpapar radikalisme oleh kelompok jihad di kamp pengungsi Shamshato, Pakistan.
Ia tiba di Pakistan setelah melarikan diri dari Kabul bersama beberapa saudaranya akibat perang saudara di Afghanistan. Orang tuanya menyusul tak lama setelah itu.
Banayee menyebut kehidupan di kamp itu keras, minim kenyamanan, dan sarat propaganda agama. Hari-harinya kala itu dimulai dengan membaca Al-Qur’an sebelum fajar, dilanjutkan pelajaran di madrasah, dan ceramah di masjid.
Di madrasah itulah, para mullah kemudian menjejalinya dengan satu topik: mati syahid.
“Mereka mengatakan dunia ini sudah kafir dan tidak bertuhan, dan hanya mati syahid yang akan membawa seseorang ke surga,” kata Banayee, kembali mengulang kenangan tersebut.
“Situasinya juga sangat mendukung munculnya ekstremisme.”
Baca juga:
- Taliban melarang buku-buku karya perempuan di semua universitas Afghanistan
- Kesaksian ibu yang kehilangan tiga anaknya akibat malnutrisi di Afghanistan
- Kisah para remaja perempuan Afganistan yang jadi penenun karpet akibat dilarang bersekolah oleh Taliban
Ia ingat saat mullah di Pakistan —yang menurutnya jauh lebih politis dan ekstrem dibanding ulama di Afghanistan— mengajarkannya bahwa umat Islam harus menang agar tidak terus hidup dalam penderitaan.
“Mereka menyiapkan kami untuk membunuh dan mengorbankan diri,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa lama-kelamaan pemujaan terhadap kematian itu merasuk dalam pikirannya.
Salah satu yang masih diingat Banayee sampai sekarang adalah tentang bagaimana para mullah menggambarkan surga dengan gambaran erotis: perempuan cantik yang “jutaan kali lebih indah dari wanita di bumi,” berkulit putih, berdada besar, dan berulang kali menjadi perawan setelah setiap hubungan.
Janji itu, terang Banayee, punya dampak besar bagi anak-anak remaja yang lapar, miskin, tertekan secara seksual, dan merasa tak berdaya.
“Janji-janji itu seperti secercah harapan bagi kami,” katanya.
“Saya benar-benar meyakini semua itu, bahwa kehidupan akhirat jauh lebih baik dan saya menginginkannya.”
Shamsato awalnya didirikan pada 1983 untuk menampung pengungsi Afghanistan yang melarikan diri dari invasi Uni Soviet. Belakangan, kamp tersebut dikuasai oleh kelompok Islamis Hezb-e-Islami yang dipimpin oleh Gulbuddin Hekmatyar.
Selama bertahun-tahun, Hekmatyar —bersama sejumlah pemimpin mujahidin Afghanistan lainnya— menerima kucuran dana dari Amerika Serikat untuk menggunakan madrasah sebagai tempat perekrutan orang-orang yang akan melawan pasukan Soviet.
Namun, setelah pasukan Soviet mundur pada 1989 dan Afghanistan terjerumus dalam perang saudara, pengaruh Hekmatyar di Shamshato tetap bertahan.
Bergabung dengan Taliban
Setelah dua tahun di kamp Shamshato, Banayee kembali ke Kabul pada 1996. Saat itu, Taliban mulai berkuasa dan menegakkan hukum syariah yang keras, persis seperti yang diterimanya di Pakistan.
Taliban kala itu melarang televisi, musik, dan bioskop. Anak perempuan juga dilarang bersekolah.
Perempuan dipaksa memakai burka penuh dan laki-laki diwajibkan berjanggut.
Pelaku pembunuhan dieksekusi di depan umum, sementara pencuri dipotong tangannya.
Banayee mengaku dirinya bergabung dengan Taliban, meski tidak ikut bertempur. Perannya adalah membantu menyebarkan propaganda dan menegakkan aturan. Ia pun selalu membawa senjata.
“Sepanjang hidup, saya berjuang dengan keraguan terhadap kejantanan saya dan ingin sekali dianggap berani,” katanya.
“Ketika saya membawa senjata di bahu, saya merasa dunia berada di bawah kaki saya.”
Baca juga:
- Taliban di Afghanistan: Menyelami isi pikiran pemimpin tertinggi Taliban setelah dua tahun berkuasa
- Lima momen penting ketika hak-hak perempuan Afghanistan dihancurkan
- Taliban larang murid-murid perempuan ke luar negeri untuk bersekolah
Ia menuturkan sebuah peristiwa, di mana saat pulang ke rumah ia mendapati orang tuanya membeli televisi hitam-putih. Adik perempuannya sedang menonton.
“Saya hancurkan televisi itu dan bertengkar dengan ayah saya,” ujar Banayee.
“Mereka bilang saya sudah gila. Mereka tak mengerti kenapa saya begitu benci televisi. Saya diajarkan di madrasah bahwa jika ibu dan saudara perempuan menonton televisi dan melihat pria tanpa janggut, mereka akan tertarik dan ingin berzina.”
‘Kalau mereka mewakili Islam, kenapa begitu kejam?’
Pada masa itu, Banayee terus menunggu panggilan untuk ikut berperang melawan pasukan Ahmad Shah Massoud—mantan komandan mujahidin yang menentang Uni Soviet dan berbalik menolak Taliban.
Massoud belakangan dibunuh al-Qaeda dua hari sebelum serangan 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat.
“Satu-satunya impian saya adalah pergi ke utara dan mati syahid,” katanya.
Namun, setelah beberapa bulan, Banayee mulai meragukan jalan yang dipilihnya.
Ia sempat kembali ke Pakistan, berharap diterima di Darul Uloom Haqqania yang sering dijuluki “Universitas Jihad” karena rekam jejak sejumlah alumnusnya, tapi tidak diterima.
Dalam perjalanan pulang ke Kabul pada 1997, sebuah insiden membekas di ingatannya.
“Setelah salat, beberapa pejuang Taliban menghentikan saya dan menyuruh saya salat lagi. Saya bilang baru saja melakukannya, tapi mereka tak peduli. Mereka mengancam akan memukul saya dengan senjata kalau tidak menuruti. Rasanya salah, sangat tidak hormat. Saat itu ego saya terluka.
“Saya berpikir: ‘Saya mencintai Taliban, tapi apakah begini cara mereka memperlakukan saya?'”
Tak lama kemudian, ia menyaksikan eksekusi publik di Stadion Ghazi Kabul, sarana yang dibangun untuk olahraga dan kegiatan publik, tapi justru digunakan Taliban untuk menghukum dan mengeksekusi tahanan.
“Mereka memotong tangan. Saya memejamkan mata. Lalu seseorang dipaksa menembak pembunuh saudaranya sendiri,” ujarnya, mengenang peristiwa berdarah tersebut.
“Saat itulah saya mulai ragu: ‘Kalau mereka mewakili Islam, kenapa begitu kejam?'”
Meninggalkan Afghanistan
Banayee menghabiskan beberapa tahun berikutnya dengan bolak-balik antara Afghanistan dan Pakistan. Ia belajar di sekolah agama, membuat batu bata, dan berjualan sayur.
Di kamp Shamshato, ia mengingat kerap terjadi bentrokan antara polisi Pakistan dan para pemuda berlatih agama.
Pada akhirnya, Banayee mengaku meninggalkan kamp pada 2001, lantaran berseliweran kabar bahwa polisi akan menyerbu kamp dan ia takut bakal diringkus.
Dia menempuh perjalanan panjang melewati Rusia dan Dubai hingga tiba di Inggris. Dia mengaku permohonan suaka yang diajukannya pada 2002 sempat ditolak.
Banayee menuturkan bahwa ia sempat tidur di taman dan bilik telepon umum di Cardiff. Pada lain malam, petugas imigrasi datang ke rumah tempat ia menumpang, tapi ia lolos dengan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Dua tahun kemudian, ia pergi ke Irlandia—namun permohonan suakanya kembali ditolak.
Namun, nasib baik menyertai di Irlandia. Ia bertemu seorang perempuan Irlandia dan kemudian dinikahinya.
Meski menikah dengan warga negara Irlandia tidak otomatis membuat seseorang berhak menetap di negara tersebut —setiap kasus ditinjau secara individu.
Belakangan, ia diperbolehkan tinggal lalu menjadi warga negara Irlandia.
Pada 2023, ia pindah ke Coventry. Ia kini bekerja di Layanan Kesehatan Nasional sebagai pelatih pasien diabetes. Ia dan istrinya berpisah dua tahun lalu, namun mereka memiliki seorang putri berusia 17 tahun yang masih bersekolah.
“Ia bangga pada saya, dan tahu segalanya tentang masa lalu saya,” katanya.
Proses keluar dari radikalisme — ‘Panjang dan lambat’
Seperti apa proses untuk dirinya akhirnya bebas dari radikalisme?
Banayee menyebut proses itu “panjang dan lambat.”
“Indoktrinasi butuh waktu untuk tertanam,” ujarnya, seraya menambahkan, “Begitu pula proses keluar dari pola pikir itu yang tidak terjadi dalam sekejap.”
Ia menyebut setiap keraguan yang muncul sebagai “retakan kecil” yang perlahan memperlemah keyakinan lamanya.
“Keraguan-keraguan kecil itu akhirnya membuat saya runtuh dari dalam,” ujar Banayee.
Hingga kini, ia masih merasa bayang-bayang masa lalu itu memengaruhi kehidupannya. Impian mati syahid di masa muda itu kini bersalin menjadi mimpi buruk yang terus menghantui.
“Saya hidup di dua dunia yang sangat berbeda. Perbedaan itu membuat hubungan saya dan mantan istri sulit bertahan. Apa pun yang saya alami di masa lalu, akan selalu memengaruhi masa kini dan masa depan saya,” ujarnya.
Namun Banayee sadar hidupnya bisa berakhir jauh lebih kelam. Banyak teman masa mudanya di Afghanistan kini masih berada dalam lingkaran ekstremisme.
“Beberapa teman sekelas saya di madrasah menjadi pelaku bom bunuh diri dan menewaskan diri mereka serta orang lain. Saya berubah, tapi mereka tidak,” katanya.
Dia menilai dalam beberapa hal peaku bom bunuh diri adalah korban yang ditarget dan dimanfaatkan kelompok militan di wilayah itu.
Banayee terakhir mengunjungi Afghanistan pada 2019. Kini, setelah Taliban kembali berkuasa dan ia menulis kritik terbuka di bukunya, ia menilai terlalu berbahaya untuk kembali ke sana.
Lalu, apa pesannya bagi generasi muda yang rentan terpapar radikalisme?
Pertanyakan segalanya, terang Banayee.
“Saya dulu mencari makna dan spiritualitas dalam hidup, dan saya pikir semua itu ada di jalan itu,” ujarnya.
Ia mengaku dulu percaya pada berbagai mitos, bahwa jasad mereka yang mati syahid tidak akan membusuk, dan burung-burung akan memberi peringatan pada umat Islam ketika pesawat musuh datang.
Namun akhirnya, ia menyadari satu hal: “Tidak ada satu pun yang benar.”
- Taliban pulihkan layanan internet di Afghanistan – ‘Kami buta tanpa internet’
- Setahun kekuasaan Taliban, bagaimana hak-hak perempuan Afganistan direnggut?
- ‘Afghanistan saat ini adalah ancaman yang lebih besar untuk dunia dibanding 2001’