Kampung di Buton meminjam aksara Korea demi lestarikan bahasa Cia-Cia yang terancam punah – Berhasilkah mereka?

Photo of author

By AdminTekno

Di tengah pesona budaya Indonesia, sebuah kisah pelestarian bahasa yang unik terukir di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Sejak 2010, masyarakat Kampung Karya Baru, Sorowalio, Baubau, memutuskan untuk meminjam aksara Hangeul dari Korea Selatan sebagai upaya penyelamat bagi bahasa Cia-Cia yang terancam punah. Inisiatif ambisius ini sempat membawa kebanggaan dan sorotan dunia bagi kampung kecil tersebut.

Namun, setelah lima belas tahun berlalu, adaptasi aksara Hangeul dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masih terbatas. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2024 bahkan menyimpulkan bahwa penggunaan aksara Hangeul ternyata belum efektif membantu pelestarian bahasa Cia-Cia. Lalu, apa penyebab di balik hasil yang kurang memuaskan ini?

Pemandangan tak biasa menyambut di Kampung Karya Baru: sebuah halte di depan pasar tradisional bertuliskan aksara Hangeul yang berbunyi, “할때 빠싸르 까르야바루”. Intan Ayu Meilani, seorang pelajar berusia 15 tahun di kampung itu, dengan fasih membaca, “Bacanya, ‘Halte Pasar Karya Baru’.” Meskipun tidak menguasai bahasa Korea, Intan mampu membaca tulisan tersebut karena pernah mempelajarinya di kelas empat SD. Ia mengisahkan, para pengajar dari Korea Selatan memperkenalkan aksara Hangeul bukan untuk mempelajari bahasa Korea, melainkan sebagai media untuk melestarikan bahasa Cia-Cia, bahasa asli kampung mereka yang kian tergerus zaman.

Di sekitar halte tersebut, plang jalan dan papan nama sekolah juga dihiasi dengan huruf Hangeul. Ironisnya, rekan kami dari BBC Korea, Hyunjung Kim, meski lancar membaca dan melafalkan tulisan Hangeul tersebut, tidak memahami maknanya. Ini karena kalimat-kalimat yang tertulis sejatinya adalah gabungan bahasa Indonesia dan bahasa Cia-Cia, dialihaksarakan ke Hangeul.

Inisiatif adaptasi aksara Hangeul ini berawal dari sebuah obrolan santai yang kemudian berkembang menjadi gagasan serius. Pada Simposium Internasional Pernaskahan ke-9 di Agustus 2005, Ketua Departemen Hunmin Jeongeum Society, Chun Tai-Hyun, secara spontan mengatakan kepada Wali Kota Baubau saat itu, Amirul Tamim, bahwa bahasa Cia-Cia memiliki kemiripan bunyi dengan bahasa Korea. Hunmin Jeongeum sendiri adalah lembaga yang aktif mempromosikan Hangeul sebagai sistem penulisan bagi komunitas bahasa minoritas di berbagai negara seperti Nepal, Mongolia, dan China.

Mendengar hal tersebut, Tamim pun menceritakan kondisi bahasa Cia-Cia yang terancam punah lantaran tidak memiliki sistem penulisan yang baku. Sebelumnya, upaya pelestarian pernah dilakukan dengan menggunakan aksara Arab gundul, namun pendekatan ini terbukti tidak efektif karena banyak pelafalan yang berubah makna saat ditulis.

Melihat permasalahan ini, Chun Tai-Hyun lantas merekomendasikan adaptasi aksara Hangeul. Pada tahun 2009, Pemerintah Kota Baubau secara resmi menerima tawaran tersebut, dengan tujuan utama “pelestarian bahasa Cia-Cia”. Inisiatif ini juga mendapat restu dari para tokoh masyarakat di Kecamatan Sorowalio, wilayah yang mayoritas penduduknya merupakan penutur asli bahasa Cia-Cia. Salah satu alasan kuat di balik pilihan ini, seperti yang dijelaskan Chun Tai-Hyun dalam jurnalnya pada 2010, adalah efektivitas aksara Hangeul dalam mentranskripsi beberapa bunyi khas bahasa Cia-Cia yang sulit diwakili oleh aksara Romawi, seperti bunyi implosif /p/ dan /t/. Penggunaan huruf p dan t standar pada kasus ini dapat mengubah makna kata secara fundamental.

Pada tahun 2014, misi adaptasi aksara Hangeul ini dilanjutkan oleh Korean Cia-Cia Cultural Exchange Association (KCCEA). Jung Deuk Young menjadi guru pertama yang mengajar aksara Hangeul di Buton dan masih aktif hingga kini. Jung menjelaskan, “Tujuan Cia-Cia Hangeul sharing adalah untuk memastikan bahwa orang-orang tanpa bahasa tulis dapat hidup bersama dan berkembang, menggunakan Hangeul sebagai alat.”

‘Kami ingin bahasa kami lestari’

Sebagai langkah awal dari kesepakatan tersebut, dua orang guru dari Kampung Karya Baru, salah satunya Abidin, dikirim ke Korea Selatan untuk mendalami aksara Hangeul. Abidin menempuh studi selama enam bulan di Seoul National University, tempat ia menyadari adanya kemiripan pengucapan antara beberapa karakter Korea dengan bahasa Cia-Cia. Sekembalinya ke Baubau, Abidin mulai mengajar aksara Hangeul kepada siswa kelas 4 dan 5 SD, mendapati bahwa anak-anak didiknya “tidak terlalu kesulitan” dalam mempelajarinya.

“Karena ini kami tidak mempelajari bahasa baru, kami ini hanya meminjam,” tegas Abidin, menekankan bahwa fokus utama adalah transliterasi, bukan penguasaan bahasa Korea. Warga Kampung Karya Baru, menurut Abidin, menyambut baik usulan adaptasi aksara Hangeul karena dorongan kuat untuk melestarikan bahasa asli mereka. “Kami ingin bahasa Cia-Cia terpelihara, terjaga dan keaslian itu tetap ada. Artinya, bisa lestari. Generasi anak-anak sekarang itu sudah kurang tahu lagi bagaimana menggunakan bahasa Cia-Cia dengan benar,” ungkapnya.

Sebagai wujud konkret pelestarian, Abidin berhasil menerbitkan kamus bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Hangeul pada tahun 2021. Kamus ini kini menjadi acuan penting dalam proses pembelajaran di beberapa sekolah. “Itu yang sudah coba kami lakukan sebagai langkah-langkah supaya huruf-huruf ini bisa terdokumentasikan,” tambahnya.

Tim BBC News Indonesia berkesempatan mengunjungi SD Negeri Karya Baru untuk melihat langsung implementasi pembelajaran bahasa Cia-Cia dengan aksara Hangeul. Di sana, Rasyid, guru yang juga pernah belajar di Korea Selatan pada 2012, membuka kelas dengan sapaan khas Korea, “Annyeonghaseyo!”. Cara ini sengaja diterapkan Rasyid untuk membangkitkan minat siswa-siswanya. “Anak-anak ini lewat media sudah melihat Kpop segala macam. Jadi sengaja kata-kata seperti itu saya pakaikan bahasa Korea supaya kalau mereka melihat di TV atau drama Korea itu mereka mengerti,” jelas Rasyid.

Rasyid juga memiliki pendekatan unik untuk menarik perhatian murid-muridnya terhadap aksara Hangeul yang terbilang asing. “Saya sampaikan, ‘Seandainya kalian bisa menulis, nanti kalau menulis rahasia, walaupun dibaca orang, apa sih yang ditulis ini anak? Karena orang tidak tahu menulis, tidak bisa membaca. Jadi walaupun kamu tulis yang rahasia, dilihat orang tidak apa-apa’,” tuturnya.

Beberapa siswa yang diwawancarai mengaku senang bisa belajar aksara Hangeul, terlebih karena mereka juga akrab dengan budaya pop Korea Selatan. “Pertama kali agak susah, tapi lama-lama gampang,” kata Asyifa, seorang siswa berusia 10 tahun, yang juga menyimpan harapan untuk mengunjungi Korea Selatan suatu hari nanti. Sebagian besar murid sudah mampu berbahasa Cia-Cia karena terbiasa menggunakannya di rumah, sementara sebagian lainnya lebih fasih berbahasa Indonesia. Namun, ketika diminta untuk berbicara Cia-Cia secara lisan, banyak yang merasa kurang percaya diri.

Rasyid mengakui bahwa salah satu tantangan terbesar dalam mengajar bahasa Cia-Cia adalah kurangnya pemahaman di antara para murid, bahkan bagi anak-anak keturunan suku Cia-Cia. “Anak-anak yang berada di suku Cia-Cia saja, untuk saat ini, tidak semua juga paham kata-kata dalam bahasa Cia-Cia itu,” ungkapnya. “Sebagian mereka bisa. Sisanya mereka bertanya, ‘Pak, ini apa bahasa Cia-Cia?’ Setelah kami berikan baru, mereka nyambung. Jadi pengenalan aksara Cia-Cia ini agak sedikit lambat.” Rasyid menambahkan bahwa situasi ini sangat berbeda dengan masa lalu, di mana guru kesulitan memahami bahasa daerah yang digunakan oleh siswa.

Meski demikian, pemanfaatan aksara Hangeul belum meresap ke luar lingkungan kelas. Pembelajaran aksara Hangeul masih terbatas pada siswa kelas 4 dan 5 SD di beberapa sekolah, dan itupun berstatus sebagai mata pelajaran ekstra. Kepala Sekolah SDN Karya Baru, Samsia Samiun, menjelaskan, “Kami belum bisa melanjutkan ke tingkat selanjutnya karena kurikulumnya belum ada. Kami mengajarkannya di sekolah kami berdasarkan kerja sama pemerintah dengan pihak Korea. Sebatas itu saja.” Artinya, Pemerintah Kota Baubau hingga kini belum memiliki program pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan untuk menyebarkan aksara Hangeul ke lebih banyak sekolah.

Keterbatasan jumlah guru juga menjadi kendala serius, kata Samsia. Saat ini, hanya ada tiga guru yang mengajar aksara Hangeul di seluruh Kota Baubau. “Harapan kami supaya ini bisa berkelanjutan. Seharusnya kan berjenjang, tapi di sekolah kami saja pengajarnya cuma satu orang,” keluhnya. Di luar sekolah, anak-anak juga kesulitan mempraktikkan aksara Hangeul karena orang tua, keluarga, dan tetangga mereka umumnya belum mempelajarinya.

Survei kecil di depan halte Pasar Karya Baru menunjukkan bahwa beberapa warga mengaku tidak bisa membaca aksara Hangeul. “Saya sudah tidak bisa baca lagi bahasa ini karena kan sudah lama, saya tidak pelajari lagi. Terakhir saya belajar itu kan sudah tahun 2017,” kata Hasni, yang mengaku lupa karena tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Warga lainnya, Yusminar (41), bahkan belum pernah memiliki kesempatan untuk mempelajarinya. “Sebenarnya pengin [belajar], tapi tidak ada pembelajaran khusus untuk orang dewasa. Hanya ada di SD,” keluhnya.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Baubau, Eko Prasetyo, mengakui bahwa pelajaran aksara Hangeul masih merupakan “produk tambahan” yang diajarkan sebagai “pelajaran ekstrakurikuler”. Namun, Eko tetap meyakini bahwa adaptasi aksara Hangeul memiliki tujuan mulia untuk “mempertahankan dan melestarikan bahasa Cia-Cia”. “Kami menganggap ini sebagai sesuatu yang positif. Dengan aksara Hangeul, Insya Allah ini [bahasa Cia-Cia] menjadi sesuatu yang tidak akan hilang,” ujar Eko optimis.

Upaya anak muda memasifkan aksara Hangeul lewat ‘Kampung Korea’

Sarianto, 31 tahun, adalah salah satu penutur asli bahasa Cia-Cia yang turut merasakan dampak kerja sama ini. Saat program adaptasi aksara Hangeul dimulai pada 2010, Sarianto masih duduk di bangku SMA dan berkesempatan mempelajari bahasa Korea. Ini merupakan bagian dari kesepakatan: siswa SD diajarkan bahasa Cia-Cia dengan Hangeul, sementara siswa SMA mempelajari bahasa Korea. Berkat program ini, Sarianto bahkan berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Korea Selatan.

Sekembalinya ke kampung halaman pada 2018, Sarianto bersama teman-temannya membentuk komunitas Kampung Korea. Merekalah sosok di balik tulisan-tulisan aksara Hangeul yang kini menghiasi ruang publik di Kampung Karya Baru. “Salah satu agendanya itu memasifkan tulisan-tulisan bahasa Cia-Cia itu dengan alfabet Korea. Misalnya nama jalan, nama tempat-tempat umum, kemudian semboyan-semboyan yang kami tulis di dinding rumah warga,” papar Sarianto. Dinding-dinding di kampung mereka lukis dengan aksara Hangeul, dan mereka bahkan menyewakan pakaian tradisional Korea Selatan, hanbok, kepada pengunjung. Inisiatif ini berhasil memikat wisatawan, sehingga Kampung Karya Baru dijuluki sebagai “Kampung Korea”. Namun, aktivitas mereka terpaksa terhenti saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020.

Bagi Sarianto, aksara Hangeul tak hanya membawanya terbang ke negeri orang, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga terhadap bahasa Cia-Cia. “Dulu pas masuk sekolah [saya] belum bisa bahasa Indonesia, itu menjadi aib. Dibilang, ‘Dia hanya bisa bahasa kampung’,” kenang Sarianto. “Ketika pertama kali diadopsi, kemudian ada kerja sama ini, jadi seperti mengangkat bahwa ternyata bahasa kita itu bukanlah bahasa yang harus kita malu untuk kita gunakan,” tambahnya dengan bangga. Meski demikian, Sarianto menyadari bahwa penggunaan aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia masih belum mencapai potensi maksimalnya. “Karena ini berbeda dengan aksara yang biasanya digunakan masyarakat, sehingga butuh proses pengalihan dulu. Harus belajar dulu alfabet Hangeul itu. Itu tentu butuh waktu,” akunya.

Penggunaan aksara Hangeul masih simbolis

Setelah 15 tahun program ini berjalan, Balai Bahasa Sulawesi Tenggara menyimpulkan bahwa penggunaan aksara Hangeul “masih simbolis”. Oleh karena itu, implementasi kebijakan ini dinilai perlu ditinjau kembali. Secara fonetik, aksara Hangeul yang terstruktur memang dianggap “cocok” untuk menuliskan bahasa Cia-Cia. Namun, permasalahan krusial terletak pada penerimaan masyarakat.

“Penggunaan aksara ini mungkin masih bersifat simbolis dan tidak berkembang secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari,” kata Mifta Huzaena dari Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara dalam konferensi internasional mengenai preservasi bahasa dan sastra Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) pada 21 Februari 2025. “Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih matang dalam implementasi aksara Hangeul untuk bahasa Cia-Cia,” lanjut Mifta, menekankan bahwa inisiatif untuk menggunakan aksara Hangeul ini justru datang dari pemerintah, bukan dari penutur asli bahasa Cia-Cia.

“Semestinya dilakukan lokakarya ortografi lebih dulu untuk melihat kembali kebijakan ini, apakah implementasinya baik atau harus dicermati ulang,” jelas Mifta. Ia menggarisbawahi bahwa penggunaan jangka panjang aksara Hangeul tidak akan berkelanjutan tanpa dukungan pendidikan yang kuat dan penerimaan yang luas dari komunitas. “Ke depan, kajian lebih mendalam dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan akan menjadi kunci keberhasilan pelestarian bahasa Cia-Cia melalui sistem tulisan yang tepat,” pungkasnya.

Saat ini, pelajaran aksara Hangeul di Kampung Karya Baru dan Kampung Bugi diajar oleh guru-guru lokal seperti Abidin dan Rasyid. Sementara itu, pengajar dari Korean Cia-Cia Cultural Exchange Association (KCCEA), Jung Deuk Young, kini lebih berfokus mengajar aksara Hangeul di Kabupaten Buton Selatan, dengan alasan bahwa penutur bahasa Cia-Cia lebih banyak tersebar di wilayah tersebut dibandingkan di Baubau. Menanggapi kritik bahwa penerapan aksara Hangeul masih simbolis, Jung mengakui kendala terbesar adalah keterbatasan tenaga pengajar. Proses pembelajaran di sekolah yang tidak berkelanjutan dan kurangnya praktik dalam keseharian masyarakat juga menjadi masalah. KCCEA, kata Jung, menyadari tantangan ini dan sedang berupaya mengajak pihak lain di Korea Selatan untuk mengirimkan lebih banyak tenaga pengajar demi efektivitas misi ini.

Tidak membantu pelestarian bahasa Cia-Cia

Penelitian dari Dallas International University yang dilakukan oleh Emily Paige Havens menyimpulkan bahwa upaya pelestarian bahasa Cia-Cia akan lebih efektif jika menggunakan aksara Latin dibandingkan Hangeul. Emily, yang meneliti bahasa Cia-Cia di Kampung Bahari, Buton, dari Oktober 2022 hingga Juni 2023, menilai bahwa aksara Hangeul kurang sesuai dengan struktur fonetik bahasa Cia-Cia.

Emily menjelaskan, sistem penulisan aksara Hangeul berbasis suku kata dalam bentuk blok dengan pola konsonan-vokal-konsonan, di mana setiap suku kata wajib dimulai dengan konsonan. Akibatnya, Hangeul memiliki keterbatasan untuk menuliskan suku kata yang hanya berupa vokal, seperti bunyi “a”. Padahal, dalam bahasa Cia-Cia, terdapat banyak suku kata yang terdiri dari vokal tunggal. Contohnya, kata “Cia-Cia” itu sendiri, yang memerlukan penambahan huruf mati agar dapat ditulis dalam aksara Hangeul. “Tidak masalah menggunakan huruf mati. Masalahnya, mereka mencoba bilang bahwa huruf Latin tidak cocok karena aksaranya tidak cukup mewakili. Tapi dalam aksara Hangeul, mereka menghadapi masalah yang sama,” tegas Emily dalam wawancaranya dengan BBC News Indonesia. “Aksara Hangeul tidak memecahkan masalah yang juga ditemukan pada penggunaan aksara Latin,” tambahnya.

Masalah lain yang diidentifikasi Emily adalah kesulitan penerimaan aksara Hangeul oleh penutur bahasa Cia-Cia yang sudah terbiasa dengan aksara Latin, atau bahkan aksara Arab. Hangeul, bagi mereka, memaksa pembelajaran sistem aksara baru yang asing. Dengan aksara Latin, mereka bisa langsung membaca tulisan Cia-Cia, mungkin dengan sedikit modifikasi, tanpa perlu memulai dari nol. “Tapi, setidaknya, mereka tidak memulai dari nol. Mereka tidak perlu mempelajari keseluruhan sistem aksara baru,” kata Emily.

Pada akhirnya, Emily berpendapat bahwa aksara Hangeul “tidak membantu pelestarian bahasa Cia-Cia”. Selama 15 tahun, program ini hanya diikuti oleh dua kampung dari puluhan kampung penutur bahasa Cia-Cia, dengan jumlah guru yang tidak bertambah. Emily menilai, tidak ada salahnya melakukan uji coba kesesuaian sebuah aksara, namun 15 tahun sudah terlalu lama untuk sekadar uji coba tanpa progres yang signifikan. “Ini tidak membantu. Untuk melestarikan sebuah bahasa, kita harus membuatnya semudah mungkin dan menghilangkan segala hambatan yang ada. Aksara baru justru menjadi hambatan,” tutur Emily, menyarankan agar program ini sebaiknya dihentikan karena dianggap kontraproduktif.

Menanggapi penelitian tersebut, Jung Deuk Young dari KCCEA menyatakan bahwa setiap pihak bebas memiliki pendapat. Namun, dengan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Baubau, Jung meyakini bahwa aksara Hangeul “berarti bisa membantu”. Mengenai kekurangan aksara Hangeul dalam merepresentasikan bahasa Cia-Cia seperti yang disoroti Emily, Jung berargumen: “Daripada tidak punya huruf sama sekali, lebih baik dipakai supaya punya walaupun banyak kekurangannya.” Baginya, upaya mengadaptasi aksara adalah misi jangka panjang. “Untuk belajar aksara itu lama. Bahkan dulu, Raja Sejong yang membuat aksara [Hangeul] ini perlu waktu ratusan tahun sampai bisa dipakai seperti saat ini,” jelasnya. Untuk saat ini, Jung berharap akan ada lebih banyak guru yang dapat mengajar aksara Hangeul di Pulau Buton.

Penutur bahasa Cia-Cia, Sarianto, juga menyadari tantangan dalam pengembangan adaptasi aksara Hangeul. Kendati demikian, ia masih menyimpan harapan besar. “Saya tentu berharap artinya kerja sama ini tidak berakhir begitu saja tanpa membuahkan hasil,” kata Sarianto. “Saya berharap kerja sama ini terus disambut baik oleh masyarakat dengan tentu ikut terlibat di dalam pengembangannya.” Betapapun beratnya tantangan dalam melestarikan bahasa Cia-Cia, Sarianto tidak patah arang. Ia memiliki cita-cita untuk suatu hari nanti membuat buku cerita anak-anak dalam bahasa Cia-Cia menggunakan aksara Hangeul.

Wartawan di Baubau, Irfan Mihzan berkontribusi dalam laporan ini.

  • Penutur terakhir bahasa Ponosakan yang hampir punah
  • Bisakah Anda melupakan bahasa ibu Anda?
  • Tip dan trik ampuh mendidik anak mahir lebih dari satu bahasa
  • ‘Tidak ada lagi yang menggantikan kami’ – Sikerei, penjaga tradisi Mentawai yang perlahan hilang ditelan zaman
  • Kisah satu keluarga lintas generasi merawat candi Buddha terbesar di dunia – ‘Saya dilahirkan untuk melestarikan Borobudur’
  • Kebaya: Warisan banyak budaya di Asia Tenggara, simbol pemberontakan sekaligus pemberdayaan perempuan
  • Kisah kebangkitan bahasa Ainu milik penduduk asli yang pernah dihilangkan Jepang
  • Cara anak muda Mentawai menjaga tradisi – ‘Kami bukan orang-orang terbelakang’
  • Gunung Padang ‘berpotensi menjadi piramida tertua di dunia’ – Bagaimana bentuk dan fungsinya?
  • Laki-laki yang berjasa menghidupkan kembali bahasa suku Aborigin yang mati
  • Tip dan trik ampuh mendidik anak mahir lebih dari satu bahasa
  • Kisah kebangkitan bahasa Ainu milik penduduk asli yang pernah dihilangkan Jepang
  • ‘Rasanya sedih dan menyesal kalau bahasa ini hilang’ – Penutur terakhir bahasa Ponosakan yang hampir punah
  • Inikah saat yang tepat sepanjang sejarah untuk mempelajari bahasa asing?
  • Saat merantau ke luar negeri, apakah bahasa Inggris sudah cukup?

Leave a Comment