Prabowo restui pembentukan Ditjen Pesantren di Kemenag, apa urgensinya?

Photo of author

By AdminTekno

Presiden Prabowo Subianto merestui usulan pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di Kementerian Agama.

“Saya merestui usulan dibentuknya Direktorat Jenderal Pesantren,” kata Prabowo, saat memberi sambutan dalam agenda Hari Santri Nasional, Jumat (25/10).

Prabowo menyebut, pemberian restu dibentuknya Ditjen Pesantren menunjukkan prioritas strategis pemerintah untuk semakin memperhatikan, melindungi, dan memperkuat posisi pesantren di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan terkait alasan Presiden Prabowo membentuk Ditjen Pesantren yang rupanya bermula dari peristiwa di Ponpes Al Khoziny

Akibat tragedi tersebut, Prabowo merasa perlu memberikan perhatian lebih kepada ponpes di Indonesia.

“Dari peristiwa itu kita mendapatkan fakta bahwa nampaknya kita semua pemerintah perlu untuk memberikan perhatian yang lebih kepada pondok-pondok pesantren,” beber Prasetyo, di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (22/10).

Rencana pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kementerian Agama disambut baik oleh kalangan akademisi, orang tua, hingga para santri.

Akademisi menilai pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren bisa memperluas wewenang Kementerian Agama (Kemenag) untuk memaksimalkan fungsi pesantren—pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.

Selama ini penempatan pesantren di bawah Ditjen Pendidikan Islam dinilai membatasi fungsi pesantren dalam hal pendidikan saja. Hal itu membuat dukungan pemerintah buat lembaga pendidikan itu dianggap “sangat minim”. Padahal, total santri mencapai jutaan orang di seluruh Indonesia.

Kementerian Agama menyebut, jumlah pesantren di seluruh Indonesia lebih dari 42.000 dengan total santri mencapai enam juta orang.

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bahkan menyebut jumlah santri mencapai 11 juta orang, sedangkan pihak Istana menyebut 16 juta santri.

Itulah sebabnya, negara merasa harus hadir untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik buat masyarakat yang memilih pesantren sebagai tempat pendidikan karena semua anak bangsa berhak mendapatkan “kesempatan yang sama”, kata Dirjen Pendidikan Diniyah dan Pesantren, Basnang Said.

Saat ini pembentukan Ditjen Pesantren masih harus memenuhi beberapa proses—menunggu peraturan presiden, kemudian peraturan menteri.

Namun, masyarakat sudah menyambut dengan antusias dan menaruh banyak harapan.

‘Pesantren dimarjinalkan’

Para santri dan wali santri mengapresiasi langkah pemerintah membentuk ditjen khusus untuk pesantren.

Ahmad Faqih—yang menyekolahkan dua anaknya di pesantren—menganggap keputusan itu sebagai “kado dari negara” dan menunjukkan “negara benar-benar hadir” untuk mengembangkan lembaga pendidikan itu.

“Karena selama ini pesantren dianggap pendidikan yang dimarginalkan, pendidikan nomor dua lah di Indonesia. Padahal kalau kita menilik sejarah, pendidikan pesantren itu pendidikan yang pertama dan yang utama,” kata Faqih kepada wartawan Ahmad Mustofa yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Madura.

Apresiasi yang sama juga disampaikan santri yang sudah selesai menempuh pendidikan di pesantren, Nailul Author. Dia berharap kehadiran ditjen baru ini bisa membawa pesantren menjadi lebih baik lagi.

“Yang paling dibutuhkan mungkin peningkatan kualitas pengajar. Kemudian saya harap pemerintah juga meningkatkan akses teknologi dan informasi,” kata Nailul, yang menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, pada 2001–2009.

Baca juga:

  • Apakah renovasi Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo dapat menggunakan APBN?
  • Ponpes Al Khoziny sebut ambruknya musala sebagai ‘takdir dari Allah’, polisi janji lakukan upaya hukum
  • Kesaksian santri ikut pengecoran Ponpes Al Khoziny

Santri lainnya, Mohammad Abrori, menilai keputusan pemerintah itu tidak akan berdampak banyak buat pesantrennya. Sebab, sejak dulu hingga sekarang pesantrennya “tidak pernah” dan “tidak mau” menerima bantuan dari pemerintah.

Abrori merupakan alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Pakes, Palengaan. Pesantren itu tidak memiliki pendidikan formal—atau yang disebut pesantren salafiah—seperti pesantren Nailul.

“Kalau misalkan ada anggaran khusus, bagus. Akan sangat membantu jika pesantren dan pengurusnya bisa menerima bantuan dari pemerintah. Itu bisa membuat pesantrennya lebih maju, lebih baik,” kata dia.

Wewenang lebih luas dan anggaran lebih banyak

Pesantren sudah berdiri jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) menyebut para kiai dan santri adalah pejuang sejati kemerdekaan.

Kontribusi pesantren bagi negara dan bangsa “sangat luar biasa”, tapi kehadiran negara untuk pesantren sangat minim, kata Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Suwendi.

Selang 74 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pengakuan terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan diberikan negara melalui Undang-undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

“Sangat telat sekali”, menurut Suwendi, tetapi setidaknya negara sudah memberikan pengakuan.

Kini, dengan pembentukan Ditjen Pesantren, Suwendi berharap negara bisa lebih terlibat dalam pendidikan pesantren melalui “aspek program” dan “aspek fasilitasi”.

Berdasarkan UU Pesantren, pendidikan formal di pesantren seharusnya setara dengan sekolah pada umumnya.

Pendidikan muadalah ula yang setara dengan sekolah dasar, muadalah wustha yang dengan sekolah menengah pertama, muadalah ulya yang setara dengan sekolah menengah atas, dan ma’had aly yang setara dengan pendidikan tinggi.

“Semestinya secara finansial kehadiran negara juga sama, kalau di sekolah atau madrasah ada BOS (bantuan operasional sekolah). Tetapi faktanya di lapangan enggak semuanya dapat,” kata Suwendi.

“Kemudian juga pada aspek tunjangan dosen, tunjangan guru, semestinya mereka juga dapat, tapi faktanya tidak. Jadi, pada aspek kesetaraan program, belum sepenuhnya terjadi.”

Belum lagi pada aspek pemberian fasilitas, yang kemudian berhubungan dengan anggaran.

Suwendi—yang terlibat dalam penyusunan UU Pesantren—menjelaskan fungsi pendidikan mendapatkan alokasi APBN hingga 20%, dengan total di tahun 2025 sekitar Rp700 triliun.

Ditjen Pendidikan Islam Kemenag kebagian anggaran Rp36 triliun. Namun, sempat beredar surat kalau ditjen itu kena efisiensi sampai Rp10 miliar.

Pada Juli lalu, Kemenag mengumumkan dana BOS Pesantren 2025 sudah tersalurkan hingga Rp196,86 miliar untuk 590 ribu santri dari 2.500 lebih pesantren. Jumlah itu sekitar 50,43% dari total pagu sebesar Rp390,36 miliar.

Padahal jumlah pesantren sendiri disebut mencapai lebih dari 42.000 dengan total santri mencapai empat juta hingga lima juta orang.

Soal anggaran memang menjadi masalah serius dalam mengembangkan pesantren.

Keterbatasan sarana dan prasarana—yang disebabkan keterbatasan anggaran—jadi salah satu masalah pesantren selama ini, baik di pesantren tradisional atau salafiah, maupun pesantren modern. Hal ini diungkapkan dalam Journal on Education, dalam artikel berjudul Pesantren: Problematika dan Solusi Pengembangannya.

Itu baru soal pendidikan, kata Suwendi. Belum berbicara soal fungsi dakwah—untuk kaderisasi anak bangsa yang mensyiarkan Islam—dan fungsi pemberdayaan masyarakat—untuk membantu roda perekonomian di lingkungan sekitar.

Oleh sebab itu, Suwendi mendukung pembentukan Ditjen Pesantren—mengeluarkan pesantren dari Ditjen Pendidikan Islam—agar semua fungsi pesantren yang tertuang dalam undang-undang bisa tercapai.

Apa tugas dan fungsi Ditjen Pesantren?

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pesantren, Basnang Said, juga mengatakan pemisahan pesantren dari Ditjen Pendidikan Islam bakal “memaksimalkan” fungsi pesantren. Ini yang membuat Ditjen Pesantren akan berbeda.

Sebab, selama ini nomeklatur pendidikan yang menaungi pesantren membuat anggaran-anggarannya hanya berfokus pada pendidikan.

“Saat kita ingin melakukan inovasi-inovasi Untuk penguatan dakwah, penguatan ekonomi, tentu sedikit ada masalah nomenklatur. Dengan menjadi eselon 1, akan ada keleluasaan untuk menjalankan tiga fungsi pesantren,” ujar Basnang.

Selain itu, kehadiran pesantren nantinya juga diharapkan bisa membuat pendataan dan pengawasan terhadap pesantren menjadi lebih baik lagi.

Meski sudah tergambar seperti apa kira-kira peran Ditjen Pesantren nanti, tugas dan fungsi secara detailnya belum diketahui.

“Bolanya masih di Kemenpan RB [Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi], untuk selanjutnya menyusun Peraturan Presiden, lalu setelah itu dilanjutkan dengan penyusunan peraturan menteri agama tentang struktur organisasi dan tata kelolanya,” kata Basnang.

Usulan pembentukan Ditjen Pesantren yang dipicu tragedi

Pada 22 Oktober lalu, dalam peringatan Hari Santri, Wakil Menteri Agama, Muhammad Syafi’i, menyampaikan Presiden Prabowo Subianto memerintahkan kementeriannya untuk membentuk Ditjen Pesantren yang akan bertugas mengawasi seluruh pondok pesantren di Indonesia.

Keputusan itu diambil setelah tragedi runtuhnya Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, yang menewaskan 63 orang, kata Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi.

Prabowo ingin memberikan perhatian lebih untuk pendidikan dan pelatihan para santri.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pembentukan Ditjen Pesantren.

Ketua DPR, Puan Maharani, menilai kehadiran ditjen baru itu akan membuka peluang lebih besar bagi penguatan peran pesantren secara kelembagaan dan strategis.

Baca juga:

  • ‘Kekerasan seksual di pesantren bukan dibesar-besarkan’ – Lebih dari 40.000 santri rentan mengalami kekerasan seksual
  • ‘Aku takut, mama tolong cepat jemput’, santri di Kediri tewas diduga dianiaya – Mengapa terulang lagi kekerasan di pesantren?
  • Dugaan korupsi dana bantuan pesantren Rp2,5 triliun, Kemenag perlu ‘reformasi tata kelola’
  • Gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo runtuh – Pencarian korban dihentikan, ditemukan 61 jenazah dan 7 bagian tubuh
  • Kesaksian korban selamat Ponpes Al Khoziny: ‘Antara sadar dan mimpi dalam gelap’
  • Apakah renovasi Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo dapat menggunakan APBN? – ‘Jangan sampai niat baik langgar tata kelola’

Leave a Comment