Kembaran Bumi: Tantangan, Penemuan, dan Apa yang Perlu Kamu Tahu

Photo of author

By AdminTekno

Perburuan tanpa henti untuk menemukan ‘kembaran Bumi’—sebuah planet yang mampu menopang kehidupan di luar sistem tata surya kita—terus berlanjut. Dalam perjalanan ekspedisi ilmiah yang mendebarkan ini, para pemburu eksoplanet terkemuka, Christopher Watson dan Annelies Mortier, membagikan kisah dan penemuan mereka yang mengubah pandangan kita tentang alam semesta.

Titik balik penting dalam pencarian planet ini terjadi pada 6 Oktober 1995. Di sebuah pertemuan ilmiah di Florence, Italia, dua astronom Swiss, Michel Mayor dan mahasiswa doktoralnya, Didier Queloz, mengumumkan temuan revolusioner yang akan mendefinisikan ulang pemahaman manusia tentang alam semesta di luar Sistem Tata Surya. Bekerja di Universitas Jenewa, mereka berhasil mendeteksi sebuah planet yang mengorbit bintang selain Matahari, sebuah penemuan yang membuka gerbang ke dunia baru dalam astronomi.

Bintang yang dimaksud adalah 51 Pegasi, yang berjarak sekitar 50 tahun cahaya dari rasi bintang Pegasus. Planet yang mengelilinginya diberi nama 51 Pegasi b. Planet ini adalah raksasa gas dengan massa setidaknya setengah dari Jupiter dan menyelesaikan orbitnya dalam waktu kurang dari lima hari. Kedekatannya dengan bintang induknya menyebabkan suhu permukaan mencapai 1.000°C, kondisi ekstrem yang mungkin setara dengan Merkurius di Sistem Tata Surya kita.

Penemuan luar biasa ini dimungkinkan berkat penggunaan Elodie, sebuah spektograf canggih yang dipasang di Observatorium Haute-Provence di selatan Prancis dua tahun sebelumnya. Dirancang oleh tim Prancis-Swiss, Elodie mampu memecah cahaya bintang menjadi spektrum warna atau garis-garis yang berbeda, mirip pelangi. Garis-garis ini berfungsi sebagai “barcode bintang”, mengungkapkan detail komposisi kimia bintang-bintang yang jauh.

Mayor dan Queloz mengamati “barcode” 51 Pegasi dan melihatnya bergerak ritmis bolak-balik dalam spektrum setiap 4,23 hari. Setelah analisis cermat, para astronom menyimpulkan bahwa gerakan periodik ini disebabkan oleh tarikan gravitasi dari sebuah planet gas raksasa yang mengelilingi bintang mirip Matahari tersebut. Temuan signifikan ini kemudian dipublikasikan di jurnal Nature dengan judul yang menggoda: “Sebuah planet di Pegasus?”.

Tak lama kemudian, ditemukan pula planet-planet lain yang mengorbit bintang mirip Matahari di luar Sistem Tata Surya, selain 51 Pegasi b. Istilah “hot Jupiter” pun diciptakan untuk menggambarkan planet-planet raksasa gas yang mengorbit sangat dekat dengan bintang induknya. Penemuan ini bukan hanya sekadar celah kecil, melainkan sebuah gerbang yang memicu ledakan temuan baru.

Dalam kurun waktu sekitar 30 tahun sejak eksoplanet 51 Pegasi b terdeteksi, lebih dari 6.000 eksoplanet dan kandidat eksoplanet telah berhasil didokumentasikan. Keberagaman planet di luar tata surya ini sungguh menakjubkan: tidak hanya “Jupiter panas”, tetapi juga “Jupiter ultra-panas” dengan orbit kurang dari sehari, planet yang mengelilingi dua bintang sekaligus, planet “super-puff” yang lebih besar dari Jupiter tetapi massanya mirip Bumi, hingga serangkaian planet berbatu kecil yang berjejal dalam orbit yang sangat rapat.

Atas kontribusi monumental ini, Mayor dan Queloz dianugerahi Hadiah Nobel pada tahun 2019. Fakta ini juga mengukuhkan bahwa sebagian besar bintang di galaksi kita memiliki sistem planetnya sendiri. Namun, dari ribuan eksoplanet yang ditemukan, sangat sedikit yang memiliki sistem planet yang mirip dengan Sistem Tata Surya kita.

Dorongan kuat untuk menemukan kembaran Bumi—baik dari segi ukuran, massa, maupun suhu—terus memotivasi para penjelajah modern untuk mencari lebih banyak eksoplanet. Berbagai observatorium di puncak gunung yang terletak di daerah terpencil di seluruh dunia menjadi garda terdepan ekspedisi ilmiah ini. Sebagai contoh, konsorsium internasional pemburu planet secara aktif membangun, mengoperasikan, dan memelihara spektograf Harps-N, yang dipasang pada Teleskop Nasional Galileo di Pulau Canary yang indah, La Palma.

Alat canggih ini memungkinkan para astronom untuk menginterupsi perjalanan cahaya bintang yang mungkin telah melaju tanpa hambatan dengan kecepatan luar biasa, 1,08 miliar km/jam, selama puluhan hingga ribuan tahun. Setiap sinyal baru yang terdeteksi berpotensi membawa kita lebih dekat pada pemahaman seberapa umum sistem planet seperti Sistem Tata Surya kita. Di balik semua upaya ini, tersimpan harapan besar bahwa suatu hari nanti, planet lain yang mirip dengan Bumi akan berhasil terdeteksi, membuka babak baru dalam pencarian kehidupan di alam semesta.

Asal-usul Penelitian Eksoplanet

Hingga pertengahan tahun 1990-an, Sistem Tata Surya kita, dengan Bumi di dalamnya, adalah satu-satunya gugusan planet yang diketahui umat manusia. Setiap teori tentang bagaimana planet terbentuk dan berevolusi selalu merujuk pada delapan (sebelumnya sembilan) titik yang sangat berdekatan ini. Namun, gagasan tentang keberadaan planet lain di luar tata surya telah lama menarik perhatian para pemikir.

Jauh sebelumnya, Epicurus, seorang filsuf besar dari periode 341-270 SM, menulis dalam surat kepada Herodotus: “Ada jumlah dunia yang tak terbatas, beberapa di antaranya mirip dengan dunia ini.” Spekulasinya saat itu muncul berdasarkan teori atomistik dalam filsafat, bukan melalui pengamatan astronomi. Ia berargumen, jika alam semesta terdiri dari atom yang tak terbatas, maka mustahil tidak ada planet lain. Dengan konsep tersebut, ia juga memahami potensi kehidupan di tempat lain: “Kita tidak boleh menganggap bahwa dunia-dunia tersebut pasti memiliki bentuk yang sama. Di satu jenis dunia mungkin terdapat benih-benih, hewan, tumbuhan, serta semua hal lain yang kita lihat, sedangkan di jenis dunia lain, hal-hal tersebut tidak mungkin ada.”

Pada waktu yang hampir bersamaan, filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM) mengusulkan model geosentris alam semesta, menempatkan Bumi di pusatnya dengan Bulan, Matahari, dan planet-planet lain mengelilinginya. Dalam karyanya “On the Heavens” (350 SM), ia berargumen: “Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa tidak mungkin ada lebih dari satu alam semesta.” Pandangan ini mendominasi pemikiran ilmiah selama berabad-abad.

Memasuki awal abad ke-20, Sir James Jeans, seorang matematikawan, fisikawan, dan astronom berpengaruh, mengemukakan hipotesis pasang surut pembentukan planet pada tahun 1916. Menurut teori ini, planet-planet terbentuk ketika dua bintang melintas sangat dekat, menarik aliran gas dari bintang-bintang ke ruang angkasa yang kemudian mengkristal menjadi planet. Dengan teori ini, Jeans meyakini bahwa Sistem Tata Surya kita merupakan sesuatu yang unik di alam semesta, sebuah pandangan yang tercatat dalam obituarinya.

Dalam Debat Besar pada tahun 1920 di Museum Sejarah Alam Smithsonian, Washington D.C., astronom Amerika Harlow Shapley dan Heber Curtis berselisih pendapat mengenai apakah Bima Sakti adalah satu-satunya alam semesta, atau hanya salah satu dari banyak galaksi. Bukti mulai mengarah pada pandangan terakhir, seperti yang diargumenkan oleh Curtis. Penemuan-penemuan yang mengindikasikan bahwa alam semesta tidak hanya berisi miliaran bintang, tetapi juga miliaran galaksi dengan miliaran bintang, mulai memengaruhi banyak pemikir, bahkan yang paling pesimistis sekalipun.

Pada tahun 1940-an, dua perkembangan signifikan menyebabkan konsensus ilmiah bergeser secara drastis. Pertama, hipotesis pasang surut Jeans tidak dapat bertahan dalam uji ilmiah, membuka kemungkinan bahwa semua bintang dapat memiliki planet. Kedua, pada tahun 1943, muncul klaim tentang planet-planet yang mengorbit bintang 70 Ophiuchus dan 61 Cygni C, dua sistem bintang yang relatif dekat dan dapat dilihat dengan mata telanjang. Meskipun kemudian terbukti sebagai “positif palsu” yang kemungkinan besar disebabkan oleh ketidakpastian dalam pengamatan teleskopik, hal ini tetap dianggap sebagai kemungkinan ilmiah yang nyata bahwa ada miliaran planet di Bima Sakti.

Merespons perubahan paradigma ini, astronom Amerika yang berpengaruh, Henry Norris Russell, menulis untuk majalah Scientific American pada Juli 1943. Dalam artikel berjudul “Kehancuran Antroposentrisme”, ia membuka dengan paragraf yang berbunyi, “Penemuan baru menunjukkan kemungkinan adanya ribuan planet yang dihuni di galaksi kita.” Russell tidak sekadar memprediksi keberadaan planet biasa, melainkan planet yang berpotensi dihuni. Pertanyaan besar pun muncul: di mana planet-planet itu? Rupanya, butuh waktu setengah abad lagi untuk menemukan jawabannya.

Bagaimana Cara Mendeteksi Eksoplanet untuk Mencari Kembaran Bumi?

Saat kita mengamati ribuan bintang melalui teleskop Galileo buatan Italia di La Palma dengan spektograf Harps-N, sungguh mengagumkan untuk merenungkan sejauh mana kemajuan telah dicapai sejak Mayor dan Queloz mengumumkan penemuan 51 Pegasi b pada tahun 1995. Saat ini, kita tidak hanya dapat mengukur massa planet seukuran Jupiter, tetapi juga planet-planet kecil yang berjarak ribuan tahun cahaya. Sebagai bagian dari kolaborasi Harps-N, Watson dan Mortier memiliki peran krusial sejak 2012 dalam ilmu pengetahuan tentang planet ekstrasurya kecil.

Tonggak sejarah lain dalam kisah deteksi eksoplanet terjadi empat tahun setelah penemuan 51 Pegasi b. Saat itu, David Charbonneau, seorang mahasiswa PhD Kanada di Universitas Harvard, mendeteksi transit sebuah “Jupiter panas” lain yang dikenal sebagai HD209458b, yang juga terletak di rasi bintang Pegasus sekitar 150 tahun cahaya dari Bumi. Teknik transit ini menggambarkan fenomena ketika sebuah planet melintas di depan bintangnya, menyebabkan bintang tersebut tampak meredup untuk sementara waktu.

Selain mendeteksi eksoplanet, teknik transit juga memungkinkan pengukuran radius planet. Ini dilakukan dengan mengukur kecerahan bintang, lalu menunggu bintang tersebut meredup akibat planet yang melintas. Jumlah cahaya bintang yang terhalang bergantung pada radius planet: misalnya, Jupiter akan membuat matahari tampak 1% lebih redup, sementara Bumi hanya menyebabkan redup yang sangat kecil. Melalui teknik ini, eksoplanet ditemukan empat kali lebih banyak dibandingkan menggunakan teknik “barcode” yang dikenal sebagai kecepatan radial.

Meskipun teknik “barcode” atau kecepatan radial pernah digunakan astronom Swiss untuk menemukan eksoplanet pertama 30 tahun yang lalu, metode ini masih banyak digunakan hingga saat ini, termasuk oleh Watson dan Mortier. Keunggulannya adalah tidak hanya dapat menemukan planet tetapi juga mengukur massanya. Dengan teknik kecepatan radial, keduanya melakukan pengukuran berulang terhadap kecepatan bintang dan mencari “getaran periodik” yang stabil, yang merupakan indikasi kuat adanya planet.

Namun, teknik kecepatan radial saat ini terbatas pada observatorium darat dan hanya dapat mengamati satu bintang pada satu waktu. Sebaliknya, teknik transit dapat diterapkan pada teleskop ruang angkasa seperti misi Corot Prancis (2006-14) dan misi Kepler (2009-18) serta Tess (2018-sekarang) milik NASA. Teleskop ruang angkasa ini telah mendeteksi ribuan eksoplanet dalam segala keragamannya dan mampu mengukur kecerahan bintang dengan lebih mudah dari ruang angkasa untuk banyak bintang sekaligus.

Meskipun ada perbedaan dalam tingkat keberhasilan deteksi, kedua teknik ini terus dikembangkan. Penggunaan kombinasi kedua teknik dapat memberikan data radius dan massa planet, membuka banyak jalan baru untuk mempelajari komposisinya. Untuk memperkirakan komposisi eksoplanet yang telah ditemukan, para ilmuwan memulai dengan asumsi sederhana bahwa planet kecil, seperti Bumi, terdiri dari inti besi yang berat, mantel batuan yang lebih ringan, air permukaan, dan atmosfer yang tipis.

Dengan menggunakan pengukuran massa dan jari-jari, lapisan komposisi yang berbeda dengan ketebalannya masing-masing dapat direkonstruksi. Watson dan Mortier bahkan telah melihat bukti planet berbatu yang hancur dan susunan planet yang aneh, mengindikasikan tabrakan di masa lalu. Planet-planet telah ditemukan di seluruh galaksi kita, mulai dari Sweeps-11b di wilayah pusatnya (sekitar 28.000 tahun cahaya jauhnya, salah satu yang paling jauh yang pernah ditemukan) hingga yang mengorbit bintang terdekat, Proxima Centauri, yang “hanya” berjarak 4,2 tahun cahaya.

Akan tetapi, alat-alat canggih berupa spektograf terbaru seperti Harps-N dan Espresso, yang dapat mengukur pergeseran kecepatan dengan akurasi hingga sepersepuluh sentimeter per detik, atau bahkan kombinasi dua teknik deteksi eksoplanet tadi, belum cukup untuk mendeteksi planet yang benar-benar mirip Bumi.

Bagaimana Perjalanan Mencari ‘Bumi Lain’?

Pada awal Juli 2013, Watson terbang ke La Palma untuk percobaan pertama dengan spektograf Harps-N yang baru saja dioperasikan. Untuk menghindari kesalahan, laptopnya dipenuhi dengan spreadsheet, grafik, manual, slide, dan catatan lain. Di antaranya, ada dokumen tiga halaman yang baru saja diterima berjudul: “Petunjuk Khusus untuk ToO” (Target of Opportunity). Paragraf pertama dokumen tersebut menyatakan: “Dewan Eksekutif telah memutuskan harus memberikan prioritas tertinggi pada objek ini.” Objek yang dimaksud adalah kandidat planet yang diyakini mengorbit Kepler-78, sebuah bintang yang sedikit lebih dingin dan lebih kecil dari Matahari kita, terletak sekitar 125 tahun cahaya jauhnya ke arah rasi bintang Cygnus.

Beberapa baris di bawahnya, terdapat jadwal pengamatan yang ketat. Watson mendapat 10 waktu pengamatan Kepler-78 dengan intensitas dua kali per malam, masing-masing dipisahkan oleh selang waktu empat jam dan 15 menit yang sangat spesifik. Kandidat planet tersebut telah diidentifikasi oleh teleskop ruang angkasa Kepler. Dalam kasus ini, teleskop tersebut telah mengidentifikasi kandidat planet yang melintas dengan perkiraan radius 1,16 (± 0,19) kali radius Bumi. Ini berarti sebuah eksoplanet yang tidak jauh lebih besar dari Bumi berpotensi telah terdeteksi.

Secara keseluruhan, Watson melakukan 10 dari total 81 pengamatan tim terhadap Kepler-78 selama 97 hari, dari awal hingga akhir. Selama periode tersebut, tim lain yang dipimpin oleh Amerika Serikat juga sedang mencari planet potensial tersebut. Dengan semangat ilmiah yang sejati, kesepakatan dibuat untuk menyerahkan temuan independen tim yang diawaki Watson dan mengungkapkan hasilnya satu sama lain secara bersamaan. Pada tanggal yang telah ditentukan, seperti pertukaran tawanan, kedua tim independen bertukar hasil, yang ternyata sesuai.

Massa planet tersebut diperkirakan sebesar 1,86 kali massa Bumi. Pada saat itu, ini menjadikan Kepler-78b sebagai eksoplanet terkecil dengan massa yang diukur secara akurat. Kepadatan planet tersebut hampir identik dengan kepadatan Bumi. Namun, kesamaan dengan Bumi berakhir di situ. Kepler-78b memiliki “tahun” yang hanya berlangsung 8,5 jam. Orbit pendek Kepler-78b mengindikasikan suhu ekstremnya akan melelehkan semua batuan di planet tersebut. Meskipun ukuran dan densitasnya paling mirip Bumi yang pernah ditemukan saat itu, dunia lava neraka ini berada di ujung ekstrem populasi planet yang kita ketahui.

Pada tahun 2016, teleskop ruang angkasa Kepler melakukan penemuan bersejarah lainnya: sebuah sistem dengan setidaknya lima planet yang melintasi bintang mirip Matahari, yaitu HIP41378 di rasi bintang Cancer. Setelah memutuskan untuk menggunakan spektograf Harps-N guna mengukur massa kelima planet transit tersebut selama setahun pengamatan, menjadi jelas bahwa satu instrumen saja tidak cukup untuk menganalisis campuran sinyal yang menantang ini. Tim internasional lainnya mencapai kesimpulan yang sama. Daripada bersaing, diputuskan untuk bersatu dalam kolaborasi global yang hingga kini tetap kuat, dengan ratusan kecepatan radial yang dikumpulkan selama bertahun-tahun.

Kini, massa dan jari-jari yang pasti untuk sebagian besar planet dalam sistem ini sudah di tangan. Namun, mempelajarinya membutuhkan kesabaran luar biasa. Sebab, planet-planet yang jauh dari bintang induknya membutuhkan waktu yang jauh lebih lama sebelum terjadi peristiwa transit baru atau sebelum getaran periodik dapat diamati sepenuhnya. Oleh karena itu, diperlukan penantian bertahun-tahun dan pengumpulan banyak data untuk memahami sistem planet yang kompleks ini. Namun, manfaatnya jelas. Ini adalah sistem pertama yang mulai mirip dengan Sistem Tata Surya kita. Meskipun planet-planetnya sedikit lebih besar dan lebih masif daripada planet-planet berbatu di Sistem Tata Surya kita, jaraknya sangat mirip. Karena itu, studi ini bisa membantu kita memahami bagaimana sistem planet terbentuk di alam semesta.

Akankah Kembaran Bumi Ditemukan?

Setelah tiga dekade pengamatan dan penelitian intensif, berbagai jenis planet di luar tata surya telah terungkap. Dimulai dengan “hot Jupiters”—raksasa gas besar yang dekat dengan bintang induknya—yang merupakan planet termudah untuk ditemukan karena transit yang lebih dalam dan sinyal kecepatan radial yang lebih besar. Namun, ironisnya, planet-planet ini sebenarnya sangat langka. Dengan kemajuan instrumen dan penumpukan data pengamatan, kelas planet baru dengan ukuran dan massa di antara Bumi dan Neptunus juga telah ditemukan.

Meskipun kita kini mengetahui ribuan eksoplanet, tetap saja belum ditemukan sistem planet yang benar-benar mirip dengan Sistem Tata Surya kita, atau planet yang benar-benar mirip dengan Bumi. Dari temuan ini, bisa saja diambil kesimpulan bahwa Bumi merupakan planet unik dalam sistem yang unik. Akan tetapi, penjelasan yang lebih masuk akal adalah bahwa kemampuan kita untuk mendeteksi planet-planet serupa Bumi masih cukup terbatas dalam alam semesta yang begitu luas dan tak terbayangkan, bahkan dengan bantuan alat-alat paling canggih sekalipun.

Bagi banyak penjelajah eksoplanet, tujuan utama tetaplah menemukan kembaran Bumi yang sejati—yaitu sebuah planet dengan massa dan radius serupa Bumi, mengorbit bintang serupa Matahari pada jarak yang sepadan dengan jarak kita dari Matahari. Meskipun alam semesta kaya akan keragaman dan memiliki banyak planet yang berbeda dari Bumi kita, menemukan kembaran Bumi yang sejati akan menjadi tempat terbaik untuk memulai pencarian kehidupan seperti yang kita kenal.

Saat ini, metode kecepatan radial yang digunakan untuk menemukan eksoplanet pertama tetap menjadi metode terbaik untuk misi krusial ini. Tiga puluh tahun setelah penemuan yang memenangkan Hadiah Nobel itu, pionir penjelajah planet Didier Queloz kini memimpin kampanye kecepatan radial pertama yang secara khusus berfokus pada pencarian planet mirip Bumi. Sebuah kolaborasi internasional besar sedang mengembangkan instrumen khusus, Harps3, yang akan dipasang pada Teleskop Isaac Newton di La Palma pada akhir tahun ini.

Mengingat kemampuannya yang canggih, data yang terkumpul selama sepuluh tahun seharusnya cukup untuk akhirnya menemukan planet kembar Bumi pertama kita. Kecuali jika benar Bumi memang unik, dan kita sendirian dalam keistimewaan ini.

Ringkasan

Artikel ini membahas tentang perburuan “kembaran Bumi,” yaitu planet yang berpotensi menopang kehidupan di luar tata surya. Penemuan revolusioner eksoplanet pertama, 51 Pegasi b, oleh Michel Mayor dan Didier Queloz pada tahun 1995 membuka gerbang eksplorasi baru dalam astronomi. Sejak itu, ribuan eksoplanet telah ditemukan dengan berbagai karakteristik, termasuk “hot Jupiters” dan planet-planet dengan ukuran dan massa yang beragam.

Meskipun banyak eksoplanet telah ditemukan, menemukan sistem planet yang benar-benar mirip dengan tata surya kita atau planet yang benar-benar mirip Bumi masih menjadi tantangan. Metode deteksi, seperti teknik transit dan kecepatan radial, terus dikembangkan untuk meningkatkan kemampuan menemukan planet-planet serupa Bumi. Harapan besar adalah bahwa suatu hari nanti, planet lain yang mirip dengan Bumi akan terdeteksi, membuka babak baru dalam pencarian kehidupan di alam semesta.

Leave a Comment