Jejak Kerusakan Bekas Tambang Pasir Ilegal Merapi Wilayah Magelang

Photo of author

By AdminTekno

Ringkasan Berita:Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan penambangan pasir ilegal di lereng Gunung Merapi, Kabupaten Magelang.

Magelang — Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri telah mengambil tindakan tegas dengan menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan penambangan pasir ilegal yang berlokasi di lereng Gunung Merapi, wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Aktivitas terlarang ini tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga merusak secara signifikan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), serta menimbulkan potensi kerugian negara yang ditaksir mencapai angka fantastis, yakni Rp3 triliun.

Ketiga tersangka yang kini telah dijerat hukum adalah AP, WW, dan DA. Masing-masing memiliki peran yang berbeda namun saling berkaitan dalam praktik penambangan pasir ilegal ini:

  1. AP: Merupakan pemilik dua unit ekskavator. Ia berperan sebagai pemodal utama dan secara langsung menerima keuntungan dari hasil penjualan pasir ilegal tersebut.
  2. WW: Juga bertindak sebagai pemodal dengan kepemilikan empat unit ekskavator. Sama seperti AP, ia turut menikmati keuntungan besar dari aktivitas penjualan pasir hasil tambang liar.
  3. DA: Teridentifikasi sebagai pemilik lahan dan armada depo pasir. DA diduga kuat menerima keuntungan substansial dari kegiatan penjualan pasir yang ditampung di depo miliknya.

Brigjen Pol Moh Irhamni, Direktur Dirtipidter Bareskrim Polri, menjelaskan bahwa AP dan WW dijerat dengan Pasal 158 UU Minerba lantaran terbukti melakukan penambangan tanpa izin. Sementara itu, DA dikenai Pasal 161 UU Minerba atas keterlibatannya dalam menampung dan menjual hasil tambang ilegal.

Kerusakan Lingkungan dan Ekosistem

Dampak dari penambangan pasir ilegal ini sungguh memprihatinkan. Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM) melaporkan bahwa aktivitas tambang liar telah menghancurkan sekitar 312 hektare lahan konservasi, dari total 6.607 hektare luas wilayah TNGM. Kerusakan tersebut tersebar luas di dua resort:

  1. Resort Srumbung: Seluas 251,47 hektare
  2. Resort Dukun: Seluas 61,027 hektare

Pengamatan melalui pemotretan udara dengan drone pada Oktober 2025 memperlihatkan kondisi lahan yang dipenuhi lubang-lubang galian dan bongkahan tanah yang terbuka, secara tidak langsung juga merusak sumber air bersih vital bagi masyarakat di bawahnya. Menanggapi kondisi kritis ini, Kepala BTNGM, Muhammad Wahyudi, menyatakan bahwa pihaknya akan segera memulai rehabilitasi ekosistem. Tahap awal akan difokuskan pada penanaman kembali vegetasi di Blok Sentong, Kecamatan Dukun, dengan luas mencapai 50 hektare. Lokasi ini dipilih karena merupakan bekas area tambang yang telah ditinggalkan sebab dianggap tidak lagi ekonomis.

Dalam upaya rehabilitasi ini, BTNGM akan melibatkan partisipasi aktif masyarakat sekitar, guna memastikan keberlanjutan dan pemeliharaan hasil penanaman. Selain itu, untuk wilayah lain yang terdampak parah, khususnya di Kecamatan Srumbung, BTNGM telah mengusulkan program lanjutan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar dapat direhabilitasi pada tahun-tahun mendatang.

Jejak Tambang Ilegal dan Kerusakan

Bareskrim Polri berhasil mengungkap secara langsung praktik penambangan pasir ilegal di jantung kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM). Tepatnya di alur Sungai Batang, Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, pada Sabtu (1/11/2025), tim menemukan bukti nyata kerusakan. Jalan menuju lokasi tambang ilegal ini jauh dari kata mudah; medannya menanjak, berbatu, dan menjadi sangat licin saat hujan, menghadirkan tantangan tersendiri bagi petugas. Di sepanjang jalur, terlihat gubuk-gubuk kecil yang menjadi indikasi kuat adanya aktivitas manusia di kawasan yang seharusnya steril dari kegiatan penambangan.

Begitu memasuki area menurun, mata langsung disuguhi pemandangan lahan terbuka luas yang dulunya merupakan alur Sungai Batang. Bentuk sungai kini nyaris tidak dikenali, tergantikan oleh jejak-jejak galian yang menganga dan lima unit ekskavator yang terparkir, menjadi saksi bisu kejahatan lingkungan. Di dekat portal masuk, terpampang jelas papan peringatan bahwa area tersebut sedang dalam proses penyelidikan oleh Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri. Garis polisi juga telah terpasang rapi di sekitar portal dan alat berat, menandakan area tersebut sebagai tempat kejadian perkara.

36 Titik Tambang Ilegal

Dalam sebuah operasi gabungan yang terkoordinasi apik, melibatkan Bareskrim Polri, Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, Balai Taman Nasional Gunung Merapi (BTNGM), dan Polresta Magelang, tim berhasil mengidentifikasi tidak kurang dari 36 titik tambang pasir ilegal yang tersebar di dalam kawasan pelestarian alam tersebut. Direktur Dirtipidter Bareskrim Polri, Brigjen Pol Moh Irhamni, menegaskan bahwa serangkaian aktivitas tambang ini telah menyebabkan pembukaan lahan seluas 312 hektare dari total 6.607 hektare luas wilayah TNGM. Dari lokasi, petugas menyita lima unit ekskavator dan satu unit dump truck yang menjadi sarana utama dalam mengangkut material pasir. Seluruh alat berat tersebut kini telah diamankan guna keperluan penyelidikan lebih lanjut.

39 Depo Pasir

Penemuan tidak berhenti di lokasi tambang. Polisi juga berhasil mengidentifikasi 39 depo pasir yang berfungsi sebagai penampung hasil tambang liar. Depo-depo ini tersebar di lima kecamatan di Kabupaten Magelang: Srumbung, Salam, Muntilan, Mungkid, dan Sawangan. Perputaran uang dari seluruh jaringan aktivitas tambang ilegal ini diperkirakan mencapai Rp3 triliun, sebuah angka yang mencengangkan, terlebih karena sama sekali tidak memberikan kontribusi pajak kepada negara. “Bisa dibayangkan, uang yang beredar Rp3 triliun ini tidak dipungut pajak dan tidak membayar kewajiban-kewajiban kepada pemerintah,” ujar Irhamni.

Irhamni menekankan bahwa penambangan ilegal ini tidak hanya menimbulkan kerugian negara secara ekonomi, tetapi juga secara fundamental merusak tatanan sosial dan lingkungan, terutama karena dilakukan di kawasan konservasi taman nasional. “Apabila mereka mengajukan izin resmi, tentu bisa memberikan kontribusi untuk pembangunan masyarakat dan daerah,” tambahnya, menyoroti potensi besar yang terbuang sia-sia.

Pelanggaran Undang-undang

Dalam kasus tambang pasir ilegal Merapi ini, pasal yang diterapkan adalah Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-Undang Minerba. Kedua pasal tersebut secara spesifik mengatur sanksi pidana bagi para pelaku penambangan tanpa izin. Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai kedua pasal tersebut, merujuk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba):

Pasal 158 UU Minerba

Pasal ini secara tegas melarang setiap kegiatan penambangan yang dilakukan tanpa memiliki izin resmi dari pemerintah. Bunyi lengkap pasal tersebut adalah: “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan, izin pertambangan rakyat, atau izin usaha pertambangan khusus, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).” Pasal ini relevan digunakan untuk menjerat dua tersangka utama, AP dan WW, yang terbukti melakukan penambangan tanpa izin dan meraup keuntungan dari aktivitas tersebut.

Pasal 161 UU Minerba

Pasal ini mengatur partisipasi pihak-pihak yang turut serta dalam kegiatan penambangan ilegal, termasuk pemilik lahan atau fasilitas pendukung yang secara tidak langsung memfasilitasi kejahatan tersebut. Bunyi lengkap pasal ini adalah: “Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral atau batubara yang tidak berasal dari pemegang izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00.” Pasal ini diterapkan kepada tersangka DA sebagai pemilik lahan dan depo pasir yang menjadi tempat penampungan hasil tambang ilegal.

Leave a Comment