Jakarta, IDN Times – Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah mengambil langkah tegas dengan menetapkan tiga tersangka dalam kasus pertambangan ilegal yang merajalela di kawasan strategis Taman Nasional Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Penindakan ini menunjukkan komitmen serius pihak berwenang dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menegakkan hukum.
Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri, Brigjen Moh. Irhamni, mengonfirmasi penetapan ketiga tersangka tersebut saat dikonfirmasi pada Selasa (4/11/2025). Mereka adalah DA, yang teridentifikasi sebagai pemilik depo pasir utama, serta WW dan AP, yang berperan sebagai pemilik sekaligus pemodal di balik operasi tambang pasir ilegal tersebut. Peran sentral mereka dalam kegiatan terlarang ini kini menjadi fokus penyelidikan lebih lanjut.
1. Terdapat 36 titik tambang ilegal 
Irhamni menjelaskan bahwa kasus ini berakar dari maraknya aktivitas tambang ilegal yang tersebar di berbagai lokasi di sekitar Merapi. Investigasi mendalam mengungkap fakta mengejutkan: total 36 titik lokasi tambang pasir ilegal dan 39 depo pasir beroperasi tanpa izin di lima kecamatan. Wilayah yang terdampak meliputi Srumbung, Salam, Muntilan, Mungkid, dan Sawangan. Lebih lanjut, analisis dari Tim Ahli Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah dan Balai Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) menegaskan bahwa seluruh lokasi tersebut tidak hanya tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sah, tetapi juga secara ilegal berada di dalam area konservasi Taman Nasional.
2. Tambang ilegal ancam lingkungan 
Penambangan pasir yang tidak berizin di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Merapi, tegas Irhamni, bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Aktivitas ini secara fundamental mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. “Aktivitas tambang pasir ilegal di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi menimbulkan kerugian besar bagi negara dan merusak ekosistem yang seharusnya dilindungi,” ujarnya, menyoroti dampak destruktif pada keseimbangan alam yang vital.
3. Terdapat kerugian negara Rp3 triliun 
Dampak buruk dari pertambangan ilegal ini juga terasa signifikan pada sektor keuangan negara. Wakabareskrim Irjen Nunung Syaifuddin mengungkapkan bahwa negara telah menderita kerugian fantastis mencapai Rp3 triliun. Angka ini merupakan kalkulasi kumulatif dari aktivitas pertambangan ilegal yang berlangsung selama sepuluh tahun. “Berdasarkan laporan yang sudah kita terima, baik dari Ditipidter maupun dari Kepala Dinas ESDM setempat, kalkulasi selama 10 tahun ini lebih kurang kita kumulatifkan menjadi lebih kurang Rp3 triliun,” pungkasnya, menunjukkan skala kerugian yang masif akibat praktik-praktik ilegal ini.