Sengkarut utang kereta cepat, apa saja kejanggalan proyek Whoosh?

Photo of author

By AdminTekno

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang mengklaim proyek Kereta Cepat Whoosh tidak bermasalah, menimbulkan tanda tanya besar. Di tengah dugaan korupsi yang menyelimuti proyek besutan pendahulunya, Joko Widodo, banyak pihak menduga langkah ini sebagai upaya untuk membungkam investigasi. Lantas, seberapa serius Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menindaklanjuti dugaan korupsi dalam megaproyek ini?

Sebelumnya, KPK telah menegaskan bahwa proses penyelidikan terkait dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Indonesia-China, atau yang dikenal dengan Whoosh, akan terus berjalan. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menjelaskan bahwa penyelidikan ini merupakan prosedur esensial untuk mencapai kepastian hukum, guna memastikan ada atau tidaknya unsur pidana korupsi dalam proyek strategis tersebut.

“Penyelidikan, penyidikan, tidak ada larangan kan. Tidak ada satu larangan untuk melakukan penyelidikan. Kan alangkah bagusnya memang kalau ada penyelidikan sehingga ada kepastian hukum,” tutur Tanak di Jakarta pada Rabu (05/11).

KPK, imbuhnya, telah memanggil dan meminta keterangan dari sejumlah pihak yang dianggap relevan dengan proses penyelidikan ini, sebagai bagian dari upaya mengungkap kebenaran di balik proyek tersebut.

Namun demikian, pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy, telah lama mencium “bau” dugaan korupsi pada proyek Whoosh yang “sangat menyengat”. Kecurigaan ini muncul sejak mantan Presiden Jokowi secara mendadak berbalik menggandeng China untuk menggarap proyek senilai Rp118 triliun, padahal tawaran bunga yang diajukan Jepang kala itu jauh lebih kompetitif.

Kini, pertanyaan krusial muncul: Mampukah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menanggung beban utang Kereta Cepat Whoosh, dan apa dampaknya bagi keuangan negara?

KPK Menyelidiki Dugaan Korupsi Kereta Cepat Whoosh

Babak baru sengkarut utang Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dimulai setelah mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, pada 14 Oktober lalu, menguak adanya dugaan tindak pidana dalam proyek Whoosh melalui kanal YouTube pribadinya. Dalam pernyataannya, Mahfud MD menyoroti bahwa biaya pembangunan per kilometer kereta cepat di Indonesia terlampau mahal, mengindikasikan adanya potensi penggelembungan harga atau mark-up.

Begitu isu dugaan mark-up Kereta Cepat Whoosh ini mencuat, tekanan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas kasus ini semakin kuat. Menanggapi desakan tersebut, pada awal November kemarin, KPK mengonfirmasi bahwa mereka telah mulai memanggil sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangan dalam rangka penyelidikan dugaan korupsi proyek Whoosh. Kendati demikian, KPK belum dapat merinci identitas pihak-pihak yang telah dipanggil.

Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa pihak-pihak yang dimintai keterangan adalah mereka yang diduga memiliki pengetahuan tentang konstruksi perkara tersebut. Ia berharap setiap informasi yang disampaikan akan menjadi kunci bagi lembaga antirasuah itu untuk mengungkap dugaan korupsi dalam proyek senilai Rp118 triliun ini.

“Terkait dengan materi atau pihak-pihak yang diundang untuk dimintai keterangan, saat ini kami belum bisa menyampaikan detailnya secara lengkap seperti apa. Karena ini memang masih di tahap penyelidikan,” ujar Budi. Ia melanjutkan, “Kami tentunya mengimbau kepada siapa saja pihak yang diundang dan dimintai keterangan terkait dengan perkara KCIC agar kooperatif dan menyampaikan informasi, data, dan keterangan yang dibutuhkan,” sambungnya pada Senin (03/01).

Di tengah proses penyelidikan yang masih berlangsung, Presiden Prabowo Subianto justru melontarkan pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia menegaskan bahwa proyek kereta cepat yang diinisiasi oleh pendahulunya, Joko Widodo, “tidak ada masalah”. Oleh karena itu, pemerintah akan mengalokasikan pembayaran cicilan utang kereta cepat sebesar Rp1,2 triliun setiap tahunnya.

“Pokoknya enggak ada masalah, karena itu kita bayar mungkin Rp1,2 triliun per tahun,” kata Prabowo saat meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru di Gambir, Jakarta, Selasa (04/01).

Lebih lanjut, Presiden Prabowo menyatakan bahwa dana untuk melunasi utang kepada pihak China sejatinya tersedia. Dana tersebut, menurutnya, berasal dari hasil rampasan korupsi yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Ia juga meminta agar persoalan Whoosh tidak hanya dilihat dari aspek untung-rugi semata, melainkan juga dari manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat, seperti pengurangan kemacetan dan polusi. “Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi [setelah diambil negara] saya hemat. Enggak saya kasih kesempatan. Jadi, Saudara, saya minta bantu saya semua. Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita, untuk rakyat semua,” ujar Prabowo.

Benarkah Prabowo Menutup-nutupi Korupsi Whoosh?

Sejumlah pengamat ekonomi menilai bahwa pernyataan Presiden Prabowo tersebut seolah-olah berupaya menutup-nutupi atau membungkam dugaan korupsi pada proyek Whoosh yang menelan biaya hingga Rp118 triliun. Hal ini memicu kekhawatiran akan independensi penegakan hukum dalam kasus ini.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengungkapkan bahwa dugaan korupsi Kereta Cepat Jakarta-Bandung sangat jelas. Indikasi kuat dapat ditelusuri dari keputusan mantan Presiden Joko Widodo yang tiba-tiba menunjuk China sebagai pemenang proyek, padahal tawaran suku bunga dari Jepang jauh lebih kompetitif.

Pada masa itu, Jepang menawarkan investasi kereta cepat sebesar US$6,2 miliar, dengan 75% dibiayai melalui pinjaman berjangka 40 tahun dengan bunga hanya 0,1% per tahun. Di sisi lain, China mengajukan nilai investasi yang awalnya lebih murah sebesar US$5,5 miliar, namun proposal itu kemudian berubah menjadi US$6,071 miliar dengan skema investasi 40% kepemilikan China dan 60% konsorsium BUMN Indonesia, serta sisanya berasal dari pinjaman berjangka 40 tahun dengan bunga 2% per tahun. Ironisnya, dalam pengerjaannya, terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar dengan bunga utang mencapai 3,4%.

“Yang satu [Jepang] bunganya hanya 0,1%, sedangkan yang satunya [China] bunga utangnya 2% atau 20 kali lipat lebih besar. Ini tanpa bicarakan cost overrun ya. Tanpa itu, proyek dari Jepang ini seharusnya lebih meringankan. Kenapa proyek dari China bisa dimenangkan? Ini yang seharusnya diusut,” jelas Anthony Budiawan kepada BBC News Indonesia.

Senada dengan Anthony, pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy juga menyebut bahwa “bau” dugaan korupsi Kereta Cepat Whoosh “sangat menyengat”. Kejanggalan pertama—mirip dengan yang diungkap Anthony—adalah ketika pemerintahan Joko Widodo lebih memilih China dengan dalih tidak meminta jaminan dari APBN, namun menawarkan suku bunga yang lebih tinggi.

“Nah, kajian keuangan ini siapa yang memutuskan sehingga berani mengambil keputusan politik memilih China? Ini yang saya bilang, timnya harus dibongkar,” tegas Ichsanuddin Noorsy kepada BBC News Indonesia.

Kejanggalan kedua muncul saat terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar, yang diklaim akibat perubahan konstruksi dan ketidakstabilan tanah. “Pertanyaan besarnya seberapa jauh tim yang memutuskan memilih China, melakukan kajian secara mendalam sehingga argumentasi pembengkakan biaya itu bisa diterima?” ungkapnya.

Kejanggalan ketiga, menurut Ichsanuddin, adalah adanya dugaan pihak luar yang sengaja mengambil keuntungan dari perubahan keputusan pemerintah. “Dalam bisnis biasa ada sunk cost, tapi siapa yang menikmati dalam konteks perubahan [keputusan] itu? Maka dalam konteks pergeseran dari Jepang ke China, saya menangkap ada asymmetric information yang sangat besar.” Asimetri informasi adalah kondisi di mana salah satu pihak dalam suatu transaksi memiliki informasi yang lebih banyak atau lebih relevan, yang dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuatan dan berujung pada keputusan yang tidak efisien.

Ichsanuddin Noorsy tidak ingin menuduh pihak mana pun secara spesifik, namun ia menegaskan bahwa KPK harus segera menggandeng tim audit seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk membongkar ada-tidaknya kerugian negara atau kerugian keuangan negara yang timbul dari keputusan tersebut, serta berapa besar angkanya. “Makanya saya minta ada audit finansial. Meskipun audit untuk masuk ke China akan susah luar biasa, karena begitu mengaudit China Development Bank (CDB) kemungkinan akan tertutup. Karena ini menyangkut soal reputasi dan kredibilitas BUMN mereka [China],” imbuhnya.

Berapa Utang yang Harus Dibayar Indonesia?

Atas dasar kejanggalan-kejanggalan inilah, Ichsanuddin dan Anthony menyarankan Presiden Prabowo untuk tidak terburu-buru menyangkal dugaan korupsi Whoosh. Sebab, sikap demikian dapat dianggap tidak konsisten terhadap janji pemberantasan korupsi yang digaungkan, sekaligus berpotensi menciptakan citra negatif bagi pemerintahan Prabowo di mata publik.

“Saya rasa ini akan membuat masyarakat banyak kecewa. Karena kasus hukumnya jadi tidak jelas, seolah-olah pemerintah yang sekarang mau menutup-nutupi dugaan korupsi rezim sebelumnya,” papar Anthony. Ia menambahkan, “Tak hanya itu, pasti akan ada efek politiknya berupa elektabilitas. Sebab rakyat akan melihatnya.”

Terlepas dari kontroversi ini, Anthony menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia dibebani oleh dua komponen utama: utang pokok pinjaman dan bunga utang. Untuk utang pokok pinjaman, pembayarannya baru akan dimulai pada tahun 2033, setelah sepuluh tahun beroperasi. Namun, bunga utang harus segera dibayarkan begitu kereta cepat mulai beroperasi.

Menurut hitungan Anthony, beban bunga utang yang ditanggung oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), konsorsium perusahaan Indonesia yang memegang 60% saham, adalah sekitar Rp1,2 triliun per tahun. “Konsorsium Indonesia memegang saham 60%. Kalau total bunga utangnya Rp2 triliun, maka 60%-nya adalah Rp1,2 triliun. Tapi kelihatannya bunga utang itu tidak mungkin bisa [dibayar],” papar Anthony. “Makanya KAI selaku pemilik saham mayoritas dalam konsorsium minta tambahan dana, entah dari Danantara atau APBN,” sambungnya.

Jika ditambah dengan besaran utang pokok pinjaman, pemerintah Indonesia sedianya mesti mengeluarkan uang antara Rp3,8 triliun hingga Rp5 triliun. Baginya, bunga utang sebesar Rp1,2 triliun saja sudah sangat membebani, apalagi jika ditambahkan utang pokok. “Tapi mungkin rezim sekarang berpikirnya [kewajiban membayar utang pokok] biar menjadi urusan pemerintah di tahun 2033. Yang penting sekarang aman dulu,” imbuhnya.

Apakah APBN Sanggup Membiayai Utang Whoosh?

Ekonom Anthony Budiawan berpendapat bahwa jika berpegang pada aturan awal, urusan utang Kereta Cepat Whoosh semestinya dibereskan oleh Danantara selaku pengelola investasi BUMN. Ini karena sejak awal, proyek ini menggunakan skema business to business (B2B). Hanya saja, ia menduga Danantara akan keberatan menanggung utang tersebut karena berpotensi mengganggu tujuan mereka dalam mengoptimalkan investasi strategis negara demi mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

“Padahal kalau dibilang mampu, ya mampu. Dividen yang diterima Danantara itu bisa sampai Rp80 triliun per tahun. Tapi masalahnya adalah tujuan dibentuknya Danantara bisa gagal,” jelasnya.

Sementara itu, jika beban utang ini bertumpu pada APBN, hal itu akan semakin mempersempit ruang fiskal negara, seperti yang diungkapkan Ichsanuddin Noorsy. Pengamatannya menunjukkan bahwa tanpa beban utang Whoosh sekalipun, utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah pada tahun 2025 sudah mencapai Rp1.353 triliun. Angka ini berarti pembayaran utang sudah memakan 37,36% dari total porsi anggaran negara.

“Sekarang kalau ditambah Whoosh, makin sempit ruang fiskal. Apa artinya kalau ruang fiskal makin sempit? APBN makin impoten memenuhi amanat konstitusi dan fungsi penyelenggara negara,” cetusnya.

Melihat kondisi ini, Anthony Budiawan menilai bahwa negosiasi restrukturisasi utang dengan China harus bisa menurunkan suku bunga utang menjadi 0,1%. Dengan skema bunga serendah itu, PT KAI selaku pemegang saham mayoritas pada konsorsium perusahaan patungan kereta cepat Indonesia hanya perlu membayar Rp75 miliar. “Jauh lebih murah kan ketimbang harus bayar Rp1,2 triliun?” ungkapnya.

“Dan PT KCIC bisa membiayai kewajibannya [utangnya] sendiri, tanpa mengganggu dana publik. Oleh karena itu negosiasi bukan memperpanjang tenor dari 40 tahun ke 60 tahun. Itu bukan solusi sama sekali. Itu adalah negosiasi terbodoh,” tegas Anthony.

Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, sempat mengklaim bahwa pemerintah Indonesia dan China telah sepakat untuk merestrukturisasi pembiayaan proyek kereta cepat, salah satunya dengan memperpanjang waktu pembayaran utang hingga 60 tahun. Namun, baru-baru ini CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, menyatakan bahwa negosiasi dengan China masih berjalan dan belum ada keputusan final.

Lebih dari itu, Rosan dan Anthony juga mengkritik keputusan sepihak Presiden Prabowo yang ingin memperpanjang rute kereta cepat hingga ke Banyuwangi, Jawa Timur, tanpa membuka ruang diskusi yang matang dengan masyarakat dan tanpa kajian mendalam. “Ini menunjukkan image pemerintah yang seenaknya,” kata Anthony. “Kalau kereta cepat mau sampai Banyuwangi, harus ada evaluasi, tender lagi. Tidak harus dipegang China. Ingat, ini memakai uang publik jadi harus transparan. Ini bukan uang Anda [Prabowo] pribadi,” pungkasnya.

Apa Tanggapan DPR?

Sejumlah pengamat ekonomi menegaskan bahwa jika pemerintah benar-benar memutuskan untuk menggunakan uang hasil rampasan korupsi yang masuk ke dalam APBN guna membayar cicilan utang Whoosh, maka langkah tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Jadi setiap pengeluaran negara itu harus ditetapkan dengan Undang-Undang. Begitu kita punya aturan keuangan negara,” papar Anthony Budiawan.

Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa permasalahan utang Whoosh akan dibahas oleh komisi terkait di DPR bersama pemerintah. Sementara itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menyatakan tidak mempermasalahkan apabila utang kereta cepat memang harus dibebankan ke APBN. Namun, ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek.

Said Abdullah juga mendorong KPK untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi Kereta Cepat Whoosh. Langkah ini, menurutnya, sangat penting untuk memastikan tidak ada penyimpangan dana maupun penyalahgunaan kewenangan dalam proses pembangunan proyek tersebut. “KPK segera melakukan penyelidikan penyidikan. Itu akan lebih baik, tetapi juga jangan sampai menghentikan program yang dalam tanda kutip sangat baik,” imbuhnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.

  • Prabowo janji akan bayar utang Whoosh Rp1,2 triliun per tahun – Apakah ini solusi terbaik selesaikan beban utang proyek ini?
  • Bunga utang kereta cepat Jakarta-Bandung 3,4%, jebakan utang China?
  • Pertemuan Jokowi dan Presiden China, pengamat desak Indonesia tinjau ulang utang dari China
  • Apakah China memancing negara-negara lain untuk berutang?
  • Harga tiket mahal di tengah wacana penonaktifan demi kereta cepat Jakarta-Bandung – Nasib kereta Argo Parahyangan dan penumpangnya
  • Kecelakaan di proyek kereta cepat picu kekhawatiran warganet soal keselamatan, pemerintah diminta terbuka soal penyebabnya
  • Kereta api dan jejak penjajahan Belanda di Priangan: dari tanam paksa hingga plesiran
  • Pemerintah didesak audit proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sebelum gelontorkan dana APBN
  • Rute kereta terindah di Sri Lanka – melintasi jembatan tua, hutan tropis, hingga kebun teh di balik sejarah kolonial Inggris

Leave a Comment