
Pemerintah berencana membatasi gim online bergenre tembak-menembak (first-person shooter) karena dinilai dapat memengaruhi anak-anak untuk melakukan tindak kekerasan. Tapi apakah itu solusi tepat untuk mencegah anak terjerumus dalam aksi teror?
Gim daring berisi aksi tembak-menembak memuat beragam jenis senjata sehingga memudahkan anak-anak untuk mempelajarinya, menurut Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Pernyataan itu disampaikan Prasetyo Hadi, 9 November lalu, atau dua hari setelah ledakan di SMA 72 Jakarta.
Dalam keterangan pers pada Selasa (11/11), Polda Metro Jaya menyebut pelaku teror di sekolah itu tidak terafiliasi jaringan teror mana pun. Dia juga disebut tidak memiliki kebencian terhadap agama meski meledakkan bom saat salat Jumat.
Terduga pelaku ledakan disebut dengan istilah ‘anak berhadapan dengan hukum’. Karena belum berusia dewasa, polisi tidak mengungkap identitasnya.
Sang terduga pelaku, menurut polisi, kerap merasa sendiri dan tak memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Dia disebut polisi terinspirasi oleh konten di internet yang menjadikan pelaku teror sebagai ‘pahlawan’.
Psikolog anak menilai pelarangan gim daring aksi tembak-menembak tidak akan sepenuhnya mampu menghentikan kekerasan di kalangan anak-anak.
“Kalau penyetopan gim tembak-menembak ini sebagai bentuk hukuman, maka ini biasanya tidak akan bertahan lama. Nanti anak-anak belajar mencari jalan lain, mencari gim lain,” kata psikolog anak, Rose Mini Agoes Salim.
Pakar pendidikan dan anak, Retno Listyarti, berpendapat bahwa gim daring first-person shooter dapat memengaruhi anak-anak untuk melakukan kekerasan, tapi dia yakin ada “faktor lain yang lebih dominan.”
Prasetyo Hadi belum memerinci langkah lanjutan yang dilakukan pemerintah untuk membatasi gim daring tembak-menembak.
BBC News Indonesia juga telah menghubungi pejabat Kementerian Komunikasi dan Digital terkait tindak lanjut pembatasan, tapi tak mendapat balasan.
‘Tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak berbahaya’
Gagasan membatasi gim daring first-time shooter disampaikan Prasetyo Hadi seusai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto, akhir pekan lalu. Rapat yang digelar di kediaman pribadi Presiden Prabowo itu turut dihadiri Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
“Beliau [Prabowo] tadi menyampaikan bahwa kita juga masih harus berpikir untuk membatasi dan mencoba mencari jalan keluar terhadap pengaruh-pengaruh dari game online,” kata Prasetyo.
“Karena, tidak menutup kemungkinan, game online ini ada beberapa hal di situ, ada hal-hal yang kurang baik, yang mungkin itu bisa memengaruhi generasi kita ke depan,” tuturnya.

Pakar kriminologi anak, Haniva Hasna, mengapresiasi keputusan pemerintah yang berencana membatasi gim tembak-menembak bagi anak-anak.
“Itu bagus banget, walaupun terlambat,” kata Haniva, seraya menambahkan bahwa konsumsi kekerasan setiap hari akan membentuk kepribadian baru seseorang.
“Setiap hari melihat kekerasan, melihat darah, membuat seseorang terbiasa dan cenderung menormalisasi,” tuturnya.
Kasus ledakan di SMA 72 merupakan kasus penyerangan di sekolah yang pertama di Indonesia.
Namun, sebelumnya sempat ada beberapa kasus pembakaran bangunan sekolah oleh siswa akibat dirundung, serta merasa diperlakukan tidak adil sehingga tidak lulus ujian. Tidak ada korban luka dalam sejumlah peristiwa tersebut.
Kasus pembakaran sekolah, misalnya, terjadi pada 27 Juni 2023 di Temanggung, Jawa Tengah. Pelakunya adalah seorang siswa SMP yang disebut sakit hati akibat terus menjadi korban perundungan.
Seperti dilaporkan BBC News Indonesia kala itu, siswa berinisial R tersebut sering dikeroyok teman-temannya serta diejek menggunakan nama orang tuanya. Ia juga merasa tidak dihargai oleh para guru di sekolah.
Kasus kedua terjadi pada 21 Juni 2006, yang dilakukan siswa SMA di Bekasi, Jawa Barat. Siswa berinisial F itu membakar sekolahnya setelah merasa diperlakukan tidak adil sehingga gagal lulus ujian.
Ia mendapat nilai buruk pada mata pelajaran bahasa inggris dan matematika.
Kasus terbaru adalah pembakaran asrama pesantren di Kuta Baro, Aceh Besar, yang dilakukan seorang santri yang mengalami perundungan pada 31 November 2025.
Pembakaran itu dilakukan dengan tujuan agar semua barang milik teman-teman yang selama ini merundungnya ludes terbakar.

Ledakan di SMA 72 Jakarta, menurut Haniva Hasna, “tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak berbahaya.”
Terlebih, kata dia, serangan ke sekolah sudah kerap terjadi di beberapa negara, terutama Amerika Serikat —bahkan memakan banyak korban jiwa.
Merujuk data K-12 School Shooting Database, jumlah kasus serangan di sekolah di AS terus meningkat. Kasus penembakan bahkan mencapai 330 kasus dalam setahun terakhir.
Dalam penelitian yang dilakukan psikolog Jerman David Tim pada 2020, setidaknya terdapat lima faktor yang menyebabkan seorang siswa melakukan penyerangan massal di sekolah.
Dalam penelitian berjudul Culturally independent risk factors of school and campus rampages: An analysis of international case studies of educational institution violence, psikolog di University of Tubingen itu menyebut faktor pengucilan, perundungan, dan masalah psikologis seperti trauma serta gangguan mental sebagai pemicu.
Adapula faktor ketertarikan pada senjata api atau bahan peledak, dan ketertarikan pada kematian serta kekerasan.
Haniva Hasna mendorong pengusutan lebih lanjut soal motif dan situasi yang menyebabkan pelaku meledakkan SMA 72 Jakarta.
“Apakah benar dia menjadi korban bullying? Karena kan seseorang yang melakukan kekerasan itu ada faktor yang membuat anak menjadi marah, benci, dendam,” ujar Haniva.
“Ini bukan keributan antargeng. Berarti, ada apa di balik ini semua? Kenapa ia menyerang sekolah?” ujar Haniva.
Perihal dugaan perundungan, Polda Metro Jaya sampai saat ini belum memastikannya.
Pembatasan gim tembak-menembak dinilai tak efektif
Pengamat pendidikan dan anak, Retno Listyarti, menilai berbagai tontonan berisi kekerasan dapat memengaruhi seorang anak mengulang tindakan serupa. Tapi dia menyebut hal itu hanya salah satu pemicu.
“Ada faktor lain yang lebih dominan,” kata Retno.
Retno menyorot pola pengasuhan di lingkungan sekolah yang belum berjalan baik. Akibatnya, kekerasan anak masih berulang.
Retno menganalogikan anak korban kekerasan di sekolah sebagai sebuah rumah yang menerima sampah, tapi tidak dibuang.
Jika menerima sampah secara terus-menerus, Retno mengatakan, rumah akan “berbau busuk, tidak nyaman, dan banyak penyakit.”
“Luka batin itu seperti menyimpan sampah dalam rumah. Disimpan dalam tubuh, akhirnya menjadi racun,” katanya.
“Akhirnya, membuat seorang anak stres. Jika tidak pernah ditangani, lama-lama akan depresi, ya, kalau tidak menyakiti diri sendiri, maka akan menyakiti orang lain seperti pembalasan dendam,” ujarnya.
Retno meminta pemerintah juga serius membenahi pola pengasuhan di sekolah—tak sekadar membatasi akses gim bermuatan kekerasan seperti tembak-menembak.
“Tanpa disertai perubahan pola pengasuhan, termasuk di lingkungan pendidikan, maka tidak akan terselesaikan juga,” kata Retno.
Retno berkata, pemerintah sebenarnya sudah mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023. .
Sayangnya, kata Retno, regulasi yang mengatur pencegahan penanganan kekerasan tersebut belum diterapkan secara maksimal.

Dalam peraturan itu, pemerintah mendefinisikan beraga kekerasan di lingkungan pendidikan.
Tak cuma memasukkan kekerasan fisik sebagai tindak perundungan, beleid itu juga mencantumkan beragam bentuk kekerasan psikis antra lain pengucilan, penolakan, pengabaian, penyebaran rumor, dan panggilan yang mengejek.
Peraturan berisi 79 pasal itu bahkan mengatur perihal teknis tata cara penanganan kekerasan anak, mulai dari durasi pemeriksaan, beragam sanksi, mekanisme pengajuan keberatan oleh pelaku, dan pemulihan hak dan perlindungan korban.
Adapula mekanisme penghargaan terhadap mereka yang mendukung terciptanya lingkungan pendidikan tanpa kekerasan dan pendanaan pelaksaan program —yang dibebankan kepada kementerian dan pemerintah daerah.
Beleid itu juga mengatur bahwa pemantauan dan pelaksanaan lingkungan pendidikan yang bebas kekerasan dilaksanakan oleh Tim Pencegahan dan Penangana Kekerasan (TPPK).
Retno menilai, keberadaan peraturan menteri itu sejatinya telah “mengajarkan kepada sekolah untuk melakukan pencegahan.”
Namun, Retno menyebut, “penanganannya masih jauh dari Permendikbudristek Nomor 46.”
Retno berkata, beberapa sekolah tidak memiliki TPPK atau telah memilikinya, tapi tidak bekerja optimal.
Dia mendesak pemerintah serius menerapkan peraturan menteri tersebut, dengan menjadikan TPPK sebagai ujung tombak pemantauan dan pelaksanaan kontrol kekerasan di lingkungan pendidikan.
“Masih sangat diperlukan sosialisasi, pelatihan agar TPPK memperkuat sekolah bisa melakukan pencegahan dan menangani kekerasan di satuan pendidikan.”

Psikolog anak, Rose Mini Agoes Salim, menyebut pembatasan akses ke permainan daring bergenre first-person shooter tak akan sepenuhnya dapat menyetop kekerasan di kalangan anak-anak.
Menurut Rose, tindakan itu tak lebih semacam penghukuman yang bersifat eksternal agar seorang anak dapat berubah.
Namun, untuk perubahan perilaku jangka panjang, ia menilai hal tersebut tak akan efektif.
“Yang lebih berkelanjutan itu kalau anak memahami kenapa dia tidak boleh melakukannya. Yang harus ditelaah, apa penyebab utamanya, yang sifatnya internal,” ujar Rose.
Dalam keilmuan psikologi, terang Rose, anak pelaku kekerasan biasanya berhulu dari posisi sebagai korban kekerasan—sehingga berulang dan menjadi siklus, atau disebabkan tekanan dari keluarga dan pihak sekolah karena ia tak berprestasi secara akademik.
“Jangan dikejar ranking atau angka-angka di sekolah saja, karena itu tidak menjamin bahwa ia akan berhasil juga di kehidupannya.”
Bagaimana perkembangan penyelidikan?
Dalam keteragan pers pada 11 November 2025, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Iman Imanuddin mengatakan, penyidik menduga tindakan pelaku dipicu oleh dorongan emosional dan rasa keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.
Dugaan itu muncul setelah penyidik memeriksa saksi dan menganalisa barang bukti yang dikumpulkan di tempat kejadian perkara maupun di kediaman pelaku—di mana polisi menemukan sisa bahan peledak berdaya ledak rendah.
“Yang bersangkutan terdapat dorongan untuk melakukan peristiwa hukum tersebut [karena] merasa sendiri, merasa tidak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesah, baik di keluarga, tempat tinggal, maupun sekolah,” kata Iman.

Juru Bicara Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri Ajun Komisaris Besar Mayndra Eka Wardhana mengatakan, meski tidak terafiliasi dengan jaringan teror, pelaku diketahui bergabung ke dalam sebuah grup pengagum kekerasan di media sosial.
Dalam grup itu, para anggota disebut kerap mengunggah konten tindakan kekerasan yang dilakukan dan saling memberi apresiasi.
“Komunitas tersebut mengapresiasi sebagai sesuatu yang heroik,” ujar Mayndra, seraya menambahkan bahwa grup tersebut tidak termasuk ke dalam daftar pantauan jaringan teror global, regional, maupun nasional.
“Jadi, kejadian ini [ledakan di SMA 72] belum termasuk tindak pidana terorisme.”
‘Terinspirasi pelaku teror di luar negeri’
Mayndra menyebut pelaku terinspirasi enam tokoh dan aksi kekerasan yang pernah sebelumnya.
Pertama adalah Eric Harris dan Dylan Klebold yang merupakan pelaku penembakan di Columbine High School, Colorado, Amerika Serikat pada 1999. Keduanya beraliran Neo-Nazi yang hendak menghidupkan kembali ideologi Nazi Jerman.
Kedua, Dylan Ruff Charleston yang melakukan penembakan di Gereja Charleston di South Carolina terjadi pada 2015 yang merupakan seorang white supremacist atau orang yang meyakini kulit putih lebih unggul dari ras lainnya.
Ketiga, Alexandre Bissonete yang melakukan serangan di Gereja Quebec di Kanada pada 2017, yang juga mengklaim diri sebagai white supremacist.
Keempat adalah Vladislav Roslyakov yang melakukan serangan di Politeknik Kerch di Crime, Rusia pada 2018 yang beraliran Neo-Nazi.
Kelima, Brenton Tarrant yang melakukan penembakan di Mesjid Christchurch, Selandia Baru pada 2019 yang merupakan seorang fasis, rasis, dan ehtni-nasionalis, terang Mayndra.
Keenam, Natalie Lynn Rupnow yang melakukan penembakan di Abundant Life Christian School di Wisconsin, Amerika Serikat pada 2024 dan beraliran Neo-Nazi.

Mayndra juga menambahkan yang bersangkutan hanya mempelajari kemudian mengikuti beberapa tindakan ekstremisme yang dilakukan.
“Artinya, tidak ada satu ideologi yang konsisten yang dia ikuti, di sini menunjukkan bahwa pelaku hanya sekedar terinspirasi dan ada pola yang berurutan yang mereka unggah di komunitas media sosialnya dan ini juga menjadi kesadaran ke depan bagi kita terkait adanya kekerasan di dunia maya,” katanya.
Sampai saat ini, kepolisian menyatakan telah memeriksa 16 orang saksi, termasuk guru, korban, siswa, pelaku serta keluarganya.
Pelaku sendiri sempat dirawat intensif di Rumah Sakit Islam Jakarta tak lama setelah ledakan, tapi kemudian dipindahkan ke RS Polri Kramat Jati, sejak awal pekan ini.
Tidak ada korban jiwa akibat ledakan ini, tapi sebanyak 96 orang terluka —tiga di antaranya luka berat.
Baca artikel sebelumnya:
- Ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Densus 88 menemukan tujuh peledak di sekolah – Bagaimana perkembangan terbaru penyelidikan?
- Nathan, Evan, dan sejumlah anak dalam teror bom Surabaya
- Kesehatan mental anak – ‘Kondisi anak dan remaja di Indonesia tidak baik-baik saja’
- Berapa banyak anak-anak dilibatkan dalam jaringan teror?