Kita Tekno – JAKARTA — Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat, menyerukan kepada para guru Bimbingan dan Konseling (BK) untuk memandang peserta didik layaknya bagian dari keluarga. Pendekatan ini diharapkan mampu membangun kedekatan emosional yang esensial, membuka jalan bagi penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi siswa.
Prof. Atip menegaskan bahwa eksistensi guru BK di sekolah memiliki makna yang sangat penting. Keberadaan mereka krusial dalam membantu mengatasi beragam isu yang berkaitan dengan peserta didik, mulai dari masalah pribadi, identifikasi peminatan, isu sosial, hingga hambatan dalam proses belajar. Oleh karena itu, idealnya guru BK berperan dalam mendukung pengembangan peserta didik secara holistik.
“Peran yang harus diemban guru BK bersifat menyeluruh dalam melihat peserta didik. Mereka bukan hanya sekadar siswa, tetapi juga bagian dari keluarga, anggota masyarakat, lingkaran pertemanan, bahkan bagian dari warganet,” papar Atip kepada Republika pada Kamis (13/11/2025) malam. Beliau menekankan pentingnya guru BK untuk memastikan adanya dukungan yang kuat bagi kesehatan mental dan emosional peserta didik. Ini termasuk membantu siswa mengelola emosi dan mengatasi masalah, sehingga mampu mencegah timbulnya rasa cemas apalagi stres yang berlebihan.
Peran lain yang tak kalah vital adalah melakukan deteksi dini. “Melalui observasi mendalam, guru BK dapat mengidentifikasi peserta didik yang memerlukan penanganan spesifik, seperti mereka yang memiliki kebutuhan khusus,” ujar Atip. Namun demikian, Atip menyadari adanya kendala yang kerap menghambat optimalisasi peran guru BK. Secara internal, guru BK sering kali masih dikesankan sebagai “polisi sekolah” yang berfokus utama pada kedisiplinan, bukan pada fungsi konseling yang seharusnya.
“Stigma yang kurang baik ini harus segera dihilangkan. Guru BK harus ditempatkan pada marwahnya, sebagai pendidik yang membantu pengembangan peserta didik secara totalitas dan terpadu,” tegas Atip. Di sisi eksternal, minimnya keterbukaan peserta didik dalam mengungkapkan persoalan yang dihadapi menjadi kendala serius. Atip menduga, kurangnya sikap terbuka ini, atau keengganan siswa bercerita kepada wali kelas, cukup menghambat guru BK dalam mengidentifikasi sekaligus mendalami potensi peserta didik secara optimal, baik dalam bidang akademik, kepribadian, maupun sosial-digital. “Kurangnya perhatian dan keterlibatan orang tua terhadap masalah peserta didik di sekolah, keluarga, masyarakat, maupun media sosial, juga menjadi kendala tersendiri bagi guru BK,” imbuhnya.
Pentingnya peran guru BK semakin terbukti dengan insiden tragis yang baru-baru ini terjadi. Sebelumnya, sebuah aksi peledakan mengguncang SMAN 72 Jakarta pada Jumat (7/11/2025). Pihak kepolisian menemukan tujuh bom rakitan di area sekolah; empat di antaranya telah meledak, sementara tiga lainnya belum sempat diledakkan oleh pelaku.
Akibat insiden tersebut, setidaknya 96 orang mengalami luka-luka. Dari total korban, polisi mencatat 67 orang mengalami luka ringan, 26 orang luka sedang, dan tiga orang luka berat. Dalam penyelidikan kasus ini, polisi menemukan adanya perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan pelaku. Pelaku dijerat Pasal 80 Ayat 2 juncto 76C Undang-Undang Perlindungan Anak, serta Pasal 355 KUHP, Pasal 187 KUHP, dan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia. Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya mengungkapkan bahwa terduga pelaku memiliki dorongan tertentu yang memicu peledakan di lingkungan masjid SMAN 72 Jakarta, salah satunya adalah rasa kesendirian yang dialaminya.